Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif

(1)

PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA

EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF

TESIS

Oleh

RUDY HENDRA PAKPAHAN 077005151/HK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA

EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUDY HENDRA PAKPAHAN 077005151/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF

Nama Mahasiswa : Rudy Hendra Pakpahan

Nomor Pokok : 077005151

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 12 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Dalam peraturan perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di era otonomi daerah saat ini mengingat Perda adalah produk Kepala Daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah prinsip otonomi seluas-luasnya artinya daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.

Di Indonesia terjadi dualisme tentang pengaturan pembatalan Perda yaitu, yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai badan administrasi dan pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dualisme ini terlihat dalam ketentuan Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, serta ketentuan Pasal 145 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tersebut dibedakan kewenangan pengujian Perda dalam ayat yang berbeda pula. Akibat hukum dari pengujian terhadap Perda oleh Pemerintah adalah berupa pembatalan Perda sementara akibat hukum dari pengujian Perda oleh Mahkamah Agung apabila satu Perda yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang diatasnya maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan memerintahkan Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD untuk mencabut Perda tersebut paling lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Perda yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK).


(6)

Disarankan agar instrumen hukum pembatalan Perda tidak cukup dengan menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri karena syarat dan mekanisme pembatalan Perda dewasa ini harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Seharusnya pembatalan Perda dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden kemudian disarankan batas waktu proses pengujian peraturan perundang-undangan diatur secara jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung agar Perda yang sedang diuji tidak terkatung-katung pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama


(7)

ABSTRACT

According to legislation rules, regional regulation has a unique position ssince though regional regulation is placed under The Act yet there is no unity of opinion among the experts on the subject of the person who actually has the power to examine. Debate upon the validity of executive review and judicial review toward regional regulation becomes nowadays question in the era of area that has autonomy regarding the regional regulation is the product of District Head and Assembly at Provincial Level (DPRD) in an autonomous district. As stated in The Act Number 32 in 2004, principle of autonomous district applied is autonomy principle, which is as widespread as possible, that is, the district is given authority to manage all governmental things excepts those which become government responsibility as it is stated on The Act. Districts have authority to make their own policy to give service, role improvement, initiative, and make an efficient society aiming to improve society’s welfare.

The research is commited by normative law method. The main data are secondary data. The data are collected by library research and field research. The secondary data are analyzed by qualitative analysis.

Dualism of the annulment regional regulation arrangement occurs in Indonesia which is done by the government as administrative institution and a trial done by Supreme Court. The dualism is visible in Article 145 subsection 2 and 5 Act Number 32 in 2004 concerning District Government. That Acts differentiate the authority of regional regulation trial in a different subsection. Consequently, the regional regulation is called off temporarily because of the law of regional regulation trial commited by Supreme Court, namely if one regional regulation is contradicted with legislation rules hence Supreme Court grants the request and ask District Government and Assembly at Provincial Level (DPRD) to abrogate the regional regulation maximum of 90 days. The judicial review can not be submitted to the decision of calling off the regional regulation made by Supreme Court.

As a suggestion, law instrument used to call off the regional regulation is not sufficient only by applying the decision of Minister of Domestic Affair since the qualifications and mechanism of regional regulation annulment must refer to The Act Number 32 in 2004. The annulment suppose to be committed by President with Presidential Regulation. Subsequently, as a suggestion, the time limit of the process of regional regulation trial should be obviously managed in Supreme Court regulation so that the regional regulation which is being examined will not be pending in the district because of a long time trial.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih karunia-Nyalah penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam tesis ini, penulis menyajikan judul : ”Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena kemampuan penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatmya membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya dikemudian hari.

Pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H. SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.


(9)

4. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan-arahan yang sangat membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, perhatian dan dukungan yang tiada henti-hentinya demi selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya. 6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Anggota Komisi Penguji.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji.

8. Para Dosen Penulis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis yang akan bermanfaat dikemudian hari.

9. Bapak Drs. Mashudi, Bc.IP, MAP selaku Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Studi Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara atas biaya Kanwil serta Bapak Drs. Rosman Siregar, SH, MH selaku Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM.

10.Orangtuaku tercinta, Ayahanda M. Pakpahan dan Ibunda T. Br. Silaban yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan doa yang tiada putus-putusnya demi kebaikan dan keberhasilan anaknya serta mertuaku Amang K. Butarbutar dan Inang H. Br. Sinaga atas doanya.

11.Teristimewa untuk “Istriku Tercinta Asian Novalina Butarbutar, SP” terima kasih atas cinta, kasih sayang, perhatian dan dukungannya selama ini... Banyak waktu


(10)

yang seharusnya kuhabiskan denganmu namun terpakai untuk menyelesaikan kuliah... Maafkan aku yah.... Terimakasih juga untuk anak-anakku Alvaro GC Pakpahan dan Alessandro Nathaniel Pakpahan.

12.Terimakasih buat Kakakku Lisrawaty Goretty Pakpahan dan Lae M. Marbun, atas doa dan dukungan yang tiada hentinya serta Lae Ivan, Lae Henry dan Adekku Yohana.

13.Rekan-rekan seperjuangan pada Kelas Paralel Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan Tahun 2007, atas dukungan dan kebersamaanya. Cepat ada yang dikejar dan lambat ada yang ditunggu....

14.Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala bantuan-bantuan, pelayanan dan kemudahan yang telah diberikan, kiranya Tuhan jualah yang membalas semua kebaikannya.

Akhirnya penulis berharap bahwa tesis ini dapat berguna sebagai sumbang dan saran pemikiran mengenai ”Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif”. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amin.

Medan, Juli 2009 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

NAMA : RUDY HENDRA PAKPAHAN

TEMPAT/TGL LAHIR : SIBOLGA, 27 JANUARI 1980 JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI

AGAMA : KRISTEN

PEKERJAAN : PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)

PADA KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM

DAN HAM SUMATERA UTARA

PENDIDIKAN : 1. SD ROMA KATOLIK I SIBOLGA, LULUS

TAHUN 1992.

2. SMP KATOLIK FATIMA SIBOLGA, LULUS TAHUN 1995.

3. SMA NEGERI 1 SIBOLGA, LULUS TAHUN 1998 .

4. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG, LULUS TAHUN 2004.

5. PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN, LULUS TAHUN 2009.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR BAGAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi ... 29

G. Metode Penelitian ... 32

1. Jenis Penelitian ... 32

2. Sumber Data ... 32

3. Teknik Pengumpulan Data ... 33


(13)

BAB II PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG

PENGUJIAN TERHADAP PERDA ... 35

A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pemerintahan Daerah ... 35

1. Pemberlakuan Perundang-undangan Yang Mengatur Tentang Perda ... 41

a. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 ... 42

b. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 .... 44

c. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ... 46

d. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 .... 48

e. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ... 50

f. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ... 60

2. Peraturan Daerah Sebagai Landasan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah ... 62

B. Landasan, Asas-Asas dan Proses Pembentukan Peraturan Daerah Sebagai Produk Peraturan Perundang-Undangan ... 70

1. Landasan Pembentukan Perda ... 70

2. Asas-Asas Pembentukan Perda ... 73

3. Proses Pembentukan Perda ... 81

C. Pengujian Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap Perda ... 83

1. Pengawasan Terhadap Perda ... 83

a. Pengertian Pengawasan ... 85

b. Fungsi Pengawasan ... 89

c. Tujuan Pengawasan ... 90


(14)

2. Kewenangan Pengujian Perda ... 95

BAB III PROSES PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF ... 110

A. Proses Pengujian Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap Perda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 110

1. Pelaksanaan PengawasanTerhadap Perda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 119

2. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Perda di Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 136

B. Proses Pengujian Perda Oleh Lembaga Yudikatif ... 144

BAB IV AKIBAT HUKUM PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF ... 159

A. Akibat Hukum Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif ... 159

B. Akibat Hukum Pengujian Perda Oleh Lembaga Yudikatif ... 169

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 176

A. Kesimpulan ... 176

B. Saran ... 178


(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang Pembatalan Perda Di Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2007-2008 ... 137 2 Perkembangan Hak Uji Materiil Terhadap Perda

di Mahkamah Agung Tahun 2003-2007 ... 152 3 Perbedaan Pengujian Perda Antara Mahkamah Agung


(16)

DAFTAR BAGAN

No Judul Halaman

1 Pembatalan Perda Menurut Pasal 145 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 ... 126 2 Evaluasi Ranperda Menurut Pasal 185 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 ... 129 3 Evaluasi Ranperda Menurut Pasal 186 Undang-Undang


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Negara Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hubungan penyelenggaraan antara Pemerintah Pusat dan daerah. Hubungan penyelenggaraan pemerintahan itu harus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Ketentuan konstitusional itu memberikan pesan bahwa Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam sebuah kerangka Negara yang berbentuk kesatuan (unitary), bukan berbentuk federasi (serikat).144 Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Muhammad Yamin, bahwa :

“….kita hanya membutuhkan Negara yang bersifat unitarisme dan wujud Negara kita tidak lain dan tidak bukan daripada bentuk suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Membentuk Bangsa Indonesia tidak dapat dengan federalisme dan hanyalah dengan unitarisme”.145

      

144

Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 5.

145

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta: Yayasan Prapantja, 1959), hlm. 239.


(18)

Mengenai Negara Kesatuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 diikuti dengan sistem desentralisasi. Hal itu dapat dipahami dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (setelah Amandemen Kedua) mengenai Pemerintahan Daerah, menyatakan sebagai berikut : Pasal 18 ayat (1) : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas146

daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.

Pasal 18 ayat (2) : “Pemerintahan Daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Sementara itu mengenai hubungan penyelenggaraan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dalam Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan : “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.

Mengenai hubungan di antara tingkat-tingkat dalam pemerintahan tersebut harus dibedakan antara147 :

      

146

Penggunaan istilah “dibagi atas” ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah bersifat hirarkis dan vertikal. Hal ini dianggap perlu ditegaskan karena adanya penafsiran yang timbul akibat penerapan kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengembangkan pola hubungan antara pusat dan daerah serta hubungan antara daerah yang dipahami bersifat horizontal. Untuk lebih jelasnya lihat Jimly Asshidiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2003), hlm. 28.

147

Philipus M. Hadjon et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm. 74-79.


(19)

1. Hubungan vertikal (pengawasan, kontrol, dsb)

Mengenai pengawasan yang dilaksanakan oleh badan-badan Pemerintah yang lebih tinggi terhadap badan-badan yang lebih rendah. Untuk pengawasan ini dapat dikemukakan alasan-alasan sebagai berikut :

a. Koordinasi : mencegah atau mencari penyelesaian konflik/perselisihan kepentingan, misalnya di antara kabupaten-kabupaten.

b. Pengawasan kebijaksanaan : disesuaikannya kebijaksanaan dari aparat pemerintah yang lebih rendah terhadap yang lebih tinggi.

c. Pengawasan kualitas : kontrol atas kebolehan dan kualitas teknis pengambilan keputusan dan tindakan-tindakan aparat pemerintah yang lebih rendah.

d. Alasan-alasan keuangan : peningkatan kebijaksanaan yang tepat dan seimbang dari aparat pemerintah yang lebih rendah.

e. Perlindungan hak dan kepentingan warga : dalam situasi tertentu mungkin diperlukan suatu perlindungan khusus untuk kepentingan dari seorang warga. Terhadap pengawasan dan kontrol tersebut ada beberapa bentuknya, yaitu : 1) Pengawasan represif

2) Pengawasan preventif 3) Pengawasan yang positif 4) Kewajiban untuk memberitahu 5) Konsultasi dan perundingan 6) Hak banding administratif

7) Dinas-dinas Pemerintah yang didekonsentrasi 8) Keuangan

9) Perencanaan

2. Hubungan horizontal (perjanjian kerjasama di antara para pejabat yang berada pada tingkat yang sama).

Disamping hubungan secara vertikal ada pula hubungan secara horizontal, umumnya di antara kabupaten dengan kabupaten, propinsi dengan propinsi, atau propinsi dengan kabupaten. Banyak tugas-tugas Pemerintah hanya dapat dilaksanakan secara memuaskan melalui jalan kerjasama. Bagi suatu kerjasama di antara para instansi pemerintah diperoleh berbagai macam jalan. Jalan yang pertama ialah dengan menandatangani perjanjian yang sifatnya hukum Perdata. Di samping itu di beberapa Negara ditemukan adanya kemungkinan kerjasama yang sifatnya hukum publik di antara para pejabat instansi atas dasar suatu undang-undang yang dibuat untuk hal tersebut. Terhadap hal ini ada tiga macam kerjasama :

1) Fungsi yang dipusatkan

2) Badan/Lembaga untuk bersama 3) Badan hukum untuk bersama.


(20)

Berdasarkan beberapa bentuk pengawasan dan kontrol yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon di atas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah148 lebih menekankan kepada bentuk pengawasan represif dan kewajiban untuk memberitahu. Sedangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juga menganut pengawasan represif dan kewajiban untuk memberitahu. 149

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap Peraturan Daerah (selanjutnya ditulis Perda) hanya ditekankan pada pengawasan represif saja. Ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana pada Undang-Undang tersebut pengawasan terhadap Perda dikenal dua macam, yaitu pengawasan preventif dan represif.150 Perubahan ini menimbulkan permasalahan baru, seperti berubahnya bentuk perwujudan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda.

Dalam hal ajaran rumah tangga daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat perubahan dengan menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan       

148

Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)

149

Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Op.Cit, hlm. 53. 150

Pengawasan preventif mengandung prinsip bahwa Perda dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu Menteri Dalam Negeri bagi Perda dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I, dan Gubernur Kepala Daerah bagi Perda dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat II (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974). Sedangkan pengawasan represif dilakukan terhadap semua Perda dan Keputusan Kepala Daerah. Pengawasan ini berwujud penangguhan atau pembatalan Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. Penangguhan atau pembatalan itu dilakukan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 71).


(21)

pilihan, bahkan dalam penjelasannya dikenal juga istilah urusan yang sifatnya

concurrent. Pengelompokan urusan-urusan ini dimaksudkan sebagai upaya perbaikan

terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Konsekuensinya dari hal tersebut daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintah menjadi urusan Pemerintah Daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai kewenangan Pemerintah Pusat atau dengan kata lain disebut otonomi luas.151

Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah pelaksanaannya diatur oleh Perda. Hal ini mengakibatkan Perda makin mempunyai kedudukan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran Perda dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar. Kedudukan yang strategis dari Perda dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat menjadi baik jika pembentukan Perda tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi bumerang jika dilakukan dengan tidak baik.

Dalam peraturan perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri diera otonomi daerah saat ini mengingat Perda adalah produk Kepala Daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom.       

151

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII, 2002), hlm. 37.


(22)

Pakar Hukum Tata Negara, Sri Somentri menjelaskan ada berbagai macam cara pembatalan Perda karena ada beberapa pihak yang mempunyai hak uji terhadap Perda. Hak uji dilakukan bukan hanya oleh Mahkamah Agung, tapi juga oleh pemerintah, ada yang oleh Presiden, ada yang oleh Menteri Dalam Negeri.152

Berbeda dengan pendapat tersebut, menurut Jimly Asshiddiqie menyatakan, “Perda sebagai hasil kerja Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) tidak dapat dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat begitu saja”.153 Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie berpendapat, bahwa pemerintah pusat sudah seharusnya tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mencabut Perda sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi yang berwenang menguji Perda adalah Mahkamah Agung sebagaimana ketentuan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki       

152

Berita diambil dari situs www.hukumonline.com (27 06 2006). Senada dengan Prof. Sri Soemantri, Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri menilai, terhadap Perda dapat dilakukan excecutive review dan judicial review; “Sebenarnya ada dua lembaga (yang berwenang me-review). Pertama, (berdasarkan) Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada kewajiban mengirimkan semua Perda yang sudah ditandatangani ke Departemen Dalam Negeri. Dalam dua bulan, Departemen Dalam Negeri seharusnya me-review. Kalau misalnya (Perda) tidak sesuai peraturan perundang-undangan terkait, bisa dibatalkan. Kalau kemudian Pemda dan DPRD tidak puas, bisa challenge ke MA. Kemudian yang kedua (oleh) MA, melalui mekanisme judicial review,” tambah Bivitri.

153

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 37-39.


(23)

kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.154

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Apapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.155

Menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, salah satu tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan tentang Perda terdapat didalam Bab VI Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa :

      

154 Ibid. 155


(24)

Pasal 136 Ayat (1) : “Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.

Ayat (2) : “Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah/provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan”.

Ayat (3) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”.

Ayat (4) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.

Menurut Pasal 42 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang DPRD yang lainnya adalah melaksanakan pengawasan terhadap segala tindakan pemerintah daerah, seperti dalam hal:

1. Pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 2. Pelaksanaan Keputusan Kepala Daerah.

3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksananakan Program Pembangunan Daerah.

5. Pelaksanaan Kerjasama Internasional di daerah.

Sementara itu bila dilihat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam hal pengawasan pemerintah terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah ada


(25)

pengembangannya. Di sini dapat dilihat ada 2 (dua) cara pemerintah melakukan pengawasan yakni156 :

1. Pengawasan terhadap Rancangan Perda (Ranperda), yaitu terhadap Rancangan Perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Ranperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Ranperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hak tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.

2. Pengawasan terhadap semua Perda diluar yang termasuk dalam angka 1 (satu), yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.

Pengawasan represif yang dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini dapat dilihat dalam pembentukan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh DPRD dapat langsung diberlakukan tanpa menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat dahulu, tetapi untuk menjaga agar daerah tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan koridor Negara Kesatuan, maka dibuatlah ketentuan yang menyatakan bahwa Perda yang telah disahkan (dan telah berlaku) harus diberitahukan kepada Pemerintah Pusat. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 145 ayat (1), yang       

156


(26)

menyatakan :“Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan”. Selanjutnya di dalam ayat (2) disebutkan bahwa : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”.

Ketentuan Pasal 145 ayat (2) tersebut di atas dapat menjadi problem tersendiri bagi daerah, karena bisa saja pemerintah membatalkan Perda yang telah ditetapkan dan diberlakukan kepada masyarakat. Untuk itu Pemerintah Daerah harus berhati-hati dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan masyarakat banyak di daerahnya, sehingga Perda yang telah disahkan Pemerintah Daerah tidak mudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Selain itu akibat dari pengawasan pemerintah terhadap Perda sudah tentu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi hukum yang mesti dipatuhi oleh daerah.

Di dalam kepustakaan maupun dalam praktek, dikenal ada 2 (dua) macam hak menguji (toetsingsrecht atau review), yakni: (1) hak menguji formil (formele

toetsingsrecht); dan (2) hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht).157 Yang

dimaksud dengan hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk peraturan perundang-undangan terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

      

157

Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari (Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung), (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 127.


(27)

berlaku atau tidak. Misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945). Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 5 jo 20 ayat (2) Amandemen Undang-Undang Dasar 1945). Jadi, produk hukum yang disebut undang-undang tersebut, harus dibentuk pula dengan, atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas. Demikian pula Perda dibentuk (ditetapkan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota (Pasal 18 ayat (1) d Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999). Suatu produk hukum tidak dapat disebut Perda apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh DPRD.

Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya. Sedangkan yang dimaksud dengan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil berkenaaan dengan


(28)

isi dari suatu perundang-undangan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.158

Mengingat beratnya beban daerah dalam rangka memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam rangka mensejahterakan masyarakat dalam kerangka pembangunan nasional dan daerah maka setiap kebijakan publik yang dihasilkan selain untuk mengejawantahkan peraturan perundangan diatasnya juga lebih merupakan kebijakan dalam rangka mengatur rumah tangga daerah tersebut. Dengan demikian materi Perda merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun yang bersifat delegasian, karena merupakan pengejawantahan peraturan perundang-undangan diatasnya. Meskipun demikian materi muatan Perda dapat juga memuat dan menampung kondisi khusus daerah yang bersangkutan.

Dalam pendahuluan Prolegnas dikatakan bahwa “Supremasi hukum ditempatkan secara strategis sebagai landasan dan perekat bidang pembangunan lainnya serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui satu sistem hukum nasional. Hukum sebagai landasan pembangunan bidang lainnya bermakna teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial/pembangunan (law as a tool of social engineering), instrumen pengatur perilaku masyarakat (social control), jika hal tersebut kemudian dinegasikan kepada konteks Perda maka artinya daerah diberikan hak untuk membentuk Perda dan peraturan lain dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, maka tidaklah harus       

158 Ibid.


(29)

diartikan bahwa daerah tersebut mengatur kewenangan tersebut secara bebas, dalam artian peraturan yang bertentangan dengan peraturan diatasnya. Sebab hal ini akan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara kesatuan.

Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan mengambil judul Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap Perda? 2. Bagaimana proses pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap

Perda?

3. Apa akibat hukum dari pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap Perda?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap Perda.


(30)

2. Untuk mengetahui proses pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap Perda.

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap Perda.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti dan mengkaji Hukum Tata Negara khususnya yang berhubungan dengan pengujian Perda dalam lingkungan lembaga eksekutif dan yudikatif. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah

(eksekutif) baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah serta Mahkamah Agung (yudikatif) dalam hal pengujian Perda dalam lingkungan lembaga eksekutif dan yudikatif.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian penulis ini, yaitu mengenai Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif.

Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa


(31)

memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pasangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.159

Menurut Kaelan M.S. Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.160

Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut :

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi;

      

159

Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80. 160

Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hlm. 239.


(32)

3. Teori biasanya merupakan suatu ikhstisar dari pada hal-hal yang diteliti;

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.161

Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan acuan dalam membahas pengujian Perda adalah dengan menggunakan pendekatan teori “negara berdasar atas hukum” (Rechtsstaat) sebagai

grand theory yang didukung oleh midle theory “Trias Politica” untuk memperkuat

teori utama, serta konsep pembaharuan hukum dan prinsip-prinsip pembuatan perundang-undangan yang baik dan demokratis sebagai applied theory-nya.

Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, gagasan Negara Hukum162 merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak perspektif dan boleh dikatakan selalu aktual. Dalam memberikan pengertian mengenai gagasan Negara Hukum ini,163 setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik

      

161

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 121. 162

Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan Oemar Seno Adji dalam Indonesia Negara Hukum menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum terletak pada dua hal, yaitu (1) teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica, adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif; dan (2) teori Rule of Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya. Padmo Wahjono, “Indonesia Ialah Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979.

163

Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga pengertian keduanya pada masa kini mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan


(33)

terhadap kata “negara” maupun kata “hukum”.164 Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law.165

Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik Negara Hukum (Rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental adalah Friedrich Julius Stahl. Pandangannya tentang Rechtsstaat merupakan perbaikan dari pandangan Immanuel Kant.166 Unsur-unsur yang harus ada dalam Rechtsstaat167 adalah pertama,

pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten); kedua, pemisahan kekuasaan

(scheiding van machten); ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang

(wetmatigheid van het bestuur); dan keempat, peradilan administrasi (administratieve

      

dengan pengertian keduanya pada masa lalu. Tentang hal ini, lihat misalnya Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cetakan I, (Jakarta: Ind Hill-Co., 1997), hlm. 4.

164

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 11. 165

Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan Negara Hukum tidak selalu identik dengan Rule of Law. Sedangkan istilah Rechtsstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Wolfgang Friedmann, Legal Theory, (London: Steven & Son Limited, 1960), hlm. 456. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of Man. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976), hlm. 8.

166

Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1989), hlm. 30. 167

Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Cetakan I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 90. Tentang wawasan-wawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi Doktor (S3), (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990), hlm. 139.


(34)

rechtspraak).168 Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law169 adalah pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan hukum (equality before the law); ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi manusia (constitution based on human rights).170

Syarat-syarat dasar bagi pemerintahan demokratis di bawah konsep Rule of

Law ada

yang penting bagi kedua tradisi negara hukum tersebut.        

lah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;171 ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat; kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan kewarganegaraan.172 Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam Negara Hukum tradisi Rechtsstaat maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata lain, keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat

 

168

Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, (Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973), hlm. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974), hlm. 146.

169

Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang Rule of Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997, hlm. 1-2.

170

A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition, (London: English Language Book Society and MacMillan, 1971), hlm. 223-224.

171

Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiran-penafsirannya terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu negara. A.W. Bradley, “The Sovereignty of Parliament-Form or Substance?”, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution, 4th edition, (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 34.

172

South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, (Bangkok: International Commission of Jurist, 1965), hlm. 39-45.


(35)

Selanjutnya John Locke (1632-1704) memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan.173 Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik t

ukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaa

       

otaliter174 bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif

(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif

(federative power).175

Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan h

n yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan

 

173

Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4th edition, (London: The English Language Book Society, 1976), hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 364.

174

Dalam konsep negara modern, totaliter ini merupakan kebalikan dari demokrasi. Sidney Hook, “Democracy” [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], dalam Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo, eds., Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia FounDaerah Tingkaton, 1989), hlm. 33; Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, “Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Cet. III, (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 88.

175

John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993), hlm. 188.


(36)

yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.176 Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.177 Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak bisa dengan mudah melakukan penyalahgunaan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.178

Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan

      

176 Ibid. 177

Abad ke-20 merupakan awal terjadinya kecenderungan semakin leluasanya kekuasaan eksekutif. Penyebabnya adalah (1) gelombang dekolonisasi dan terbentuknya negara-negara baru dengan tahap-tahap konsolidasi awal yang memerlukan pemusatan kekuatan di tangan pemerintah; (2) munculnya era perang dingin yang membelah dunia ke dalam dua blok Barat dan Timur yang diikuti persaingan perebutan pengaruh antar blok; (3) timbulnya fenomena perang antarnegara yang memacu peningkatan anggaran militer diberbagai negara; (4) semakin kompleksnya lingkup tugas-tugas pemerintahan seiring dengan perkembangan jaman; dan (5) munculnya ketidakpuasan umum terhadap praktek multi partai yang dianggap sebagai biang keladi instabilitas internal di berbagai negara. Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hlm. 106-116; Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 13 Juni 1998, hlm. 10.

178

Lihat C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London: Sidwick & Jackson, 1973), hlm. 245-247.


(37)

kekuasaa

dikatif. Argumentasi yang dapat dikemuk

arus dipegang adalah kekuasaan yudikatif

       

n yudikatif.179 Dalam hal ini, kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan hak-hak asasi manusia dijamin. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja.180

Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemedekaan kekuasaan yu

akan pemikiran ini adalah bahwa dengan adanya kekuasaan yudikatif yang merdeka, hak-hak warga negara dapat terlindungi secara maksimal dari korban despotis kekuasaan. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan negara.181

Dalam doktrin Trias Politika, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang h

dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif.182 Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya

 

179

Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, tidak ada saling campur tangan di antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politika terdapat suasana checks and balances. Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II, Cet. I, (Yogyak

aruhi cara berpikirnya yang sangat mementingkan kekuasaan yudikatif

, 1994), hl

arta: Liberty, 1993), hlm. 19. 180

Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang (The Spirit of the Laws), (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 44-55. Kenyataan bahwa Montesquieu sebagai seorang yang berprofesi hakim ikut mempeng

. Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. IV, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm.2. 181

C.F. Strong, Op. Cit., hlm. 6. 182

Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama


(38)

demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan.183 Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaiakan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi dalam kehidupan sebuah negara.

Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampau batas kewenangan masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi. Dalam kerangka inilah, diperluka

pat usaha yaitu: (1) Menyempurnakan (membua

n adanya ajaran mengenai checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain.184

Dalam perspektif yang lain Sunaryati Hartono mengatakan bahwa makna pembangunan hukum itu meliputi em

t sesuatu yang lebih baik) (2) Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern (3) Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada (4) Meniadakan

      

183

Budiardjo, Op. Cit. 184


(39)

sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan atau tidak cocok dengan sistem baru.185

Selanjutnya Hans Kelsen dalam membicarakan Determination of the

law-Creating Function yang menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat

menentukan badan dan prosedur norma yang lebih rendah dan muatan dari norma yang lebih rendah. Teori ini dikenal dengan istilah Stufentheorie dimana menurutnya suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, sehingga suatu norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut dengan norma dasar (grundnorm).186

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai

fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan

hukum-hukum yang lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia.187

      

185

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hlm. 12.

186

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, (New York: Russel and Russel, 1961), hlm. 112-113.

187

Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 41-42.


(40)

Sejarah memperlihatkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Bentuk dan Jenis peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari :

1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 2. Peraturan Pemerintah;

3. Peraturan Menteri.188

Setelah undang-undang tersebut pernah berlaku Surat Presiden Nomor 2262/HK/59189 tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, kemudian Ketetapan MPRS/XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.190 TAP MPRS ini baru disempurnakan pada Tahun 2000 dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dan yang terakhir adalah

      

188

Dalam undang-undang ini sama sekali tidak diatur tentang peraturan perundang-undangan tingkat daerah, mungkin dikarenakan pada waktu itu Republik Indonesia hanya merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).

189

Surat ini menyatakan bahwa bentuk-bentuk peraturan negara selain yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Lihat dalam Haposan Siallagan, Penerapan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Dalam Pembuatan Peraturan Daerah, (Medan: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2007), hlm. 280.

190

Menurut TAP MPRS ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dll.


(41)

dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.191

Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa.

Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekuensi teori penjenjangan norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD.

Menurut Hans Kelsen hirarki norma hukum terdiri atas192 : 1. Norma Dasar (Fundamental Norms/Grundnorm/Basic Norm) 2. Norma Umum (General Norms)

3. Norma Konkret (Concrete Norms)       

191

Menurut TAP MPR ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; dan 7. Peraturan Daerah.

192


(42)

Fundamental Norms terdapat dalam konstitusi, General Norm terdapat dalam

undang-undang dan Concrete Norms terdapat dalam putusan pengadilan (vonnis) serta keputusan-keputusan pejabat administrasi negara.193 Hans Kelsen mengemukakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar ini merupakan yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara ‘presupposed’, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.194

Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar (Grundnorm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma

fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.195

Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban-dingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum       

193 Ibid. 194

Ibid. 195

Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, (Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948), hlm. 31.


(43)

di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah196 :

1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).

2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi

Ketatanegaraan.

3) Formell gesetz: Undang-Undang.

4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan

Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.197 Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm

      

196

Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lihat A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287.

197

Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 27.


(44)

maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.198

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan tujuh asas Undang-undang yaitu199 :

1. Undang-undang tidak berlaku surut

2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula

3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)

4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu (Lex posteriori derogat lex priori)

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat

6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat)

7. Undang-undang yang di bawah tidak bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya (Lex superiore derogat lex infiriore)

      

198

Attamimi, Op Cit., hlm. 309. 199

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 47. Lihat juga B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008), hlm. 73.


(45)

Sementara itu Amiroeddin Syarief menetapkan adanya lima asas perundang-undangan yaitu200 :

1. Asas tingkatan hirarkis

2. Undang-undang tak dapat diganggu gugat

3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)

4. Undang-undang tidak berlaku surut

5. Undang-undang yang baru mengenyampingkan Undang-undang yang lama (Lex

posteriori derogat lex priori)

2. Konsepsi

Dalam penelitian hukum kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.201

Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka

      

200

Amiroeddin Syarief dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1998), hlm. 43.

201


(46)

konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.202

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep dibawah ini :

1. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.203

2. Perda adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota).204

3. Hak Menguji Formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk peraturan perundang-undangan terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.205

      

202

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 24.

203

Pasal 1 Angka 2, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No. 4389. Bandingkan dengan Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 12, yaitu mengenai peraturan perundang-undangan terdapat beberapa unsur yaitu : a. merupakan suatu keputusan yang tertulis, b. dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan, c. mengikat umum.

204

Pasal 1 Angka 7, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No. 4389

205


(47)

4. Hak Menguji Materil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.206

5. Pengujian Materil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.207

6. Pengujian Formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.208

7. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan adalah secara teori pencabutan perundang-undangan ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu209 :

a. Pencabutan dengan penggantian adalah suatu pencabutan dengan penggantian terjadi apabila suatu peraturan perundang-undangan yang ada digantikan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang baru.

b. Pencabutan tanpa penggantian adalah suatu peraturan perundang-undangan yang dilakukan tanpa penggantian, kerangka (kenvorm) dari peraturan       

206

Ibid., Bandingkan dengan Pasal 1 Ayat (1), Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil yaitu bahwa Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap peraturan perUndang-undang-Undang-undangan tingkat lebih tinggi.

207

Pasal 4 Ayat 2, Peraturan MK No 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

208

Ibid., Pasal 4 Ayat 3. 209


(48)

perundang-undangan tersebut mempunyai kesamaan dengan perubahan peraturan perundang-undangan .

8. Perubahan Peraturan Perundang-undangan adalah terjadi apabila terdapat ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang tidak sesuai lagi dengan situasi atau kondisi yang berlaku dalam masyarakat.210

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Untuk mendapatkan data guna menguraikan pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif, maka jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif.

Menurut Sunaryati Hartono, dalam penelitian hukum normatif dapat mencari asas hukum, teori hukum dan pembentukan asas hukum baru.211 Sedangkan menurut Bagir Manan, penelitian normatif adalah penelitian terhadap kaedah dan asas hukum yang ada.212

2. Sumber Data

      

210

Ibid, hlm. 179 211

C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.Cit., hlm. 141. 212

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 13.


(49)

Penelitian ini diarahkan sebagai penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari :213

1. Bahan Hukum Primer

Yaitu mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang diteliti, seperti: Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan-Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif.

2. Bahan Hukum Sekunder

Dalam hal ini akan dikumpulkan data dari hasil karya ilimiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

      

213 Ibid.


(50)

1) Penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.

2) Penelitian lapangan (field research), penelitian ini dilakukan guna memperoleh data primer tentang pokok-pokok pengaturan mengenai pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan narasumber yang terkait dengan penelitian, yaitu wawancara dengan Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara serta dengan Hakim di Pengadilan Negeri Medan.

4. Analisis Data

Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh.

Setelah data diolah langkah selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk menarik kesimpulan dari kenyataan yang ditemui di lapangan. Uraian dan kesimpulan dalam menginterpretasikan data hasil penelitian akan dihubungkan dengan teori-teori, pendapat-pendapat dan aturan-aturan formal yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya.


(51)

BAB II

PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG

PENGUJIAN TERHADAP PERDA

A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pemerintahan Daerah

Pemerintah Daerah yang merupakan sub sistem dari sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Nasional memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga ini mengandung 3 (tiga) hal utama di dalamnya, yaitu214 :

1. Pemberian tugas dan wewenang untuk menyelesaikan suatu kewenangan yang sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah;

2. Pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan, mengambil inisiatif dan menetapkan sendiri cara-cara penyelesaian tugas tersebut;

3. Dalam upaya memikirkan, mengambil inisiatif dan mengambil keputusan tersebut mengikutsertakan masyarakat baik secara langsung maupun melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Tiga hal tersebutlah yang menyebabkan istilah desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sering diartikan sebagai sarana pelaksana otonomi daerah.

Menurut Hans Kelsen bahwa desentralisasi adalah salah satu bentuk dari organisasi negara, oleh karena itu desentralisasi berkaitan erat dengan pengertian       

214

Setya Retnami, Makalah Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia, (Jakarta: Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia, 2000), hlm. 1.


(52)

negara dimana negara menurut Hans Kelsen merupakan tatanan hukum (legal

order).215 Dengan demikian desentralisasi menyangkut sistem tatanan hukum dalam

suatu negara. Desentralisasi sebagai dasar susunan organisasi dapat dijumpai pada negara yang berbentuk kesatuan maupun pada negara federal.216

Pembentukan daerah otonom secara simultan merupakan kelahiran status otonomi yang didasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif dari masyarakat di wilayah tertentu. Aspirasi ini terwujud dengan diselenggarakannya desentralisasi yang disebut juga otonomisasi, karena otonomi diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau Pemerintah Daerah. 217

Diakui oleh Pratikno,218 desentralisasi bukan merupakan pilihan yang mudah bagi Indonesia. Dengan wilayah geografis yang sangat luas dan terurai dalam puluhan ribu pulau serta masyarakat yang sangat heterogen, desentralisasi memang sering kali menjadi dilema. Apresiasi terhadap keberagaman menuntut desentralisasi yang pada gilirannya melahirkan otonomi daerah. Penghargaan ini bisa menghasilkan dukungan daerah terhadap pemerintah nasional. Oleh karena itu negara Indonesia memulai perjalanannya dengan pilihan pemerintahan yang desentralistis.

Dalam pandangan Pratikno, tidak ada yang final dalam politik. Pilihan kebijaksanaan desentralisasi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor       

215

Hans Kelsen, General……,Op.Cit., hlm. 303. 216

Ibid., hlm. 306. 217

Bhenyamin Hoessin, Pembagian Kewenangan Antara Pusat dan Daerah, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2001), hlm. 4.

218

Pratikno, Desentralisasi Pilihan Yang Tidak Pernah Final, Dalam Abdul Gaffar Karim, dkk. (Editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan FISIPOL UGM, 2003), hlm. 33-34.


(1)

Mohl, Robert, Two Concepts of The Rule of Law, Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973. Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-undang (The

Spirit of the Laws), Jakarta: Gramedia, 1993.

Muslimin, Amrah Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 1978. Nawiasky, Hans, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,

Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948.

Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil

Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta: Bina Aksara, 1988.

Panggabean, Henry P., Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, Upaya

Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung, Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat

Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1984.

Rositawati, Dian, Judicial Review (Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk

Pengacara), Jakarta: ELSAM, 2005.

Siagian, S.P., Filsafat Administrasi, Jakarta: Gunung Agung, 1986.

Sir Ivor Jennings, The Law and The Constitution, 4th edition, London: The English

Language Book Society, 1976.

Situmorang, Victor M dan Jusuf Juhir, Aspek Pengawasan Melekat, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.

Soejito, Irawan, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala

Daerah, Jakarta: Bina Aksara, 1983.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.


(2)

Strong, C.F., Modern Political Constitution, London: Sidwick & Jackson, 1973. Subekti, R., Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bandung: Alumni, 1992. Suhino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Yogyakarta: Liberty, 1995.

Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Sunaryati Hartono, C.F.G., Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20,

Bandung: Alumni, 1994.

Sunindhia, Y.W., Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Bina Aksara: Jakarta, 1987.

Suny, Ismail, Pembagian Kekuasaan Negara, Cetakan IV, Jakarta: Aksara Baru, 1985. Syafrudin, Ateng, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bandung: Bina Cipta, 1985. Syarief, Amiroeddin dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu

Perundang-undangan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1998.

Thaib, Dahlan, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II,

Cetakan I, Yogyakarta: Liberty, 1993.

Wahjono, Padmo, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co, 1989. Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan UUD 1945, Jakarta: Yayasan Prapantja, 1959.

B. Makalah/Tesis/Disertasi/Karya Ilmiah

Astawa, I Gede Pantja, “Kajian Atas Peraturan Daerah Dalam Perspektif Hukum Pemerintahan Daerah dan Hukum Perundang-undangan”, Makalah Bandung 20 Februari 2002.

Asshiddiqie, Jimly, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 13 Juni 1998.

_______________, “Judicial Review : Pengawasan terhadap Kekuasaan Legislatif dan Regulatif dalam Perspektif Hukum Tata Negara”, Makalah Pada Diklat Suncang Departemen Hukum dan HAM RI, Cinere-Jakarta, 2008.


(3)

Attamimi, A. Hamid A., ”Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV”, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.

Basah, Sjahran, “Permasalahan Arti Kepentingan Umum”, Pro Justitia, Majalah Fakulktas Hukum-Universitas Parahyangan, Bandung, Nomor 18 Bulan Juni 1983.

Biro Hukum Departemen Dalam Negeri, Kepala Bagian Pengkajian dan Evaluasi Produk Hukum, “Mekanisme Pengawasan Perda dan Ranperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”, Makalah, 2005.

Fallon, Richard H. Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997.

Lubis, Solly Makalah “Membedah Kinerja Dewan Legislatif Aceh Utara (Tinjauan Yuridis Ketatanegaraan)”, Tanggal 7 Januari 2003.

Mahendra, A.A. Oka “Harmonisasi dan Sinkronisasi RUU Dalam Rangka Pemantapan dan Pembulatan Konsepsi”, Makalah Dalam Workshop Pemahaman Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Yogyakarta, Oktober 2005.

Mahfud MD, Moh., “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional”, Makalah Disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, di Mercure Accor Hotel Jakarta pada tanggal 29-31 Mei 2006. Manan, Bagir, “Komitmen Pembangunan Hukum”, Makalah Pada Law Summit II,

Jakarta, 2002.

___________, “Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia”, Diktat Mata Kuliah Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1994.

Marzuki, M. Laica, “Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 1, Maret 2007.

Sekretariat Jenderal MPR Republik Indonesia, Makalah Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 2002.


(4)

Siallagan, Haposan, “Penerapan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Dalam Pembuatan Peraturan Daerah”, Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2007.

South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, ”The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age”, Bangkok: International Commission of Jurist, 1965.

USAID, KPPOD-PEG, Laporan, “Program Review Perda, Kajian Perda”, Jakarta, Agustus 2002.

Wahiduddin Adams, “Perbandingan dan Hierarki Qanun, Perdasi, Perdasus dan Perda Dalam Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 1, Nomor 2 Bulan September 2004, Jakarta, 2004.

Wahjono, Padmo, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979.

C. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548


(5)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4090.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan

Retribusi Daerah.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan

Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,


(6)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan

Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2008

Tentang Kebijakan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2009.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007

Tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi No 06/PMK/2005 Tentang

Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak

Uji Materiil.

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Hak

Uji Materiil.

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993 Tentang Hak

Uji Materiil.

Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor

III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan.

D. Internet