Sistem Dwi-Partai Dalam keputusan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya

43 1 Organis, Partai-partai politik itu tidak perlu dikembangkan. karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam lingkungan sendiri. 2 Badan perwakilan bersifat badan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup itu. 3 Pemilihan organis menghasilkan dewan korporatif. 4 Wakil-wakil dalam badan perwakilan berdasarkan pengangkatan. 64

D. Partai Politik dan Sistem Kepartaian

1. Sistem Kepartaian Sistem kepartaian party sistem pertama kali dibentangkan oleh Maurice Duverger dalam bukunya political parties. Duverger mengadakan klasifikasi menurut tiga kategori. yaitu sistem partai-tunggal, sistem dwi-partai, dan sistem multi-partai. 65 a. Sistem Partai-Tunggal Ada sementara pengamat yang berpendapat bahwa istilah sistem partai- tunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri contradicitio in terminis sebab suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu bagian pars. Namun demikian, istilah ini telah tersebar luas dikalangan masyarakat dan dipakai baik untuk partai yang benar-benar merupakan satu satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lain. Dalam kategori terakhir terdapat banyak variasi 66

b. Sistem Dwi-Partai Dalam keputusan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya

diartikan bahwa ada dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilu secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan. Dewasa ini hanya beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi-partai, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Filipina, Kanada dan Selandia Baru. Oleh Maurice Duvuger malahan dikatatakan bahwa sistem ini adalah khas Anglo saxon. 64 Moh.Kusnardi Dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1983, hlm. 336 65 Miriam Budiardjo, Op.Cit, hlm 415 66 Ibid ,hlm 415 44 Dalam sistem ini partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai Yang berkuasa karena menang dalam pemilu dan partai oposisi karena kalah dalam pemilu. Dengan demikian jelaslah di mana letak tanggung jawab mengenai pelaksaan kebijakan umum. Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia loyal opposition terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persaingan memenangkan pemilu kedua partai berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang ada di tengah dua partai dan yang sering dinamakan pemilih terapung floating vote atau pemilih di tengah median vote. c. Sistem Multi-Partai Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multi-partai. Perbedaan tajam antara ras, agama, atau suku bangasa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya primordial dalam satu wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola multi-partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik daripada pola dwi-partai. Sistem multi-partai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia dan Federasi Rusia. Prancis mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17 dan 28. Sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya partai komunis jumlah partai mencapai 43. 67 Sistem multi- partai, apalagi jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan parlamenter. mempunyai kecendrungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif. sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Dalam keadaan semacam ini dengan mitranya dan menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen hilang. 2. Sistem Kepartaian Indonesia 67 Ibid , hlm. 418 45 Pasca reformasi, sistem demokrasi di Indonesia memasuki era baru khususnya dengan munculnya sistem multipartai dalam pemilu di Indonesia. Hal ini terlihat dari kehadiran partai politik dalam pemilu tahun 1999 sebanyak 48 partai politik yang mengikuti pemilu. Jumlah partai yang mengikuti pemilu ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hanya 3 pihak yang ikut pemilu yaitu Golongan Karya. Partai Persatuan Pembangunan PPP dan Partai Demokrasi Indonesia PDI. Sistem multipartai ini dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik dapat berpartisipasi dalam demokrasi. Sistem multipartai ini diimbangi dengan adanya pembatasan jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan adanya mekanisme electoral threshold ET. Dalam pemilu Tahun 1999. partai-partai politik yang tidak memenuhi jumlah kursi 2 di Parlemen tidak dapat mengikuti pemilu tahun 2004. Ketentuan pembatasan peserta pemilu kemudian berlanjut dengan peningkatan 3 jumlah kursi di parlemen untuk dapat mengikuti pemilu tahun 2009 sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu 68 Pada tahun 2008, pemerintah dan DPR membahas revisi UU Pemilu yang menghasilkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU ini juga masih memberikan batasan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan Parlementary Threshold. Demikian pula dalam pengaturan tentang partai politik yang dapat mengikuti pemilu tahun 2009, secara garis besar sama dengan ide penyederhanaan partai politik. Namun, dalam aturan peralihannya di Pasal 316 huruf d terdapat ketentuan bahwa partai politik peserta pemilu 2004 yang tidak memenuhi 3 ET dapat mengikuti pemilu tahun 2009 asal mempunyai satu kursi di DPR. Ketentuan tersebut berarti bahwa partai politik yang hanya mempunyai 1 satu kursi di DPR pun bisa langsung ikut pemilu tahun 2009. Pasal 316 d inilah yang bisa dianggap tidak menunjukkan suatu konsistensi sikap atas kebijakan penyederhanan partai politik peserta pemilu melalui ET. Pasal 22E ayat 3 UUD NRI 1945 menegaskan posisi penting partai politik yakni “peserta 68 Lihat Pasal 9 UU No. No. 12 Tahun 2003. 46 pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik”. Demikian pula dengan Pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945 yang menyatakan “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu ”. Namun demikian, masih diperlukan UU untuk mengatur tentang pemilu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6A ayat 5 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “tatacara pelaksanaan Pilpres lebih lanjut diatur dengan UU” dan Pasal 22E ayat 6 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan UU”. Upaya menyederhanakan sistem kepartaian antara lain dapat dilakukan dengan memperberat ketentuan pembentukan partai politik baru. yakni peningkatan persyaratan jumlah warga negara yang dapat membentuk partai. dan pemberlakuan larangan bagi partai gagal electoral threshold ET untuk berganti nama sebagai partai baru.

BAB III SISTEM PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA

SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD NRI 1945 A. Pilpres Sebelum Perubahan UUD NRI 1945 Pilpres sebelum orde baru adalah pemilihan pada era tahun 1945-1966 dalam era mana pernah berlaku UUD NRI 1945 periode I 1945-1949, konstitusi RIS 1949 1949-1950, UUD sementara UUDS 1950 17 Agustus 1950-5 Juli 1959, dan UUD NRI 1945 periode II 5 Juli 1959-1967. Sebelum UUD NRI 1945 mengalami perubahan, persyaratan calon Presiden sangat sumir, bahkan untuk Wakil Presiden tidak ada persyaratannya 47 dalam konstitusi Pasal 6 ayat 1 UUD1945 sebelum perubahan hanya menyatakan bahwa “Presiden ialah orang Indonesia asli“,tidak jelas apakah calon Wakil Presiden juga harus orang Indonesia asli. Selain itu, juga tidak jelas apakah Presiden dan Wakil Presiden harus Warga Negara Indonesia WNI, sebab orang Indonesia asli belum tentu menjadi WNI. Hal tersebut dikarenakan ada ketentuan dalam Pasal 26 ayat 1 UUD NRI 1945 bahwa. “yang menjadi warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang di sahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara ”. Dengan demikian, menurut UUD NRI 1945 asli semua orang Indonesia asli diasumsikan pasti Warga Negara Indonesia dan tidak mengantisipasi bahwa mereka kemungkinan sudah bukan lagi WNI. kriteria “orang Indonesia asli” juga sering dipandang mendiskriminasi sesama WNI. Dalam konstitusi RIS 1949, persyaratan calon Presiden tercantum dalam Pasal 69 ayat 3 yang berbunyi “Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun ; beliau tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih atau orang –orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih ”. Dari ketentuan konstitusi RIS tersebut menunjukkan bahwa kata “asli” telah dihilangkan dan secara eksplisit juga tidak menyebutkan WNI. namun dari frasa “tidak boleh yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk memilih” menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah WNI, karena menurut Pasal 22 Konstitusi RIS 1949 yang punya hak pilih hanyalah WNI. Selain itu konstitusi RIS 1949 telah menentukan persyaratan usia Presiden, yakni telah berusia 30 tahun. Konstitusi RIS 1949 tidak mengenal jabatan Wakil Presiden. sehingga syarat dimaksud memang hanya untuk jabatan Presiden. Dalam UUDS 1950, persyaratan Presiden dan Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 45 ayat 5 yang berbunyi “Presiden dan wakil Presiden harus warga Negara Indonesia yang telah berusia 30 tahun dan tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam suatu menjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih “. Ketentuan dalam UUDS 1950 nampaknya sudah lebih jelas, yaitu bahwa persyaratan tersebut berlaku untuk 48 Presiden dan Wakil Presiden, syarat harus WNI, usia sudah 30 tahun, dan mempunyai hak pilih hak memilih dan hak untuk dipilih . Menurut A.K Pringgodigdo 69 , ketentuan yang bersifat rasdiskriminasi untuk persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu harus orang Indonesia asli. oleh UUD 1950 telah dihilangkan, karena yang penting keduanya harus warga Negara Indonesia Tata Cara Pilpres, UUD NRI 1945 sebelum mengalami perubahan menentukan : 1. Pasal 6 ayat 2: ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh majelis permusyawaratan rakyat dengan suara yang terbanyak “; 2. Pasal 7: Presiden dan walik Presiden memegang masa jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali “. Dari ketentuan Pasal 6 ayat 1 UUD NRI 1945 sebelum perubahan menunjukkan bahwa konstitusi menentukan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung, yakni oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR yang merupakan represtasi DPR, utusan daerah, dan utusan golongan [Pasal 2ayat 1 UUD NRI 1945 ] dan dari frasa “dengan suara terbanyak” mengisyaratkan bahwa seharusnya ada lebih dari satu calon, sedangkan dari ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 menunjukkan bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi lima tahun dan dapat dipilih kembali, namun tidak cukup jelas sampai berapa kali dapat dipilih kembali, sehingga dalam era orde baru dipraktekkan bahwa Presiden soeharto dapat dipilih sampai enam kali berturut turut . Dalam praktek ketatanegaraan tahun 1945-194, ketika MPR belum terbentuk. untuk pertama kali, berdasarkan Pasal III aturan peralihan UUD NRI 1945. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, yaitu dilakukan pada tanggal 18 agustus 1945 70 atas usul 69 A.K. Pringgodigdo dalam A. Mukti Fajar,Pemilu Perselisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi, Setara Press, Malang, 2013, hlm.26 70 Ibid. 49 anggota PPKI . Oto Iskandardinata, Soekarno dan Muhammad Hatta dipilih secara aklamasi sebagai Presiden dan Wakil Presiden republik Indonesia yang pertama 71 . Pemilihan Presiden menurut konstitusi RIS 1949 tercantum dalam Pasal 69 ayat 2 yang berbunyi “beliau dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2. Dalam memilih Presiden, orang-orang yang dikua sakan itu berusaha mancapai kata sepakat”. Ketentuan tersebut tidak menentukan untuk berapa lama jabatan Presiden dan berapa kali dapat dipilih kembali. Pelaksanaan ketentuan tersebut berlangsung pada tanggal 16 Desember 1949, yang memilih Soekarno sebagai Presiden RIS dan pada tanggal 17 Desember berlangsung pengambilan sumpah. 72 Sementara itu, menurut Pasal 45 ayat 3 UUDS 1950, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan undang- undang”. dan Pasal 45 ayat 4 UUDS 1950 menyatakan, ”untuk pertama kali Wakil Presiden diangkat oleh Presiden dari anjuran yang dimajukan oleh dewan perwakilan rakyat”. Dalam prakteknya, menurut A.K Pringgodigdo 73 undang-undang yang mengatur Pilpres yang diamanatkan oleh Pasal 45 ayat 3 UUDS 1950 tersebut tidak pernah dapat diwujudkan, maka berdasarkan piagam persetujuan antara pemerintah RI dan pemerintah RIS tanggal 19 Mei 1950 disepakati bahwa Presiden Negara kesatuan RI ialah Presiden Soekarno yang ternyata sesuai dengan ketentuan Pasal 141 UUDS 1950 yang antara lain menentukan bahwa pejabat- pejabat yang sudah ada sebelum UUD RIS diubah, akan tetap memegang jabatannya sampai diganti yang lain menurut UUD baru dan itulah sebabnya tidak ada pemilihan Presiden saat berlakunya UUD 1950. UUDS 1950 ternyata juga tidak menentukan untuk berapa lama jabatan Presiden dan Wakil Presiden dan juga tidak menetukan apakah mereka dapat dipilih kembali. 71 RM.A.B.Kusuma, Sejarah Konstitusi, FHUI, Jakarta, 2004, hlm. .492-493 72 Ibid, hlm. 26. 73 50 Tatkala UUD NRI 1945 dinyatakan berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang kemudian diikuti dengan pembentukan MPRS melalui ketetapan MPRS No. IIIMPRS1963 tanggal 18 Mei 1963 telah menetapkan Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, yang berarti menyimpangi ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 bahwa masa jabatan Presiden ada lima tahun. Era Orde Baru adalah era ketatanegaraan Indonesia tahun 1966-1968 atau dapat dikatakan sebagai Era Pemerintahan Soeharto sebagai Presiden RI. Soeharto praktis mengendalikan pemerintahan RI mulai saat terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 SP 11 Maret atau terkenal dengan istilah Supersemar yang kemudian dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No. IXMPRS1966 tanggal 21 Juni 1966. Setahun kemudian, berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXXIIIMPRS1967 tentang pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno pada tanggal 12 Maret 1967. MPRS telah mengangkat Soeharto selaku Pemegang SP 11 Maret sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilu. Dasar hukum yang dipakai oleh MPRS ialah Pasal 8 UUD NRI 1945 yang berbunyi. “ Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya. ia di ganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Seperti diketahui bahwa pada waktu itu tidak ada Wakil Presiden dan MPRS melalui Ketetapan MPRS No. XVMPRS1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang PemilihanPenunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden telah menetapkan hal-hal sebagai berikut : a. MPRS tidak mengadakan pemilihan Wakil Presiden; b. Apabila Presiden berhalangan, maka Pemegang SP 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden yang pemanfaatannya dilakukan dengan didampingi oleh Pimpinan MPRS dan Pimpinan DPRGR; c. Dalam hal terjadi keadaan yang disebut dalam Pasal 8 UUD NRI 1945 maka MPRS segera memilih pejabat Presiden yang bertugas sampai dengan terbentuknya MPR hasil Pemilu. 51 Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIVMPRS1968 tanggal 27 Maret 1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IXMPRS1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. MPRS telah menetapkan mengangkat Jenderal Soeharto Pengemban Ketetapan MPRS No. IXMPRS1966 sebagai Presiden RI hingga terpilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilu. Pemilu dalam era Orde Baru pertama kali diadakan pada tanggal 5 juli 1971 dan MPR hasil Pemilu baru terbentuk pada tahun 1973 yang dengan Ketetapan MPR No. IXMPR1973 mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI kembali. Selanjutnya Pemilu diadakan setiap lima tahun sekali, yaitu tahun 1977, tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992, dan tahun 1997 dalam hal mana MPR hasil Pemilu-pemilu tersebut juga memilih kembali Soeharto sebagai Presiden RI. sehingga praktis Soeharto memegang tampuk jabatan Presiden RI secara penuh sejak tanggal 12 Maret 1968 hingga lengser atau akibat mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai akibat timbulnya gerakan reformasi. Yang patut dicatat dari pemilihan-Pilpres era Orde Baru adalah mengenai ketentuan hukum yang mengaturnya sebagai penjabaran ketentuan Pasal 6 UUD NRI 1945, khususnya setelah Pemilu 1971, yaitu diterbitkannya Ketetapan MPR No. IIMPR1973 tentang Tata Cara Pilpres Repunlik Indonesia bertanggal 19 Maret 1973 yang memuat antara lain 1 Syarat-syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden, 2 Tata Cara Pemilihan Presiden. dan 3 Tata Cara Pemilihan Wakil Presiden Syarat-syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden Untuk pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dibuat ketentuan hukum yang mengatur persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden secara rinci yang dapat dikelompokkan dalam tiga persyaratan. yaitu persyaratan objektif yang dapat diukur, persyaratan subjektif yang tidak terukur. keduanya bilamana perlu dinyatakan secara tertulis, dan persyaratan tambahan, sebagai berikut: 1. Persyaratan Objektif, yakni Warga Negara Indonesia; telah berusia 40 tahun; bukan orang yang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilu; bersedia menjalankan Haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis dan putusan-putusan Majelis; dukungan dari Rakyat yang tercermin dalam Majelis; tidak pernah terlibat secara 52 langsung atau tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. sperti G-30-SPKI dan atau Organisasi terlarang lainnya; tidak sedang menjalani pidana berdasarkan Putusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana minimal 5 lima tahun; dan tidak terganggu jiwaingatannya. 2. Persyaratan Subjektif, yakni takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; setia kepada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan UUD NRI 1945; adil; jujur; cakap; dan berwibawa; 3. Persyaratan Tambahan : Presiden dan Wakil Presiden harus dapat bekerja sama dan khusus untuk calon Wakil Presiden juga harus menyatakan sanggup dan dapat bekerjasama dengan Presiden. Persyaratan-persyaratan calon Presiden tersebt diatas dipakai untuk Pilpres tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998 yang baru mengalami revisi pada Pilpres tahun 1999 yang nampaknya disesuaikan dengan semangat reformasi, yakni proses demokratisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mekanisme Pemilihan Presiden dan Waki Presiden pada era Orde Baru adalah mengacu kepada ketentuan Pasal 6 ayat 2 UUD NRI 1945 sebelum mengalami perubahan, yaitu dipilih secara tidak langsung, dalam hal ini oleh MPR dengan suara terbanyak. Ketetapan MPR No. IIMPR1973 menjabarkan mekanisme pemilihan di MPR tersebut sebagai berikut : 1 Pilpres dilakukan dalam Rapat Paripurna MPR yang khusus untuk itu dengan Korum minimal 23 dua pertiga jumlah anggota MPR. Jika korum belum terpenuhi, rapat ditunda sampai ditunda tiga kali berturut- turut setiap satu jam. Apabila belum juga tercapai korum, ditunda lagi dalam waktu 2 X24 jam, namun jika belum juga tercapai korum. korum menjadi minimal lebih dari separoh jumlah anggota MPR dan jika belum juga terpenuhi korum dimaksud. Pimpinan MPR wajib mencari jalan keluarnya untuk diajukan ke Rapat Paripurna MPR. 53 2 Pemilihan dilakukan secara terpisah, yaitu lebih dahulu dilakukan pemilihan Presiden, baru kemudian dilakukan pemilihan Wakil Presiden Pasal 8 3 Calon Presiden diusulkan oleh Pimpinan Fraksi-fraksi MPR secara tertulis kepada Pimpinan MPR dengan Persetujuan calon yang bersangkutan Pasal 9 4 Penyampaian usulan calon Presiden dilakukan paling lambat 24 jam sebelum Rapat Paripurna dibuka dan kemudian diteliti persyaratannya oleh Pimpinan MPR Pasal 10 5 Pimpinan MPR mengumumkan nama calon Presiden yang telah memenuhi persyaratan kepada Rapat Paripurna MPR Pasal 11 6 Calon yang bersangkutan melalui fraksi pengusul dapat menarik kembali pengusulannya Pasal 12 7 Apabila calon yang diusulkan oleh fraksi-fraksi. pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara secara rahasia, namun jika hanya ada satu calon. maka calon tersebut oleh Rapat Paripurna MPR disahkan sebagai Presiden Pasal 13 8 Dalam hal dilakukan pemungutan suara. calon terpilih harus didukung oleh minimal lebih dari separoh jumlah anggota MPR yang hadir Pasal 14. apabila tidak ada calon yang memenuhinya, maka dua orang calon dengan suara terbanyak berurutan dilakukan pemungutan suara ulang Pasal 15 dan apabila masih juga belum ada calon memperoleh minimal lebih dari separoh, maka yang terpilih adalah yang mendapatkan suara terbanyak dari keduanya Pasal 16. Jika keduanya memperoleh suara sama, dilakukan pemilihan ulang Pasal 17. 9 Apabila setelah diulang hasil keduanya tetap sama, maka calon terpilih ditentukan berdasarkan jumlah wakil-wakil fraksi yang mengusulkan Pasal 18 dan apabila masih tetap sama banyaknya, fraksi-fraksi harus mengusulkan calon Presiden yang lain Pasal 19 10 Untuk pemilihan Wakil Presiden, mekanismenya sbb : a Diselenggarakan segera setelah Presiden mengangkat sumpah janji di hadapan Majelis Pasal 21 54 b Diusulkan oleh fraksi-fraksi MPR secara tertulis dan dipersyaratkan bahwa calon harus menyatakan sanggup bekerja sama dengan Presiden Pasal 22; c Pimpinan MPR meneliti persyaratan calon, termasuk kesanggupan dapat bekerjasama dengan Presien dengan konfirmasi tertulis oleh Presiden dan apabila sudah memenuhi syarat diumumkan dalam Rapat paripurna Pasal 23 d Apabila semua calon tidak ada yang memenuhi syarat bisa bekerjasama dengan Presiden, fraksi-fraksi harus mengusulkan calon yang lain Pasal 24 e Apabila calon lebih dari satu dilakukan pemungutan suara secara rahasia, namun jika hanya ada satu calon maka disahkan sebagai calon Wakil Presien Pasal 25 f Tata cara pemilihan Wakil Presiden sama dengan tata cara yang berlaku untuk pemilihan Presiden Pasal 26 Terhadap Ketetapan MPR No.IIMPR1973 tersebut dapat diberikan catatan sebagai berikut : 1. Bahwa ketentuan tersebut cukup demokratis dan telah mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi dengan jumlah calon dan perolehan suaranya; 2. Bahwa dalam praktek yang terjadi sejak tahun 1973 sampai dengan tahun 1978. ternyata jumlah calon Presiden dan Wakil Presiden hanya satu. meskipun pernah pada tahun 1993 ada dua calon Wakil Presiden. tetapi kemudian salah satu calon ditarik kembali oleh fraksi pengusulnya; 3. Bahwa meskipun oleh UUD NRI 1945 dan Ketetatapn MPR a quo Wakil Presiden dipilih oleh MPR. namun pada hakikatnya Presiden terpilihlah yang menentukan siapa Wakil Presiden yang dikehendaki. sebab calon Wakil Presiden harus disetujui oleh Presiden terpilih; 4. Bahwa karena UUD NRI 1945 tidak memberikan pembatasan berapa kali seseorang dapat dipilih sebagai Presiden. maka sejak tahun 1973 sampai 55 1998 Soeharto selalu terpilih sebagai Presiden. sedangkan untuk Wakil Presiden setiap lima tahun selalu berganti. Pilpres di Era Reformasi. Yang dimaksud dengan Era Reformasi adalah era kehidupan ketatanegaraan dan politik sesudah berakhirnya era Orde Baru Soeharto dari kursi KePresidenan RI dan digantikan oleh BJ Habibie dan era ini juga sering disebut era pasca Orde Baru 74 Selama era ini 1998-2009 telah terjadi pergantian Presiden sebanyak empat kali, yaitu dari Soeharto ke BJ. Habibie Mei 1998, dari BJ. Habibie ke Abdurrahman Wahid Oktober 1999, dari Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekatnoputri Juli 2001, dan dari Megawati Soekarnoputri ke Susilo Bambang Yudhoyono Oktober 2004 Terkait dengan Pilpres di Era Reformasi ini, dibedakan dalam dua kurun waktu, yaitu sebelum Perubahan UUD NRI 1945 mengenai Pilpres tahun 1999 dan sesudah Perubahan UUD NRI 1945 mengenai Pemilihan Presiden Langsung tahun 2004 dan tahun 2009. Pilpres tahun 1999 berlangsung dibawah UUD NRI 1945 sebelum mengalami perubahan, sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat 1 masih menjadi wewenang MPR untuk melaksanakannnya. dalam hal ini adalah MPR hasil Pemilu Legislatif 1999. Sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres. MPR menerbitkan Ketetapan MPR No. VIMPR1999 Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pilpres tanggal 19 Oktober 1999 selanjutnya disebut Tap MPR No.VIMPR1999 untuk menggantikan Tap MPR No. IIMPR1973. Pada dasarnya persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Tap MPR No. VIMPR1999 tidak banyak berbeda dengan ketentuan dalam Tap MPR No. IIMPR1973, hanya dengan penambahan syarat bahwa calon harus memiliki visi kenegarawanan yang berdasar pada komitmen yang kuat terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan melaporkan daftar seluruh kekayaannya. Penambahan kedua syarat tersebut nampaknya didasarkan atas kondisi politik saat itu yang rawan konflik dan terancam disintegrasi, serta komitmen reformasi untuk memberantas segala bentuk Korupsi, Kolusi dan 74 A. Mukti Fadjar, Partai Politik dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, Intrans, Malang, 2008, hlm 51. 56 Nepotisme KKN. Selain itu adalah dihapuskannya syarat bahwa calon Presiden dan Wakil Presdien harus dapat bekerja sama dan keharusan calon Wakil Presiden harus dimintakan persetujuan dulu dari Presiden Terpilih sebagaimana dipraktikkan pada era Orde Baru. Mekanisme Pencalonan dan Pemilihan Sebagaimana ketentuan dalam Tap MPR No. IIMPR 1973, Pilpres juga dilakukan secara terpisah, sehingga mekanisme pencalonannya juga dilakukan secara terpisah. Mekanisme pencalonan dan Pilpres tahun 1999 tidak jauh berbeda dengan diatur dan dilaksanakan pada era Orde baru, kecuali ada penambahan dan perubahan bahwa pencalonan selain dilakukan oleh Fraksi di MPR, juga dimungkinkannnya sejumlah anggota MPR minimal tujuh orang untuk mengajukan calon. Selain itu juga dihapuskan mekanisme konsultasi dengan Presiden terpilih sebelum dilakukan pemilihan Wakil Presiden. Berbeda dengan era Orde Baru yang selalu hanya memunculkan calon tunggal Soeharto, praktek ketatanegaraan tahun 1999 telah memunculkan tradisi baru yaitu ada dua calon Presiden, yakni KH. Abdurrahman Wahid yang kemudian terpilih dan Megawati Soekarnoputri, dan juga dua orang calon Wakil Presiden yakni Megawati kemudian terpilih dan Akbar Tanjung.

B. Sistem Pilpres setelah Perubahan UUD NRI 1945