BAB II PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG
PENGUJIAN TERHADAP PERDA
A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pemerintahan Daerah
Pemerintah Daerah yang merupakan sub sistem dari sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Nasional memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga ini mengandung 3 tiga hal utama di dalamnya, yaitu
214
: 1.
Pemberian tugas dan wewenang untuk menyelesaikan suatu kewenangan yang sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah;
2. Pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan, mengambil inisiatif
dan menetapkan sendiri cara-cara penyelesaian tugas tersebut; 3.
Dalam upaya memikirkan, mengambil inisiatif dan mengambil keputusan tersebut mengikutsertakan masyarakat baik secara langsung maupun melalui Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Tiga hal tersebutlah yang menyebabkan istilah desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia sering diartikan sebagai sarana pelaksana otonomi daerah. Menurut Hans Kelsen bahwa desentralisasi adalah salah satu bentuk dari
organisasi negara, oleh karena itu desentralisasi berkaitan erat dengan pengertian
214
Setya Retnami, Makalah Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia, Jakarta: Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia, 2000, hlm. 1.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
negara dimana negara menurut Hans Kelsen merupakan tatanan hukum legal order.
215
Dengan demikian desentralisasi menyangkut sistem tatanan hukum dalam suatu negara. Desentralisasi sebagai dasar susunan organisasi dapat dijumpai pada
negara yang berbentuk kesatuan maupun pada negara federal.
216
Pembentukan daerah otonom secara simultan merupakan kelahiran status otonomi yang didasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif dari masyarakat di
wilayah tertentu. Aspirasi ini terwujud dengan diselenggarakannya desentralisasi yang disebut juga otonomisasi, karena otonomi diberikan kepada masyarakat dan
bukan kepada daerah atau Pemerintah Daerah.
217
Diakui oleh Pratikno,
218
desentralisasi bukan merupakan pilihan yang mudah bagi Indonesia. Dengan wilayah geografis yang sangat luas dan terurai dalam
puluhan ribu pulau serta masyarakat yang sangat heterogen, desentralisasi memang sering kali menjadi dilema. Apresiasi terhadap keberagaman menuntut desentralisasi
yang pada gilirannya melahirkan otonomi daerah. Penghargaan ini bisa menghasilkan dukungan daerah terhadap pemerintah nasional. Oleh karena itu negara Indonesia
memulai perjalanannya dengan pilihan pemerintahan yang desentralistis. Dalam pandangan Pratikno, tidak ada yang final dalam politik. Pilihan
kebijaksanaan desentralisasi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
215
Hans Kelsen, General……,Op.Cit., hlm. 303.
216
Ibid., hlm. 306.
217
Bhenyamin Hoessin, Pembagian Kewenangan Antara Pusat dan Daerah, Malang: Universitas Brawijaya Press, 2001, hlm. 4.
218
Pratikno, Desentralisasi Pilihan Yang Tidak Pernah Final, Dalam Abdul Gaffar Karim, dkk. Editor, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
dan FISIPOL UGM, 2003, hlm. 33-34.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 sangat mungkin juga merupakan sebuah pilihan final. Kebijakan desentralisasi semasa pemerintahan
Habibie merupakan kebijakan yang lahir dari veto masyarakat dan veto daerah. Seandainya Pemerintah Pusat masih mampu mempertahankan kebijakan yang lama,
kebijakan desentralisasi itu mungkin tidak pernah terjadi. Desentralisasi yang menjelma dalam otonomi daerah ini melahirkan pola
hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia mengalami pasang surut, dengan adanya reformasi hubungan Pemerintah Pusat dan
Daerah yang digulirkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Berikut ini adalah uraian singkat mengenai kedua Undang-undang diatas, yaitu :
1. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 merupakan bagian dari Pemerintah Daerah sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bukan
bagian dari Pemerintah Daerah. 2.
Hubungan antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dilandasi oleh prinsip kemitraan yang sejajar seperti di Pemerintah Pusat, tetapi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai kedudukan yang kuat karena dapat menjatuhkan Kepala Daerah sedangkan Kepala Daerah tidak dapat membubarkan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
3. Ajaran rumah tangga yang dianut, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
menganut ajaran rumah tangga riil, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menganut ajaran rumah tangga formil.
Ajaran rumah tangga formil ini tetap dianut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999. Namun di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada perubahan dengan menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan pilihan, bahkan
dalam penjelasannya dikenalkan juga istilah urusan yang sifatnya concurent. Pengelompokan jenis-jenis urusan ini dimaksudkan sebagai upaya perbaikan terhadap
Undang-undang sebelumnya. Konsekuensi dari hal tersebut adalah daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan
urusan pemerintah dari Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintahan menjadi urusan Pemerintah Daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai
kewenangan Pemerintah Pusat dengan kata lain disebut otonomi luas.
219
Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam pelaksanaannya diatur oleh Perda, hal ini mengakibatkan Perda makin mempunyai
kedudukan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran Perda dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar.
Kedudukan yang strategis dari Perda dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat
219
Bagir Manan, Bagir Manan, Menyongsong Fajar.....,Op.Cit., hlm. 37.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
menjadi baik jika pembentukan Perda tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi permasalahan jika dilakukan dengan tidak baik.
Timbul persoalan bahwa materi muatan Perda menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah
seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
220
bagaimana jika terjadi pertentangan antara Perda yang mengatur materi muatan dalam penyelenggaraan
otonomi daerah dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Di satu sisi jika mengacu pada tata urutan peraturan perundang-undangan maka Perda itu
yang harus dikesampingkan, tetapi di sisi lain dengan mengacu pada teori delegasi maka materi muatan peraturan perundang-undangan yang telah didelegasikan hanya
dapat diatur oleh peraturan yang mendapat delegasi tersebut. Artinya kalau undang- undang telah mendelegasikannya pada Perda maka Peraturan Pemerintah atau
Peraturan Presiden tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur hal tersebut. Hal tersebut memperlihatkan keunikan kedudukan Perda, di satu sisi dalam
tata urutan peraturan perundang-undangan ada di bawah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden di sisi lain dimungkinkan Perda ini mengesampingkan Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden dalam hal kedua peraturan tersebut mengatur sesuai materi yang telah didelegasikan pada Perda.
220
Lihat Pasal 22 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Hal-hal tersebut sangat dimungkinkan menimbulkan ketegangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, hal ini dapat diatasi jika kedua
tingkatan pemerintahan ini memahami pengertian hukum yang merupakan suatu sistem sehingga membentuk Sistem Hukum Nasional Indonesia. Di mana Pemerintah
Pusat menyerahkan urusan yang telah didelegasikan kepada Pemerintah Daerah untuk diatur dan dikelola tanpa kemudian dengan diam-diam mengambil kembali urusan
tersebut, begitupun Pemerintah Daerah melaksanakan urusan tersebut dengan penuh tanggungjawab dan tetap memperhatikan asas-asas yang harus dipegang dalam
negara kesatuan, antara lain pemahaman bahwa kemandirian dalam berotonomi tidak berarti daerah dapat membuat peraturan yang terlepas dari sistem perundang-
undangan secara nasional.
221
Harus dipahami bahwa Perda merupakan sambungan yang menentukan keberhasilan berbagai kebijakan secara nasional. Oleh karena itu kedudukan yang
strategis dari Perda ini harus dapat mengejawantahkan kepentingan umum, dimana kepentingan umum ini harus diartikan sebagai tidak hanya kepentingan rakyat banyak
daerah yang bersangkutan saja tetapi tetap harus memperhatikan kepentingan rakyat daerah lain dan lebih umum lagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai perwujudan
desentralisasi Perda merupakan pengejawantahan beberapa sendi ketatanegaraan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
222
221
Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, 1995, hlm. 8.
222
Ibid, hlm. 9-10.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
1. Pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Tentang Perda