60
5 Tata
cara pelaksanaan
pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang
Penjabaran lebih lanjut mengenai mekanisme pencalonan dan Pilpres yang tercantum dalam Pasal 6 A UUD NRI 1945 tersebut dalam UU 422008 untuk
Pemilu Presiden tahun 2009 dan 2014, adalah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan oleh KPU Pasal 4 ayat 1 UU 422008, yang berhak
mengajukan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
dengan ketentuan memenuhi ketentuan “PT” sebesar 20 kursi DPR atau 25
perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR Pasal 9 UU 422008;
Terhadap ketentuan Pasal 6A UUD NRI 1945 dan UU No. 42 tahun 2008 dapat dikemukakan beberapa hal menurut penulis, diantaranya :
1 telah terjadi pergeseran dalam mekanisme Pilpres dari pemilihan secara tidak langsung oleh MPR ke pemilihan langsung oleh rakyat. Hal tersebut
ditegaskan oleh ketentuan Pasal 22E ayat 2 UUD NRI 1945 yang berbunyi “Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
2 Pilpres dilakukan dalam satu paket pasangan calon, tidak terpisah sebagaimana dilakukan ketika pemilihan dilakukan oleh MPR;
3 Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, jadi menutup kemungkinan dari calon perseorangan;
4 Pilpres seharusnya dilakukan bersamaan dengan Pemilu Anggota Legislatif, karena menurut Pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945 pencalonan
pasangan calon dilakukan sebelum pelaksanaan Pemilu, sedangkan yang dimaksud Pemilu menurut Pasal 22E ayat 2 UUD NRI 1945 adalah
Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, dalam praktik sejak Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. ternyata Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan sesudah Pemilu Legislatif, sebagaimana diatur dalam UU No.42 Tahun 2008.
C. PT dalam Sistem Presidensial di Indonesia.
61
Ambang batas di dalam pemilu secara terminologi disebut dengan istilah
electoral threshold. Henry Campbell Black dalam
Black’s Law Dictionary
menerjemahkan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pemilih atau pemilu pertaining to electors or elections; composed or consisting of electors,
77
sementara threshold berasal dari Bahasa Inggris yang berarti ambang pintuambang
batas
78
dimana di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud
dengan ambang batas adalah tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi
79
Ambang batas pemilu electoral threshold umumnya dibagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu ambang batas efektif effective theshold dan ambang batas formal
formal threshold. Andrew Reynolds menjelaskan bahwa ambang batas efektif merupakan pengaturan yang lahir dari perhitungan matematis di dalam sistem
pemilu mathematical by product of features of electoral systems. Ambang batas efektif diterjemahkan pula sebagai ambang batas terselubung hidden threshold
atau ambang batas alami natural threshold dikarenakan undang-undang tidak mencantumkan secara tegas persentase suara minimal yang harus dipenuhi.
Ambang batas efektif menempatkan besaran daerah pemilihan district magnitude sebagai aspek matematis yang penting dalam penentuan peroleahan kursi.
80
Arend Lijphart memberikan rumusan konkret ambang batas efektif dengan formulasi sebagai berikut :
T eff = 75
m + 1 Ket : T
eff = persentase ambang batas efektif.
77
Henry Campbell Black dalam I Gusti Ngurah Agung, Pengaturan Ambang batas formal dalam Konteks Sistem Pemilu yang Demokratis Di Indonesia, Tesis, Program Pasca
SarjanaUniversitas Udayana, Denpasar, 2013, hlm. 81
78
John M. Echols dan Hassan Shadily, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia An English
– Indonesia Dictionary. PT. Gramedia, Jakarta, 1995. hlm. 589.
79
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Pusat Bahasa
Edisi Keempat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 201, hlm. 48
80
Ibid, hlm. 84.
62
m = besaran daerah pemilihan
81
Sebagai contoh. jika besaran daerah pemilihan adalah sebanyak 4 kursi di dalam sistem pemilu perwakilan proporsional, maka ambang batas efektif adalah 15
suara. Kemudian dengan logika bahwa partai politik yang mendapatkan suara lebih dari 20 akan berpeluang besar untuk terpilih mendapatkan kursi yang
tersedia pada daerah pemilihan tersebut, sementara yang mendapatkan suara kurang dari sekitar 10 tidak mungkin akan dapat terpilih. Hal ini
memperlihatkan besaran daerah pemilihan sebagai fitur matematis yang secara alami mengkalkulasi perolehan suara dan keberadaannya menjadi sangat penting
dalam menentukan ambang batas efektif. Berbeda dengan ambang batas efektif, bahwa ambang batas formal timbul
dengan adanya pencantuman persentase secara tegas di dalam penormaan hukumnya. Ambang batas formal merupakan ambang batas yang dipaksakan
secara hukum legally imposed berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ambang batas formal diatur secara tertulis secara konstitusional atau dalam
ketentuan perundang-undangan yang digunakan untuk membatasi sistem perwakilan proporsional formal threshold are written into the constitutional or
legal provisions which define the Proportional Representative System.
82
Ambang batas formal yang ditentukan secara formal menegaskan secara baku berapa
minimal persentase yang harus dipenuhi oleh suatu partai politik. Rasionalisasi dari hal tersebut partai politik yang tidak dapat memenuhi ambang batas tidak
dapat diikutsertakan dalam perhitungan kursi apabila tidak memenuhi angka yang dipersyaratkan.
Pengaturan ambang batas formal diyakini dapat mengurangi tingkat fragmentasi dan polarisasi yang terjadi dalam lembaga perwakilan. Tracy Quinlan
memaparkan perihal adanya relevansi di antara ambang batas formal, sistem perwakilan proporsional, dan terjadinya fragmentasi dalam lembaga perwakilan.
81
Didik Supriyanto dan August Mellaz, Ambang Batas Perwakilan Pengaruh Parliamentary Threshold Terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas
Hasil Pemilu, Perludem, Jakarta, 2011, hlm. 14.
82
Ibid, hlm. 83.
63
Bahwa ambang batas formal merupakan variasi dari sistem perwakilan proporsional yang memiliki kemampuan untuk mengubah tingkat representasi
electoral thresholds are a variation to PR systems that have the ability to change representation. Tracy Quinlan dalam Res Publica - Journal of Undergraduate
Research jika ambang batas tinggi. maka dapat mengurangi jumlah partai yang mendapatkan akses ke legislatif, sehingga menyebabkan besaran partai meningkat
dengan mengurangi fragmentasi sistem kepartaian if a threshold is high. it can reduce the number of parties that gain access to the legislature causing party
magnitude to increase by reducing party system fragmentation
83
Hal ini memperlihatkan bahwa fragementasi dalam lembaga legislatif hanya dapat
dikurangi apabila jumlah partai yang berada dalam lembaga legislatif tersebut juga berkurang.
Sistem multipartai dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik dapat berpartisipasi dalam demokrasi. Sistem multipartai ini diimbangi dengan
adanya pembatasan jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan adanya mekanisme electoral threshold ET. Dalam pemilu Tahun 1999.
partai-partai politik yang tidak memenuhi jumlah kursi 2 di Parlemen tidak dapat mengikuti pemilu tahun 2004. Ketentuan pembatasan peserta pemilu
kemudian berlanjut dengan peningkatan 3 jumlah kursi di parlemen untuk dapat
mengikuti pemilu tahun 2009 sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003
tentang Pemilu
84
Pada tahun 2008, pemerintah dan DPR membahas revisi UU Pemilu yang menghasilkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU ini juga masih memberikan batasan bagi partai politik untuk dapat
mengikuti pemilu berikutnya dengan Parliamentary Threshold. Demikian pula dalam pengaturan tentang partai politik yang dapat mengikuti pemilu tahun 2009.
secara garis besar sama dengan ide penyederhanaan partai politik. Namun, dalam
83
Tracy Quinlan dalam Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 9, diakses dari
http:digitalcommons.iwu.educgiviewcontent.cgi?article=1060context=respublica tanggal 1 Mei 2014, Illinois Wesleyan University, Illinois, hlm, 20.
84
Lihat Pasal 9 UU No. No. 12 Tahun 2003.
64
aturan peralihannya di Pasal 316 huruf d terdapat ketentuan bahwa partai politik
peserta pemilu 2004 yang tidak memenuhi 3 ET dapat mengikuti pemilu tahun 2009 asal mempunyai satu kursi di DPR.
Selanjutnya ketentuan ambang batas dalam Pemilu Legislatif tersebut juga juga diterapkan dalam Pilpres sebagai wujud Demokrasi. Adapun penerapan PT
ini dilaksanakan setelah Pilpres dipilih secara langsung. PT ini menjadi persyaratan tambahan pencalonan Presiden yang diatur dalam Pasal 6 UUD NRI
1945 serta secara jelas dituliskan di Pasal 9 UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.
Terminologi PT ini digunakan untuk mendeskripsikan persentase sebagai syarat pencalonan dalam pemilihan Presiden.
85
Istilah Presidential berasal dari kata President. dimana Kamus Black Law memberikan definisi yaitu kepala
eksekutif dari suatu bangsa khususnya pada pemerintahan yang berbentuk demokrasi.
86
Sementara Threshold yang berasal dari Bahasa Inggris memiliki arti ambang pintu atau ambang batas.
87
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan ambang batas sebagai tingkatan batas yang masih dapat diterima atau
ditoleransi.
88
Adapun undang-undang pemilihan Presiden Indonesia tidak menegaskan terminologi PT secara eksplisit sebagai bahasa hukum. namun hal
tersebut telah dianggap sebagai suatu kebiasaan umum dalam pemilihan Presiden Republik Indonesia.
89
Presidential Thresold PT sendiri merupakan ketentuan tambahan mengenai Pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
dalam Pasal 6A ayat 2 yang menyatakan bahwa :”Pasangan calon Presiden dan
85
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 107
86
Henry Campbell Black, Op.Cit,hlm. 1348.
87
John M. Echols dan Hassan Shadily, Op.Cit, hlm. 589.
88
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm.48
89
I Gusti Ngurah Agung Sagoya Raditya, Rethinking Ketentuan Persentase Sebagai Syarat Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Di Indonesia, Tesis, Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana, 2013, hlm. 6
65
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu
.” Secara tekstual. Pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945 tersebut memberikan ruang kepada partai politik peserta pemilu untuk
mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. dengan syarat bahwa partai politik tersebut merupakan peserta pemilu. Hal ini dikarenakan Partai politik sebagai
pilar demokrasi dan penghubung antara pemerintahan negara the state dengan warga negaranya the citizens.
Dalam rangka memenuhi aspek keadilan, ketentuan Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 pada dasarnya berusaha menentukan persyaratan yang sama untuk
setiap subyek hukum yang terikat. Hal ini ditunjukkan bahwa sebelum pemilu Presiden diselenggarakan, semua partai politik atau gabungan partai politik terikat
kepada persyaratan yang sama, yakni 20 jumlah perolehan kursi atau 25 jumlah perolehan suara sah. Apabila mengacu pada teori justice as fairness dari
John Rawls dimana keadilan yang fair terwujud dengan memberikan aturan menguntungkan bagi pihak yang berada pada posisi lemah. adanya formulasi dua
jenis persentase dan frase “gabungan partai politik” dalam pengaturannya berusaha untuk memaktubkan teori keadilan tersebut
90
Dua jenis persentase diberlakukan untuk membuka peluang bagi partai politik yang tidak mendapatkan kursi di lembaga legislatif akibat pengaturan
ambang batas formal pemilu DPR, sehingga dapat menggunakan ketentuan persentase perolehan suara. Kemudian perihal frase “gabungan partai politik”
mengupayakan terwujudnya keadilan yang imparsial dengan memberikan peluang yang relatif sama bagi setiap partai politik, termasuk bagi partai politik dengan
perolehan suara dan kursi yang minim untuk terlibat dan dapat menyalurkan aspirasi dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Perihal apakah nanti
aspirasi mereka terpilih atau tidak tergantung dari bagaimana konfigurasi politik yang terjadi dikarenakan penyelenggaraan pemilu pada dasarnya merupakan suatu
kompetisi.
90
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Flisafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia Edisi Revisi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 162-
163.
66
Perihal rasionalitas besaran persentase yang diatur dimana telah terjadi peningkatan persentase dibandingkan pada penyelenggaran pemilihan Presiden
tahun 2004. Hal ini sangat bergantung dari bagaimana konsensus yang terjadi dalam lembaga perwakilan dalam merumuskan undang-undang pemilihan
Presiden. Namun pada hakikatnya, adanya ketentuan persentase syarat pencalonan Presiden yang didasarkan atas perolehan suara atau kursi pada pemilu legislatif
merupakan rasionalisasi untuk menghindari terpilihnya kepala eksekutif yang minim dukungan dari legislatif dan menciptakan pemerintahan yang stabil dalam
sistem presidensial. Hal tersebut juga menjadi dasar pertimbangan bahwa apabila pemilu legislatif dan eksekutif dilaksanakan secara serentak dan persentase syarat
pencalonan Presiden menjadi tidak berlaku. maka akan mengakibatkan kerumitan- kerumitan baik dari segi teknis maupun kencenderungan untuk menghasilkan
pemilu dengan kualitas yang rendah
91
Rasionalitas tersebut dapat diejawantahkan dalam hal pengaturan yang bersifat futuristik, dimana pengaturan persentase syarat pencalonan Presiden tidak
hanya terkait dengan bagaimana proses kompetisi politik itu sendiri, melainkan juga mempertimbangkan jalannya pemerintahan kedepannya pasca Presiden
terpilih ditetapkan. Sejarah mengajarkan bahwa Presiden yang tidak diusung oleh partai politik yang memperoleh suara mayoritas akan kesulitan menjalankan
pemerintahan. sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurahman Wahid. Scott Mainwaring dalam bukunya Presidentialism,
Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination memaparkan sebuah tesis bahwa sistem Presidensial yang disertai sistem multipartai dalam lembaga
perwakilannya menyebabkan terjadinya instabilitas dalam pemerintahan. Sistem multipartai. baik yang diterapkan pada sistem Presidensial atau sistem
parlementer, membutuhkan adanya koalisi partai politik. Namun hal tersebut disadari lebih sulit untuk dilaksanakan pada sistem Presidensial
92
Tiga argumentasi yang dibangun adalah sebagai berikut :
91
Ibnu Tricahyo, Reformasi Pemilu – Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, In-
TRANS Publishing, Malang, 2009, hlm. 98
92
Scott Mainwaring dalam Hanta Yuda, Presidensial Setengah Hati, Pt. Gramedia, Jakarta, 2011, hlm. 149
67
1. Penentuan kabinet pada sistem Presidensial menjadi kewenangan Presiden dan bukan ditentukan oleh parlemen seperti pada sistem parlementer.
Walaupun Presiden dapat membuat kesepakatan sebelumnya dengan partai-partai yang mendukungnya, namun kesepakatan tersebut tidak
mengikat dengan tegas. 2. Komitmen individu legislator untuk mendukung kesepakatan yang telah
dinegosiasikan oleh pimpinan partai politik kurang dapat dijamin dalam sistem Presidensial.
3. Dorongan yang kuat untuk memecah koalisi cenderung lebih besar terjadi pada sistem Presidensial terutama menjelang pemilu
93
Kondisi ini memperlihatkan bahwa Presiden yang tidak berasal dari partai pemenang pemilu legislatif. atau setidaknya mendapatkan dukungan yang cukup
dari partai politik dalam lembaga perwakilan akan menyebabkan terjadinya ketidakstabilan pemerintahan. Adnan Buyung Nasution menegaskan adanya
deadlock yang terjadi merupakan sebagai suatu akibat pemilihan langsung dalam penentuan legislatif dan eksekutif sehingga menimbulkan legitimasi yang sama
kuat diantara keduanya. Akibatnya. kesulitan akan terjadi apabila partai politik pendukung Presiden tidak menguasai mayoritas suara dalam lembaga
perwakilan
94
Adapun tujuan diaturnya persentase pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dikarenakan faktor efektivitas sistem pemerintahan Presidensil Indonesia
berkorelasi dengan jumlah fragmentasi partai politik yang ada dalam lembaga perwakilan, sehingga ketentuan tersebut dibutuhkan agar dapat mengukur besaran
dukungan yang dimiliki oleh Presiden terpilih dalam lembaga legislatif. Ketentuan dalam UU No. 42 Tahun 2008 mengenai persentase ambang batas partai politik
dan gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden mengalami peningkatan persentase, yaitu sebanyak 5. Pasal 9
UU No. 42 Tahun 2008, menentukan bahwa: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 dua puluh persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh
93
Ibid, hlm. 270-271
94
Adnan Buyung Nasution, Pikiran Gagasan Demokrasi Konstitusional, Kompas, Jakarta, 2008, hlm. 118
68
25 dua puluh lima persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
” Ketentuan persentase ambang batas perolehan kursi DPR 20 dan 25
suara sah nasional dalam pemilu legislatif 2009, membawa konsekuensi pengurangan jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan
oleh partai politik dan gabungannya. Mekanisme koalisi partai politik dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam
Pasal 10 UU No. 42 Tahun 2008, yang menentukan bahwa: 1 Penentuan calon Presiden danatau calon Wakil Presiden dilakukan secara
demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan.
2 Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai Politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon.
3 Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat 2 hanya dapat mencalonkan 1 satu Pasangan Calon sesuai dengan
mekanisme internal Partai Politik danatau musyawarah Gabungan Partai Politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka.
4 Calon Presiden danatau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan dalam satu pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat 3 tidak boleh dicalonkan lagi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik lainnya.
Koalisi dalam rangkaian pemilu presiden adalah akibat dari adanya unsur partai politik yang mengusung pasangan kandidat. Dalam Sistem multipartai
yang dianut di Indonesia berimplikasi pada adanya koalisi partai-partai politik. Persoalan koalisi partai politik ditujukan untuk pembentukan kekuatan politik
pendukung presiden. Benni Inayatullah mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Koalisi partai politik dalam rangka pembentukan kekuatan politik
pendukung presiden, secara teoritik dapat dilanjutkan melalui cara formalisasi koalisi antara kekuatan-kekuatan pengusung presiden dan partai yang duduk di
dalam legislatif. Selain hal ini juga akan mencegah polarisasi dan fragmentasi berlebihan di antara berbagai kekuatan yang ada, sehingga keberlanjutan koalisi
antarpartai sebelum dan setelah pemilihan presiden merupakan suatu hal yang
69
harus dijaga kesinambungannya. Koalisi partai tersebut dimaksudkan untuk membentuk sebuah pemerintahan yang kuat, mandiri dan stabil bertahan lama.
95
BAB IV EKSISTENSI