Legalitas Poligami Izin poligami dengan alasan hak legalatis anak berupa akte kelahiran (studi kasus terhadap putusan pengadilan agama Jakarta Timur Nomor : 171 Pdt.G/2012 PAJT
Islam adalah monogami, yakni perkawinan antara satu laki-laki dengan satu perempuan, tanpa perceraian.
13
Sebagaimana yang penulis kutip dari penjelasan yang disampaikan oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya yang
mengambil pendapat dalam penafsiran Asghar, sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Quran begitu berat untuk menerima institusi poligami,
tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada maka Al-Quran membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus
adil. Dengan mengutip al-Thabari, menurut Asghar, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil
terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.
14
Berbeda dalam pandangan fikih, poligami yang di dalam kitab-kitab fikih disebut dengan
Ta’addud al-Zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat
tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bergmacam-macam. As-Sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan
mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. As-
Syafi’i juga
13
Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of Islam, Terj., Nur Rachman, Syari’ah
Demokratik, Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996, h.204.
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004, h.158.
mensyaratkan keadilan di antara para istri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyakut urusan materi atau unsur fisik saja semisal mengunjungi istri di
malam atau di siang hari.
15
Jika disederhanakan, pandangan normatif Al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan
yang harus dimiliki oleh suami. Pertama, seorang laki-laki yang berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai
keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang laki-laki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus
diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.
16
Salah satu yang menjadi problematika sejak dahulu sampai sekarang yang tetap menjadi perdebatan hangat di kalangan ahli hukum Islam adalah
status poligami. Mayoritas ilmuan klasik dan pertengahan berpendapat bahwa poligami adalah boleh secara mutlak. Sementara mayoritas pemikir
kontemporer dan perundang-undangan muslim modern membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi tertentu yang sangat
terbatas. Lebih dari itu ada pemikir dan UU perkawinan Muslim yang mengharamkan poligami secara mutlak.
17
15
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia …, h. 158.
16
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia …, h. 159.
17
Akhmad Haries, Poligami dalam perspektif Asghar Ali Engineer dan relevansinya dengan konteks Indonesia, Jurnal Mazahib, vol. IV, No. 2, Desember 2007, h.1.
Dengan ungkapan lain, ada tiga 3 pandangan tentang poligami ini, yakni: Pertama, mereka yang membolehkan poligami secara mutlak, di
antaranya mayoritas ulama klasik dan pertengahan, dengan syarat; mampu mencukupi nafkah keluarga, dan mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya,
di antaranya dari mazhab Hanafi seperti al- Sarakhsi, al-Kasani, Imam Malik dan Imam al-
Syafi’i. Kedua, mereka yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi-kondisi tertentu; Di antara tokoh yang masuk
kelompok ini adalah Quraisy Shihab, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan lain-lain. Dan ketiga, mereka yang melarang poligami secara mutlak, di
antaranya al-Haddad dan Druze Lebanon.
18
Sementara alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada
delapan keadaan. Pertama, istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan. Kedua, istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis
tidak dapat melahirkan. Ketiga, istri sakit ingatan. Keempat, istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai istri. Kelima, istri
memiliki sifat buruk. Keenam, istri minggat dari rumah. Ketujuh, ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya. Kedelapan,
18
Khoiruddin Nasution, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002, h.59-78.
kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak menimbulkan kemudharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.
19
Al-Athar dalam bukunya Ta’ddud al-Zaujat sebagaimana yang telah
dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Hukum Perdata Islam di Indoneisia menyebutkan ada empat dampak negatif
poligami yaitu: Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan diantara para istri. Kedua, menibulkan rasa kekhawatiaran istri kalau-kalau suami tidak
bisa bersikap bijaksana dan adil. Ketiga, anak-anak yang dilahirkan dari ibu- ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan
dan saling cemburu. Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi.
20
Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau
kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam
menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda madunya istri tua menjadi tegang, sementara anak-anak yang berlainan ibu
menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi ketika ayahnya telah meniggal dunia, agar hal-hal yang
bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang beristri
19
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT rineka cipta, 1992, h.46- 47.
20
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia …, h.161.
lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu,
21
dengan mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang dengan alasan-alasan dan
syarat-syarat tertentu. Undang-undang perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu betul-betul membawa manfaat
kepada mereka yang melaksanakannya.
22
Islam memiliki sistem-sistem perkawinan yang sempurna yang mempertimbangkan semua variable manusiawi dan memberikan jalan keluar
yang jelas bagi kaum pria maupun wanita. Pengingkaran terhadap validitas dan legalitas poligami sama saja dengan meningkari ketuntasan sistem
perkawinan Islam dan kebijakan ketetapan tuhan.
23
2. Regulasi pelaksanaan poligami yang berlaku dalam perspektif hukum positif
di Indonesia adalah: Asas perkawinan di Indonesia seperti yang tercantum dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 adalah monogami. Poligami merupakan
21
Sebagaimana yang penulis kutip dari bukunya amir syarifuddin, hukum perkawinan Islam Indonesia antara fikih munakahat dan undang-undang perkawinan menyebutkan, asas dan prinsip
perkawinan itu dalam bahasa sederhananya adalah sebagai berikut: satu, asas sukarela. Dua, partisipasi keluarga. Tiga, perceraian dipersulit. Empat, poligami dibatasi secara ketat. Lima, kematangan calon
mempelai. Enam, memperbaiki derajat kaum wanita.
22
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 10 -11.
23
Abu Aminan Bilal Philips, Monogami Dan Poligini Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, h.8.
pengecualian dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan dalam perundang-undangan.
Perkawinan di Indonesia termasuk di dalamnya aturan poligami diatur sedemikian rupa yang terhimpun dalam beberapa peraturan perundang-
undangan di antaranya adalah: Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana Udang-
undang No. 1 Tahun 1974, PP No. 10 Tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990 dan Kompilasi Hukum Islam.
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam UU No. 1 Tahun 1974, masalah poligami diatur pada pasal 3, 4, dan 5.
Pasal 3 berbunyi :
24
1 Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami. 2 Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihakyang bersangkutan.
Dari penjelasan pasal 3 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria
24
Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 3 ayat 1 dan 2.
hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Namun dalam pasal 3 ayat 2 dijelaskan tentang pengecualian dari pasal 3 ayat 1 yakni: pengadilan dapat memberi izin kepada seorang
suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang berasangkutan.
Dari paparan di atas, ternyata poligami di Indonesia tidak boleh dilakukan secara liar atau illegal. Institusi peradilanlah satu-satunya
lembaga yang memiliki otoritas memberikan dispensasi untuk poligami. Adapun persyaratan yang harus dilengkapi oleh orang yang mengajukan
dispensasi poligami adalah cukup alasan. Alasan tersebut seperti yang tercantum dalam pasal 4 ayat 1 dan 2 yaitu:
25
1 Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang ini,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
2 Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
25
Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 4 ayat 1 dan 2.
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. c.
isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Dengan demikian, seseorang yang ingin melaksanakan hajatnya
untuk berpoligami harus mengajukan alasan-alasan yang sudah ditentukan dalam peraturan yang tertera dalam pasal 4 ayat 2 dalam pasal 5 ayat 1
dan 2 diperjelas lagi:
26
1 Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 undang-undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a.
adanya persetujuan dari isteriister-isteri b.
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
c. adanya jaminan bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. 2 Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteriisteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama
26
Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2.
sekurang-kurangnya 2 dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksana
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Untuk kelancaran pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang mengatur ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dan dalam hal suami
yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Agama, kemudian di
Pengadilan Agama akan memberikan keputusan apakah permohonan tersebut diluluskan atau ditolak.
Dalam PP No. 9 Tahun 1975 mengatur lebih terperinci tentang Pelaksanaan poligami Atas Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 tentang Pelaksanaan beristri lebih dari seorang. Yaitu : Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin
lagi, ialah :
1 bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
2 bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; 3
bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan. b.
ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. c.
ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
1 surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-
tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau 2
surat keterangan pajak penghasilan; atau 3
surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan; d.
ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Pasal 42
1 Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan
41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
2 Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-
lambatnya 30 tiga puluh hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43 Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Pasal 44 Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud
dalam Pasal 43. 3.
PP No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami, dimana seorang pria hanya
mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Namun dalam keadaan tertentu dan dengan putusan pengadilan
maka seorang PNS pria bisa memiliki istri lebih dari seorang poligami. Tujuan dibuatnya PP No. 10 Tahun 1983 ini adalah dinyatakan dalam
konsideran pertimbangan poin b yakni bahwa pegawai negeri sipil wajib
memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam
menyelenggarakan kehidupan berkeluarga.
27
Perizinan poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 sesuatu hal yang sangt sulit dilakukan. Peraturan disebutkan dalam pasal 4 yaitu:
Pasal 4 1 Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. 2 Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri
kedua ketigakeempat dari Pegawai Negeri Sipil. 3 Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri
keduaketigakeempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
4 Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 3 diajukan secara tertulis.
5 Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 4, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan
izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua ketigakeempat.
27
Lihat consideran pertimbangan poin b Peraturan pemerintah No 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
PNS pria yang ingin berpoligami wajib mengajukan izin secara tertulis terlebih dahulu dari pejabat dengan disertai alasan-alasan yang
mendasari keinginannya tersebut. Izin tersebut hanya dapat diberikan jika memenuhi sekurang-kurangnya satu syarat alternatif dan semua syarat
kumulatif.
28
Adapun syarat alternatif sebagaimana dimaksud adalah :
29
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, atau c.
isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Adapun syarat kumulatif yang harus dipenuhi adalah :
30
a.
ada persetujuan tertulis dari isteri
b.
PNS yang bersangkutan mempunyai menghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan
dengan surat keterangan pajak penghasilan
c.
ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
28
Lihat Pasal 10 PP 10 Tahun 1983
29
Lihat Pasal 10 Ayat 2 PP 10 Tahun 1983
30
Pasal 10 Ayat 3 PP 10 Tahun 1983
Pejabat yang menerima permintaan izin untuk berpoligami wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam
surat permintaan izin dan dari atasan PNS yang bersangkutan. Apabila ada alasan yang dirasa kurang meyakinkan maka pejabat tersebut dapat
meminta keterangan tambahan dari isteri atau pihak lain yang dianggap perlu. Sebelum mengambil keputusan, maka pejabat memanggil PNS yang
bersangkutan, baik sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberikan nasehat.
Seorang pejabat juga dapat menolak permintaan izin untuk berpoligami jika :
31
a.
Bertentangan dengan ajaranperaturan agama yang dianut oleh PNS yang mengajukan izin
b.
Tidak memenuhi salah satu syarat alternatif dan semua syarat kumulatif
c.
Bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku
d.
Alasan yang dikemukakan untuk beristri lebih dari seorang bertentangan dengan akal sehat danatau
e.
Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung dari PNS yang
bersangkutan.
31
Pasal 10 Ayat 4 PP 10 Tahun 1983.
4. PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintahan
Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil merupakan unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi
masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku,
termasuk menyelenggarakan
kehidupan keluarga. PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Dalam pasal
4 ayat 2 PP No. 10 Tahun 1983 menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil wanita di izinkan untuk menjadi istri kedua, ketiga ataupun keempat dari
bukan Pegawai Negeri Sipil, kemudian PP tersebut direvisi oleh PP No. 45 Tahun 1990 dengan tidak memperbolehkan sama sekali PNS wanita
untuk menjadi istri kedua, ketiga ataupun keempat baik oleh Pria PNS maupun bukan PNS.
32
5. Kompilasi Hukum Islam
Yang melatarbelakangi Kompilasi Hukum Islam adalah keinginan untuk mengadakan kodifikasi dan unfikasi hukum Islam di Indonesia,
minimal hukum Islam yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama, karena tanpa adanya hal itu, dikhawatirkan akan muncul
32
Lihat pasal 4 Ayat 2 PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Izin Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil.
ketidakpastian hukum
di lingkungan
Peradilan Agama
yakni permasalahan yang sama, diajukan oleh orang yang berbeda menghasilkan
hukum yang berbeda pula. Kompilasi ini dikukuhkan dengan Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991. Di dalamnya menyangkut tiga pokok
permasalahan yang terbagi menjadi tiga buku. Buku I Berisi Hukum Perkawinan, Buku II Berisi Hukum Kewarisan, Buku III Berisi Hukum
Wakaf.
33
Dalam menjabarkan masalah poligami, KHI lebih cenderung sebagai tafsir dan bayan bagi Undang-undang No 1 Tahun 1974, yakni poligami
sebagai dispensasi dari monogami dengan beberapa persyaratan. Permasalahan poligami tercantum dalam Bab IX dari pasal 55 sampai
dengan pasal 59.
34
Dalam Inpres No. 11991, masalah poligami diatur pada pasal 55, 56, 57, 58, dan 59.
Pasal 55 berbunyi : 1 Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang isteri. 2 Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
33
Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu Gender Dalam Islam, Jakarta: Pusat Studi Wanita PSW UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002, h. 58-59.
34
Badriyah Fayumi, Euis Amalia, yayan sopyan, …, h.59.
3 Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56 berbunyi : 1 Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama. 2 Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut
tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. Tahun 1975.
3 Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 berbunyi : Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 58 berbunyi :
1 Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat 2 maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan pada pasal 5 Undangundang No. 1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya persetujuan isteri b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka. 2 Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekali pun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
3 Persetujuan dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya
2 dua tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59 berbunyi : Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat 2 dan 57, Pengadilan Agama dapat
menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan.