Putusan - Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Eksistensi PT Pasca

69 harus dijaga kesinambungannya. Koalisi partai tersebut dimaksudkan untuk membentuk sebuah pemerintahan yang kuat, mandiri dan stabil bertahan lama. 95

BAB IV EKSISTENSI

PT PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14 PUU-XI2013

A. Putusan - Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Eksistensi PT Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14PUU-XI2013 permohonan pengujian UU Pilpres dilakukanoleh Effendy Gazali. Ph.D. M.P.S.I.D. M.Si atas nama Aliansi Masyarakat Sipil yang meminta agar pemilihan Legislatif mulai dari DPRD, DPD, DPR, dan Pilpres harus dilakukan secara serentak. Sehingga Pemilu yang selama ini dilakukan 2 kali pencoblosan disatukan menjadi 1 kali pencoblosan. adapun alasan konstitusional yang dimohonkan baru dan berbeda dari pengujujian sebelumnya yaitu Hak Warga Negara untuk Memilih Secara Cerdas dan Efisien pada Pemilu Serentaksesuai yang diamanatkan UUD NRI Tahun1945 khususnya Pasal 22E12ayat 1 yang berbunyi, “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum,bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan Pasal 22E ayat 2yang berbunyi, “Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggotaDewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan WakilPresiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daer ah”. 95 Benni Inayatullah. Koalisi untuk Pemerintahan yang Kuat. Harian Jurnal Nasional. 2008. Kamis 11 September 2008. hlm. 60 70 Hak warga negara untuk memilih secara cerdas pada pemiluserentak ini berkaitan dengan konsep Political Efficacy dimana warga Negaradapat membangun Peta Check and Balances dari Pemerintahan Presidensialdengan keyakinannya sendiri. Sedangkan hak warga negara untuk memilih secaraefisien pada pemilu secara serentak ini terkait dengan penggunaanwaktu, energi, biaya warga negara untuk melaksanakan Hak Pilihnya yang lebih terjamin dengan penyelenggaraan Pemilu Serentak. Dalam permohonannya, Pemohon mengemukakan dalil-dalil funamentum petendi yang secara garis besarnya ialah sebagai berikut: a. Sistem Pemerintahan yang dianut UUD adalah sistem presidensial. Dalam sistem presidensial jabatan Presiden tidak bergantung pada dukungan legislatif. Karenanya tidak relevan mengaitkan dukungan Parpol kepada Presiden. Oleh sebab itu sebetulnya secara teoritis sistem presidensial tidak mengenal Pemilu yang terpisah antara Pilleg dan Pilpres, lebih-lebih mempersyaratkan presidential thereshold yang begitu tinggi untuk dapat mengusung Capres dan Cawapres; b. Menurut Teori Presidential Coattail Effect; dalam Pemilu serentak, pemilih cenderung memilih partai atau gabungan partai yang mengusung Capres pilihannya. Dengan demikian akan tercipta keselerasan antara kekuatan eksekutif dan kekuatan legislatif sehingga Pemilu serentak pun dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat. c. Pemilu serentak lebih memungkinkan tercapainya political efficacy, yaitu kemampuan menentukan hasil politik, dimana Pemilih dapat menentukan akan memilih partai mana dan Capres mana, baik yang sama antara Capres dan partai pengusungnya straight ticketmaupun beda antara Capres dan partai politik yang dipilihnya split ticket. Hal mana sulit terjadi dalam Pemilu terpisah karena belum tentu Capres pilihannya dapat menjadi peserta Pilpres karena mungkin partainya tidak memenuhi presedential thereshold; d. Bahwa dalam pelbagai penelitian telah terbukti bahwa Pemilu serentak dapat lebih menjamin efisiensi dan efektivitas, baik dari segi anggaran maupun persentase penggunaan hak pilih serta konstelasi politik yang terbangun setelahnya; e. Pemilu serentak dapat menghemat anggaran negara, karena semakin banyak penyelenggaraan Pemilu maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan, utamanya gajihonor penyelenggara Pemilu yang porsinya lebih dari 65 dari seluruh anggaran Pemilu; 71 f. Berdasarkan perhitungan Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkyansyah, jika Pilpres dan Pilleg dilakukan serentak maka terjadi efisiensi dan efektivitas setidaknya dalam 7 hal; 1 Pemutakhiran data pemilih tidak perlu dua kali kecuali terjadi Pilpres putaran kedua; 2 Sosialisasi; 3 Perlengkapan TPS; 4 Distribusi logistik; 5 Perjalanan dinas 6 Honorarium 65 dari total anggaran Pemilu; 7 Uang lembur. Dengan penyelenggaraan Pilleg dan Pilpres yang serentak, anggaran untuk Pemilu dapat dihemat antara Rp. 5-10 Triliun. g. Melalui penelusuran sejarah perubahan ketiga UUD NRI 1945 dalam upaya menggali maksud ketentuan Penyelenggaraan Pemilu dalam Pasal 6A ayat 2 dan Pasal 23E ayat 1 dan 2, ditemukan fakta bahwa memang kehendak perumus amandemen UUD melalui PAH I BP MPR ialah agar Pemilu dilaksanakan secara serentak Pilleg dan Pilpres. Bahkan dalam risalah sidang PAH I tersebut muncul kata- kata “Pemilu serentak” dan “Pemilu 5 kotak kotak DPR, DPD, Presiden dan Wapres, DPRD Provinsi, dan DPRD KabupatenKota. Adapun permohonan untuk menguji Undang-Undang Pilpres dengan UUD NRI 1945 secara lengkap sebagai berikut: 1. Bahwa PEMOHON memohon kepadaMahkamah untuk melakukan pengujianPasal 3 ayat 5. Pasal 9. Pasal 12 ayat 1 dan 2. Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112Undang-Undang Pilpres terhadap Pasal 4ayat 1. Pasal 6A ayat 2. Pasal 22E ayat1 dan ayat 2. Pasal 27 ayat 1. Pasal28D ayat 1. Pasal 28H ayat 1. danPasal 33 ayat 4 UUD NRI 1945 2. Ketentuan Pasal 24C ayat 1 UUD NRI 1945 juncto Pasal 10 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyebutkan bahwa salah satu kewenangan 72 Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD NRI 1945. 3. Bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 juncto Pasal 9 ayat 1 Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan, menyatakan bahwa secara hierarkis kedudukan UUD NRI 1945 adalah lebih tinggi dari Undang-Undang. oleh karena itu setiap ketentuan undangundang tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945 constitutie is de hoogstewet. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. 4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka PEMOHON berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang ini. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14PUU-XI2013 menyatakan putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian: 1.1. Pasal 3 ayat 5, Pasal 12 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112 Undang- Undang Pilpres Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924 bertentangan dengan UUD NRI 1945, 1.2. Pasal 3 ayat 5, Pasal 12 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112 Undang-Undang Pilpres Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2019 dan pemilu seterusnya. 3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 73 Berdasarakan putusan diatas Mahkamah Konstitusi mengumumkan mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang duduk perkaranya menyampaikan bahasan tentang pemilu serentak namun di tahun 2019, hal ini didasarkan pertimbangan pemohon diantaranya 96 : 1. Politik transaksional yang terjadi berlapis-lapis, dimana pemohon bahkan menginventarisasi akan dapat terjadi 4-5 kali politik transaksional ini dalam Pemilu, yaitu sebagai berikut : Pada saat mengajukan calon anggota legislative; Pada saat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden karena ketentuan Presidential Treshold; Setelah diketahuinya hasil putaran pertama Pemilu Presiden jika harus terjadi dua putaran pemilu;Pada saat pembentukan kabinet; Pada saat membentuk koalisi di DPR . 2. Biaya politik yang tinggi dalam proses penyelenggaraan Pemilu, dimana klaim pemohon adalah mengutip apa yang pernah disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, yaitu 1 Trilyun Rupiah dihabiskan untuk kampanye Pilkada Jawa Timur. 3. Politik uang yang marak sebagai salah satu unsur dari politik transaksional tersebut diatas , yang berimplikasi pada korupsi Politik 4. Sistem pemisahan pemilu legislatif dan eksekutif selama ini telah mengakibatkan tidak tegakkannya atau tidak diperkuatnya sistem Presidensial . Namun dari berbagai hal yang menjadi penjelasan pemohon terdapat yang dengan tidak terlalu memiliki alasan kuat permohonannya seperti pembuktian politik transaksional, kunjungan informal atau lobby antara petinggi politik dan beberapa hal lainnya, Disisi lain, pemohon memberikan argumen pertimbangan yang ilmiah dan sulit dibantah yakni berkaitan dengan efesiensi yang timbul jika pemilu serentak dilaksanakan, kejelasan original intent dari pemohon tentang Pasal 22 E ayat 1 UUD NRI 1945 yang di bahas dengan komperhensif serta alasan alasan melalui pendekatan ilmu lain yang meyakinkan. Perubahan mekanime yang signifikan ini menjadi sejarah baru untuk penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Sarana demokrasi dalam meraih kedaulatan rakyat ini memang 96 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14PUU-XI2013 hlm 6 74 sudah selayaknya dikembangkan dan ditinjau dalam rangka memenuhi amanat rakyat dan konstitusi yang ada. Pelaksanaan Pasal 22 E ayat 2 UUD NRI 1945 mengenai pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden awalnya memang tidak ditafsirkan sebagai pemilu secara serentak. Sehingga, pelaksanaan antara pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu legislatif dilaksanakan secara terpisah. Berdasarkan Putusannya No. 14PUU-XI2013 yang diucapkan Kamis tanggal 23 Januari 2014, MK mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian. Yang dikabulkan ialah terkait permohonan untuk menyelenggarakan Pemilu serentak. Sedangkan yang tidak dikabulkan ialah permohonan pengujian Pasal 9 yang mengatur PT, dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan legal policy yang diberikandidelegasikan oleh UUD Pasal 22E ayat [6] kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, oleh karenanya MK tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili legal policy tersebut. Sebelum sampai pada amar atau diktum putusan, tentu saja ada pertimbangan hukum yang merupakan ratio decidendi latar belakang lahirnya suatu putusan atas lahirnya suatu amar putusan. Dalam pertimbangan hukum yang kemudian menjadi dasar dikabulkannya permohonan pemohon mengenai Pemilu serentak, MK mendasarkannya pada tiga pertimbangan pokok, yaitu: 1. kaitan antara sistem pemilihan dan sistem pemerintahan presidensial; 2. original intent dari pembentuk UUD NRI 1945; dan 3. efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas. Terhadap pertimbangan pertama, pada pokoknya MK menyatakan bahwa tidak terdapat kaitanrelevansi antara Pemilu yang diadakan terpisah dengan sistem presidensial. Dalam sistem Presidensial, jabatan dan keberlangsungan pemerintahan yang dipimpin Presiden tidak tergantung dari dukungan parlemen sebagaimana halnya dalam sistem parlementer. Oleh karena itu, norma hukum yang memisahkan pelaksanaan Pileg dan Pilpres telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD NRI 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilu yang dimaksud oleh UUD NRI 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat 1 UUD NRI 1945. Terhadap pertimbangan kedua, pada pokoknya MK menyatakan bahwa makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD NRI 1945 ialah penyelenggaraan Pilpres yang dilakukan serentak dengan Pilleg. Hal tersebut dapat diketahui melalui penelusuran risalah sidang dan keterangan PAH I BP 75 MPR pada sidang tahunan MPR tahun 2001. Pada saat itu muncul gambaran teknis dari para perumus bahwa penyelenggaraan Pemilu akan dilakukan “serentak”, “Pemilu 5 kotak DPR, DPD, Presiden dan Wapres, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupatenkota.”Dengan demikian, berdasarkan penelusuran terhadap original intent dari perumus perubahan UUD, telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilpres, bahwa Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pilleg. Terhadap pertimbangan ketiga, pada prinsipnya MK menegaskan bahwa Pemilu serantak memang akan lebih efisien sehingga akan menghemat uang negara sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Melalui pertimbangan hukum diatas, sampailah MK pada amar putusan yang mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagaian, yang pada intinya mengabulkan Permohonan Pemilu Serentak dan Menolak menghapus Presidential Thereshold. Namun demikian ada yang menarik sekaligus kontroversial dalam amar putusan tersebut, dimana putusan mengenai Pemilu serentak sebagaimana dimaksud diatas diberlakukan untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pemilu- Pemilu seterusnya. Artinya, walaupun permohonan Pemilu Serentak dikabulkan oleh MK, namun penyelenggaraannya baru dapat dilakukan pada Pemilu 2019 mendatang. Didalam Putusan MK ini, terdapat Pendapat Berbeda Dissenting Opinion Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, beliau menjelaskan : 97 Pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945 menyatakan, “Pasangan calon Presiden danWakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik pesertapemilu sebelum pelaksanaan pemilu .” Kemudian Pasal 6A ayat 5 UUD NRI 1945 menentukan, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan WakilPresiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang .” Aturan-aturan tersebut dirumuskan pada Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 yang juga menghasilkan norma Pasal 22E ayat 2 UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Pemilu diselenggarakanuntuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ” yang dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 22E ayat 6 UUD NRI 1945 , “Ketentuan lebihlanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang ”; Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut saya, secara delegatif UUD NRI 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang DPR dan Presiden untuk mengatur tata cara 97 Ibid, hlm. 90 76 pelaksanaan Pilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilu, sehingga menjadi kebijakan hukum terbukaopened legal policy pembentuk Undang- Undang untuk merumuskan mekanismeterbaik tata cara pemilu, termasuk dalam penentuan waktu antarsatupemilihan dengan pemilihan yang lain. Selain itu, aturan PTsebagaimana tercantum dalam Pasal 9 UU 422008 yang berbunyi, “PasanganCalon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemiluyang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 dua puluh persendari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 dua puluh lima persen dari suarasah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presidendan Wakil Presiden ” juga merupakan kebijakan hukum terbuka yang padaprinsipnya tidak terkait dengan pengaturan serentak atau tidaknya pemilihanumum, baik Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan atau Pilpres. Bila pembentukUndang-Undang menginginkan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan atau Pilpresdilaksanakan serentak, maka PT tetap dapat diterapkan. Sebaliknya threshold tersebut juga dapat dihilangkan bila Presiden dan DPR sebagai lembaga politik representasi kedaulatan rakyat menghendakinya.Pelimpahan kewenangan secara delegatif delegatie van wetgevingsbevoegheidkepada pembentuk Undang-Undang untuk mengatur tata cara pelaksanaanPilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilu memang perludilaksanakan karena terdapat hal-hal yang tidak dapat dirumuskan secaralangsung oleh UUD NRI 1945 karena sifatnya yang mudah untuk berubah atau bersifatterlalu teknis. Selain itu, merupakan suatu kebiasaan bahwa ketentuan dalamsuatu UUD adalah sebagai aturan dasar yang masih bersifat umum sehinggapengaturan yang bersifat prosedural dan teknis dilaksanakan denganpembentukan Undang-Undang; 98 Sebelumnya pengaturan PT pernah dimohonkan pengujiannyaPengujian UU Pilpres diputuskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 51-52- 59PUU-VI2008 tentang Pengusulan Calon Presiden Dan Wakil Presiden Oleh 98 Ibid, hlm. 92 77 Partai Politik Dan Pelaksanaan Pemilu Presiden Setelah Pemilu Legislatif.Putusan Nomor 51-52-59PUU-VI2008 merupakan gabungan dari tiga perkara mengenai permohonan pengujian Pasal 3 ayat 5 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden UU 422008 terhadap UUD NRI 1945 yang diajukan oleh: 1. Saurip Kadi sebagai perorangan warga negara Indonesia Perkara Nomor 51PUU-VI2008; 2. Partai Bulan Bintang sebagai Partai Politik peserta Pemilu Tahun 2009 dengan Nomor Urut 27, yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilu KPU, sesuai Keputusan KPU Nomor 149SKKPUTahun 2008 tanggal 9 Juli 2007 tentang Penetapan dan Pengundian Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2009 Perkara Nomor 52PUU- VI2008; serta3. DPP Hanura, PKN PDP, DPP PIS, DPP PB, DPP PPRN, DPP RepublikaN sebagai perorangan dan badan hukum Perkara Nomor 59PUU- VI2008. Masalah utama dalam perkara ini adalah konstitusionalitas Pasal 3 ayat 5 UU 422008 yang menentukan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD; serta Pasal 9 UU 422008 yang menentukan bahwa pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 dua puluh per seratus dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25 dua puluh lima per seratus dari suara sah nasional dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. didalam amar putusannya mahkamah konstitusi Dalam Amar Putusannya Mahkamah Kontitusi Menyatakan menolak permohonan Pemohon I Saurip Kadi, Pemohon II Partai Bulan Bintang, dan Pemohon III Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, dan Partai Republika Nusantara untuk seluruhnya. 99 . secara lengkap berbunyi 1 norma konkret penjabaran Pasal 6A ayat 2 UUD N RI Tahun 1945, legal policy terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat 5 UUD N RI Tahun 1945 dan tata cara Pilpres berdasarkan Pasal 22E ayat 6 UUD N RI Tahun 1945 sebagai kebijakan 99 Putusan Mahkamah Konstitusi No No. 51-52-59PUU-VI2008 . hlm.88 78 legislasi dan kebijakan threshold yang didelegasikan dalam pelaksanaan pemilu; 2 tidak ada korelasi logis dengan pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil karena dengan syarat tersebut berarti proses demokrasi diserahkan rakyat yang berdaulat; 3 dukungan awal dalam pilpres karena hasil pilpres terhadap capres dan wapres terpilih telah didukung oleh rakyat melalui partai politik dalam pemilu; dan 4 delegasi kewenangan terbuka yang ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang, sehingga tidak bisa dibatalkan oleh MK meskipun ketentuan PT sebagai isi dari UU Pilpres dinilai buruk karena substansi undang-undang yang dinilai buruk tidak selalu inkonstitusional. Berdasarkan putusan tersebut. berarti bahwa sesungguhnya pengaturan mengenai PT merupakan suatu norma yang dapat dinilai buruk meskipun tidak bersifat inkonstitusional karena PT merupakan pelaksanaan amanat konstitusi Pasal 6A ayat 2, Pasal 6 ayat 5 junctis Pasal 22E ayat 6 UUD N RI Tahun 1945. Namun demikian, dalam putusan MK terdapat dissenting opinions. 100 Tiga Hakim Konstitusi yang mengemukakan dissenting opinion pendapat berbeda sebagai berikut: 101 Apabila Mahkamah konsisten dengan pendapatnya dalam putusan perkara- perkara sebelumnya misal Putusan Nomor 56PUU-VI2008 dan Putusan Nomor 3PUU-VII2009 dalam penafsiran konstitusi constitutional interpretation yang cenderung lebih menekankan pada tafsir tekstual dan original intent, seyogianya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon, karena dengan cara penafsiran tekstual dan original intent, bahkan juga dengan penafsiran sistematik atas Pasal 6A ayat 2 dan Pasal 22E ayat 2 UUD NRI 1945 yang menjadi sumber legitimasi Pasal 3 ayat 5 dan Pasal 9 UU 422008, sudah sangat terang benderang expressis verbis bahwa Pembentuk UUD NRI 1945 menghendaki agar: frasa “sebelum pelaksanaan pemilu” yang tercantum dalam Pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945 tidak dapat dipisahkan dari pengertian pemilu sebagaimana 100 Shanti Dwi kartika, PT Dalam Revisi UU Pilpres, Info Singkat DPR Vol. V, No. 14IIP3DIJuli2013. 101 Ikhtisar Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Mahkamah Konstitusi 2008-2009,Sekretariat Jenderal dan KepaniteraanMahkamah Konstitusi, Jakarta,2010, hlm.78-79 79 dimaksud Pasal 22E ayat 2 UUD NRI 1945, yaitu pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD sebagai satu kesatuan sistem dan proses dalam penyelenggaraannya electoral laws and electoral processes oleh “suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri” [vide Pasal 22E ayat 5 UUD NRI 1945]. Bahkan, undang-undang yang mengatur Pemilu pun cukup satu yang mencakup pengaturan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, tidak seperti yang dipraktikkan pada Pemilu 2004 ada UU 122003 Pemilu Legislatif dan UU 232003 Pemilu Presiden yang kemudian untuk Pemilu 2009, UU 122003 diganti dengan UU 102008 dan UU 232003 diganti dengan UU 422008. Argumentasi bahwa karena menurut Pasal 3 ayat 2 UUD NRI 1945 MPR yang melantik Presiden dan Wakil Presiden, maka logikanya MPR yang anggotanya terdiri dari seluruh anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu [vide Pasal 2 ayat 1 UUD NRI 1945] sudah harus terbentuk terlebih dahulu sehingga Pemilu Legislatif harus didahulukan dari Pemilu Presiden terlalu menyederhanakan masalah, karena penyelenggaraan Pemilu secara serempak tidak berarti bahwa anggota DPR dan anggota DPD yang juga otomatis anggota MPR tidak dapat dilantik lebih dahulu misalkan sesuai dengan kalender Konstitusional Lima Tahunan sejak tahun 1999 setiap tanggal 1 Oktober dari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden setiap tanggal 20 Oktober lima tahun sekali. Argumentasi bahwa penyelenggaraan Pemilu Legislatif lebih dahulu dari pada Pemilu Presiden sudah merupakan konvensi ketatanegaraan juga sulit untuk diterima, karena baru akan berlangsung dua kali tahun 2004 dan rencananya 2009; Pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik ataugabungan partai politik peserta Pemilu yang tercantum dalam Pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945 sebenarnya sudah sangat jelas maksudnya dan tidak memberi peluang bagi pembentuk undang-undang untuk membuat kebijakan hukum legal policy. Demikian 79 Ikhtisar Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara 2008-2009 80 pula “PT” dimaksudkan agar Calon Presiden dan Wakil Presiden mempunyai basis dukungan rakyat yang kuat dan luas, sebab dukungan yang luas akan diwujudkan dengan Pilpres secara langsung oleh rakyat, sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat 1 juncto Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945 mengenai keterpilihan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang harus meraih suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam Pemilu dengan sedikitnya 20 dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di sedikitnya setengah jumlah provinsi di Indonesia. Sejatinya, apabila Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara serempak dalam waktu yang bersamaan sebagaimana secara implisit terkandung dalam Pasal 22E ayat 2 juncto Pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945, maka mutatis mutandis ketentuan “PT” dalam Pasal 9 UU 422008 kehilangan relevansinya. Dengan demikian, Pasal 3 ayat 5 dan Pasal 9 UU 422008 bertentangan dengan sumber legitimasinya, yaitu Pasal 6A ayat 2 juncto Pasal 22E ayat 2 UUD NRI 1945, sehingga sudah selayaknya apabila Mahkamah menyatakan Pasal-Pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terakhir, pengajuan ppengujian terhadap uu 42 tahun 2008 setelah adanya Putusan Mahkamah konstitusi bernomor 14PUU-XI2013 yang menyatakan bahwa pemilu dilakukan serentak dimohonkan olehh Yusril Ihza Mahendra. Beliau Mengajukan gugatan terhadap norma Pasala 3 ayat 4, Pasal 9, Pasal 14 ayat2 dan Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres terhadap Pasal 4 ayat 1, Pasal 6A ayat 2, Pasal 7C, Pasal 22E ayat 1,2,dan 3 UUD NRI 1945. 102 Yusril berpendapat pemilu hanya dilakukan sekali dalam lima tahun, sehinga terpisah antara pemilihan anggota legislatif Pileg dan Pilpres. Sehingga calon setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan 102 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108PUU-XI2013, hlm.1-2 81 Pileg, selain itu, Yusril berpendapat Pilpres yang diselenggarakan setelah Pileg. Selain itu, Yusril berpendapat Pilpres yang diselenggarakan setelah Pileg. Hanya ada dalam sistem parlementer bukan Republik. Selanjutnya beliau menjelaskan dengan adanya pemilu serentak maka adanya Pasal 9 UU Pilpres soal ambang batas presiden PT secara tidak langsung tidak berlaku. Namun Mahkamah Konstitusi MK menolak gugatan Undang-Undang No.42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra dalam Putusan MK Nomor 108PUU-XI2013. Didalam pertimbangannya Mahkamah menimbang Pasal 9 UU 422008 menyatakan ,” Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 dua puluh persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 dua puluh lima persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Menurut Mahkmah, Putusan Mahkamah Konstititusi Nomor 14PUU-XI2013, bertanggal 23 Januari 2014 maupun Putusan Mahkamah Nomor 51-52-59PUU-VI2008, bertanggal 18 Februari 2009 telah menyebutkan secara tegas bahwa ketentuan a quo merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-undang. Adapun dalil- dalil Pemohon yang selebihnya terkait dengan Pasal 9 UU 422008 tidak relevan untuk dipertimbangkan. Dalam Amar Putusannya Menyatakan: 103 1. Permohonan Pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat1 dan Pasal 7 C, dikaitkan dengan Pasal 22 E ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 dan penafsiran Pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima: 2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. Berdasarkan putusan-putusan diatas tersebut penulis ingin memberikan beberapa analisis, pertama, Kedudukan UU No. 42 Tahun 2008 dalam tata peraturan perundang-undangan Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 6A 103 Ibid, hlm.33 82 ayat 5 UUD NRI 1945sebagai norma superior 104 Jimly Asshiddiqie memaparkan hal tersebut sebagai delegated legislation yang menimbulkan proses penyerahan kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan power of rule making 105 Apabila merujuk ketentuan Pasal 10 ayat 1 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan yang harus diatur dengan undang undang adalah berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI 1945. Oleh karena itu. DPR-RI memegang kekuasaan untuk menentukan substansi hukum perihal mekanisme Pilpres dalam undang-undang, termasuk setiap syarat-syarat kontestasinya sepanjang konstitusional. Adapun secara teoritis Hans Kelsen memaparkan perihal mekanisme derogasi dalam menyelesaikan permasalahan norma yang saling bertentangan. Derogasi dilakukan apabila terdapat norma-norma yang saling berkonflik antara yang satu dengan yang lainnya, dimana konflik tersebut terjadi jika dalam menerapkan norma yang satu, maka norma yang lainnya terlanggar 106 Dalam hal ini UUD NRI 1945 tidak mengatur secara detil perihal persyaratan persentase syarat pencalonan, namun UU organis yang mengatur lebih lanjut mengatur syarat kontestasi tambahan tersebut yang mengikat setiap partai politik atau gabungan partai politik. Kelsen berpendapat bahwa norma yang mengalami konflik membutuhkan proses derogasi yang didasarkan pada tindakan kemauan dari pihak yang mempunyai otoritas hukum 107 Adapun pihak yang yang mempunyai kapasitas hukum disini adalah DPR sebagai lembaga yang menerima penyerahaan kekuasaan untuk mengatur substansi undang-undang pemilu lebih lanjut sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 95. Selain itu Mahkamah Konstitusi sebagai pihak yang memegang 104 Pasal 6A ayat 5 UUD NRI 1945 mengatur bahwa “tata cara pelaksanaan Pilpres lebih lanjut diatur dalam undang- undang.” 105 Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hlm. 264. 106 Hans Kelsen, Hukum dan Logika Teks asli “Hans Kelsen Essays in Legal and Moral Philosophy ” terjemahan B Arief Sidharta, PT. Alumni, Bandung, , 2011,hlm 114. 107 ibid, hlm. 118. 83 kekuasaan untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 juga telah menegaskan konstitusionalitasnya. sehingga memperlihatkan adanya kesepahaman dari pihak-pihak yang mempunyai otoritas hukum. Pada dasarnya UUD NRI 1945 memang tidak bermaksud untuk menjadi suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat kaku. Penjelasan UUD NRI 1945 angka IV pada hakikatnya menggambarkan politik hukum dari the founding fathers yang menginginkan UUD NRI 1945 tidak menjadi penghalang bagi perkembangan dan dinamika kebutuhan hukum masyarakat dengan secara gegabah memberikan bentuk yang pasti atas pengaturannya. Pada hakikatnya setiap konstitusi yang berlaku di setiap negara hanya menentukan syarat kontenstasi Pilpres secara sumir tanpa disertai adanya persentase yang ditegaskan secara formal. sehingga diharapkan dapat mengikuti setiap perkembangan dan kebutuhan yang ada. Apabila menilik lebih dalam. bahwa secara filosofis UUD NRI 1945 menanamkan hal yang paling penting dalam pemerintahan adalah kesatuan semangat dari penyelenggara negaranya 108 Suatu aturan hukum dibentuk umumnya memiliki dasar teleologis sebagai tujuan atau maksud dari suatu peraturan perundang-undangan dibentuk. 109 Paradigma penyelenggaraan negara di era reformasi berusaha mengharmoniskan bagaimana kekuasaan legislatif dan eksekutif dapat berjalan dengan efektif. Setidaknya hal tersebut terlihat dalam Penjelasan Umum tiga undang-undang politik Indonesia UU No. 42 Tahun 2008. UU No. 8 Tahun 2012. dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Partai Politik dimana secara teleologis keseluruhannya merasionalisasikan semangat untuk menciptakan sistem Presidensial yang efektif dengan memperoleh basis dukungan yang mumpuni pada lembaga legislatif dalam rangka check and balances Kedua, Putusan MK itu menunjukkan telah terjadi inkonsistensi dengan Putusan No. 56 PUU-VI2008 dan Putusan No. 3PUU-VII2009 dalam constitutional interpretation yang menekankan pada tafsir tekstual dan original 108 Dahlan Thaib et.al, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm.135 109 Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. RajaGrafindo Persada Jakarta, 2008, hlm. 163 – 166 84 intent. Atas dasar itu, seyogyanya MK menyatakan bahwa PT bersifat inkonstitusional karena berdasarkan penafsiran tekstual, penafsiran sistematik, original intent atas Pasal 6A ayat 2, Pasal 22E ayat 2, dan Pasal 22E ayat 6 yang menjadi sumber legitimasi Pasal 9 UU Pilpres kehilangan relevansinya sehingga ketentuan PT bertentangan dengan sumbernya. Selain itu, PT akan mengakibatkan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya terganjal dan didistorsi oleh UU Pilpres, karenanya Pilpres harus dikembalikan ke konstitusi. Konstitusi mengatur partai politik atau gabungan peserta pemilu dapat mengajukan calon, sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat 2 UUD N RI Tahun 1945. Pasal 6A ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 mengandung makna bahwa persyaratan yang berlaku bagi capres dan wapres adalah 1 capres dan wapres diajukan oleh partai politik baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam gabungankoalisi partai politik; 2 semua partai politik dapat mengajukan pasangan capres dan wapres sepanjang memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu; dan 3 tidak ada penambahan syarat lain berupa threshold berapa pun besarnya. Pasal ini telah jelas maksudnya dan tidak memberi peluang bagi pembentuk undang-undang untuk membuat legal policy dengan menentukan PT sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Pilpres. Apabila pengaturan tersebut merujuk pada Pasal 6A ayat 5 juncto Pasal 22E ayat 6 UUD N RI Tahun 1945 dan sebagai manifestasi mandat UUD N RI Tahun 1945 kepada pembentuk undang-undang menentukan PT tidaklah tepat karena kedua Pasal itu tidak mengatur mengenai persyaratan. Persyaratan pemilu ditentukan berdasarkan Pasal 6 ayat 2 UUD N RI Tahun 1945, namun dalam menentukan syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden harus memperhatikan amanat konstitusi lainnya yang berkaitan dengan pemilu presiden dan wakil presiden. Konstitusi juga telah menentukan kualifikasi terbaik untuk pencalonan presiden dan wakil presiden yang dipilih, sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945. Menurut konstitusi, seorang calon presiden dan calon wakil presiden yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dan harus tersebar pada 20 persen suara di setiap provinsi lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dapat langsung dianggap memenuhi syarat pemenang pemilu. Semua partai politik 85 memiliki hak mencalonkan presiden dan wakil presiden jika melaksanakan ketentuan tersebut, namun jika tetap diberlakukan PT berarti melanggar konstitusi dan mengingkari semangat yang terkandung dalam Pasal 6A ayat 2 dan ayat 3 UUD NRI Tahun 1945, serta mencederai prinsip civil right dalam sistem demokrasi karena konstitusi tidak mengamanatkan penetapan threshold dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Atas dasar itu, maka DPR-RI dan Presiden selaku pembentuk undang- undang, seharusnya tidak menambahkan persyaratan lain termasuk syarat threshold bagi partai politik yang dinyatakan memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilu. UUD N RI Tahun 1945 sebagai basic law hanya memberikan ruang kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai: 1 syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden Pasal 6 ayat 2 UUD N RI Tahun 1945 dan 2 tata cara pelaksanaan Pilpres Pasal 6A ayat 5 UUD N RI Tahun 1945. Ketiga, Implikasi Putusan MK No. 14PUU-XI2013 terhadap Pelaksanaan Pemilu tahun 2014 dan tahun 2019. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihakyang secara langsung berpekara, tetapi juga secara keseluruhan terhadap warganegara yang tunduk terhadap konstitusi. Sebab, sifat norma undang-undang yangdiuji dan norma yang dijadikan dasar pengujian adalah norma yang bersifat umumabstract and impersonal. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi, sudahsemestinya mengikat terhadap seluruh warga Negara Indonesia sejak putusan itudikeluarkan.Sebagai negative legislature, putusan Mahkamah Konstitusi tentunyamemiliki implikasi hukum karena mempengaruhi apa yang menjadi hukum danapa yang tidak menjadi hukum. Meskipun disisi lain sudah berkembang putusanyang bersifat positive legislature. Dalam hal ini Putusan Nomor 14PUU-XI2013termasuk putusan yang bersifat negative legislature, yang menjadi inti putusan adalah bahwa beberapa Pasal yang mengatur tentang pelaksanaan Pilpres dan Pileg yang dimohonkan oleh Pemohon bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Pelaksanaan Pilpres dan Pileg dilaksanakan serempak atau bersamaan; dan pemberlakuan Pemilu serempak tersebut mulai dilaksanakan pada Pemilu 2019 dan Pemilu seterusnya. 86 Keempat, Seharusnya dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14PUU-XI2013 pemilu yang dilakukan secara serentak maka ambang batas syarat mencalonkan Presiden atau presidentialtreshold tidak diperlukan karena pemilu DPR, DPRD, DPD telah dilakukan secara bersama dengan pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Jadi pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat menggunakan prosentase dari pemilu DPR, DPRD, DPD. Namun, Hal ini masih merupakan kewenangan terbuka yang ditentukan Legal Policy oleh pembentuk Undang-Undang. 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN