Izin poligami dengan alasan hak legalitas anak berupa akte kelahiran (studi kasus terhadap putusan pengadilan agama Jakarta Timur Nomor: 717 Pdt. G/2012 PAJT

(1)

JAKARTA TIMUR NOMOR: 717 Pdt. G/2012 PAJT Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

ZULLISAN SHIDQI NIM : 109044100036

K O N S E N T R A S I H U K U M K E L U A R G A I S L A M P R O G R A M S T U D I P E R A D I L A N A G A M A

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)

Oleh:

Zullisan Shidqi

NIM:

109044100036

KONSENTRASI

HUKUM KELUARGAISLAM

PROGRAM STUDI

PERADILANAGAMA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/2015 M

Dr. H. Ahmbd Mukri Aii. M.A


(3)

Skripsi yang berjudul

"Izin

Poligami Dengan Alasan

Hak

Legalitas Anak Berupa Akte Kelahiran (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 717 Pdt.Gl?Dl2 PAJT)" telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07 Januari 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Keluarga Islam.

J akarta, 09 Januari 20 1 5 Mengesahkan

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

l. Ketua

2. Sekretaris

3. Pembimbing

4. Penguji I

5. Penguli II

H. KAmAryqdlana. S.A e.. MH. NrP. i 9120224199803 1 003

Sri Hidayati. M.A&

NIP. 1 97 1 A21 51997 $2A02 Dr. H. Ahmad Mukri Aji. MA I.JIP. 1 95703121 98503 1003 Dr. H. M. Nurul Irflan. M.Ag. NIP. r 97308022A033 I 2 I 00 1 Sri Hida:yati. M.Ag

NIP

1 97 1A21 51997 A320A2


(4)

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu

(S

1) di Universitas Islam Negeri

rufN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika kemudian hari terbukti bahwa karya

ini

bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarla.


(5)

ABSTRAK

ZULLISAN SHIDQI. NIM: 109044100036. Izin Poligami Dengan Alasan Hak Legalitas Anak Berupa Akte Kelahiran (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 717 Pdt. G/2012 PAJT”. Program Studi Hukum Keluarga Islam Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/ 2014 M. x + 107 halaman + lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memutus suatu perkara permohonan izin poligami. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Data peneltian ini meliputi data primer dan skunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi putusan, studi kepustakaan dan wawancara. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan putusan permohonan izin poligami yaitu Putusan Nomor: 717 Pdt.G/2012 PAJT dan menghubungkan dengan hasil wawancara (interview) yang didapatkan dari hakim yang menangani perkara izin poligami tersebut.

Menurut undang-undang perkawinan ini adalah perkawinan yang bersifat monogami, namun demikian beristri lebih dari seorang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Perkawinan lebih satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang harus ada alasan-alasan yaitu: 1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. 2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan itu diserahkan kepada hakim.

Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakan ada atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif yaitu 1) persetujuan dari istri atau istri-istrinya. 2) kemampuan materil dari orang yang bermaksud menikah lebih dari satu orang, dan 3) jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku adil ini dibuat dalam persidangan Majlis Hakim.

Kata Kunci : Monogami, poligami, syarat kumulatif. Pembimbing : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia dan berbagai nikmatnya, terutama nikmat sehat serta kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, mudah-mudahan kita termasuk bagian dari ummat beliau yang akan mendapat syafa’at di yaumil akhirat kelak amin.

Dalam penulisan skripsi ini terdapat sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi, Alhamdulillah berkat rahmat dan inayahnya serta kontribusi dan motivasi dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan mudah dan lancar yang pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:

1. Dr. JM. Muslimin, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA., Ketua Program Doeble Degree. Bapak Ismail Hasani, SH., MH. Sekretaris Program Doeble Degree;

3. Dr. H. Ahamad Mukri Aji, MA. Sebagai pembimbing skripsi, terimakasih tak terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini. 4. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di Kampus yang super sekali ini.


(7)

5. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pustakawan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Universitas Indonesia, yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyediakan referensi dalam penulisan skripsi ini;

6. Kedua Orang Tuaku (Ayahanda M.Ilyas, Ibunda Asni Sinambela) dengan segala kasih sayang, dan tanggung jawab rela berkorban jiwa raga demi kesuksesan putranya. Yang mengajarkanku untuk hidup mandiri dan mengingatkanku untuk selalu berbuat baik. Rabbighfirli wali walidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira, Amin.

7. Wak yati, yang telah mencurahkan perhatian yang begitu tulus, arahan ila ahsani taqwim dan memberikan motivasi yang tak terhingga banyaknya sehingga penulis berusaha untuk mewujudkan harapan-harapan baik dengan penuh semangat. Jazakumullahu khairan katsiran.

8. Pak Romdonih dan buk Khadijah yang memberikan semangat dan canda tawa mereka, serta khusushan Rara yang selalu menyemangati hari-hari penulis dalam menyelesaikan karier pendidikan dalam menekuni dunia hukum. Semoga Allah Menyayangi dan Melindungi kita semua amin.

Ihdinaa ya allahu Subulanaa.

9. Kawan-kawan seperjuangan di konsentrasi Pengadilan Agama dan Administrasi Keperdataan Islam, kawan-kawan Double Degree dan Ilmu Hukum angkatan 2009 dan 2013, mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah penulis perbuat kepada kalian.

10.Teman-teman seperjuangan Siti Ramadhani SH.i, Irpan Pasaribu SH, Abdul Karim Munthe S.Sy, Lc, SH, MH bersama-sama penulis berjuang dalam melanjutkan studi di perguruan tinggi di ibu kota ini.

11.Teman-teman kos “white house” Zuki, Karim, Azhar, Azmi, Mathori, Eka, Lay Fikri, Sapta, Irpan, Syawal, Habib dan spesial kepada Ibu Kos


(8)

yang terus memotivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi penulis. Alhamdulillah sekarang tercapai.

12.Teman-teman HMI seperjuangan di Komisariat Faksyahum Tahun 2009 dan HMI Cabang Ciputat, serta teman-teman LKBHMI yang berjuang demi tegaknya hukum dan demokrasi di Indonesia.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis tuliskan, semoga doa dan harapan kita semua dikabulkan-Nya, Amiin.

Semoga kontribusi dan partisipasi semua pihak tersebut menjadi investasi amal shaleh, semoga Allah SWT membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. Terakhir harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.

Jakarta, 09 Januari 2015 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ……….. iii

LEMBAR PERNYATAAN ………. iv

ABSTRAK ………. v

KATA PENGANTAR ……….. vi

DAFTAR ISI ………. ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Pembatasan dan PerumusanMasalah……….. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 6

D. Tinjauan Kajian Terdahulu………. 7

E. Metode Penelitian……… 9

F. Sistematika Penulisan……….. 12

BAB II POLIGAMI BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian, Dasar Hukum dan Syarat-syarat Poligami………... 14

B. Legalitas poligami……….. 18


(10)

2. Regulasi pelaksanaan poligami yang berlaku dalam

perspektif hukum positif di Indonesia ……..……… 25 C. Poligami dalam Lintas Sejarah dan Hikmah

Disyariatkan Poligami..………. 39

BAB III PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

SEBAGAI PELAKSANA KEKUSAAN KEHAKIMAN

A. Sejarah singkat Eksistensi Pengadilan Agama Jakarta Timur…. 50 B. Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur………. 64 C. Kasus Poligami Yang Diterima di Pengadilan Agama

Jakarta Timur….……….. 70 D. Prosedur Perkara Permohonan Izin Poligami di Pengadilan

Agama Jakarta Timur …..……….. 74

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAJLIS HAKIM PENGADILAN

AGAMA JAKARTA TIMUR NOMOR: 717PDT. G/2012 PAJT

A. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur………… 77 B. LandasanYuridis Putusan Izin Poligami Nomor 717

Pdt.G/2012 PAJT ….………. 83 C. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam


(11)

D. Analisis penulis dalam menganalisa kasus poligami terhadap putusan Majlis Hakim Pengadilan Agama

Jakarta Timur ……… 88

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………. 99

B. Saran-saran………... 101


(12)

Manusia diciptakan dalam bentuk berpasang-pasangan antara laki-laki dan wanita. Oleh karenanya, keduanya diberikan jalan untuk menyalurkan dorongan biologis mereka dengan jalan pernikahan yang sah. Tujuan pernikahan yang sejatinya adalah untuk menyatukan antara keluarga yang satu dengan yang lain dan terbinanya hubungan yang harmonis selaras dengan tujuan pernikahan menurut undang-undang dan hukum Islam yakni sakinah, mawaddah dan

warahmah.1

Perkawinan dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk. Secara sederhana dapat dipahami yaitu monogami dan poligami.Secara etimologi monogami ialah perkawinan diantara seorang lelaki dan seorang perempuan, sedangkan poligami merupakan perkawinan seorang lelaki dengan beberapa orang wanita pada satu waktu.2

Permasalahan pernikahan poligami sering kali menuai kritik dari berbagai elemen. Dalam banyak tempat Poligami banyak mengandung pro dan kontra dan dinilai peyoratif bagi sebagian kalangan masyarakat muslim dan sebagian

1

Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2007), h.26.

2

Achmad Khuzari. Nikah Sebgai Perikatan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.159.


(13)

kalangan lagi dalam posisi netral karena menganggap perkara poligami mempunyai legal standing yakni Al-Quran dan As-Sunnah.3

Soal suami dapat beristri lebih dari seorang, ini telah menjadi masalah pro dan kontra dari masa ke masa. Masalahnya memang tidak sederhana karena ia bukan hanya menyangkut kepentingan laki-laki yang ingin beristri lebih dari seorang itu saja, tetapi juga menyangkut kepentingan wanita yang bersedia dimadu, dijadikan istri kedua dan seterusnya. Alasan yang dipergunakan oleh laki-laki untuk melakukan poligami bermacam-macam sepanjang perkembangan sejarah, di antaranya telah disebutkan pula dalam undang-undang perkawinan ini. Demikian juga halnya dengan alasan seorang wanita bersedia dijadikan istri kedua dan seterusnya. Alasanya tidak hanya karena cinta kepada laki-laki yang bersangkutan, tetapi juga karena banyak faktor lain yang mendorongnya bersedia menerima keadaan itu, di antaranya adalah desakan ekonomi, pandangan masyarakat terhadap janda, gadis tua dan sebagainya.4

Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) asas perkawinan adalah monogami,

“seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri. Dan seorang wanita

3

Abuttawab Haikal. Poligami Dalam Islam vs Monogamy Barat. (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.67-69.

4

Muhammad Daud Ali. Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.31.


(14)

hanya boleh mempunyai seorang suami”.5Namun demikian beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan memenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari pengadilan agama terlebih dahulu. Dalam pasal 4 dan 5 UU Perkawinan dijelaskan bahwa seorang peria bermaksud kawin lebih dari satu orang harus ada alasan-alasan yaitu (1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut ini bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada hakim.6

Tampaknya alasan-alasan ini bernuansa fisik kecuali alasan yang ketiga. Terkesan karena seorang suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal dari istrinya, maka alternatifnya adalah poligami.7 Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas sudah terpenuhi, maka pengadilan agama memeriksa apakah ada atau tidak syarat-syarat tertentu secara kummulatif yaitu: (1) persetujuan dari istri

5

Lihat pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

6

Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2008), h.10.

7

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2004), h.163.


(15)

atau istri-istrinya; (2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka; (3) jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya apabila ia sudah menikah.8

Di samping itu, tidak semua wanita Islam dapat menerima poligami. Tidak sedikit dari mereka yang merasa keberatan dengan ajaran itu. Maka oleh karenanya para ulama dan fuqaha muslim serta dibantu oleh pemerintah telah berusaha menagantisipasi problem yang akan timbul dari pernikahan poligami yang tidak sesuai dengan aturan, maka mereka memberikan persyaratan yang ketat untuk meminimalisir angka poligami dengan menetapkan persyaratan berikut bila seseorang ingin menikah lebih dari seorang istri yakni: (1) dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan dengan bertambahnya istri yang dinikahinya itu; (2) dia harus memperlakukan semua istri-istrinya itu dengan adil. Setiap istri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya.9

Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilakasanakan sebagaimana ketentuan tersebut, maka pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana disebut dalam pasal 44 dan 45 Peraturan pemerintah Nomor 9

8

Lihat pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

9

Abdur Rahman I Doi. Perkawinan Dalam Syariat Islam . (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.45.


(16)

Tahun 1975 ini.10 Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5 adalah, pada pasal 4 disebutkan dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persayaratn kumulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.11

Beranjak dari legalitas persyaratan hukum tertulis pada pasal 4 ayat 2 adalah bentuk aktualisasi hukum, dan juga sebgai asas untuk meminimalisir terjadinya poligami yang tidak disertai dengan alasan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Maka mudahnya mendapatkan izin poligami dalam praktiknya di pengadilan agama menimbulkan persepsi inkonsistensi pengadilan agama dalam memberikan izin poligami karena Realitas kongkritnya mengizinkan permohonan berpoligami meskipun tidak sesuai dengan ketentuan alasan dan syarat perundang-undangan.

Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah judul ” IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN

HAK LEGALITAS ANAK BERUPA AKTE KELAHIRAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMU NOMOR:

717 Pdt. G/2012 PAJT”

10

Lihat pasal 44 dan 45 PP No. 9 Tahun 1975 tentang aturan pelaksana UU No. 1 Tahun 1974.

11


(17)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dari uraian di atas banyak sekali permasalahan yang muncul, untuk menghindari pembahasan yang sangat luas itu maka penulis menguraikan dasar-dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur mengabulkan permohonan Izin Poligami dengan Nomor : 717 Pdt.G/2012 PAJT.

2. Perumusan Masalah

Menurut Peraturan perundang-undangan tidak terdapat alasan poligami dengan alasan untuk mendapatkan legalitas anak (berupa keterangan poligami guna mengurus akte kelahiran anak). Akan tetapi pada realitas konkritnya di lapangan terdapat Putusan Pengadilan Agama, Legalitas Anak menjadi alasan poligami. Rumusan tersebut dirinci dengan membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana aturan pemberian izin poligami menurut prespektif Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam di Indonesia?

b. Hal-hal apa saja yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memberikan izin poligami pada perkara Nomor: 717 Pdt.G/2012 PAJT ?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Adapun Tujuan Penelitian ini adalah:

a. Memberikan wawasan yang utuh terkait pengaturan poligami dalam perundang-undangan di Indonesia dan hukum Islam.

b. Mengetahui hal-hal yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan yang dipergunakan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami Nomor: 717Pdt.G/2012 PAJT.

2. Sedangakan Manfaat dari Penelitian ini adalah:

a. Secara akademik (academic interests), menambah ilmu pengetahuan di bidang hukum perdata Islam serta mengembangkan wawasan ilmu di bidang hukum keluarga, khususnya dalam bidang perkawinan dan mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim dan memutuskan perkara pemberian izin poligami.

b. Secara praktis, agar masyarakat mengetahui gambaran pengaturan poligami dalam hukum Islam dan perundang-udangan di Indonesia. Serta memperoleh hak atas informasi keilmuan secara memadai.

D. Kajian Terdahulu

Untuk mengetahui lebih jelas tentang penelitian ini, ada baiknya mengetahui penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini baik secara teori maupun kontribusi keilmuan. Sudah cukup banyak studi yang dilakukan seputar hukum perkawinan poligami baik ditinjau menurut prespektif hukum


(19)

Islam maupun perundang-undangan.Namun, sepanjang yang penulis ketahui belum ada seorang pun menulis tentang izin poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada perkara Nomor: 717 Pdt.G/2012 PAJT

Berdasarkan hasil penulusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah yang secara sepesifik serumpun dengan judul yang diangkat oleh penulis. Biarpun objek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar. Misalnya: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Wates Tahun 2008). Yang disusun oleh Rahman Bahari.Skripsi ini membahas apakah pengaturan izin poligami hanya sebatas aturan normatif saja, karena data yang didapati di lapangan dalam relaitas masyarakat, umumnya poligami dilakukan bukan karena alasan yang sesuai dengan undang-undang melainkan karena alasan syahwat.

Sementara skripsinya Ristyaningrum lebih fokus pada penekanan aspek teknis prosedur permohonan izin poligami dan alasan mengajukan poligami disebabkan istri kurang dapat melayani suaminya. Dengan judul skripsi yang dia angkat Izin Poligami (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2009.

Lain halnya dengan Ahmad Faozi skrisi ini lebih membahas pada perbandingan poligami menurut Fiqh dan KHI serta mekanisme dan alasan mengajukan poligami disebabkan kurang sanggup lagi melayani kebutuhan sexuil


(20)

suami, dia juga membandingkan putusan-putusan hakim pengadilan agama mengaenai poligami.Izin Poligami (Kasus Putusan Pengadilan Agama Cianjur) Tahun 2009.

Berbeda dengan Dani Tirtana yang mengangakat judul skripsinya Analisis Yuridis Izin Poligami dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2008. Skripsi ini lebih fokus menganalisis putusan hakim dari aspek hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Alasan suami untuk berpoligami karena menjalankan syariat agama. Karena tidak mau terjebak pada perbuatan zina.

Dari beberapa kajian terdahulu, seluruhnya mengambil dari kajian mengenai poligami dan mayoritas alasan yang diajukan pemohon untuk mengajukan permohonan poligami disebabkan aspek ketidapuasan suami dengan berbagai alasan seperti yang dikemukakan diatas . Sepengetahuan penulis hingga saat ini belum ada penelitian lain yang menjadikan judul penelitian ” IZIN

POLIGAMI DENGAN ALASAN HAK LEGALITAS ANAK BERUPA AKTE KELAHIRAN (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN

AGAMA JAKARTA TIMU NOMOR: 717 Pdt. G/2012 PAJT”

E. Metode Peneltian

1. Jenis dan Pendekatan

Jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yaitu dalam pnelitian ini pada umumnya menganalisis fakta-fakta atau kejadian-kejadian


(21)

yang relevan dengan norma-norma hukum.12 Oleh karenanya langkah awal dalam analisis ini adalah identifikasi fakta-fakta hukum berupa perbuatan, peristiwa atau keadaan-keadaan. Pendekatan normative dilakukan dengan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah izin poligami menjadi kompetensi pengadilan agama. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainya.

Dalam hal ini maka berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang atau prilaku yang diamati dengan menganalisa dan menguraikan serta mendeskripsikan isi putusan yang telah penulis dapatkan dari informan yaitu dari hakim yang mengangani kasus izin poligami dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap yang didaptkan dari pengadilan Agama Jakarta Timur dengan Nomor:717Pdt. G/2012 PAJT.

1. Sumber Data

Yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer sebagai data utama dalam penelitian ini ialah putusan pengadilan agama Jakarta timur Nomor: 717Pdt. G/2012 PAJT dan beberapa bahan hukum yang dikodifikasikan terkait dengan permasalahan izin poligami. Sedangkam data skunder ialah data yang diperoleh dengan dengan

12

Bambang Sunggono. Metodelogi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.113-114.


(22)

jalan mengdakan wawancara terhadap para pihak yang terkait dengan permasalahan yang penulis bahas.13Adapun instrument yang digunakan dengan mengadakan pedoman wawancara, yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman dan disesuaikan dengan siatusi wanwancara.

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam menghimpun seluruh data dan fakta yang menunjang permasalahan adalah sebagai berikut:

a) Studi putusan yurisprudensi

Studi putusan yurisprudensi yaitu teknik pengumpulan putusan yang sistematis dari keputusan mahkamah agung dan keputusan pengadian tinggi yang diikuti oleh hakim dalam memberikan keputusan sosial yang sama. Dalam hal ini, studi putusan yurisprudensi yang dilakukan adalah studi putusan pengadilan agama Jakarta timur Nomor:717 Pdt. G/2012 PAJT

b) Studi kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh landasan teoritis berupa konsep dari berbgai literatur yang terkait dengan materi pokok permasalahan yang akan penulis bahas, baik dari buku-buku karangan

13


(23)

ilmiah. Undang-undang, peraturan pemerintah, kompilasi hukum Islam serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas.14

c) Wawancara (interview)

Wawancara dilakukan terhadap responden-responden yang telah dipilih sebelumnya, yaitu hakim yang menangani perkara yang dimaksud.

3. Teknik Penulisan Skripsi

Adapun pedoman dan teknik yang digunakan dalam penulisan skrispi ini adalah buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai berikut:

Bab Satu merupakan pendahuluan yang terdiri dari; latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu, Metode Penulisan dan Penelitian, dan Sestematika Penulisan.

Bab Dua Poligami berdasarkan Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diIndonesia yang terdiri dari: Pengertian, Dasar hukum dan

14


(24)

Syarat-syarat Poligami, Legalitas Poligami Dalam Prespektif Fiqih, Regulasi Pelaksanaan Poligami Yang Berlaku Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia, dan Poligami dalam Lintas Sejarah dan Hikamah Disyariatkan Poligami.

Bab Tiga Pengadilan Agama Jakarta Timur Sebagai Pelaksana Kekusaan Kehakiman yang terdiri dari: Sejarah Singkat Eksistensi Pengadilan Agama Jakarta Timur, Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur, Kasus Poligami Yang Diterima di Pengadilan Agama Jakarta Timur , dan Prosedur Perkara Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

Bab Empat Analisis Putusan Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 717Pdt. G/2012 PAJT yang terdiri dari: Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur, Landasan Yuridis Putusan Izin Poligami Nomor 717 Pdt.G/2012 PAJT, dan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Timur Dalam Perkara Permohonan Izin Poligami

Bab Lima adalah merupakan bagian Penutup yang terdiri dari Kesimpulan, Saran-saran, dan Penutup.


(25)

POLIGAMI BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Pengertian, Dasar Hukum dan Syarat-syarat Poligami

1. Pengertian Poligami

Kata monogami dapat dipasangkan dengan poligami sebagai antonim. Monogami adalah perkawinan dengan istri tunggal, artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan. Sedangkan poligami adalah perakwinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.1 Dengan demikian makna umum poligami ini mempunyai dua kemungkinan pengertian, seorang laki-laki menikah dengan banyak perempuan atau seorang perempuan menikah dengan banyak laki-laki. Kemungkinan pertama disebut poligini dan kemungkinan kedua disebut poliandri. Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehingga poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak, sedangkan poligini sendiri tidal lazim dipakai.2Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa Poligami berasal dari kata bahasa Yunani dari kata “Poly” atau ”polus”, yang berarti banyak

1

Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa Poligami diartikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan juga disebutkan pengertian dari poligini dan poliandri. Poligini adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang peria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan, sedangkan poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 779.

2


(26)

dan “gamein” atau gamos” yang berarti kawin atau perkawinan. Bila pengertian ini digabung maka akan diperoleh pengertian yang berarti poligami ialah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.3

Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walau ada yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan isteri. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan firman Alla SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 3.4

Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, akan tetapi asas monogami dalam UU Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami.5

3

Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu Gender Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), h.40.

4

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.84.

5


(27)

2. Dasar hukum dan syarat poligami

Sedangkan dasar hukum mengenai poligami dalam pernikahan disebutkan secara jelas dan tegas dalam al-Qur’an. Ayat yang sering menjadi rujukan para ulama dalam hal poligami antara lain ialah:

adalah QS. Al-Nisa (4) : 3 yang artinya:

Artinya:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,6 Maka (kawinilah) seorang saja,7 atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (al-Nisa [4]: 3).

Sedangkan hadis-hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang hukum poligami dengan jelas dan gamblangsebagai berikut:

a. H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah RA dari Qais bin al-Haris:

6

Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.

7

Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

8


(28)

Artinya:

Dari Qais bin al-Haris berkata bahwa saya telah masuk Islam dan saya memeliki 8 (delapan) isteri, lalu saya datang kepada Rasulullah SAW lalu saya sebutkan kepadanya tentang hali itu maka Rasuluallah menyruhku untuk memilih 4 (empat) isteri saja.

b. H.R Ahmad dan Turmuzi RA:

Artinya:

Dari Ibnu Umar RA ia berkata bahwa telah masuk Islam Qhailan as-Saqafi dan dia memeliki 10 (10) isteri pada masa Jahiliyah dan mereka semua masuk Islam bersama dengannya, maka Rasulullah SAW menyuruhnya untuk memilih 4 (empat) saja.

Sedangkan mengenai syarat poligami. Para ulama menyebutkan dua syarat yang Allah Subhanahu Wata’ala sebut dalam Al-Quran ketika seorang lelaki hendak berpoligami, dan syarat lainnya yang disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wasallam antara lain sebagai berikut:

1. Jumlah istri yang paling banyak dikumpulkan adalah empat, tidak boleh lebih. 2. Bisa berbuat dan berlaku adil di antara para istri.

3. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta.

9

Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), Jilid 9. h.393.


(29)

B. Legalitas Poligami

Monogami ialah praktek perkawinan yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu, berbeda dengan perkawinan monogami, poligini adalah praktek perkawinan dengan dua orang istri atau lebih pada saat yang sama. Dua bentuk perkawinan ini memiliki legitimasi normatifnya dalam hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Tetapi dalam aktulisasi atau implementasinya, perkawinan poligini mengalami penyimpangan, cenderung mengutamakan keinginan-keinginan individual (self interrest). Padahal perkawinan poligini dalam Islam mengutamakan aspek kemaslahatan.

Sejarawan Perancis terkemuka, Gustave Le Bon, menyatakan bahwa undang-undang Islam yang membenarkan poligami merupakan suatu keistimewaan dari agama ini, dan berkaitan dengan perselingkuhan dan hubungan gelap kaum peria dan wanita eropa.10

Keberadaan hukum di tengah masyarakat tidak hanya bertujuan menciptakan ketertiban dan keteraturan, tetapi hukum harus mampu memainkan peranan dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Dalam penegakan hukum, paling tidak ada tiga asas yang harus diperhatikan, yaitu: asas keadilan (Gerechtigkeit), asas kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan asas kepastian hukum

10


(30)

(Rechtssicherheit). Dalam penegakan hukum, ketiga asas tersebut harus sama-sama diperhatikan secara proporsional dan seimbang.11

1. Poligami Dalam Perspektif Fikih

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa Islam bukanlah agama yang pertama kali mengenalkan institusi poligami. Fenomena poligami sudah ada pada sejarah manusia berabad-abad yang lalu sebelum datangnya Islam. Masyarakat Arab sebelum Islam juga sudah tidak asing lagi dengan praktik-praktik poligami dalam kehidupan sehari-harinya.

Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, kendatipun tidak menghapus praktik ini, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan berlaku adil di antara para istri. Syarat-syarat ini ditemukan di dalam dua ayat poligaminya yaitu surah an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129.

Artinya:

“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”

11

Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Jurisprudence Press, 2012),h. 84.


(31)

Selanjutnya pada surah yang sama ayat 129 Allah berfirman sebagai berikut:

Artinya:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesunguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang laki-laki beristeri sampai dengan empat orang wanita saja dalam waktu yang sama. Penegasan ini dinyatakan dalam bentuk perintah. Akan tetapi, perintah pada ayat di atas hukumnya tidak dengan sendirinya menyatakan wajib seperti halnya perintah melakukan shalat lima waktu atau puasa di bulan ramadhan.12 Instrument hukum poligami tersebut hukumnya mubah, artinya bebas dilakukan oleh setiap lelaki muslim selama yang bersangkutan memenuhi persyaratan untuk dapat melakukannya dengan adil dan memberikan kecukupan kepada isteri-isterinya. Namun dalam hal ini yang perlu dingat adalah prinsip murni dalam

12

Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, (Bandung :Irsyad Baitus Salam, 2001), h.18.


(32)

Islam adalah monogami, yakni perkawinan antara satu laki-laki dengan satu perempuan, tanpa perceraian.13

Sebagaimana yang penulis kutip dari penjelasan yang disampaikan oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya yang mengambil pendapat dalam penafsiran Asghar, sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Quran begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada maka Al-Quran membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus adil. Dengan mengutip al-Thabari, menurut Asghar, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.14

Berbeda dalam pandangan fikih, poligami yang di dalam kitab-kitab fikih disebut dengan Ta’addud al-Zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bergmacam-macam. As-Sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. As-Syafi’i juga

13

Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of Islam,Terj., Nur Rachman, Syari’ah

Demokratik, (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), h.204.

14

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2004), h.158.


(33)

mensyaratkan keadilan di antara para istri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyakut urusan materi atau unsur fisik saja semisal mengunjungi istri di malam atau di siang hari.15

Jika disederhanakan, pandangan normatif Al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh suami. Pertama, seorang laki-laki yang berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang laki-laki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.16

Salah satu yang menjadi problematika sejak dahulu sampai sekarang yang tetap menjadi perdebatan hangat di kalangan ahli hukum Islam adalah status poligami. Mayoritas ilmuan klasik dan pertengahan berpendapat bahwa poligami adalah boleh secara mutlak. Sementara mayoritas pemikir kontemporer dan perundang-undangan muslim modern membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi tertentu yang sangat terbatas. Lebih dari itu ada pemikir dan UU perkawinan Muslim yang mengharamkan poligami secara mutlak.17

15

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia…, h. 158.

16

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia…, h. 159.

17

Akhmad Haries, Poligami dalam perspektif Asghar Ali Engineer dan relevansinya dengan konteks Indonesia, Jurnal Mazahib, vol. IV, No. 2, Desember 2007, h.1.


(34)

Dengan ungkapan lain, ada tiga (3) pandangan tentang poligami ini, yakni: Pertama, mereka yang membolehkan poligami secara mutlak, di antaranya mayoritas ulama klasik dan pertengahan, dengan syarat; mampu mencukupi nafkah keluarga, dan mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, di antaranya dari mazhab Hanafi seperti al- Sarakhsi, al-Kasani, Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. Kedua, mereka yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi-kondisi tertentu; Di antara tokoh yang masuk kelompok ini adalah Quraisy Shihab, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan lain-lain. Dan ketiga, mereka yang melarang poligami secara mutlak, di antaranya al-Haddad dan Druze Lebanon.18

Sementara alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan. Pertama, istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan. Kedua, istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan. Ketiga, istri sakit ingatan. Keempat, istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai istri. Kelima, istri memiliki sifat buruk. Keenam, istri minggat dari rumah. Ketujuh, ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya. Kedelapan,

18Khoiruddin Nasution, ”

Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002, h.59-78.


(35)

kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak menimbulkan kemudharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.19

Al-Athar dalam bukunya Ta’ddud al-Zaujat sebagaimana yang telah dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Hukum Perdata Islam di Indoneisia menyebutkan ada empat dampak negatif poligami yaitu: Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan diantara para istri. Kedua, menibulkan rasa kekhawatiaran istri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan adil. Ketiga, anak-anak yang dilahirkan dari ibu-ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu. Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi.20

Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda (madunya istri tua) menjadi tegang, sementara anak-anak yang berlainan ibu menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi ketika ayahnya telah meniggal dunia, agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang beristri

19

Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT rineka cipta, 1992), h.46-47.

20


(36)

lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu,21 dengan mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-undang perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu betul-betul membawa manfaat kepada mereka yang melaksanakannya.22

Islam memiliki sistem-sistem perkawinan yang sempurna yang mempertimbangkan semua variable manusiawi dan memberikan jalan keluar yang jelas bagi kaum pria maupun wanita. Pengingkaran terhadap validitas

dan legalitas poligami sama saja dengan meningkari ketuntasan sistem perkawinan Islam dan kebijakan ketetapan tuhan.23

2. Regulasi pelaksanaan poligami yang berlaku dalam perspektif hukum positif di Indonesia adalah:

Asas perkawinan di Indonesia seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah monogami. Poligami merupakan

21

Sebagaimana yang penulis kutip dari bukunya amir syarifuddin, hukum perkawinan Islam Indonesia antara fikih munakahat dan undang-undang perkawinan menyebutkan, asas dan prinsip perkawinan itu dalam bahasa sederhananya adalah sebagai berikut: satu, asas sukarela. Dua, partisipasi keluarga. Tiga, perceraian dipersulit. Empat, poligami dibatasi secara ketat. Lima, kematangan calon mempelai. Enam, memperbaiki derajat kaum wanita.

22

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, …, h. 10 -11.

23

Abu Aminan Bilal Philips, Monogami Dan Poligini Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.8.


(37)

pengecualian dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan dalam perundang-undangan.

Perkawinan di Indonesia termasuk di dalamnya aturan poligami diatur sedemikian rupa yang terhimpun dalam beberapa peraturan perundang-undangan di antaranya adalah: Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana Udang-undang No. 1 Tahun 1974, PP No. 10 Tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990 dan Kompilasi Hukum Islam.

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dalam UU No. 1 Tahun 1974, masalah poligami diatur pada pasal 3, 4, dan 5.

Pasal 3 berbunyi :24

(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihakyang bersangkutan.

Dari penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria

24

Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2).


(38)

hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Namun dalam pasal 3 ayat (2) dijelaskan tentang pengecualian dari pasal 3 ayat (1) yakni: pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang berasangkutan.

Dari paparan di atas, ternyata poligami di Indonesia tidak boleh dilakukan secara liar atau illegal. Institusi peradilanlah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas memberikan dispensasi untuk poligami. Adapun persyaratan yang harus dilengkapi oleh orang yang mengajukan dispensasi poligami adalah cukup alasan. Alasan tersebut seperti yang tercantum dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) yaitu:25

(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

25

Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2).


(39)

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dengan demikian, seseorang yang ingin melaksanakan hajatnya untuk berpoligami harus mengajukan alasan-alasan yang sudah ditentukan dalam peraturan yang tertera dalam pasal 4 ayat (2) dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) diperjelas lagi:26

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. adanya persetujuan dari isteri/ister-isteri

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka

c. adanya jaminan bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama

26

Lihat Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2).


(40)

sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Untuk kelancaran pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang mengatur ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dan dalam hal suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Agama, kemudian di Pengadilan Agama akan memberikan keputusan apakah permohonan tersebut diluluskan atau ditolak.

Dalam PP No. 9 Tahun 1975 mengatur lebih terperinci tentang Pelaksanaan poligami Atas Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan beristri lebih dari seorang. Yaitu :

Pasal 40

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pasal 41

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah :


(41)

1) bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 2) bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

3) bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.

c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:

1) surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau

2) surat keterangan pajak penghasilan; atau

3) surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;

d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Pasal 42

(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.


(42)

(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Pasal 43

Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Pasal 44

Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud

dalam Pasal 43.

3. PP No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami, dimana seorang pria hanya mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Namun dalam keadaan tertentu dan dengan putusan pengadilan maka seorang PNS pria bisa memiliki istri lebih dari seorang (poligami). Tujuan dibuatnya PP No. 10 Tahun 1983 ini adalah dinyatakan dalam


(43)

memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga.27

Perizinan poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 sesuatu hal yang sangt sulit dilakukan. Peraturan disebutkan dalam pasal 4 yaitu:

Pasal 4

(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis.

(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat.

27

Lihat consideran pertimbangan poin (b) Peraturan pemerintah No 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.


(44)

PNS pria yang ingin berpoligami wajib mengajukan izin secara tertulis terlebih dahulu dari pejabat dengan disertai alasan-alasan yang mendasari keinginannya tersebut. Izin tersebut hanya dapat diberikan jika memenuhi sekurang-kurangnya satu syarat alternatif dan semua syarat kumulatif.28 Adapun syarat alternatif sebagaimana dimaksud adalah :29

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan, atau

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan

Adapun syarat kumulatif yang harus dipenuhi adalah :30

a. ada persetujuan tertulis dari isteri

b. PNS yang bersangkutan mempunyai menghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan

c. ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

28

Lihat Pasal 10 PP 10 Tahun 1983

29

Lihat Pasal 10 Ayat 2 PP 10 Tahun 1983

30


(45)

Pejabat yang menerima permintaan izin untuk berpoligami wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan dari atasan PNS yang bersangkutan. Apabila ada alasan yang dirasa kurang meyakinkan maka pejabat tersebut dapat meminta keterangan tambahan dari isteri atau pihak lain yang dianggap perlu. Sebelum mengambil keputusan, maka pejabat memanggil PNS yang bersangkutan, baik sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberikan nasehat.

Seorang pejabat juga dapat menolak permintaan izin untuk berpoligami jika :31

a. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh PNS yang mengajukan izin

b. Tidak memenuhi salah satu syarat alternatif dan semua syarat kumulatif c. Bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku

d. Alasan yang dikemukakan untuk beristri lebih dari seorang bertentangan dengan akal sehat dan/atau

e. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung dari PNS yang bersangkutan.

31


(46)

4. PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintahan Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Pegawai Negeri Sipil merupakan unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk menyelenggarakan kehidupan keluarga. PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Dalam pasal 4 ayat 2 PP No. 10 Tahun 1983 menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil wanita di izinkan untuk menjadi istri kedua, ketiga ataupun keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, kemudian PP tersebut direvisi oleh PP No. 45 Tahun 1990 dengan tidak memperbolehkan sama sekali PNS wanita untuk menjadi istri kedua, ketiga ataupun keempat baik oleh Pria PNS maupun bukan PNS.32

5. Kompilasi Hukum Islam

Yang melatarbelakangi Kompilasi Hukum Islam adalah keinginan untuk mengadakan kodifikasi dan unfikasi hukum Islam di Indonesia, minimal hukum Islam yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama, karena tanpa adanya hal itu, dikhawatirkan akan muncul

32

Lihat pasal 4 Ayat 2 PP No. 45 Tahun 1990 Tentang Izin Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil.


(47)

ketidakpastian hukum di lingkungan Peradilan Agama yakni permasalahan yang sama, diajukan oleh orang yang berbeda menghasilkan hukum yang berbeda pula. Kompilasi ini dikukuhkan dengan Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991. Di dalamnya menyangkut tiga pokok permasalahan yang terbagi menjadi tiga buku. Buku I Berisi Hukum Perkawinan, Buku II Berisi Hukum Kewarisan, Buku III Berisi Hukum Wakaf.33

Dalam menjabarkan masalah poligami, KHI lebih cenderung sebagai tafsir dan bayan bagi Undang-undang No 1 Tahun 1974, yakni poligami sebagai dispensasi dari monogami dengan beberapa persyaratan. Permasalahan poligami tercantum dalam Bab IX dari pasal 55 sampai dengan pasal 59.34

Dalam Inpres No. 1/1991, masalah poligami diatur pada pasal 55, 56, 57, 58, dan 59.

Pasal 55 berbunyi :

(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.

(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

33

Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu Gender Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), h. 58-59.

34


(48)

(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

Pasal 56 berbunyi :

(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. Tahun 1975.

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57 berbunyi :

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 58 berbunyi :

(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undangundang No. 1 Tahun 1974 yaitu :


(49)

a. adanya persetujuan isteri

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekali pun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Pasal 59 berbunyi :

Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan.


(50)

C. Poligami Dalam Lintas Sejarah dan Hikmah Disyariatkan Poligami

1. Poligami Dalam Lintas Sejarah

Sebenarnya sistem poligami sudah meluas ke banyak bangsa sebelum Islam datang, Diantaranya bangsa-bangsa yang melaksanakan praktik poligami ialah: Bangsa Ibrani, Arab Jahiliyah, Saqalibah atau disebut juga orang-orang terdahulu (Cisilia) yang sekarang itu mereka dinisbatkan kepada bangsa-bangsa penghuni negara-negara Rusia, Lituania, Polandia, Cokoslowakia dan Yugoslowakia dan menurut sebagian Orang-orang Jerman dan Saxson, mereka memasukkan juga bangsa-bangsa sekarang dinamakan: Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris. Tidak benar apa yang mereka katakan bahwa Islamlah yang membawa sistem poligami. Sebenarnya sistim poligami itu tersebar hingga hari ini ke beberapa bangsa tidak beragama Islam, seperti orang-orang bangsa Afrikia, India, Cina dan Jepang, tetapi juga tidak benar kalau dikatakan sistem poligami ini tersebar ke negara-negara umat beragama Islam saja.35

Bangsa Arab sebelum Islam melakukan poligami tanpa batas, bahkan taurat yang ada di tangan kita saat ini membolehkan poligami tanpa batas.

35

http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/POLIGAMI-DAN-APLIKASI-HUKUM-ISLAM-DI-INDONESIA.html, diakses, pada tanggal 13 juli 2014 jam13:20 WIB.


(51)

Taurat juga menyebutkan bahwa sebagian para nabi melakukan poligami tanpa batas, dan Islam datang membatasinya dengan jumlah empat orang wanita dan meletakkan syarat adil dan mampu memberi nafkah, dan ia adalah syarat setiap perkawinan sekalipun hanya dengan satu orang. Ia adalah syarat agama yang menyebabkan seseorang berdosa bila tidak menunaikannya.36

Poligami telah dikenal oleh bangsa-bangsa di permukaan bumi sebagai masalah kemasyarakatan. Poligami juga banyak diperhatikan oleh para sarjana dan ahli-ahli seksiologi seperti Sigmund Freud, Adler, H. Levie, Jung, Charlotte Buhler, Margaret Mead dan lain-lain. Di dunia Barat, kebanyakan orang benci dan menentang poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa disana menganggap bahwa poligami adalah hasil dari perbuatan cabul dan oleh karenanya dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral. Akan tetapi, kenyataannya menunjukkan lain, dan inilah yang mengherankan. Di Barat, kian merajalela terjadinya praktik-praktik poligami secara liar atau non-legal

di luar perkawinan yang sah, hal yang demikian sejak dulu sudah bukan rahasia lagi. Hendrik II, Hendrik IV, Lodeewijk XV, Rechlieu, dan Napoleon I, adalah sekadar contoh orang-orang besar Eropa yang berpoligami secara

illegal, bahkan Pendeta-pendeta Nasrani yang telah bersumpah tidak akan kawin selam hidupnya, tidak malu-malunya membiasakan juga kebiasaan

36

Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi, (Jakarta: Tim Pustaka Darul Haq, 2007), h.73.


(52)

memelihara istri-istri gelap dengan izin sederhana dari uskup atau kepala-kepala gereja mereka.37

Melihat realita ini, banyak juga diantara para sarjana barat, penganjur poligami atau paling tidak orang-orang barat yang mulai terbuka dan bersikap lunak dengan poligami. Dr. Gustav Le Bon pernah berkata: “pada masa-masa yang akan datang nanti, Undang-undang Bangsa Eropa akan melegalisasi poligami”. M. Letourbeau juga pernah berkata: “hingga sampai saat ini, belum juga dapat diyakini bahwa sistem monogami itu yang lebih baik”.38

Di zaman yang serba modern ini, soal poligami tampaknya masih hangat dibicarakan. Malah sebagian orang tidak puas dengan sekedar membahas tentang baik buruknya sistem poligami bagi manusia, tetapi lebih jauh lagi orang ingin mengetahui sifat biologis manusia pria dan wanita. Yaitu, apakah memang manusia jenis kelamin pria itu bersifat poligami atau tidak dan apakah manusia wanita itu bersifat monogami atau tidak.39

Dalam realitasnya, hanya golongan Kristen Katholik saja yang tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja, sedangkan aliran-aliran Ortodoks dan Protestan atau Gereja Masehi Injil

37

Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009).h. 353.

38

Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,…,h. 353.

39


(53)

membolehkan seorang Kristen untuk menceraikan istrinya dengan syarat-syarat yang tertentu pula.40

Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak mengahruskan umatnya melaksanakan monogami mutlak. Dengan pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apa pun dan tidak pandang bulu apakah laki-laki itu kaya atau miskin, hiposek atau hipersek, adil atau tidak adil secara lahiriyah. Islam pada dasarnya menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran dibolehkannya poligami terbatas. Pada perinsipnya seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang istri dan sebaliknya seorang istri hanya memiliki seorang suami. Tetapi, Islam tidak menutup diri adanya kecendrungan laki-laki beristri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala. Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian karena tidak semuanya mempunyai kemampuan untuk berpoligami.

Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai alternatif atau pun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang menggangu ketenangan batinnya agar tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab itu tujuan poligami adalah menghindari agar

40


(54)

suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi dengan syarat bisa berlaku adil.

Poligami dalam lintas sejarah manusia ternyata mengukuti pola fikir masyarakat terhadap pandangan mereka kepada kaum perempuan. Ketika suatu masyarakat itu memandang kedudukan dan derajat perempuan itu sebagai makhluk yang hina, maka poligami menjadi subur (banyak dilakukan), sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan dan derajat perempuan itu terhormat, poligami pun berkurang. Jadi konklusi dari tingkat perkembangan poligami dilihat dari realita sejarahnya juga mengalami diagram fluktuatif.

Islam datang dengan membawa pesan moral kemanusiaan yang tidak ada bandingannya dalam agama manapun. Ketika Nabi Muhammad SAW. membawa pesan Islam datang, kebebasan berpoligami itu tidak serta merta dihapuskan, namun setelah ayat menyinggung poligami diwahyukan, Nabi SAW lalu melakuka perubahan sesuai petunjuk kandungan ayat. Pertama,

membatasi jumlah bilangan isteri hanya empat. Kedua, Islam menetapkan bagi seorang pria yang melakukan poligami untuk berlaku adil terhadap semua isterinya.

Dengan adanya sistem poligami dan ketentuannya dalam ajaran islam, merupakan suatu karunia begi kelestariannya, yang menghindari dari


(55)

perbuatan-perbuatan sosial yang kotor dan akhlak yang rendah dalam masyarakat yang mengakui poligami. Adapun dalam masyarakat yang melarang poligami dapat dilihat hal-hal sebagai berikut:41

a. Kejahatan dan pelacuran tersebar dimana-mana sehingga jumlah pelacur lebih banyak dari pada perempuan yang bersuami.

b. Banyaknya anak-anak yang lahir tanpa ayah yang jelas, sebagai hasil dari perbuatan diluar nikah. Di amerika, misalnya setiap tahun lahir anak di luar nikah lebih dari dua ratus ribu.

c. Munculnya bermacam-macam penyakit badan, kegoncangan mental, dan gangguan-gangguan syarat.

d. Mengakibatkan keruntuhan mental.

e. Merusak hubungan yang sehat antara suami dan istrinya, menggangu kehidupan rumah tangga dan memutuskan tali ikatan kekeluargaan, sehingga tidak lagi menganggap segala sesuatu yang berharga dalam kehidupan bersuami istri.

f. Meragukan sahnya keturunan sehingga suami tidak yakin bahwa anak-anak yang diasuh dan dididik adalah darah dagingnya sendiri.

Bahwasanya Ini membuktikan poligami yang diajarkan oleh Islam merupakan cara yang paling sehat dalam memecahkan masalah ini dan

41


(56)

merupakan cara yang paling cocok untuk dipergunakan oleh umat manusia dalam hidupnya di dunia.

Secara historis masalah poligami sebelumnya telah marak diperbincangkan, jauh sebelum UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjadi Undang-undang. Pada akhirnya monogami ditetapkan menjadi salah satu azas tetapi dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya diizinkan bagi seorang suami beristeri lebih dari seorang. Masuk dalam pengecualian tersebut adalah orang yang beragama Islam, karena secara normatif tekstual Al-Qur’an dianggap membolehkan poligami.

2. Hikmah Disyariatkannya poligami

Sesungguhnya segala sesuatu yang ditetapkan dalam ajaran agama Islam ini tidak akan ditetapkan kecuali untuk satu hikmah atau beberapa banyak hikmah yang terkandung di dalamnya, dan manusia kadang menemukan hikmah-hikmah tersebut atau hanya sebagiannya saja sejak awal, dan kadang hikmah-hikmah tersebut bisa ditangkap manusia setelah memeras pikiran dan melewati beberapa proses peneltian yang panjang, dan kadang manusia tidak bisa mengetahui secara mutlak.42 Hikmah poligami beragam dan banyak sekali, di antaranya:

42


(57)

Pertama: terdapat realita yang tampak mencolok di berbagai masyarakat dunia akan lebih banyak jumlah kaum wanita yang telah melewati umur untuk menikah dibanding kaum laki-laki, sebagaimana yang terjadi di Negara-negara Eropa Utara, dimana kaum wanita disana melebihi kaum laki-laki secara mencolok diluar waktu perang sekalipun. Maka solusinya adalah, laki-laki yang telah mencapai umur untuk menikah sebagian atau semuanya menikahi lebih dari seorang, dan bahwasanya wanita kedua, ketiga atau keempat tersebut adalah istri terhormat dan mulia bagi suaminya.43

Kedua: umat manusia seringkali mengalami krisis yang menyebabkan surplusnya kaum wanita, seperti yang biasa terjadi pasca revolusi, wabah atau bencana alam. Banyak kaum wanita yang akan hidup tanpa suami, dan itu akan menghasilkan resiko semakin berkurangnya angka kelahiran dan itu tidak mustahil. Jika dalam kondisi seperti ini poligami tidak diperbolehkan sebagaimana yang dilakukan islam, maka kemesuman, pergaulan bebas, penyelewengan dan pelacuran akan tersebar di masyarakat dan semakin meningkat jumlah anak-anak haram.44

Ketiga: jika istri mandul sang suami ingin punya anak, maka tak ada jalan baginya, karena mencintai anak-anak adalah insting yang tertanam dalam diri manusia, maka solusinya adalah, istri yang mandul itu tetap

43

Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi, …,h.65-66.

44


(58)

bersama sang suami menikmati hak-hak perkawinan secara sempurna, dan suami dibolehkan untuk menikah dengan wanita lain (poligami) untuk mewujudkan fitrah manusia berupa kecintaanya terhadap anak-anak, tanpa meniggalkan mudharat atau merampas hak-hak istrinya yang pertama dan ini adalah solusi islami.45

Keempat: bahwa istri ditimpa penyakit yang berkepanjangan atau penyakit yang menular atau penyakit yang menakutkan yang menyebabkan sang suami tidak dapat menggaulinya sebagaimana layaknya hubungan suami istri yang normal.46

Kelima: bahwa seorang laki-laki memiliki kekuatan biologis yang hebat dimana dia tidak cukup dengan seorang istri atau tidak bisa menahan diri pada hari-hari dimana sang istri tidak boleh digauli, seperti masa-masa haid, hamil, semasa melahirkan, ketika sedang sakit, atau karena usia yang telah lanjut.47

Keenam: Anak yang dilahirkan menpunyai legal formal dan ayah yang jelas. Banyaknya anak-anak yang lahir tanpa ayah yang jelas, sebagai hasil dari perbuatan di luar nikah. Berbeda dengan anak yang lahir dari perbuatan zina yang akan selalu mendapat cemoohan dan cacian dari masyarakat,

45

Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi…, h.68.

46

Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi…, h.69.

47


(59)

sedangkan anak yang lahir dari pernikahan poligami yang resmi akan mendapat legal formal baik dari Negara maupun dari masyarakat.

Ketujuh: Status yang jelas bagi perempuan. Sama halnya dengan anak yang lahir dari perbuatan zina yang tidak memiliki status yang jelas di masyarakat dan hukum, maka perempuan yang berbuat zina juga tidak memiliki ststus sosial yang jelas.

Kedelapan: Hanya Allah lah yang maha mengetahui hikmah dari segala ucapan dan perbuatan, karena dibolehkannya poligami bukan berarti menghina kaum wanita atau merendahkan derajat dan kemulian mereka, akan tetapi semata demi kemaslahatan bagi wanita, laki-laki dan masyarakat banyak.

Sayyid Sabiq menerangkan hikmah berpoligami cukup panjang sebagaimana disadur oleh Achmad Kuzari dalam bukunya nikah sebagai perikatan antara lain:48

1. Sebagai karunia dan rahmat Allah, dan menjadi diperlukan untuk kemakmuran dan kemaslahatan.

2. Memperbesar jumlah ummat karena keagungan itu hanyalah bagi yang berjumlah banyak.

3. Mengurangi jumlah janda sambil menyantuni mereka.

4. Mengantisipasi kenyataan bahwa jumlah wanita berlebih dibanding pria.

48


(60)

5. Mengisi tenggang waktu yang lowong berhubungan secara kodrati pria itu lebih panjang masa membutuhkan berhubungan seks baik karena dalam usia lanjut yang wanita sudah tidak membutuhkan sementara pria tetap saja, atau pun karena tenggang waktu sebab haid dan nifas.

6. Dapat mengatasi kalau istri mandul, dan

7. Sebaliknya di tempat yang menganut pemaksaan monogami terlahir banyak kefasikan, banyak WTS (wanita tuna susila), dan banyak pula anak di luar nikah.

Dari penjelasan mengenai beberapa banyak hikmah yang sudah penulis kemukakan di atas menunjukkan bahwa syariat Islam membawa ajaran yang komprehensif mengenai solusi dari persoalan pelik kehidupan masyarakat dan membawa maslahat bagi umat manusia, sedangkan bagi mereka yang mengingkari adanya sistem poligami dalam hukum perkawinannya maka bisa dilihat banyak timbul masalah-masalah sosial dalam lingkungan masyarakat, keluarga, dan Negara.


(61)

PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR SEBAGAI PELAKSANA KEKUSAAN KEHAKIMAN

A. Sejarah Singkat Eksistensi Pengadilan Agama Jakarta Timur

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum republik Indonesia.1

Kata peradilan berasal dari kata adil dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemahan dari Qadha yang berarti memutuskan, melaksanakan,menyelesaikan. Dan ada pula yang menyatakan bahwa umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.2

Dalam literatur fikih islam, peradilan disebut Qadha artinya menyelesaikan seperti firman Allah:

Artinya:

11

Lihat pasal 1 undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Dan lihat bukunya fauzan, pokok-pokok hukum acara perdata peradilan agama dan mahkamah syariah di Indonesia, Jakarta: kencana, 2007, h.1.

2

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.1.


(62)

“Manakala zaid telah menyelasaikan keperluannya dari zainab” (QS. Al-Ahzab: 37)

Ada juga yang berarti menunaikan seperti firman Allah:

Artinya:

“Apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kepelosok bumi” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Di samping itu menyelesaikan dan menunaikan seperti di atas. Arti

qadha yang dimaksud ada pula yang berarti memutuskan hukum atau menetapkan suatu ketetapan. Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna yang terakhir inilah yang dianggap signifikan. Dimana makna hukum disini pada asalnya berarti menghalangi atau mencegah, karenanya qadhi

dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dan penganiayaan. Oleh karena itu apabila seseorang menagatakan hakim telah menghukum begini artinya hakim telah meletakkan sesuatu hak yang mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak.

Kata peradilan menurut istilah ahli fikih adalah berarti:

1. Lembaga hukum (tempat dimana seorang mengajukan mohon keadilan) 2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seorang yang

mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.


(1)

102

berimplikasi pada kehidupan para pencari keadilan yang seharusnya

membawa manfaat dan maslahat.

3. Kepada Akademisi khusunya bagi para intelektual akademisi yakni

mahasiswa. Mahasiswa harus lebih proaktif dan responsif untuk

mensosialisasikan aturan dalam hukum perkawinan secara komprehensif, agar

informasi mengenai aturan tersebut tidak hanya sampai di kalangan

masyarakat elit saja melainkan pada masyarakat lapisan paling bawah

terutama dalam bidang hukum keluarga terkait aturan perkawinan utamanya

sosialisasi poligami yang memiliki legalitas dan yang illegal atau tidak sah

secara yuridis formal.

4. Kepada Masyarakat agar menghindari intensitas potensi konflik dalam rumah

tangga yang disebabkan poligami. Dan para pelaku poligami harus memenuhi


(2)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abdullah, Haidar, Kebebasan Seksual Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003.

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Alimin, Nurlelawati, Euis, Potret Administrasi Keperdataan Islam Di Indonesia, Ciputat, Orbit Publishing, 2013.

Amzulian Rifa’i, Suparman Marzuki, dan Andry Sujtamoko, Wajah Hakim Dalam Putusan: Studi Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia universitas Islam Indonesia.

Arifin, Jaenal Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.

Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu Gender Dalam Islam, Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.

Bilal Philips, Abu Aminan, Monogami Dan Poligini Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Cotterel, Roger, Sosiologi Hukum, diterjemahkan dari karya Roger Cotterel, The Sociology Of Law: An Introduction (London: Butterworths, 2004) Bandung: Nusa Media, 2012.

Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang


(3)

Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, Jakarta: Kencana, 2010.

Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Hadi, Sutrisno, Metodelogi Research jilid 1, Yogyakarta: Andi Soffet, 1994.

Haikal, Abuttawab, Poligami Dalam Islam vs Monogamy Barat, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993.

Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001.

Hamami, Taufiq, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Pasca Amandemen ke Tiga UUD 1945, Jakarta: Tatanusa, 2013. Harahap, Yahya Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Harahap, Yahya Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Hilmi Farhat, Karam Poligami Dalam Panndangan Islam, Nasrani & Yahudi, Jakarta: tim Pustaka Darul Haq, 2007.

I Doi , Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Khuzari, Achmad, Nikah Sebgai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.

Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Ihya, tt), Jilid 1. h.628. Nomor hadis 1952.


(4)

Manan, Abdul Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2008.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.

Manan, Abdul, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta: Kencana, 2007.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2007.

Nasution, Khoiruddin, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002.

Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Nurul Irfan, H.M, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2012.

Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.

Rahman, Abdur, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT rineka cipta, 1992.

Riadi, Edi, Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Bidang Perdata Islam, Jakarta: Gramata Publishing, 2011.


(5)

Shihab, M. Quraish Menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Untuk Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati, 2010.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Peneltian Hukum, Jakarta: UI-PRESS, 1998.

Sunggono, Bambang. Metodelogi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007.

Thalib, Muhammad, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, Bandung :Irsyad Baitus Salam, 2001.

Tihami, Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materil UU Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustaka Jakarta, 2012.

Yunus, Nur Rohim, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, Jakarta: Jurisprudence Press, 2012.

Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, Malang: UIN-Malang Press, 2008.

Peraturan Perundang-undangan

UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


(6)

Internet

http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/POLIGAMI-DAN-APLIKASI-HUKUM-ISLAM-DI-INDONESIA.html, diakses, pada tanggal 13 juli 2014 jam13:20 WIB.