1. Pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Tentang Perda
Menurut Solly Lubis
223
: “Kebijakan policy dan pengaturan pemerintah di daerah regulasi sudah berulangkali terjadi semenjak awal kemerdekaan dan pada
dasarnya setiap peraturan undang-undang mengenai peraturan itu, berganti menurut pergantian Undang-Undang Dasar UUD, disusul oleh perubahan policy-nya, lalu
disusul lagi oleh peraturan hukumnya. Namun dalam prakteknya sering terjadi, sudah sekian lama berganti UUD akan tetapi peraturan pelaksanaan berupa Undang-Undang
UU Pemerintah Daerah belum juga berganti. Semenjak awal kemerdekaan, berturut-turut peraturan hukumnya itu ialah :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Kemudian pernah berlaku TAP MPR Nomor XXI Tahun 1966 mengamanatkan otonomi yang seluas-luasnya di mana asas
melalui undang-undang organik untuk pelaksanaannya. Kemudian setelah terbit TAP MPR yang menganut otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab yakni TAP MPR No. IV Tahun 1973 tentang GBHN, berdasarkan garis politik yang demikian, keluarlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintah yang berlaku sampai tahun 1999, dan undang-undang ini pula menjadi sasaran analisis dan sorotan politik dalam era reformasi politik dan
223
Solly Lubis, Makalah Membedah Kinerja Dewan Legislatif Aceh Utara Tinjauan Yuridis Ketatanegaraan, Tgl. 7 Januari 2003.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pemerintah, yang akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, disusul kemudian oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Berkaitan dengan hukum positif yang pernah berlaku dan sekarang masih berlaku yang berhubungan dengan otonomi daerah, khususnya yang berkaitan dengan
penyerahan urusan atau penggunaan ajaran rumah tangga daerah adalah sebagai berikut :
a. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
224
daerah otonom warisan Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa yang dihidupkan kembali oleh
Pemerintah Republik Indonesia mengikuti cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum tersebut. Namun, karena batas-batas wewenang daerah tampak
tidak jelas dan pengawasan Pusat terhadap daerah juga sulit dilaksanakan, maka dalam pembentukan Haminte Surakarta dan Haminte Yogyakarta di tahun 1947
Pemerintah meninggalkan cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum dan menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian. Melalui Undang-
Undang pembentukan Haminte Surakarta
225
dan Undang-Undang Haminte Yogyakarta
226
, masing-masing Haminte itu diserahi 22 dua puluh dua urusan pangkal. Urusan-urusan tersebut dapat segera dijalankan oleh kedua Haminte
224
Undang-undang ini adalah Undang-undang mengenai Komite Nasional Daerah KND sesuai dengan lahirnya Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP di Jakarta, dan Undang-undang ini
menonjolkan semangat “Kedaulatan Rakyat” sesuai dengan suasana Indonesia yang baru merdeka.
225
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte Surakarta.
226
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte Yogyakarta.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
tanpa menunggu ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan penyerahan urusan tersebut terlebih dahulu.
Dalam penjelasan umum dari kedua undang-undang pembentukan tersebut diutarakan pertimbangan ditinggalkannya cara penyerahan wewenang dengan
rumusan umum dan dianutnya cara penyerahan wewenang rincian. Kedua undang-undang itu menyatakan bahwa dalam tahap pertama perlu terdapatnya
bimbingan terhadap tugas-tugas daerah dan perlu kejelasan mengenai batas-batas wewenang daerah, dengan cara merinci urusan-urusan daerah.
227
Rincian wewenang tersebut juga penting untuk menentukan anggaran pertama yang
sepenuhnya disediakan oleh Pemerintah Pusat. Di samping itu, dalam kedua Undang-undang itu dinyatakan bahwa penambahan atau perubahan urusan akan
dilakukan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.
228
Penyerahan urusan dengan rincian ini tentu berkaitan dengan kewenangan daerah yang nantinya akan
diatur dalam Perda. Konsekuensinya daerah tidak boleh mengatur segala sesuatu yang tidak diserahkan kepada daerah atau dengan undang-undang ini hak inisiatif
daerah untuk mengatur sesuatu sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah tidak dimungkinkan.
227
Lihat Pasal 7 ayat 3 dari kedua Undang-undang pembentukan Haminte Kota Surakarta dan Yogyakarta.
228
Ibid.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
b. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
Cara penyerahan wewenang dengan rincian sebagaimana dipraktekkan dalam pembentukan kedua Haminte juga dikehendaki oleh Undang-Undang
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945. Dalam salah satu butir penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diutarakan perlunya
penentuan batas-batas wewenang daerah tidak memasuki wewenang Pemerintah Pusat. Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang berasal dari karya
suatu panitia yang diketahui R.P. Suroso semasa Kabinet Sjahrir III, wewenang daerah akan disebutkan dalam setiap undang-undang pembentukan daerah.
229
Wewenang yang dimaksud dapat seluruhnya otonomi, yang akan diserahkan kepada daerah antara lain adalah pengairan, pertanian, kehewanan, perindustrian,
pendidikan dan kebudayaan. Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948
230
Pemerintah bermaksud memberikan otonomi yang lebih besar kepada kabupaten daripada otonomi yang pernah diberikan kepadanya pada masa Hindia Belanda.
Pemerintah juga bermaksud memberikan otonomi yang lebih besar kepada Pemerintah Kota daripada otonomi yang diberikan kepada kabupaten.
Cara penyerahan wewenang yang sama juga dikehendaki oleh Undang- Undang NIT Nomor 44 Tahun 1950. Dalam Undang-undang itu dinyatakan
229
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 23 ayat 2 dan penjelasan Umum angka III butir 17.
230
Undang-undang ini lebih menonjolkan tuntutan demokrasi di mana daerah-daerah setelah beberapa tahun merdeka, ingin punya kewenangan yang luas untuk mengatur daerahnya masing-
masing, namun tidak berhasil karena pada waktu itu terjadi agresi Belanda berturut-turut tahun 1947 dan 1948.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
bahwa urusan yang masuk rumah tangga daerah diterapkan dengan undang- undang. Tetapi dalam undang-undang tersebut tidak ditegaskan apakah undang-
undang pembentukan daerah otonom atau undang-undang lain. Cara penyerahan dengan rincian sebagaimana dikehendaki oleh Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1948 dipakai oleh Pemerintah dalam membentuk empat buah daerah Tingkat I di Pulau Jawa di tahun 1950. Secara rinci 15 urusan
pangkal masing-masing daerah diberikan kepada Propinsi Jawa Timur,
231
Daerah Istimewa Yogyakarta,
232
Propinsi Jawa Tengah,
233
dan Propinsi Jawa Barat.
234
Semula urusan pangkal Propinsi Jawa Timur sebagimana ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 sebanyak 13 buah. Tetapi dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1950 jumlah urusan pangkal Propinsi Jawa Timur disamakan dengan jumlah urusan yang diberikan kepada propinsi lainnya di Pulau
Jawa, yakni 15 buah. Pada umumnya urusan pangkal yang tercantum dalam setiap undang-undang pembentukan dirinci ke dalam kegiatan atau pekerjaan tertentu.
Sebagaimana janji Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, maka kegiatan yang dirinci dapat dalam bentuk otonomi, rincian kegiatan tercantum dalam lampiran
dari setiap pembentukan. Bahkan rincian dari setiap urusan juga akan dilakukan dalam Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan penyerahan urusan. Dari rincian
231
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Timur jo Undang-Undang No. 18 Tahun 1950 tentang Perubahan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1950.
232
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1947 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 tentang Perubahan dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1947 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
233
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Tengah.
234
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
kegiatan dalam Peraturan Pemerintah itu akan tampak luas pekerjaan yang diserahkan dari apa yang tertulis dalam lampiran.
235
Menurut rencana pemerintah, sebagian besar kegiatan atau fungsi yang akan diserahkan kepada propinsi berupa bimbingan dan pengawasan terhadap Daerah
otonom yang lebih rendah. Walaupun menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 titik berat otonomi terletak di desa Daerah Tingkat III, namun dalam
penjelasan umum berbagai undang-undang pembentukan propinsi ditegaskan bahwa mengingat berbagai faktor, terutama kurangnya tenaga yang cakap maka
pemusatan fungsi pada daerah tingkat terbawah dalam tahap permulaan belum dapat terpenuhi seperti yang diharapkan. Karena itu dalam tahap permulaan
Daerah Tingkat II akan diserahi fungsi tersebut.
c. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
Cara penyerahan wewenang oleh Pemerintah Pusat dalam masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957
236
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Cara penyerahan wewenang itu terlihat dalam Pasal 31. Menurut Pasal 31 ayat 1
235
Lihat penjelasan umum dari setiap Undang-undang Pembentukan Propinsi dan Daerah Istimewa Yogyakarta di Pulau Jawa.
236
Undang-undang ini lahir sesudah lebih kurang 7 tujuh tahun kembali kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun Undang-undang ini tetap berlaku sampai menyeberang
kembali ke UUD 1945 melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959. Adapun ciri khas daripada Undang-undang ini adalah bahwa Undang-undang ini menganut “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” karena
demikian amanat konstitusi pada Pasal 131 UUDS 1950 yang menyebutkan bahwa “kepada daerah- daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri”
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
bahwa daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali urusan yang oleh undang-undang ini diserahkan kepada penguasa lain.
Dalam penjelasan ini dinyatakan bahwa urusan rumah tangga daerah diatur oleh Pemerintah Daerah, sehingga segala urusan yang tidak mau atau belum diatur
oleh Pemerintah Pusat atau daerah tingkat atasan dapat diatur oleh daerah. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan
tersebut ayat 1, dalam peraturan pembentukan daerah ditetapkan urusan-urusan tertentu yang diatur dan diurus oleh daerah sejak saat pembentukan. Urusan-
urusan ini sebagai urusan pangkal. Menurut penjelasan umum butir 1 satu urusan pangkal ini segera dapat diatur dan diurus oleh daerah sejak saat
pembentukan. Urusan-urusan ini menurut dasar-dasar dan faktor-faktor nyata di daerah pada saat tersebut merupakan tugas minimum daerah yang dibentuk. Di
samping itu dalam setiap pembentukan daerah akan ditetapkan anggaran personil dan materiil. Prinsip-prinsip ini sesuai dengan ketentuan Pasal 31 Undang-
Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Cara penyerahan wewenang itu tampaknya lebih memuaskan daerah
otonom, daerah otonom yang semula daerah swapraja dalam masa Hindia Belanda. Cara penyerahan wewenang ini lebih memberikan ruang gerak bagi
daerah untuk berprakarsa daripada cara penyerahan wewenang dengan rincian belaka. Namun, cara penyerahan dengan rumusan umum dapat berarti wewenang
daerah sangat kecil, sekiranya dalam kenyataannya banyak urusan yang telah terlebih dahulu dimiliki atau dijalankan oleh Pemerintah Pusat. Karena itu cara
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
penyerahan wewenang dengan rumusan umum perlu disertai dengan cara penyerahan wewenang dengan rincian seperti yang selama ini telah dipraktekkan.
d. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
Sekalipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti oleh Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1965, namun undang-undang yang menggantikan
menganut cara penyerahan wewenang yang sama dengan cara penyerahan wewenang yang dapat dianut oleh undang-undang yang digantikan. Dalam Pasal
89 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 terjabar kombinasi cara penyerahan wewenang.
a. Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah
tangga daerahnya. b.
Dengan tidak mengurangi ketentuan dimaksud dalam ayat 1, dalam undang- undang pembentukan daerah sebagai pangkal ditetapkan urusan-urusan yang
termasuk rumah tangganya disertai alat perlengkapan dan pembiayaannya serta sumber-sumber pendapatannya yang pertama dari daerah.
c. Dengan Peraturan Pemerintah tiap-tiap waktu, atas usul dan sepanjang
mengenai Daerah Tingkat II dan III atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setingkat lebih atas, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 dapat
ditambah dengan urusan-urusan lain.
Dalam penjelasan umum butir III Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang rancangan undang-undangnya disusun oleh Panitia Negara Urusan
Desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan Ketua R. P. Soeroso semasa Demokrasi Terpimpin antara lain dikemukakan bahwa ayat 1 memberi
kesempatan daerah untuk mengurus urusan-urusan yang luput dari perhatian Pemerintah Pusat. Pemberhentian kesempatan tersebut mengandung prinsip
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
bahwa hal-hal yang dapat diselesaikan setempat dan mempengaruhi keadaan umum atau kepentingan nasional sebaiknya diatur dan diurus oleh daerah. Di luar
dari urusan pusat dan kepentingan umum merupakan bidang Otonomi Daerah. Urusan pusat adalah segala apa yang menurut peraturan perundang-undangan
ditugaskan sendiri oleh pusat kepada dirinya. Sedangkan kepentingan dan urusan pusat yang tidak diatur secara tertulis. Dengan demikian, ayat 1 mengandung
pengaturan mengenai cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum. Untuk memberi tuntunan kepada daerah yang baru dibentuk agar daerah itu
sudah dapat mengetahui dan menyelenggarakan urusan rumah tangga daerahnya, maka dalam ayat 2 Pasal 39 diadakan ketentuan ayat 1, dalam undang-undang
pembentukan ditetapkan urusan pangkal bagi daerah yang bersangkutan dengan disertai perangkat, Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah yang dibentuk itu.
Ketentuan semacam ini mengandung makna dianutnya cara penyerahan wewenang dengan rincian. Bagi masing-masing Propinsi dimaksud pada Pasal 1
berlaku ketentuan-ketentuan pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1959 Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 70 juncto Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1964 Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 95 sepanjang ketentuan- ketentuan itu tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Dengan demikian,
secara rinci urusan pangkal yang diberikan kepada Daerah Tingkat I Sumatera Selatan berlaku juga bagi Daerah Tingkat I Bengkulu.
Dalam pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya Pemerintah juga menggunakan cara penyerahan wewenang dengan rincian. Hal ini dapat diketahui
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dari Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat.
237
Menurut pasal itu : 1
Urusan rumah tangga daerah sebagai kewenangan pangkal meliputi : 1.
urusan bimbingan dan kesejahteraan sosial 2.
urusan pertanian 3.
urusan kesehatan 4.
urusan pendidikan dan kebudayaan 5.
urusan pekerjaan umum 2
Perincian urusan rumah tangga daerah dimaksud ayat 1 Pasal ini, terdapat dalam lampiran undang-undang ini.
3 Penyerahan urusan lainnya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Selanjutnya dalam Pasal 7 ditentukan pula urusan yang tergolong ”tata usaha daerah”. Rincian yang dimaksud ayat 2 di atas adalah rincian dari urusan-
urusan yang telah diatur dengan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan penyerahan urusan. Urusan-urusan tersebut merupakan urusan baik Propinsi
Daerah Tingkat I Irian Jaya maupun Kabupaten-Kabupaten Daerah Tingkat II di wilayah itu. Urusan pangkal ini secara hukum dapat dilaksanakan seketika.
237
Sebenarnya Irian Barat pernah dibentuk sebagai Propinsi dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1956 yang dimaksudkan untuk kepentingan integrasi nasional. Salah satu jalan yang
ditempuh untuk mengembalikan wilayah ke dalam lingkungan Republik Indonesia pada waktu itu adalah mengundangkan Undang-undang tersebut. Namun pembentukan secara nyata baru terealisasi
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1973 nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
e. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Pengaturan tentang cara penyerahan wewenang dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
238
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah tidak sejelas pengaturan dalam berbagai undang-undang pemerintahan daerah
sebelumnya. Cara penyerahan wewenang yang dianut oleh undang-undang yang terakhir ini hanya dapat dipahami dengan jalan merangkaikan sejumlah pasal dan
penjelasan undang-undang, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal-pasal tertentu, serta menyimpulkannya.
Dalam Pasal 1 butir e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dijelaskan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat 2 dikemukakan bahwa ”pembentukan, nama, batas, ibukota, hak dan wewenang
urusan serta modal pangkal daerah ditetapkan dengan undang-undang”. Kedua pasal itu sama sekali tidak mengisyaratkan bahwa wewenang atau urusan dalam undang-
undang dimaksud akan dirinci dan atau dirumuskan secara umum. Walaupun demikian, dalam Pasal 8 ditentukan bahwa penambahan
penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sebaiknya menurut Pasal 9 bahwa sesuatu urusan pemerintahan yang
238
Undang-Undang ini mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang menganut “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab” sesuai dengan amanat politis dalam GBHN.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan peraturan perundang- undangan yang setingkat. Dalam penjelasan umum butir 4 6 b 1 dikemukakan
bahwa : ”Urusan otonomi daerah tidaklah statis, tetapi berkembang dan berubah. Hal ini terutama disebabkan oleh keadaan yang timbul dan berkembang di dalam
masyarakat itu sendiri. Berhubung dengan itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, undang-undang ini memberikan kemungkinan untuk secara bertahap menambah
penyerahan urusan-urusan kepada daerah, tetapi sebaliknya dimungkinkan pula penarikan kembali sesuatu urusan yang semula telah diserahkan menjadi urusan
rumah tangga daerah. Diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah. Bahkan dimungkinkan pula penghapusan sesuatu daerah dan pembentukan daerah-daerah
baru.”
Sepanjang mengenai penambahan penyerahan urusan ditegaskan oleh penjelasan Pasal 8 ayat 2 bahwa penambahan penyerahan urusan pemerintahan
kepada daerah haruslah disertai perangkat, alat perlengkapan dan sumber pembiayaan, sehingga dengan demikian urusan pemerintahan yang diserahkan itu
dapat diselenggarakan sebaik-baiknya. Namun, dalam penjelasan yang sama juga dikemukakan bahwa penambahan penyerahan urusan pemerintah kepada daerah
adakalanya tidak perlu disertai dengan penyerahan perangkatnya, apabila daerah yang bersangkutan telah mempunyai perangkat tersebut.
Dari isi Pasal 8 dan Pasal 9 beserta penjelasan undang-undang, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal, dapat disimpulkan bahwa Undang-
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Undang Nomor 5 Tahun 1974 cenderung untuk menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian. Kesimpulan ini makin kuat apabila dikaitkan dengan
penjelasan umum butir 4 4 I 1 bahwa : ”Dinas-dinas daerah adalah unsur pelaksana pemerintahan daerah.
Urusan-urusan yang diselenggarakan oleh dinas-dinas daerah adalah urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah. Pembentukan dinas daerah
untuk melaksanakan urusan-urusan yang masih menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan belum diserahkan kepada daerah dengan suatu undang-
undang atau Peraturan Pemerintah menjadi urusan rumah tangganya, tidak dibenarkan.”
Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri 363 Tahun 1977 tentang Pedoman Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah garis kebijaksanaan
pemakaian cara penyerahan wewenang dengan rincian makin kuat. Dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa Dinas Daerah dapat dibentuk dengan
persyaratan sebagai berikut : a.
Urusan yang menjadi tugasnya adalah urusan rumah tangga daerah berdasarkan penyerahan hak dalam rangka Otonomi Daerah berupa
kewenangan pangkal dan kewenangan yang berasal dari penyerahan selanjutnya;
b. Merupakan perangkat daerah yang bersifat organik;
c. Merupakan perangkat yang langsung melaksanakan pelayanan terhadap
masyarakat; d.
Merupakan perangkat daerah yang tidak bertujuan mencari keuntungan; e.
Sesuai dengan kemampuan daerah, baik ditinjau dari segi kepegawaian, keuangan maupun peralatan.
Secara konsisten Pemerintah menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian dalam pembentukan daerah otonom daerah dalam kurun waktu Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam pembentukan Daerah Tingkat I Timor-Timur dan 13 Daerah Tingkat II di wilayah Timor Timur atas dasar Undang-Undang Nomor
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
7 Tahun 1976 tentang pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor
Timur jo Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1976 ditentukan bahwa urusan pangkal bagi masing-masing Daerah Tingkat I Timor Timur dan Daerah Tingkat II di
wilayah Timor Timur meliputi 1 Kesejahteraan Sosial, 2 Pertanian, 3 Kesehatan, 4 Pendidikan dan Pengajaran, 5 Pekerjaan Umum. Penyerahan secara nyata
urusan-urusan tersebut kepada daerah dilakukan secara bertahap dan bersama-sama oleh Menteri yang membidangi urusan tersebut dan Menteri Dalam Negeri dengan
mengingat keadaan dan kemampuan daerah yang bersangkutan. Penyerahan urusan lainnya dilaksanakan secara bertahap dan diatur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 8 diatur urusan yang tergolong ke dalam urusan tata usaha daerah. Baik dalam undang-undang maupun Peraturan
Pemerintah tersebut di atas tidak terdapat rincian kegiatan dari tiap urusan dimaksud. Dalam pembentukan beberapa Daerah Tingkat II di luar Timor Timur,
pemerintah juga menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian. Melalui Pasal 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1990 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah
Tingkat II Halmahera Tengah dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1990 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung masing-masing daerah
terbentuk itu secara nyata diserahi 9 urusan pangkal. Enam dari 9 urusan itu adalah sama. Urusan-urusan yang sama adalah pengaturan dan penyelanggaraan kewenangan
untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman kehidupan masyarakat di daerah yang bersangkutan, pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dasar, pertanian, tanaman
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pangan, dan pendapatan. Tiga urusan lain yang berbeda lagi Kabupetan Halmahera Tengah adalah peternakan, perkebunan, dan perikanan. Sedangkan tiga urusan lain
yang berbeda bagi Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung adalah tata kota dan pertamanan, kebersihan dan pemadaman kebakaran.
Dari masing-masing pasal tersebut di atas terdapat ketentuan bahwa penambahan atau pengurangan urusan tersebut diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Cara penyerahan wewenang dengan rincian juga dipraktekkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan
Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat. Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung
Barat diserahi secara nyata 3 urusan pangkal. Enam dari 8 urusan ini juga sama dengan enam urusan yang diberikan kepada dua daerah tersebut di atas. Sedangkan
dua urusan yang lain adalah peternakan dan perkebunan. Dalam ayat 2 dari Pasal 10 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa penambahan atau pengurangan
urusan tersebut diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam tahun 1992 pemerintah juga membentuk Kotamadya Daerah Tingkat
II Denpasar dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar. Dalam pembentukan Daerah Tingkat II
Pemerintah tetap berpegang pada cara penyerahan wewenang dengan rincian. Melalui Pasal 10 undang-undang ini dirinci urusan pangkal Daerah Tingkat II tersebut
sebanyak 11 buah. Menurut penjelasan pasal tersebut, wewenang pangkal teresbut secara nyata telah mampu dilaksanakan. Adapun rincian fungsi dari tiap urusan sama
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dengan rincian yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baik penambahan maupun pengurangan urusan diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dari seluruh urusan di atas terlihat terjadinya kecenderungan perubahan
cara penyebaran wewenang yang dianut seiring dengan perubahan undang-undang yang mengatur pemerintah daerah. Namun perubahan itu tidak bertalian dengan
perubahan Undang-Undang Dasar yang menjadi landasan dari undang-undang tentang pemerintah yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang
berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 menganut cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum sebagai reaksi terhadap cara penyerahan wewenang dengan
rincian yang dipraktekkan Pemerintah Hindia Belanda. Sebaliknya, walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga berlandaskan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, namun Undang-undang ini menganut cara penyerahan wewenang dengan perincian.
Baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 maupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 menganut cara penyerahan wewenang campuran, yakni
dengan rumusan umum dan rincian, namun landasan kedua undang-undang itu berbeda. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 berlandaskan Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950, sedangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagaimana Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 berlandaskan Undang-
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Undang Dasar Tahun 1945 dan undang-undang ini juga menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian.
Cara penyerahan wewenang yang dianut dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah tidak selamanya secara konsisten dipraktekkan oleh pemerintah
dalam pembentukan daerah otonom di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 menganut cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum, namun praktek
yang dijalankan oleh Pemerintah terhadap daerah-daerah otonom di Pulau Jawa terlihat diskriminatif. Bagi daerah-daerah otonom yang dihidupkan kembali sebagai
peninggalan Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa, Pemerintah menggunakan cara penyerahan wewenang dengan rincian.
Demikian pula Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian. Namun dalam pembentukan daerah-daerah
otonom semasa periode berlakunya undang-undang itu pemerintah mempraktekkan cara penyerahan wewenang yang berbeda. Di Pulau Jawa, dalam pembentukan daerah
otonom di luar D.I.Yogyakarta, baik daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II Pemerintah menggunakan cara penyerahan wewenang dengan rincian. Sedangkan
dalam pembentukan Propinsi D.I. Yogyakarta, dan berbagai daerah otonom di Sumatera, Kalimantan dan di kawasan bekas Negara Indonesia Timur pemerintah
menggunakan cara penyerahan wewenang campuran, baik dengan rincian maupun dengan rumusan umum. Namun di penghujung berlakunya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1948 Pemerintah menggunakan cara penyerahan wewenang dengan rincian bagi Propinsi Irian Barat Jaya.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Dalam periode berikutnya, sekalipun berkali-kali terjadi perubahan undang- undang tentang pemerintah daerah dan dalam berbagai undang-undang itu dianut pula
cara penyerahan wewenang yang berbeda, namun dalam praktek pembentukan daerah otonom pasca PRRI-Permesta di berbagai kawasan pemerintah selalu menggunakan
cara penyerahan wewenang dengan cara rincian. Dengan demikian, kecenderungan pemakaian cara penyerahan wewenang
tertentu tampaknya tidak bertalian dengan undang-undang tentang pemerintahan daerah yang melandasinya tetapi bertalian dengan periodesasi pemerintahan. Dalam
masa demokrasi cenderung dipakai kombinasi cara penyerahan wewenang, khususnya di kawasan luar Jawa, sedangkan dalam periode Demokrasi Terpimpin dan
Orde Baru selalu dipakai cara penyerahan wewenang dengan rincian di berbagai kawasan.
Cara penyerahan wewenang dengan rincian memang dapat menjamin terdapatnya pembagian wewenang dan fungsi antar tingkatan pemerintah. Namun,
jaminan semacam itu dapat terwujud apabila tersedia startegi pembagian wewenang dan fungsi terlebih dahulu. Strategi dimaksud pada waktu itu dan bahkan hingga kini
belum tersedia sehingga menimbulkan kelambanan dalam proses desentralisasi pengotonomian dan atau inkonsistensi dalam kebijaksanaan Pemerintah mengenai
pengisian otonomi kepada daerah. Bagi daerah yang berkemampuan administrasi tinggi, cara penyerahan
wewenang dengan rincian terasa kurang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya prakarsa daerah dalam layanan dan pembangunan. Karena itu cara penyerahan
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
wewenang dengan rincian perlu didampingi dengan cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum. Namun cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum
ini baru berarti bagi daerah apabila mendapat dukungan dari dua sisi. Dari sisi daerah berupa kemampuan administrasi. Sedangkan dari sisi Pemerintah berupa
kebijaksanaan Pemerintah tentang organisasi, kepegawaian, dan keuangan daerah yang selaras.
Konsekuensi pemakaian cara penyerahan wewenang adalah dengan terwujudnya wewenang pangkal urusan pangkal dari daerah otonom yang
bersangkutan. Dalam distribusi wewenang pangkal antar tingkatan daerah otonom, terdapat kecenderungan bahwa Daerah Tingkat II yang terbentuk kemudian setelah
pembentukan Daerah Tingkat I diatasnya seperti yang terjadi di Sumatera memiliki jumlah urusan pangkal jauh lebih kecil daripada jumlah urusan pangkal Daerah
Tingkat I di atasnya. Sebaliknya, Daerah Tingkat II yang terbentuk lebih awal daripada pembentukan Daerah Tingkat I di atasnya seperti Daerah Tingkat II di
kawasan bekas NTT secara profesional memiliki jumlah urusan pangkal lebih besar daripada jumlah urusan pangkal Daerah Tingkat I di atasnya. Daerah Tingkat II yang
terbentuk bersamaan dengan waktu pembentukan Daerah Tingkat I di atasnya seperti Irian Jaya, Timor Timor dan Pulau Jawa cenderung memiliki jumlah urusan pangkal
yang kurang lebih sama dengan jumlah urusan pangkal Daerah Tingkat I di atasnya. Dari peta urusan pangkal juga terlihat variasi lain. Pada umumnya urusan
pangkal daerah otonom di Pulau Jawa dan di Sumatera Utara merupakan wewenang potensial, karena urusan pangkal tersebut tidak dapat dilaksanakan segera setelah
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
terbentuknya daerah otonom yang bersangkutan. Sedangkan urusan pangkal daerah otonom di kawasan lain pada umumnya merupakan wewenang riil, karena urusan
pangkal itu dapat segera dilaksanakan setelah terbentuknya daerah otonom yang bersangkutan. Walaupun demikian, kedua variasi urusan pangkal tersebut pada
akhirnya bertalian erat dengan pelaksanaan penyerahan wewenang yang tertuang dalam berbagai Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan penyerahan urusan
pemerintahan.
f. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004
Penyerahan kewenangan dalam kedua undang-undang ini tidak jauh berbeda, yaitu memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
urusannya sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dengan kata lain daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu
penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat. Semua urusan pemerintah menjadi urusan pemerintah daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai
kewenangan pemerintah pusat atau disebut dengan otonomi luas.
239
Dalam negara modern apabila dikaitkan dengan paham negara kesejahteraan, urusan pemerintahan
tidak dapat dikenali jumlahnya. Segala aspek kehidupan bermasyarakat, terutama yang berkaitan dengan pelayanan urusan dan kepentingan umum, baik dibidang
politik, ekonomi, sosial maupun budaya akan sangat mungkin menjadi urusan
239
Bagir Manan, Menyongsong Fajar.....,Op.Cit., hlm. 37.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pemerintahan. Urusan pemerintahan dapat meluas sejalan dengan meluasnya tugas negara danatau pemerintahan untuk mewujudkan kesehateraan umum.
240
Sejalan dengan prinsip residual yang ada pada daerah, maka urusan rumah tangga daerah
menjadi sangat luas dan setiap saat mungkin meluas. Setelah mundurnya Soeharto dari kedudukannya sebagai presiden, tuntutan
reformasi makin meluas lingkupnya, hingga pada masalah “pemerintahan daerah”, karena dianggap merupakan salah satu sumber ketidakadilan di bidang politik dan
pemerintahan, oleh karena keadaan demikianlah membawa terjadinya perubahan- perubahan di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Perubahan ini diharapkan membawa akibat positif terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Akibat positif tersebut antara lain pelayanan terhadap
masyarakat menjadi lebih baik dan lebih demokratis. Walaupun demikian perlu dipahami bahwa secara empirik selalu terdapat urusan pemerintahan yang secara utuh
diselenggarakan secara sentralisasi, tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan yang secara utuh diselenggarakan secara desentralisasi, dan luasnya
urusan pemerintahan yang setiap saat dapat bertambah akan menjadi sumber masalah bagi daerah, karena akan menimbulkan beban yang berat sehingga ada kemungkinan
daerah tidak mampu menjalankannya. Kemungkinan daerah tidak mampu melaksanakan urusannya itu kemudian
dicoba ditutupi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan membagi urusan
240
Ibid, hlm. 38.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Rumah Tangga Daerah menjadi urusan wajib, urusan pilihan dan diperkenalkan istilah urusan concurent yang mengandung arti urusan pemerintahan yang
penanganannya dalam bagian tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa dalam otonomi daerah meskipun daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri,
namun tetap ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar sesuai dengan prinsip negara kesatuan. Hubungannya dengan penerapan asas-asas pembuatan peraturan
perundang-undangan dalam pembuatan peraturan daerah adalah apakah penerapan asas lokal yang hanya di daerah tertentu tidak menyalahi teori otonomi daerah.
2. Peraturan Daerah Sebagai Landasan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah