Pencabutan gugatan oleh ibu terhadap auah dari kewajiban menafkahkan anak pasca perceraian: studi terhadap putusan pengadilan agama Jakarta Pusat No.:608/Pdt.G/2007/PA..JP

(1)

(Studi terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP)

Oleh : SITI PUJIATI NIM : 104044201490

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KEWAJIBAN MENAFKAHI ANAK PASCA PERCERAIAN (ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT NO: 608//Pdt.G/2007/PA.JP) telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 September 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah.

Jakarta, 17 September 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA (...)

NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris: Kamarusdiana, S.Ag., M.H (...)

NIP. 197202241998031003

3. Pembimbing I: Dr. Hj. Mesraini, M.Ag (...) NIP.150 326 895

4. Pembimbing II: Dra. Hj. Halimah Ismail (...) NIP.150 075 192

5. Penguji I: Dr. Afifi Fauzi Abbas, MA (...)

NIP. 195609061982031004

6. Penguji II: Kamarusdiana, S.Ag., M.H (...)


(3)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

SITI PUJIATI

NIM: 104044201490

Di bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hj. Mesraini, M.Ag Dra. Hj. Halimah Ismail NIP.150 326 895 NIP.150 075 192

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, September 2009


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis sampaikan kepada Allah SWT atas kehendak dan kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa pula penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dalam setiap aktivitas kehidupan beserta keluarga dan para sahabatnya.

Alhamdulillah atas rahmat Allah SWT, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu do'a dan memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Dengan rasa syukur, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Ketua Program Studi, Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., dan Sekretaris Program Studi Bapak Kamarusdiana S.Ag, MH. yang selalu memberikan dorongan semangat dan dukungan kepada penulis.

3. Ibu Dra. Hj. Halimah Ismail dan Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan waktu luang, tenaga serta pikiran untuk memberikan ilmu, pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.


(6)

4. Bapak Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA dan Bapak Kamarusdiana S.Ag, MH, dosen penguji skripsi yang telah menguji penulis dalam sidang munaqasah dan dengan tulus memberi bimbingan kepada penulis dalam merevisi skripsi ini.

5. Seluruh dosen yang telah membimbing dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga penulis dapat mengamalkan ilmu yang telah bapak dan ibu berikan.

6. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat beserta staf dan jajarannya yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.

7. Pimpinan beserta staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan perpustakaan utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam memenuhi studi pustaka.

8. Ayahanda dan Ibunda tercinta, H. Muhammad Muin dan Alm. Siti Rofiatun atas segala pengorbanan, jerih payah dan cinta kasihnya baik berupa moril maupun materil, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi penulis.

9. Keluarga besar penulis, kakak-kakakku mba Siti Marfi’ah, mba Siti

Chalimah, mba Siti Murtiningsih S.E., mba Siti Suhartini, mas Serka. Bambang Eddi Gufron, mas Edy Slamet Hariyanto. Kakak-kakak


(7)

iii

iparku Bang H. Jaelani, mas Paino, mas Edi Nursantoso S.E., mas Yoga sudarmadji, Teteh Dian Sundawati, terima kasih atas dukungan kalian semua baik moril maupun materil. Serta keponakan-keponakanku yang selalu memberikan canda tawa di hari-hariku.

10.Sahabat-sahabatku beserta keluarganya: Kesy, Kak Muslim IKALUIN, Hj. Hanna, Bouw, Riana, Restifa, Ade Puspita, Riska, Rieda, Dyah, Senja, Iis, Febri, Aprilia, Eka C.N., Novia, Dede syahri, Masdar dan seluruh rekan-rekan seperjuangan jurusan Administrasi Keperdataan Islam (AKI) atas persahabatan, perhatian, canda tawa, kekompakan dan dukungan kalian baik dalam suka maupun duka, bersama kalian hidup jadi semakin berwarna.

11.IKALUIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Keputrian Remaja Masjid Darunni'mah (RISDA) Jaksel, Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terutama seluruh angkatan Nobile, Ikatan Alumni SMU Darul Ma'arif Jakarta Selatan 2004. Serta semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan khazanah keilmuan yang ada khususnya dalam bidang perdata Islam.

Jakarta, 27 Agustus 2009 M Penulis


(8)

Kata Pengantar ……….…….………... i

Daftar Isi ……….……..…… iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 7

D. Metode Penelitian ………... 7

E. Review Studi Terdahulu ... 9

F. Sistematika Penulisan ………... 12

BAB II PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT NO:608/Pdt.G/2007/PA.JP A. Duduk Perkara ... 13

B. Temuan Fakta di Persidangan ... 17

C. Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim ... 18

D. Putusan Hakim ... 23

BAB III ANALISIS TERHADAP PENCABUTAN GUGATAN OLEH IBU TERHADAP AYAH DARI KEWAJIBAN MENAFKAHI ANAK PASCA PERCERAIAN (PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP ) A. Analisis Duduk Perkara ... 25


(9)

iv

D. Analisis Terhadap Pencabutan Gugatan Oleh Ibu Terhadap Ayah Dari Kewajiban Menafkahi Anak Pasca Perceraian (Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP)... 49 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ………...………..……… 54 B. Saran ………...………..………….. 55 DAFTAR PUSTAKA ... 56 LAMPIRAN


(10)

A. Latar Belakang Masalah

Allah Swt telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Hidup berpasang-pasangan, berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia. Allah Swt menciptakan manusia berpasang-pasangan dan menjadi berkembang biak yang berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur'an surat al-Nisa (4) ayat 1 :

)

ءﺎﺴﻨﻟا

/

٤

:

١

(

Artinya:

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan namanya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”. (Q.S. Al-Nisa/4:1)


(11)

Perkawinan pada manusia diatur oleh syariat agama. Perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah.1 Di atas pundak suami terletak kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. “Yang dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain-lain”.2

Nafkah merupakan hak istri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan, pakaian, dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan, bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang kaya.3 Kewajiban menafkahi itu tetap berlaku sekalipun si istri adalah seorang perempuan konglomerat atau punya penghasilan sendiri. Nafkah suami terhadap istri bukan hanya dibatasi pada tiga bidang; pangan, sandang dan papan saja, tetapi juga meliputi biaya-biaya pengobatan dan kebutuhan pokok lainnya.4

Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XII Pasal 80 Tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Bagian Ketiga Kewajiban Suami, dijelaskan:

“(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;

1

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, (Jakarta: Lentera, 1999), Cet. 4, h. 400.

2

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. 5, h. 383.

3

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Terjemah (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), Cet. 2, jilid ke-9, h. 28.

4

Mesraini dan A. Sutarmadi, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga (Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 55-56.


(12)

c. Biaya pendidikan bagi anak.” 5

Melalui ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa keperluan rumah tangga yang harus ditanggung suami mencakup nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak serta biaya pendidikan bagi anak.

Nilai perkawinan dalam Islam merupakan ibadah dan mitsaqan ghalidz (perjanjian suci). Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suatu perkawinan seharusnya berlangsung abadi. Akan tetapi, dalam perkembangannya, tidak dapat dipungkiri bahwa sering antara para pihak yang terikat dalam perkawinan sudah tidak lagi ada kecocokan di antara mereka, yang memicu pertengkaran dan konflik terus-menerus hingga tidak dapat didamaikan lagi.

Dalam kondisi tersebut, perkawinan telah kehilangan maknanya. Namun, suami-istri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil keputusan bercerai, tetapi jika mereka sudah tidak dapat mempertahankan mahligai perkawinannya lagi, maka perceraian adalah jalan keluar terakhir yang dapat ditempuh.

Dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan bahwa:

5

Departemen Agama R.I., Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama R.I., 2004), h. 158.


(13)

"perkawinan dapat putus karena: a. kematian,

b. perceraian, dan

c. atas keputusan pengadilan".

Perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan kewajiban sebagai suami dan istri.

Setelah perkawinan tersebut putus atau terjadinya perceraian, maka tidak serta merta urusannya selesai begitu saja, akan tetapi terdapat akibat-akibat hukum yang perlu diselesaikan oleh pihak-pihak yang bercerai, diantaranya adalah nafkah anak pasca perceraian.

Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XIV tentang pemeliharaan anak pasal 105 poin c disebutkan bahwa: dalam hal terjadi perceraian:

“a. ..., b. ...,

c. biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya”.

Serta KHI pasal 149 juga menegaskan:

“Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. ...,

b. ..., c. ...,

d. memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun”.

Ditegaskan pula dalam KHI bab XVII pasal 156 poin d:

“Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)”.


(14)

Selanjutnya, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41 menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan di antaranya adalah Sub b:

“bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”.

Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara.6 Dalam bidang hukum acara di pengadilan agama, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum acara yang bersumberkan dari syariat Islam. Hal ini disamping untuk mengisi kekosongan-kekosongan dalam hukum acara juga agar putusan yang dihasilkan telah mendekati kebenaran dan keadilan yang diridhoi Allah swt, karena diproses dengan acara yang diridhoi pula.7

Dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP., penggugat mencabut tuntutan mengenai nafkah anak pasca perceraian dari gugatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi penulis mengapa penggugat melakukan pencabutan tuntutan tersebut dari gugatan dan

6

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, h. 809

7


(15)

apakah pertimbangan hukum hakim dan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam memutuskan perkara No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP telah sejalan dan tepat dengan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis sangat tertarik untuk menelitinya dalam bentuk skripsi dengan judul: “PENCABUTAN GUGATAN OLEH IBU TERHADAP AYAH DARI KEWAJIBAN MENAFKAHI ANAK PASCA PERCERAIAN (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian penulis dalam latar belakang masalah, agar dalam pembahasan skripsi ini tidak melebar dan keluar dari pokok pembahasan maka penulis membatasi masalah pencabutan gugatan oleh ibu terhadap ayah dari kewajiban menafkahi anak pasca perceraian studi terhadap kasus di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan merujuk dan mengkaji putusan No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP. Dengan demikian, penulis mengambil judul tentang Pencabutan Gugatan oleh Ibu Terhadap Ayah dari Kewajiban Menafkahi Anak Pasca Perceraian (Analisis Putusan No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP).

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengapa tuntutan nafkah anak dicabut oleh penggugat ?

2. Apakah pertimbangan hukum hakim dan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam memutuskan perkara No:


(16)

608/Pdt.G/2007/PA.JP telah sejalan dan tepat dengan perundang-undangan yang berlaku ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian:

a. Untuk mengetahui penyebab pencabutan tuntutan nafkah anak dari gugatan penggugat.

b. Untuk mengetahui apakah pertimbangan hukum hakim dan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam memutuskan perkara No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP telah sejalan dan tepat dengan perundang-undangan yang berlaku.

2. Manfaat Penelitian:

a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahuan ilmiah di bidang hukum perdata yang berwawasan ke-Islam-an.

b. Dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat luas, khususnya mengenai pengetahuan tentang kewajiban menafkahi anak pasca perceraian.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat normatif dan empiris, penelitian normatif yaitu dengan mempelajari data berupa buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembahasan masalah. Penelitian empiris yang diperoleh dari hasil lapangan.


(17)

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer

"Data primer adalah data yang diambil langsung, tanpa perantara, dari sumbernya",8 dalam hal ini data yang akan diperoleh berasal dari putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP.

b. Data Sekunder

"Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung dari sumbernya",9 yakni data yang memberikan penjelasan mengenai data primer yang didapat dari para informan yang terdiri dari hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, panitera dan lainnya yang mengetahui permasalahan ini. Dokumen-dokumen seperti Al-Qur’an, Hadist, buku-buku ilmiah, Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan literatur-literatur yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Studi Dokumenter

8

Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian (Jakarta: STIA-LAN Press, 2000), cet. Pertama, h. 86.

9


(18)

Studi dokumentasi perkara terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor: 608/Pdt.G/2007/PA.JP. Penulis juga melakukan pengumpulan data dengan cara menelusuri buku-buku dan literatur yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

2. Wawancara (Interview)

Wawancara yaitu peneliti memperoleh data dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan kepada narasumber. Tanya jawab dilakukan secara tatap muka langsung dengan pihak terkait seperti hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, panitera dan lainnya yang mengetahui permasalahan ini.

4. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, diterapkan analisa secara kualitatif. Jadi, dengan teknik ini penulis berusaha menganalisis dengan cara mengkualifikasikan data-data yang telah diperoleh, menguraikan dan mendeskripsikan putusan perkara, kemudian penulis melakukan interpretasi hingga menghasilkan kesimpulan.

Mengenai teknik penulisan, penelitian skripsi ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

E. Review Studi Terdahulu

Dalam penelusuran pustaka yang penulis lakukan, penulis menemukan adanya kajian yang secara umum membahas tema nafkah anak yaitu:


(19)

1. Skripsi dari Juju Sunariah tahun 2004 yang berjudul “Cerai Talak dan Implikasinya terhadap Nafkah Anak dan Istri: Studi Kasus di Kecamatan Picung Kabupaten Pandeglang Banten”, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Faktor-faktor yang menyebabkan suami tidak memberi nafkah (nafkah iddah) pada bekas istrinya dan tidak membayar biaya hadanah anak-anaknya yang ada di masyarakat kecamatan Picung adalah karena minimnya pemahaman masyarakat terhadap akibat hukum yang harus dilaksanakan akibat cerai talak. Hal ini disebabkan karena latar belakang pendidikan yang lemah, hampir berkisar 50%. Kurang adanya penyuluhan mengenai menajemen keluarga dari instansi terkait sebagai bekal ilmu keluarga, faktor ini sekitar 20%. Serta latar belakang ekonomi lemah yaitu sekitar 30%.

Skripsi ini menggunakan metode kualitatif, studi kepustakaan dan lapangan. Wawancara langsung sebagai data primer, dan angket (random sampling).

2. Skripsi yang ditulis oleh Masripattunnisa tahun 2004 dengan judul: “Pelaksanaan Putusan Perceraian dan Pengaruhnya Terhadap Nafkah Iddah dan Biaya Anak: Studi Kasus di Kecamatan Gunung Putri Bogor, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Proses perceraian mereka diputuskan dalam sidang keluarga dan itu pun dilalui dengan sangat mudah. Nafkah, baik itu nafkah iddah atau nafkah untuk biaya perawatan atau pengasuhan anak-anak, kebanyakan dari para mantan suami tidak pernah memberi atau membayar nafkah iddah pada mantan


(20)

istrinya juga para mantan suami tidak pernah memberikan biaya untuk perawatan atau pengasuhan anak secara rutin.

Skripsi ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, penelitian kepustakaan dan lapangan.

3. Skripsi yang ditulis oleh Cici Indriani tahun 2006 dengan judul “Dampak Perceraian Cerai Talak di Luar Prosedur Peradilan Agama Terhadap Nafkah Iddah dan Nafkah Anak: Studi Kasus di Desa Purwadadi Barat Kecamatan Subang”, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Skripsi ini meneliti fenomena yang terjadi dalam masyarakat khususnya masyarakat desa Purwadadi Barat kec. Purwadadi kab. Subang. Banyak perceraian yang terjadi dengan cara mudah tanpa melalui prosedural hukum yang berlaku serta tidak memikirkan akibatnya di kemudian hari terutama terhadap nafkah istri yang berada pada masa iddah talak raj'i dan nafkah anak pasca perceraian.

Berdasarkan penelitian Cici Indriani di desa Purwadadi Barat kec. Purwadadi kab. Subang, tindakan atau upaya yang dilakukan seorang istri jika mantan suaminya tidak memenuhi nafkah iddah, dan upaya untuk pemenuhan biaya untuk anak yang dilakukan oleh mantan istri juga minim sekali. Dengan alasan yang beragam diantaranya rasa malu karena menganggap masing-masing (mantan suami-istri tersebut) telah memiliki kehidupan sendiri. Jika adapun alasan mantan istri meminta biaya hadanah pada mantan suaminya tidak lebih alasannya adalah untuk biaya sekolah.


(21)

Dari ketiga karya di atas, penelitian yang dikaji tersebut adalah kajian mengenai nafkah anak yang dibahas secara umum dan singkat yang digabungkan dengan pembahasan nafkah iddah. Berbeda dengan kajian di atas, penulis di sini mencoba meneliti pencabutan gugatan nafkah anak oleh ibu terhadap ayah dari kewajiban menafkahi anak pasca perceraian serta menganalisa duduk perkara, pertimbangan hakim serta putusan hakim dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP di dalam skripsi ini.

F. Sistematika Penelitian

Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, penulis membagi isi skripsi ini menjadi lima bab. Adapun pembagiannya sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan. Bab ini merupakan pendahuluan yang di dalamnya diuraikan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu serta Sistematika Penulisan.

BAB II: Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No:608/Pdt.G/2007/PAJP Bab ini menjelaskan tentang Duduk Perkara, Pertimbangan Hukum Hakim, dan Putusan Hakim.

BAB III: Studi Terhadap Pencabutan Gugatan Oleh Ibu Terhadap Ayah dari Kewajiban Menafkahi Anak Pasca Perceraian (Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP).

Bab ini menjelaskan mengenai Analisis Duduk Perkara, Analisis Pertimbangan Hukum Hakim, Analisis Putusan Hakim dan Analisis


(22)

Terhadap Pencabutan Gugatan Oleh Ibu Terhadap Ayah dari Kewajiban Menafkahi Anak Pasca Perceraian (Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP).


(23)

608/Pdt.G/2007/PA.JP

A. Duduk Perkara

Dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor: 608/Pdt.G/2007/PA.JP. identitas Penggugat dan Tergugat adalah: 1

1. Penggugat

Nama (Dirahasiakan Oleh PA.JP. dengan alasan privasi penggugat), Umur 31 tahun, Ibu Rumah Tangga, bertempat tinggal di Jl. Kp.Rawa Selatan I Rt.009/04 No.29 Kelurahan Kampung Rawa Kecamatan Johar Baru Kodya Jakarta Pusat.

2. Tergugat

Nama (Dirahasiakan Oleh PA.JP. dengan alasan privasi tergugat), Umur 33 tahun, Karyawan Swasta, Jl.Gg.Langgar Rt.013/06 No. 36, Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.

Pada waktu yang telah ditetapkan Tergugat hadir menghadap di persidangan, namun dalam persidangan selanjutnya tidak lagi menghadiri persidangan, meskipun telah diperintahkan dan dipanggil secara patut untuk menghadap di persidangan.

1

Putusan Pengadilan Agama (PA) Jakarta Pusat No: 608//Pdt.G/2007/PA.JP, h.1 14


(24)

Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 07 Desember 2007 yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan register nomor: 608/Pdt.G/2007/PA.JP, pada pokoknya telah mengemukakan sebagai berikut:

Pada tanggal 30 September 1997, Penggugat dengan Tergugat melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat (kutipan akta nikah nomor: 398/01/X/1997 tanggal 30 September 1997);

Setelah pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat bertempat tinggal di rumah kediaman bersama orangtua Tergugat di alamat Tergugat tersebut di atas. Selama pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan dikaruniai 2 orang anak bernama: Lovenda yang lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati yang lahir tanggal 15 juni 2003.2

Kurang lebih sejak bulan Juli 2003 ketemtraman rumah tangga Penggugat dengan Tergugat mulai goyah, disebabkan:

a. Tergugat sejak bulan Juli 2003 tidak memberikan keuangan rumah tangga, padahal Tergugat mempunyai pekerjaan dan sebagai penanggung jawab kepala rumah tangga, di sisi lain Tergugat jarang pulang ke rumah dengan alasan yang beragam-ragam, hal tersebut menimbulkan perselisihan terus menerus;

2


(25)

b. Tergugat setiap ada keributan dalam rumah tangga ada akhlak yang tidak baik dan juga mempunyai temporer yang tidak baik, baik perbuatan maupun ucapan karena sering berkata kasar bahkan memukul fisik Penggugat, oleh sebab itu menimbulkan tekanan psikis Penggugat terus menerus;

c. Tergugat juga sering selingkuh dengan wanita lain, hal tersebut diketahui oleh penggugat lewat HP, oleh sebab itu untuk membentuk rumah tangga sakinah tidak tercapai, maka Penggugat minta cerai; d. Tergugat dan Penggugat pada bulan September ada keributan dalam

rumah tangga akhirnya Penggugat pergi meninggalkan Tergugat pulang ke rumah orang tua dan sejak itu telah putus hubungan lahir dan batin.

e. Karena anak hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat masih kecil dan masih memerlukan kasih sayang seorang ibu, maka Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat agar anak tersebut berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat;

f. Karena anak hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat masih sangat memerlukan biaya hidup sehari-hari, pendidikan, kesehatan dan lain-lain, maka penggugat mohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat agar menghukum Tergugat untuk membayar nafkah anak tersebut sebesar Rp. 2.000.000,-(dua juta rupiah) perbulan melalui Penggugat;


(26)

g. Penggugat sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini.

Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Penggugat mohon agar Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi:

1. Mengabulkan gugatan penggugat; 2. Menceraikan Penggugat dari Tergugat;

3. Menyatakan dan menetapkan anak hasil dari perkawinan Penggugat dan Tergugat yang bernama: 1.Lovenda, lahir tanggal 23 Desember 1997, 2.Adinda Dwi Satriawati, lahir tanggal 15 juni 2003, berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah anak tersebut di atas sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) setiap bulannya kepada Penggugat;

5. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat; 6. Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya. B. Temuan Fakta di Persidangan

Penggugat untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya mengajukan alat bukti tertulis berupa:3

3


(27)

a) Foto copy kutipan akta nikah nomor: 398/01/X/1997 tanggal 30 September 1997;

b) Surat keterangan kelahiran anak yang bernama Lovenda lahir pada tanggal 23 Desember 1997;

c) Surat keterangan kelahiran anak yang bernama Adinda Dwi Satriawati lahir pada tanggal 15 juni 2003.

Selain itu, penggugat juga mengajukan saksi-saksi, masing-masing bernama:

1) Diwan Bin Siir, yang dibawah sumpahnya pada pokoknya menerangkan bahwa:

a. Saksi kenal dengan Pernggugat karena saksi adalah Pak De Penggugat; b. Saksi tahu Penggugat akan bercerai dengan Tergugat;

c. Saksi sudah mendamaikan mereka tetapi tidak berhasil.

2) Rasiti Binti Kasiran, yang dibawah sumpahnya pada pokoknya menerangkan bahwa:

a. Saksi kenal dengan Penggugat karena saksi adalah ibu kandung Penggugat;

b. Saksi tahu Penggugat akan bercerai dengan Tergugat; c. Saksi sudah mendamaikan mereka tetapi tidak berhasil. C. Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat, pada pokoknya sebagaimana tersebut diatas;


(28)

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (P-1) foto copy kutipan akta nikah dihubungkan P-2 dan P-3 foto copy kutipan akte kelahiran anak dan keterangan saksi-saksi, maka telah terbukti bahwa antara Penggugat dan Tergugat sebagai isteri dan suami yang sah yang menikah pada tanggal 30 September 1997 dan telah dikaruniai dua orang anak;

Menimbang, bahwa yang menjadi alasan gugatan penggugat pada pokoknya rumah tangganya sudah tidak ada keharmonisan karena Tergugat bertemperamen kasar baik ucapan maupun perbuatan, sering memukul, jarang pulang ke rumah dan puncaknya antara penggugat dan tergugat telah berpisah rumah tinggal sampai dengan sekarang;

Menimbang, bahwa penggugat selain menuntut perceraian juga menuntut hak pengasuhan dua orang anak yang bernama Lovenda lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir pada tanggal 15 Juni 2003;

Menimbang, bahwa Tergugat tidak lagi menghadiri persidangan meskipun telah diperintahkan dan dipanggil untuk menghadap di persidangan.

Menimbang, bahwa penggugat telah menghadirkan dua orang saksi yang bernama DIWAN BIN SIIR dan RASITI BINTI KASIRAN;

Menimbang, bahwa berdasarkan yang terjadi dalam persidangan terdapat fakta-fakta sebagai berikut :


(29)

• Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri sah dan telah dikaruniai anak yang bernama Lovenda lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir pada tanggal 15 Juni 2003 (lahir 22 mei 2002);

• Bahwa berdasarkan keterangan saksi DIWAN BIN SIIR dan RASITI BINTI KASIRAN rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak harmonis lagi dikarenakan Tergugat bertemperamen tinggi suka memukul bila ribut, tergugat jarang pulang ke rumah dan saat ini Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah dan tidak memberikan nafkah lagi kepada penggugat;

• Bahwa saksi-saksi telah berusaha memberikan nasehat kepada penggugat untuk kembali rukun dengan tergugat tetapi tidak berhasil;

• Penggugat tetap bertekad akan bercerai dengan tergugat.

Menimbang, bahwa Majelis Hakim setelah mengkonstatir dan mengkualifikasifir perkara tersebut. Majelis akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut;

Menimbang, bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat (miitsaqon gholiidon) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). Tetapi dalam rumah tangga penggugat dengan tergugat, hak dan kewajiban sudah tidak bisa dilaksanakan karena tergugat jarang pulang ke rumah dan puncaknya antara penggugat dengan tergugat telah pisah rumah;


(30)

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut, kiranya rumah tangga ideal sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juncto Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yang diinginkan semua keluarga yakni rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohmah, dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak lagi terwujud;

Menimbang, bahwa penggugat dengan tergugat sejak semula telah membentuk sebuah rumah tangga yang harmonis tetapi kemudian terjadi perselisihan dan pertengkaran dikarenakan tergugat jarang pulang ke rumah, suka memukul bila terjadi keributan dan puncaknya antara penggugat dengan tergugat telah berpisah rumah sehingga mereka tidak melaksanakan kewajiban. Sebagaimana layaknya suami dan isteri. Hal ini berarti telah melanggar perintah Allah dalam surat Al-Nisa 19 “wa ‘aasyiruuhunna bil ma’rufi” (dan pergaulilah isteri-isterimu secara patut). Bagaimana mungkin pergaulan secara patut telah dilaksanakan, apabila antara mereka sudah tidak saling melaksanakan kewajiban;4

Menimbang, bahwa apabila rumah tangga Penggugat dan tergugat tetap dipertahankan akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan antara mereka berdua, tidak ada saling melakukan kewajiban, tidak ada saling menghormati dan pada gilirannya mereka akan saling menyalahkan satu sama lain;

Menimbang, bahwa karena itu Majelis Hakim menilai “menolak kemudharatan, harus lebih didahulukan daripada mencari dan memperoleh kemaslahatan (dar-ul mafaasid muqoddamun ‘alaa jalbil mashoolihi)”;

4


(31)

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi yang membenarkan rumah tangga penggugat dengan tergugat sudah tidak harmonis lagi sering terjadi perselisihan yang terus-menerus, maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas penggugat cukup beralasan dan tidak bertentangan dengan hukum, dan sesuai dengan pasal 19 huruf (f ) PP No.9 Tahun 1975 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam huruf (f ), karenanya gugatan penggugat dapat dikabulkan dengan menjatuhkan thalak satu bain shugro tergugat terhadap penggugat;

Menimbang, bahwa mengenai gugatan penggugat agar ditetapkan sebagai pihak yang mengasuh dan memelihara dua orang anak yang bernama Lovenda lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir tanggal 15 Juni 2003 (lahir 22 mei 2002), tergugat dalam hal ini tidak mengajukan keberatannya karena tidak lagi menghadiri persidangan dan berdasarkan bukti P-2 dan P-3 terbukti bahwa anak tersebut belum memayyiz, berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat serta Tergugat tidak pernak menengok anaknya;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, majelis hakim berpendapat anak penggugat masih di bawah umur/kecil dilihat secara psikologis maupun biologis anak yang bernama Lovenda lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir tanggal 15 Juni 2003 (lahir 22 mei 2002) harus ditetapkan berada dalam asuhan dan pemeliharaan penggugat sampai anak tersebut dapat menentukan pilihannya sendiri;


(32)

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, gugatan penggugat selebihnya dicabut oleh penggugat maka majelis hakim tidak mempertimbangkan lebih lanjut;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, gugatan penggugat telah dikabulkan sebagian dan selebihnya dicabut;

Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989, biaya perkara dibebankan kepada penggugat;

Mengingat pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1974, dan dalil-dalil hukum syara’ serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dalam perkara ini;

D. Putusan Pengadilan

Setelah melalui proses dan prosedur. Akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat memberikan keputusan yang pada pokoknya mengadili: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;

2. Menjatuhkan talak satu bain shugro Tergugat kepada Penggugat;

3. Menetapkan dua orang anak yang bernama Lovenda lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir tanggal 15 juni 2003, berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat;

4. Menyatakan gugatan Penggugat selebihnya dicabut;


(33)

Demikianlah putusan ini dijatuhkan pada hari kamis tanggal 17 April 2008 Masehi bertepatan dengan tanggal 10 Rabiul Akhir 1429 Hijriyah, oleh ELVIN NAILANA,SH,MH., selaku Ketua Majelis, Drs.ABDURRAHIM, M.H., dan Drs.FAIZAL KAMIL, S.H., M.H., selaku Hakim Anggota, putusan dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan dibantu oleh Drs.ALI USMAN HASIBUAN,SHI., selaku Panitera Pengganti serta dengan dihadiri oleh Penggugat dan diluar hadirnya Tergugat.5

5


(34)

AYAH DARI KEWAJIBAN MENAFKAHI ANAK PASCA PERCERAIAN (PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT NO:

608/Pdt.G/2007/PA.JP )

A. Analisis Duduk Perkara

Secara umum, kekuasaan (competency) peradilan dapat dibedakan menjadi dua: kekuasaan relatif (relative competency) dan kekuasaan absolut (absolute competency). 1 Kekuasaan relatif berkaitan dengan wilayah, sementara kekuasaan absolut berkaitan dengan orang (kewarganegaraan dan keagamaan seseorang) dan perkara. Kewenangan (kompetensi) absolut dan relatif Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan pasal 53 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Kompetensi absolut adalah kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara bagi Pengadilan yang menyangkut pokok perkara itu sendiri. Berdasarkan Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama pasal 49 bidang-bidang yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama meliputi perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syari’ah.

1

http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=941&Itemid=54 diakses pada tanggal 28 Oktober 2009 jam 13.00 wib.


(35)

Sedangkan kompetensi relatif adalah kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan yang berhubungan dengan wilayah atau domisili pihak atau para pihak pencari keadilan. Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama pasal 4 ayat 1 dinyatakan bahwa Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya (kota) atau di ibukota Kabupaten yang daerah hukumnya meliputi wilayah Pemerintah Kota atau Kabupaten.

Berdasarkan wilayah hukum suatu Pengadilan Agama, maka tempat Penggugat atau permohonan cerai gugat yang diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mengikuti tempat kediaman Penggugat, kecuali apabila Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat ( suami ), maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal Tergugat. Apabila penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan perceraian diajukan Penggugat kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat, apabila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan Penggugat diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat2.

2

Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), cet-1, h.59.


(36)

Menurut penulis, jika ditinjau berdasarkan kompetensi absolut dan relatif maka duduk perkara ini telah memenuhi kedua kompetensi tersebut. Berdasarkan kompetensi absolut, perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP merupakan perkara gugat cerai yang di dalam penjelasan pasal 49 Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama termasuk bidang perkawinan. Sedangkan berdasarkan kompetensi relatif, perkara No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP termasuk perkara gugat cerai sehingga Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang daerah hukumnya mengikuti tempat kediaman Penggugat di Kelurahan Kebon kacang, Kecamatan Tanah Abang, Kodya Jakarta Pusat.

Setelah membaca dalam duduk perkara ini dapat dipahami bahwa permasalahan antara Pengugat dengan Tergugat yang mendasari gugatan (posita) yaitu rumah tangga mereka sudah tidak ada keharmonisan karena Tergugat sebagai penanggung jawab kepala rumah tangga sejak bulan Juli 2003 tidak memberikan keuangan rumah tangga, padahal Tergugat mempunyai pekerjaan, jarang pulang ke rumah dengan alasan yang beragam-ragam, bertemperamen kasar baik ucapan maupun perbuatan, sering memukul, hal tersebut menimbulkan perselisihan terus menerus, dan puncaknya antara Penggugat dan Tergugat telah berpisah rumah tinggal sampai dengan sekarang dan sejak saat itu sudah tidak ada hubungan lahir dan batin.

Mengenai kebutuhan rumah tangga baik lahir maupun batin merupakan kewajiban seorang suami sebagai penanggung jawab kepala rumah tangga, karena ketika seseorang sudah berstatus sebagai suami maka ia tidak boleh


(37)

mementingkan dirinya sendiri, karena ini akan menanamkan kebencian di hati isteri dan memutuskan tali cinta kasih antara suami isteri.

Di atas pundak suami terletak kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. “Yang dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain-lain”.3

Nafkah merupakan hak istri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan, pakaian, dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan, bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang kaya.4 Kewajiban menafkahi itu tetap berlaku sekalipun si istri adalah seorang perempuan konglomerat atau punya penghasilan sendiri. Nafkah suami terhadap istri bukan hanya dibatasi pada tiga bidang; pangan, sandang dan papan saja, tetapi juga meliputi biaya-biaya pengobatan dan kebutuhan pokok lainnya.5

Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam beberapa ayat maupun hadis Rasulullah, di antaranya adalah: Surat al-Baqarah/2: 233 dan al-Thalaq/65:7:

… …

3

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. 5, h. 383.

4

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Terjemah (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), Cet. 2, jilid ke-9, h. 28.

5

Mesraini dan A. Sutarmadi, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga (Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 55-56.


(38)

Artinya:

“…Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah/2 :233)

Dalam ayat lain disebutkan:

Artinya:

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS.Al-Thalaq /65:7)

Nafkah merupakan hak istri dan anaknya sekaligus sebagai kewajiban yang dibebankan kepada seorang suami. Kewajiban yang dibebankan kepada suami tersebut di antaranya yaitu memberi nafkah sesuai dengan kemampuan serta mengusahakan keperluan keluarga terutama sandang, pangan dan papan. 6

Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XII Pasal 80 Tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Bagian Ketiga Kewajiban Suami dijelaskan:

“(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;

6

BP4 DKI Jakarta, Membina Keluarga Sakinah (Jakarta: Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan Propinsi DKI Jakarta), h. 23.


(39)

c. Biaya pendidikan bagi anak.”

Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam bab XVII pasal 156 poin d:

“ Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)”.7

Melalui ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa keperluan rumah tangga yang harus ditanggung suami mencakup nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak serta biaya pendidikan bagi anak.

Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pasal 9 ayat (1) menegaskan yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga yaitu:

“1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.”

Terdapat pula sanksi pidana sesuai dengan aturan yang dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak no. 23 Tahun 2002 pasal 77:

“bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :

a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;

b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial;

7


(40)

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Selanjutnya, Tergugat setiap ada keributan dalam rumah tangga ada akhlak yang tidak baik dan juga mempunyai temporer yang tidak baik, baik perbuatan maupun ucapan karena sering berkata kasar bahkan memukul fisik Penggugat, oleh sebab itu menimbulkan tekanan psikis Penggugat terus menerus.

Perbuatan Tergugat tersebut dapat dikategorikan ke dalam kekerasan dalam rumah tangga. Ditegaskan dalam pasal 6 dan 7 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga:

Pasal 6 : “kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat”.

Pasal 7 : “Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang”. Berdasarkan pasal tersebut di atas, kekerasan fisik dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

1. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik merupakan kekerasan nyata yang dapat dilihat dan dapat dirasakan oleh tubuh yang biasanya berupa penghilangan nyawa seseorang.

a. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, membenturkan ke benda lain, bahkan sampai melakukan percobaan pembunuhan atau melakukan pembunuhan dan semua perbuatan yang dapat mengakibatkan sakit yang mengakibatkan sakit


(41)

yang menimbulkan ketidakmampuan menjalankan kegiatan sehari-hari, pingsan, luka berat pada tubuh korban, luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan kematian, kehilangan salah satu panca indera, luka yang mengakibatkan cacat, dan kematian korban.

b. Kekerasan fisik ringan, seperti menampar, menarik rambut, mendorong, dan perbuatan lain yang mengakibatkan cidera ringan dan rasa sakit serta luka fisik yang tidak termasuk dalam kategori berat.

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis atau kekerasan mental adalah kekerasan yang mengarah pada serangan terhadap mental atau psikis seseorang, bisa berbentuk ucapan yang menyakitkan, berkata dengan nada yang tinggi, penghinaan dan ancaman, kekerasan terhadap jiwa atau rohani yang berakibat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa.8

Tergugat juga sering selingkuh dengan wanita lain, hal tersebut diketahui oleh penggugat lewat HP, oleh sebab itu untuk membentuk rumah tangga sakinah tidak tercapai, maka Penggugat minta cerai. Puncaknya Tergugat dan Penggugat pada bulan September ada keributan dalam rumah tangga, akhirnya Penggugat pergi meninggalkan Tergugat pulang ke rumah orang tua dan sejak itu telah putus hubungan lahir dan batin.

8

Faqihuddin Abdul Kadir dan Ummu Azizah Mukarnawati, ed. Ismali Hasani, Referensi Bagi Hakim Pengadilan Agama tentang kekerasan dalam rumah tangga, (Komnas Perempuan: 2008), h.32


(42)

Adapun yang dimaksud dengan nusyuz adalah meninggalkan kewajiban suami istri. Nusyuz dari pihak suami adalah bersikap keras terhadap isterinya, yang dengan tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberi haknya. Sedangkan nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

B. Analisis Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim dalam Memutuskan Perkara No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP

Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara.9

Dalam menangani sebuah perkara, tugas dan kewajiban hakim yang pertama adalah mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, hal ini sejalan dengan tuntutan ajaran moral Islam. Islam selalu mengajarkan menyelesaikan masalah setiap perselisihan melalui jalan pendekatan (islah) sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 10:

Artinya:

9

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, h. 809


(43)

”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah ( perbaikilah hubungan ) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. ( Al Hujurat/49:10 )

Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menganjurkan kepada hakim agar selalu berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara di dalam persidangan, yaitu dalam pasal 143 ayat 1 dan 2, yang berbunyi:

”(1) dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.”

Karena itu layak sekali apabila para hakim Pengadilan Agama (PA) menyadari dan mengemban fungsi mendamaikan. Sebab bagaimanapun seadil-adilnya putusan, akan lebih baik dan lebih adil sebuah hasil perdamaian. Akan ada pihak yang merasa dikalahkan dan dimenangkan. Peran hakim sebagai juru damai pihak-pihak yang bertikai terbatas hanya sampai anjuran, nasehat, penjelasan, dan memberi bantuan dalam perumusan sepanjang hal itu diminta kedua belah pihak.10

Kewajiban mendamaikan dalam perkara diupayakan pada awal persidangan, namun dalam perkara perceraian kewajiban mendamaikan diupayakan hingga putusan dijatuhkan dalam hal ini meskipun para pihak

10

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), cet. Ke-3, h. 48


(44)

menjawab bahwa tidak mungkin damai karena usaha penyelesaian perdamaian sudah dilakukan berkali-kali, hakim tetap meminta agar dicoba lagi.11 Sesuai dengan ketentuan PP no. 9 Tahun 1975, pasal 31 ayat 1 dan 2:

(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Demikian pula dalam pasal 82 ayat 1 dan 4 undang-undang no. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah oleh undang-undang nomor 3 Tahun 2006 yang menjelaskan pada ayat 1 yaitu:

”pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak”.

Pada ayat 4 dijelaskan bahwa:

”selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”.

Dalam kasus putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP majelis hakim yang diketuai oleh Elvin Nailana S.H,M.H telah berusaha mendamaikan Penggugat dengan Tergugat namun upaya ini tidak berhasil, sehingga proses hukum selanjutnya terus berjalan.

Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk mengkonstatir, mengkualifikasir dan kemudian mengkonstitutir. Mengkonstatir artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang dikemukakan oleh para

11

Soeroso, Praktik hukum acara perdata tata cara dan proses persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika), h.41


(45)

pihak itu adalah benar-benar terjadi. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian.

Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukannya.

Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Alat bukti). Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu: akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, yaitu surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum tentu ditandatangani. Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu: akta otentik dan akta di bawah tangan.12

Akta ialah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta otentik ialah surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan dalam bentuk menurut ketentuan yang ditetapkan untuk itu, baik dengan maupun tanpa bantuan dari

12

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996), cet-1, h. 143-144


(46)

yang berkepentingan, di tempat di mana pejabat berwenang menjalankan tugasnya.

Akta otentik sebagai alat bukti status dalam perkawinan. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Jika perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, untuk kemudian mendapatkan Akta Nikah (pasal 7 KHI).

Tentang fotokopi dapat disimpulkan dari putusan MA tanggal 1 April 1976 No. 701 K/Sip/1974, bahwa fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti apabila fotokopi itu disertai “keterangan atau dengan jalan apa pun secara sah dari mana ternyata bahwa fotokopi-fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya.

Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 169-172 HIR dan Pasal 306-309 R.Bg. Saksi ialah orang yang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.

Majelis Hakim menimbang bahwa berdasarkan bukti (P-1) foto copy kutipan akta nikah dihubungkan P-2 dan P-3 foto copy kutipan akta kelahiran anak dan keterangan saksi-saksi, maka telah terbukti antara Penggugat dan Tergugat sebagai isteri dan suami yang sah yang menikah pada tanggal 30 September 1997 dan telah dikaruniai dua orang anak.


(47)

Menimbang, bahwa Tergugat tidak lagi menghadiri persidangan meskipun telah diperintahkan dan dipanggil untuk menghadap di persidangan.

Majelis Hakim menimbang bahwa penggugat dengan tergugat sejak semula telah membentuk sebuah rumah tangga yang harmonis tetapi kemudian terjadi perselisihan dan pertengkaran dikarenakan tergugat jarang pulang ke rumah, suka memukul bila terjadi keributan dan puncaknya antara penggugat dengan tergugat telah berpisah rumah sehingga mereka tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana layaknya suami dan isteri. Hal ini berarti telah melanggar perintah Allah dalam surat Al-Nisa 19:

...

... Artinya:

“... dan bergaullah dengan mereka secara patut. ...” (QS. Al-Nisa:4/19)

Bagaimana mungkin pergaulan secara patut telah dilaksanakan, apabila antara mereka sudah tidak saling melaksanakan kewajiban. Apabila rumah tangga Penggugat dengan Tergugat tetap dipertahankan, akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan antara mereka berdua, tidak ada saling melakukan kewajiban, tidak ada saling menghormati dan pada gilirannya mereka akan saling menyalahkan satu sama lain.


(48)

Karena itu majelis hakim menilai “menolak kemudlaratan harus lebih didahulukan daripada mencari dan memperoleh kemaslahatan (daf-ul mafasid moqoddamun ‘alaa jalbil mashoolihi).”13

Menolak mafsadah lebih baik dari meraih maslahat, sebab menolak mafsadah itu sudah merupakan kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan kaidah:

دْ

ْﻟا

م

ﺎ ْﻟا

ْ

14

“Menolak mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat”.

Tentang ukuran yang lebih konkret dari kemaslahatan ini, dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam al-Musthashfa, Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat dan ulama yang sekarang seperti Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf. Apabila disimpulkan, maka persyaratan kemaslahatan tersebut adalah:

a. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqasihid al-syari’ah, semangat ajaran, dalil-dalil kulli dan dalil qath’i baik wurud maupun dalalahnya.

b. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.

c. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan yang di luar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.

13

Putusan Pengadilan Agama (PA) Jakarta Pusat No: 608//Pdt.G/2007/PA.JP, h. 7

14

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), h.29


(49)

d. Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan kepada sebagian kecil masyarakat.15

Menurut penulis, pertimbangan Majelis Hakim ini telah sesuai berdasarkan kaidah tersebut.

Majelis Hakim juga mempertimbangkan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang membenarkan rumah tangga penggugat dengan tergugat sudah tidak harmonis lagi sering terjadi perselisihan yang terus-menerus, maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Penggugat cukup beralasan dan tidak bertentangan dengan hukum, dan sesuai dengan pasal 19 huruf (f ) PP No.9 Tahun 1975 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam huruf (f ):

Perceraian dapat terjadi karena alasan:

“ f. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.” karenanya gugatan penggugat dapat dikabulkan dengan menjatuhkan thalak satu bain shugro tergugat terhadap penggugat.

Selain menuntut perceraian dengan suaminya, dalam gugatannya Penggugat juga mengajukan tuntutan agar pengasuhan dan pemeliharaan anak berada di tangan Penggugat. Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat sebagai ibu dari anak-anak tersebut, karena selain tergugat dalam hal ini tidak mengajukan keberatannya karena tidak lagi menghadiri persidangan dan juga tidak pernah menengok anaknya. Majelis hakim berpendapat anak penggugat masih belum mumayyiz, dilihat secara psikologis mapun biologis anak yang

15


(50)

masih kecil masih memerlukan belaian kasih sayang ibunya dan biasanya lebih dekat dengan ibunya. Telah sesuai dengan ketentuan pasal 105 huruf (a) KHI sehingga ditetapkan berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat sampai anak tersebut dapat menentukan pilihannya sendiri.

Dalam Pasal 105 huruf (a) KHI BAB XIV tentang pemeliharaan anak disebutkan bahwa dalam hal terjadi perceraian:

“ a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Akibat dari terjadinya perceraian adalah pengasuhan anak atau hak hadhonah. Kewajiban melakukan hadhonah terletak di pundak orangtua. Prinsip tersebut hanya akan berjalan lancar apabila kedua orangtua tetap dalam hubungan suami isteri.

Ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak sebelum mummayiz dan lebih bisa memperhatikan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sedang amat membutuhkan untuk hidup di dekat ibunya. Imam syafi’i berpendapat apabila kedua orang tua berpisah dan keduanya berada dalam satu daerah, maka ibu lebih berhak terhadap anak selama ia belum menikah dan masih kecil16.

16


(51)

ا

و

:

ةاﺮ ا

نا

:

ا

ل

ﻮﺳ

ر

ﻰﻨ ا

نا

و

ء

و

ن

ﺎآاﺬه

ﺪﺛ

و

ءﺎ ﺳ

ا

ناو

ءاﻮ

يﺮ

ﻮﺳ

ر

ﺎﻬﻟ

ل

ﺰ ﻨ

نأ

دارأو

ﻰﻨ

ﷲا

ل

و

ﷲا

ا

:

ﻜﻨ

أ

أ

)

ورو

ا

دواد

ﻮ ا

ﺪ او

(

Artinya:

“Di dalam hadis Abdullah bin Umar bin Al-Ash menceritakan seorang wanita mengadu kepada Rasulullah tentang anak kecilnya, di mana mantan suaminya bermaksud membawa anak mereka bersamanya setelah menceraikannya lalu Rasulullah bersabda: ’kamu (wanita itu) lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah dengan lelaki lain’.” (H.R. Daud dan Ahmad.

Pertimbangan Majelis Hakim selanjutnya yaitu mengenai tuntutan biaya nafkah anak telah dicabut oleh Penggugat maka Majelis Hakim tidak mempertimbangkan lebih lanjut.17

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, gugatan Penggugat telah dikabulkan sebagian dan selebihnya dicabut. Yang dicabut adalah mengenai tuntutan biaya nafkah anak. Keterangan dari berita acara persidangan yang penulis dapatkan, tidak terdapat keterangan lebih lanjut mengenai alasan penggugat mencabut tuntutan nafkah anak dalam berita acara persidangan maupun dalam putusan. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap majelis hakim yang menangani perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP, menurut Drs. Faisal Kamil,SH,MH, pencabutan gugatan mengenai nafkah anak pasca perceraian dilakukan oleh Penggugat (sang ibu) agar mempercepat proses persidangan.

17


(52)

Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989, biaya perkara dibebankan kepada penggugat.

Pasal 89

(1) biaya perkara dalam sidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon.

(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau putusan akhir.

Pasal 90

(1) Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 meliputi:

a. biaya kepaniteraan dan biaya materai yang diperlukan untuk perkara tersebut;

b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut; c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat

dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut; dan

d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.

(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung.

Pasal 91

(1) jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 harus dimuatdalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.

(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu pihak berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam


(53)

perkara itu, harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan pengadilan.

Mengingat pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan dalil-dalil hukum syara’ serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dalam perkara ini.

Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.

(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

C. Analisis Putusan Majelis Hakim dalam Perkara No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP Dalam bidang hukum acara di pengadilan agama, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum acara yang bersumberkan dari syariat islam. Hal ini disamping untuk mengisi kekosongan-kekosongan dalam hukum acara juga agar putusan yang dihasilkan telah mendekati kebenaran dan keadilan yang diridhoi Allah swt, karena diproses dengan acara yang diridhoi pula.18 Sesuai dengan ketentuan PP no.9 Tahun 1975 pasal 31:

(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

18


(54)

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 82 ayat 1 dan 4 undang-undang no.7 Tahun 1989 sebagimana telah diubah oleh undang-undang nomor 3 Tahun 2006 yang menjelaskan pada ayat 1 yaitu:

“Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak”.

Pada ayat 4 dijelaskan bahwa:

“selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”.19

Berdasarkan fakta yang ada dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor: 608/Pdt.G/2007/PA.JP, hakim telah berusaha mendamaikan Penggugat dengan Tergugat namun upaya ini tidak berhasil, melainkan Penggugat tetap bertekad akan bercerai dengan tergugat sehingga proses hukum selanjutnya terus berjalan.

Setelah melalui proses dan prosedur. Akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat memberikan keputusan yang pada pokoknya mengadili: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;

2. Menjatuhkan talak satu bain shugro Tergugat kepada Penggugat;

19

Amandemen Undang-undang Peradilan Agama Undang-undang RI No.3 Tahun 2006, (Jakarta: Sinar Grafika), h.62.


(55)

3. Menetapkan dua orang anak yang bernama Lovenda lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir tanggal 15 juni 2003, berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat;

4. Menyatakan gugatan Penggugat selebihnya dicabut;

5. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini.

Majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat sebagian, karena di dalam proses persidangan salah satu gugatan dicabut oleh Penggugat yaitu gugatan nafkah anak.

Selanjutnya, Majelis Hakim mengabulkan gugatan cerai dengan menjatuhkan thalak satu bain shugro tergugat terhadap penggugat, dengan mempertimbangkan pasal 19 huruf (f) PP No.9 Tahun 1975 dalam poin f dinyatakan antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam huruf (f ).

Tergugat hanya hadir di sidang pertama tetapi pada sidang-sidang selanjutnya tidak pernah hadir lagi bahkan sampai sidang pengucapan keputusan juga tidak hadir. Dengan demikian putusan tersebut dinamakan putusan contradictoir.20

20

Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama. (Jakarta:CV. Rajawali, 1991), cet.1, h. 103


(56)

Putusan kontradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan atau diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu pihak atau para pihak. Dalam pemeriksaan atau putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang. Terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding.21

Menurut pasal 212 Rv, jika seseorang yang semula hadir pada sidang yang lalu, tetapi kemudian pada sidang berikutnya tidak hadir, hal itu tidak dapat dijadikan alasan menjatuhkan putusan verstek, tetapi putusan itu dianggap sebagai putusan kontradiktoir,22 jika ternyata pada saat putusan diucapkan, tergugat tersebut tetap tidak hadir, putusan yang dijatuhkan adalah kontradiktoir bukan putusan verstek.23

Jika ditinjau dari aspek keadilan hukum, putusan yang dijatuhkan Hakim telah memenuhi sisi keadilan hukum bagi Penggugat dengan Tergugat. Karena Tergugat tidak lagi menghadiri persidangan meskipun telah diperintahkan dan dipanggil secara patut untuk menghadap di persidangan. Dengan demikian, Tergugat dalam hal ini tidak mengajukan keberatannya karena tidak lagi menghadiri persidangan.

Selanjutnya Majelis Hakim menetapkan dua orang anak yang bernama Lovenda lahir tanggal 23 Desember 1997 dan Adinda Dwi Satriawati lahir

21

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama , h.251

22

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, h. 394.

23


(57)

tanggal 15 juni 2003, berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat. Menurut penulis, jika di tinjau dari aspek kegunaan hukum, keputusan hakim tersebut telah memenuhi aspek tersebut karena tergugat dalam hal ini tidak mengajukan keberatannya karena tidak lagi menghadiri persidangan dan berdasarkan bukti P-2 dan P-3 terbukti bahwa anak tersebut belum memayyiz, berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat serta Tergugat tidak pernah menengok anaknya; keputusan hakim tersebut berguna bagi pemeliharaan dan pendidikan anak.

Putusan Majelis Hakim yang berikutnya yaitu menyatakan gugatan Penggugat selebihnya dicabut. Gugatan yang dicabut adalah mengenai tuntutan biaya nafkah anak.

Jika di tinjau dari aspek kepastian hukum, berdasarkan fakta yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP mengenai pencabutan gugatan Penggugat mengenai tuntutan biaya nafkah pasca perceraian menurut penulis telah memenuhi aspek kepastian hukum karena Penggugat mempunyai hak untuk mencabut kembali gugatan.

Dalam putusan terakhir Majelis Hakim membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini. Biaya perkara dalam hal ini dibebankan kepada Penggugat. Hal ini berbeda dengan hukum acara perdata pada umumnya, yang menetapkan bahwa biaya perkara dibebankan kepada pihak yang kalah. Oleh karena dalam sengketa perkawinan dan perceraian tidak ada pihak yang kalah maupun yang menang, maka biaya perkara dibebankan kepada Penggugat selaku pencari keadilan.


(58)

Mengenai putusan Majelis Hakim yang membebankan biaya perkara kepada Penggugat adalah hal yang sudah tepat karena dalam lingkup Peradilan Umum untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya ( pasal 4 ayat 2, 5 ayat 2 UU 14/1970, 121 atay 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 R.Bg ); biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai.

Sedangkan dalam lingkup Peradilan Agama sesuai dengan pasal 54 yang berbunyi :

“Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dan lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalan lingkungan Pengadilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.

Pasal 89

(1) biaya perkara dalam sidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon.

(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau putusan akhir.

Berdasarkan analisis yang sudah penulis uraikan di atas, penulis berkesimpulan bahwa keputusan majilis hakim telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

D. Analisis Terhadap Pencabutan Gugatan Oleh Ibu Terhadap Ayah Dari Kewajiban Menafkahi Anak Pasca Perceraian (Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP )


(59)

Pada tahap pembacaan gugatan terdapat beberapa kemungkinan dari Penggugat yaitu mencabut gugatan, mengubah gugatan, mempertahankan gugatan, jika Penggugat mempertahankan gugatannya maka sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya.

Salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses berperkara di depan pengadilan adalah pencabutan gugatan. Pihak penggugat mencabut gugatan sewaktu atau selama proses pemeriksaan berlangsung.24

Pencabutan gugatan dapat dilakukan sebelum hakim menjatuhkan putusan.25 Pada prinsipnya pencabutan gugatan dalam pemeriksaan pengadilan oleh pihak penggugat dibolehkan, karena diteruskan atau tidaknya pemeriksaan suatu perkara gugatan di pengadilan, tergantung kepada kehendak penggugat. Akan tetapi, "pencabutan" suatu gugatan tidak menghilangkan hak penggugat untuk menggugat lagi, apalagi kalau pencabutan dilakukan sesudah berselang lama perkara gugatan itu berada dalam pemeriksaan pengadilan dan sudah banyak biaya dikeluarkan, sehingga pencabutan itu akan membawa kerugian bagi tergugat, maka dalam prakteknya di pengadilan, pencabutan dalam keadaan yang demikian itu hanya akan dibolehkan apabila tergugat tidak berkeberatan.26

24

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, h. 81.

25

Abdul kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, h.66.

26


(60)

Dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP ini, di dalam duduk perkara karena anak hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat masih sangat memerlukan biaya hidup sehari-hari, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Penggugat memohon agar Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat menghukum Tergugat sebagai ayah dari anak-anak untuk membayar nafkah anak tersebut di atas sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) setiap bulannya kepada Penggugat.

Namun, selama proses persidangan yang berlangsung Penggugat mencabut gugatan mengenai nafkah anak tersebut dan tetap mempertahankan gugatan yang lainnya. Tergugat hanya hadir di sidang pertama tetapi pada sidang-sidang selanjutnya tidak pernah hadir lagi bahkan sampai sidang-sidang pengucapan keputusan juga tidak hadir.

Memang, jika di tinjau dari aspek kepastian hukum, berdasarkan fakta yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP mengenai pencabutan gugatan Penggugat mengenai tuntutan biaya nafkah pasca perceraian menurut penulis telah memenuhi aspek kepastian hukum karena Penggugat mempunyai hak untuk mencabut kembali gugatan.

Berdasarkan keterangan dari berita acara persidangan yang penulis dapatkan, tidak terdapat keterangan lebih lanjut mengenai alasan penggugat mencabut tuntutan nafkah anak dalam berita acara persidangan maupun dalam putusan. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap majelis hakim


(61)

yang menangani perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP, tidak terdapat alasan yang pasti melainkan hanya berupa kemungkinan-kemungkinan saja yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mencabut gugatan, seperti karena adanya kesepakatan antara Penggugat (sang ibu) dengan Tergugat (sang Bapak) dari si anak, sakit atau cacat permanen, dan gila.

Sedangkan menurut Drs. Faisal Kamil,SH,MH, pencabutan gugatan mengenai nafkah anak pasca perceraian dilakukan oleh Penggugat (sang ibu) agar mempercepat proses persidangan.

Menurut penulis, gugatan mengenai pembebanan nafkah anak kepada Tergugat telah dicabut oleh Penggugat untuk mempercepat proses persidangan dan tidak terlalu mengharapkan Tergugat yang tidak lagi menghadiri persidangan berikutnya sampai sidang putusan. Namun, Walaupun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan si ibu dapat menuntut kembali kepada si bapak mengenai nafkah anak. Ibu dapat mengajukan ke pengadilan agama untuk menuntut perkara perdata Islam khususnya mengenai penentuan masalah nafkah anak.

Tidak hanya itu, ibu juga dapat mengajukan perkara ke pengadilan negeri mengenai sanksi pidana sesuai dengan aturan yang dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak no. 23 Tahun 2002 pasal 77:

“setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :

a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;


(62)

b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial;

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


(63)

A. Kesimpulan

1. Gugatan mengenai pembebanan nafkah anak kepada Tergugat telah dicabut oleh Penggugat untuk mempercepat proses persidangan karena tidak terlalu mengharapkan Tergugat yang tidak lagi menghadiri persidangan berikutnya sampai sidang putusan. Namun, Walaupun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan si ibu dapat menuntut kembali kepada si bapak mengenai nafkah anak. Ibu dapat mengajukan ke pengadilan agama untuk menuntut perkara perdata Islam khususnya mengenai penentuan masalah nafkah anak. Tidak hanya itu, ibu juga dapat mengajukan perkara ke pengadilan negeri mengenai sanksi pidana sesuai dengan aturan yang dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak no. 23 Tahun 2002 pasal 77, bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baateriil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial; c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


(64)

2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam memutuskan perkara dengan perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP, menurut penulis telah sesuai dan sejalan dengan perundang-undangan yang berlaku.

3. Putusan Hakim dalam memutuskan perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP telah memenuhi nilai-nilai keadilan hukum, kegunaan hukum dan kepastian hukum baik bagi Penggugat maupun Tergugat. Putusan Hakim termasuk putusan kontradiktoir karena Tergugat hanya hadir pada sidang pertama dan tidak lagi menghadiri persidangan berikutnya sampai sidang putusan Tergugat meskipun telah diperintahkan dan dipanggil secara patut untuk menghadap di persidangan. Dengan demikian, Tergugat dalam hal ini tidak mengajukan keberatannya karena tidak lagi menghadiri persidangan.

B. Saran

1. Hendaknya instansi pemerintah terutama Pengadilan Agama, BP4, KUA, dan yang lainnya memberikan penyuluhan serta lebih mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai perceraian dan akibat hukumnya terutama tentang hak anak-anak pasca perceraian orang tua mereka, agar masa depan anak-anak lebih terjamin.

2. Hendaknya pemerintah, para ulama dan akademisi ikut juga berperan aktif dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat tentang hukum keluarga dan perdata Islam.


(1)

yang menangani perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP, tidak terdapat alasan yang pasti melainkan hanya berupa kemungkinan-kemungkinan saja yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mencabut gugatan, seperti karena adanya kesepakatan antara Penggugat (sang ibu) dengan Tergugat (sang Bapak) dari si anak, sakit atau cacat permanen, dan gila.

Sedangkan menurut Drs. Faisal Kamil,SH,MH, pencabutan gugatan mengenai nafkah anak pasca perceraian dilakukan oleh Penggugat (sang ibu) agar mempercepat proses persidangan.

Menurut penulis, gugatan mengenai pembebanan nafkah anak kepada Tergugat telah dicabut oleh Penggugat untuk mempercepat proses persidangan dan tidak terlalu mengharapkan Tergugat yang tidak lagi menghadiri persidangan berikutnya sampai sidang putusan. Namun, Walaupun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan si ibu dapat menuntut kembali kepada si bapak mengenai nafkah anak. Ibu dapat mengajukan ke pengadilan agama untuk menuntut perkara perdata Islam khususnya mengenai penentuan masalah nafkah anak.

Tidak hanya itu, ibu juga dapat mengajukan perkara ke pengadilan negeri mengenai sanksi pidana sesuai dengan aturan yang dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak no. 23 Tahun 2002 pasal 77:

“setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :

a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;


(2)

53

b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial;

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


(3)

A. Kesimpulan

1. Gugatan mengenai pembebanan nafkah anak kepada Tergugat telah

dicabut oleh Penggugat untuk mempercepat proses persidangan karena tidak terlalu mengharapkan Tergugat yang tidak lagi menghadiri persidangan berikutnya sampai sidang putusan. Namun, Walaupun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan si ibu dapat menuntut kembali kepada si bapak mengenai nafkah anak. Ibu dapat mengajukan ke pengadilan agama untuk menuntut perkara perdata Islam khususnya mengenai penentuan masalah nafkah anak. Tidak hanya itu, ibu juga dapat mengajukan perkara ke pengadilan negeri mengenai sanksi pidana sesuai dengan aturan yang dimuat dalam

Undang-Undang Perlindungan Anak no. 23 Tahun 2002 pasal 77,

bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baateriil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial; c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


(4)

55

2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam memutuskan perkara dengan

perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP, menurut penulis telah sesuai dan sejalan dengan perundang-undangan yang berlaku.

3. Putusan Hakim dalam memutuskan perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP

telah memenuhi nilai-nilai keadilan hukum, kegunaan hukum dan kepastian hukum baik bagi Penggugat maupun Tergugat. Putusan Hakim termasuk putusan kontradiktoir karena Tergugat hanya hadir pada sidang pertama dan tidak lagi menghadiri persidangan berikutnya sampai sidang putusan Tergugat meskipun telah diperintahkan dan dipanggil secara patut untuk menghadap di persidangan. Dengan demikian, Tergugat dalam hal ini tidak mengajukan keberatannya karena tidak lagi menghadiri persidangan.

B. Saran

1. Hendaknya instansi pemerintah terutama Pengadilan Agama, BP4,

KUA, dan yang lainnya memberikan penyuluhan serta lebih mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai perceraian dan akibat hukumnya terutama tentang hak anak-anak pasca perceraian orang tua mereka, agar masa depan anak-anak lebih terjamin.

2. Hendaknya pemerintah, para ulama dan akademisi ikut juga berperan

aktif dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat tentang hukum keluarga dan perdata Islam.


(5)

Abdul Kadir, Faqihuddin dan Ummu Azizah Mukarnawati, ed. Ismali Hasani, Referensi Bagi Hakim Pengadilan Agama tentang kekerasan dalam rumah tangga, Komnas Perempuan: 2008.

Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Universitas Trisakti, tt.

Abu Bakar, Muhammad, Terjemah Subulussalam III, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995, Cet.1.

Amandemen Undang-undang Peradilan Agama Undang-undang RI No.3 Tahun 2006, Jakarta: Sinar Grafika.

Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996, cet-1.

Ayyub, Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006, Cet. 5.

BP4 DKI Jakarta, Membina Keluarga Sakinah, Jakarta: Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan Propinsi DKI Jakarta.

Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya.

Departemen Agama R.I, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama R.I,. 2004.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bandung: Balai Pustaka, 1989, Cet. 11.

Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007, Cet.2.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, Harahap, M. Yahya, Hukum Perkawinan Nasional berdasarkan UU No.1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Medan: C.V. Zahir Trading Co., 1975, Cet. 1.


(6)

57

Muhammad, Abdul kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

M. Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, Jakarta: Prenada Media, 2004.

Putusan Pengadilan Agama (PA) Jakarta Pusat No: 608/Pdt.G/2007/PA.JP.

Rasyid, Chatib, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek Pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009.

Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta:CV. Rajawali, 1991, cet.1.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Terjemah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996, Cet. ke-2, Jilid ke-9.

Soeroso, Praktik hukum acara perdata tata cara dan proses persidangan, Jakarta:

Sinar Grafika, tt.

Sutarmadi, A., Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006.

Syafi’i, Imam, Ringkasan Kitab Al-Umm, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php. diakses pada tanggal 26 Desember 2008 pukul 15.37 WIB.

http://pedulihakanak.wordpress.com/2009/03/11/undang-undang-perlindungan-anak-no-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak/, diakses pada tanggal 17 April 2009, jam 11.40 wib.

http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=941&Itemid =54, diakses pada tanggal 28 Oktober 2009, jam 13.00 wib


Dokumen yang terkait

Pelimpahan hak asuh anak kepada bapak (studi kasus putusan pengadilan agama Jakarta perkara nomor 1829/Pdp.G/2008/PAJT)

1 40 92

Status anak akibat pembatalan perkawinan analisis putusan pengadilan agama depok nomor 1723/pdt.g/2009 pa.dpk

5 28 104

Izin poligami dengan alasan hak legalitas anak berupa akte kelahiran (studi kasus terhadap putusan pengadilan agama Jakarta Timur Nomor: 717 Pdt. G/2012 PAJT

1 24 118

Disparitas putusan perkara waris: studi perbandingan putus pengadilan agama nomor. 1397/ Pdt.G/2008/PA. JT dan putusan pengadilan Tinggi Agama nomor.50/Pdt.G/2009/PTA.JK

3 10 102

Penyelesaian gugatan harta bersama pasca perceraian di pengadilan agama Jakarta Timur

0 6 82

Pencabutan hak asuh anak dari Ibu : Studi analisis putusan pengadilan agama Depok Nomor 430/Pdt.G/2006/PA.Dpk

1 15 74

Gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah di pengadilan agama : studi analisis perkara No. 078/Pdt. G/2007/PA. Jakarta Pusat

1 44 104

Izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan Jiwa : studi analisis terhadap putusan perkara nomor 0284/pdt.G/2008/pa..jt.di pengadilan agama jakarta timur

2 18 88

Pencabutan gugatan oleh ibu terhadap auah dari kewajiban menafkahkan anak pasca perceraian: studi terhadap putusan pengadilan agama Jakarta Pusat No.:608/Pdt.G/2007/PA..JP

0 6 66

Izin poligami dengan alasan hak legalatis anak berupa akte kelahiran (studi kasus terhadap putusan pengadilan agama Jakarta Timur Nomor : 171 Pdt.G/2012 PAJT

0 9 0