memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan problem, yang
bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pasangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi
pembaca.
159
Menurut Kaelan M.S. Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian
adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.
160
Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut :
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta
yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya; 2.
Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi;
159
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm. 80.
160
Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum
dan Seni, Yogyakarta: Paradigma, 2005, hlm. 239.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhstisar dari pada hal-hal yang diteliti;
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah
diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
161
Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini. Secara konseptual,
teori yang dapat dijadikan acuan dalam membahas pengujian Perda adalah dengan menggunakan pendekatan teori “negara berdasar atas hukum” Rechtsstaat sebagai
grand theory yang didukung oleh midle theory “Trias Politica” untuk memperkuat teori utama, serta konsep pembaharuan hukum dan prinsip-prinsip pembuatan
perundang-undangan yang baik dan demokratis sebagai applied theory-nya. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, gagasan Negara
Hukum
162
merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak perspektif dan boleh dikatakan selalu aktual. Dalam memberikan pengertian mengenai gagasan Negara
Hukum ini,
163
setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik
161
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 121.
162
Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan Oemar Seno Adji dalam Indonesia Negara Hukum menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum
terletak pada dua hal, yaitu 1 teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica, adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan
adanya peradilan administratif; dan 2 teori Rule of Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang dan
adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya. Padmo Wahjono, “Indonesia Ialah Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979.
163
Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga pengertian keduanya pada masa kini mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
terhadap kata “negara” maupun kata “hukum”.
164
Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa
Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law.
165
Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik Negara Hukum Rechtsstaat dalam tradisi Eropa Kontinental adalah Friedrich Julius Stahl.
Pandangannya tentang Rechtsstaat merupakan perbaikan dari pandangan Immanuel Kant.
166
Unsur-unsur yang harus ada dalam Rechtsstaat
167
adalah pertama, pengakuan hak-hak asasi manusia grondrechten; kedua, pemisahan kekuasaan
scheiding van machten; ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang wetmatigheid van het bestuur; dan keempat, peradilan administrasi administratieve
dengan pengertian keduanya pada masa lalu. Tentang hal ini, lihat misalnya Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cetakan I, Jakarta: Ind Hill-Co., 1997, hlm. 4.
164
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1985, hlm. 11.
165
Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan Negara Hukum tidak selalu identik dengan Rule of Law. Sedangkan istilah Rechtsstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara
oleh hukum. Wolfgang Friedmann, Legal Theory, London: Steven Son Limited, 1960, hlm. 456. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah
Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of Man. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976, hlm. 8.
166
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co, 1989, hlm. 30.
167
Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang
mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan negara jaga malam nachwachtersstaat. Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha
kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh
rakyat agar tetap merasa aman dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Cetakan I, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hlm. 90. Tentang wawasan-
wawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai
Analisis Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi Doktor S3, Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990, hlm. 139.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
rechtspraak.
168
Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law
169
adalah pertama, supremasi hukum supremacy of law; kedua, persamaan di depan hukum equality before the law; ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak
asasi manusia constitution based on human rights.
170
Syarat-syarat dasar bagi pemerintahan demokratis di bawah konsep Rule of Law ada
yang penting bagi kedua tradisi negara hukum tersebut. lah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang
bebas dan tidak memihak;
171
ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat; kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan
keenam, pendidikan kewarganegaraan.
172
Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam
Negara Hukum tradisi Rechtsstaat maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata lain, keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat
168
Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973, hlm. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham
konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism:
Ancient and Modern, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974, hlm. 146.
169
Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang Rule of Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam
Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997, hlm. 1-2.
170
A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10
th
edition, London: English Language Book Society and MacMillan, 1971, hlm. 223-224.
171
Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiran-penafsirannya terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan
bagi keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu negara. A.W. Bradley, “The Sovereignty of Parliament-Form or Substance?”, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing
Constitution, 4
th
edition, Oxford: Oxford University Press, 2000, hlm. 34.
172
South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, Bangkok: International Commission of Jurist,
1965, hlm. 39-45.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Selanjutnya John Locke 1632-1704 memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan.
173
Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik t
ukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaa
otaliter
174
bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke
dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif
legislative power, kekuasaan eksekutif executive power, dan kekuasaan federatif federative power.
175
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan h
n yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan
173
Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan separation of power dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti
pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law
and the Constitution, 4
th
edition, London: The English Language Book Society, 1976, hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan
pemisahan kekuasaan separation of powers, sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan division of powers. Robert M. McIver, The Modern State,
Oxford: Oxford University Press, 1950, hlm. 364.
174
Dalam konsep negara modern, totaliter ini merupakan kebalikan dari demokrasi. Sidney Hook, “Democracy” [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], dalam Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo,
eds., Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia FounDaerah Tingkaton,
1989, hlm. 33; Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, “Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Cet. III, Jakarta: Gramedia,
1980, hlm. 88.
175
John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, London: Everyman, 1993, hlm. 188.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing.
Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang
menyelenggarakannya.
176
Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
177
Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak bisa dengan mudah melakukan
penyalahgunaan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih
terjamin.
178
Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan
176
Ibid.
177
Abad ke-20 merupakan awal terjadinya kecenderungan semakin leluasanya kekuasaan eksekutif. Penyebabnya adalah 1 gelombang dekolonisasi dan terbentuknya negara-negara baru
dengan tahap-tahap konsolidasi awal yang memerlukan pemusatan kekuatan di tangan pemerintah; 2 munculnya era perang dingin yang membelah dunia ke dalam dua blok Barat dan Timur yang diikuti
persaingan perebutan pengaruh antar blok; 3 timbulnya fenomena perang antarnegara yang memacu peningkatan anggaran militer diberbagai negara; 4 semakin kompleksnya lingkup tugas-tugas
pemerintahan seiring dengan perkembangan jaman; dan 5 munculnya ketidakpuasan umum terhadap praktek multi partai yang dianggap sebagai biang keladi instabilitas internal di berbagai negara. Jimly
Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI-Press, 1996, hlm. 106-116; Jimly Asshiddiqie, “Undang-
Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan
pada tanggal 13 Juni 1998, hlm. 10.
178
Lihat C.F. Strong, Modern Political Constitution, London: Sidwick Jackson, 1973, hlm. 245-247.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
kekuasaa
dikatif. Argumentasi yang dapat dikemuk
arus dipegang adalah kekuasaan yudikatif
n yudikatif.
179
Dalam hal ini, kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan hak-hak asasi
manusia dijamin. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang
pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja.
180
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemedekaan kekuasaan yu
akan pemikiran ini adalah bahwa dengan adanya kekuasaan yudikatif yang merdeka, hak-hak warga negara dapat terlindungi secara maksimal dari korban
despotis kekuasaan. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government Pemerintah
yang merupakan alat-alat perlengkapan negara.
181
Dalam doktrin Trias Politika, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang h
dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif.
182
Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya
179
Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, tidak ada saling campur tangan di antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politika terdapat suasana checks and
balances. Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II, Cet. I, Yogyak
aruhi cara berpikirnya yang sangat mementingkan kekuasaan yudikatif
, 1994, hl
arta: Liberty, 1993, hlm. 19.
180
Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang The Spirit of the Laws, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 44-55. Kenyataan bahwa Montesquieu sebagai seorang
yang berprofesi hakim ikut mempeng . Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. IV, Jakarta: Aksara Baru, 1985, hlm.2.
181
C.F. Strong, Op. Cit., hlm. 6.
182
Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
m. 227.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan
semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan.
183
Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan
untuk menangani dan menyelesaiakan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi dalam kehidupan sebuah negara.
Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampau batas kewenangan masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi. Dalam kerangka inilah,
diperluka
pat usaha yaitu: 1 Menyempurnakan membua
n adanya ajaran mengenai checks and balances system sistem pengawasan dan keseimbangan di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya
kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain.
184
Dalam perspektif yang lain Sunaryati Hartono mengatakan bahwa makna pembangunan hukum itu meliputi em
t sesuatu yang lebih baik 2 Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern 3 Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada 4 Meniadakan
183
Budiardjo, Op. Cit.
184
Ibid., hlm. 153.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan atau tidak cocok dengan sistem baru.
185
Selanjutnya Hans Kelsen dalam membicarakan Determination of the law- Creating Function yang menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat
menentukan badan dan prosedur norma yang lebih rendah dan muatan dari norma yang lebih rendah. Teori ini dikenal dengan istilah Stufentheorie dimana menurutnya
suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, sehingga suatu norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut dengan norma
dasar grundnorm.
186
Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut
Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan hukum-
hukum yang lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia.
187
185
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Alumni, 1994 hlm. 12.
186
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, New York: Russel and Russel, 1961, hlm. 112-113.
187
Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1993, hlm. 41-42.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Sejarah memperlihatkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Bentuk
dan Jenis peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari :
1. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Menteri.
188
Setelah undang-undang tersebut pernah berlaku Surat Presiden Nomor 2262HK59
189
tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, kemudian Ketetapan MPRSXXMPRS1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.
190
TAP MPRS ini baru disempurnakan pada Tahun 2000 dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor IIIMPR2000 dan yang terakhir adalah
188
Dalam undang-undang ini sama sekali tidak diatur tentang peraturan perundang-undangan tingkat daerah, mungkin dikarenakan pada waktu itu Republik Indonesia hanya merupakan negara
bagian dari Republik Indonesia Serikat RIS.
189
Surat ini menyatakan bahwa bentuk-bentuk peraturan negara selain yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Lihat dalam Haposan Siallagan, Penerapan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Dalam Pembuatan
Peraturan Daerah, Medan: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2007, hlm. 280.
190
Menurut TAP MPRS ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-UndangPeraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dll.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
191
Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah sebagai berikut : 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2.
Undang-UndangPeraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang; 3.
Peraturan Pemerintah; 4.
Peraturan Presiden; 5.
Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah KabupatenKota dan Peraturan Desa.
Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekuensi teori penjenjangan
norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD.
Menurut Hans Kelsen hirarki norma hukum terdiri atas
192
: 1. Norma Dasar Fundamental NormsGrundnormBasic Norm
2. Norma Umum General Norms 3. Norma Konkret Concrete Norms
191
Menurut TAP MPR ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; dan 7. Peraturan Daerah.
192
Hans Kelsen, Op.Cit.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Fundamental Norms terdapat dalam konstitusi, General Norm terdapat dalam undang-undang dan Concrete Norms terdapat dalam putusan pengadilan vonnis
serta keputusan-keputusan pejabat administrasi negara.
193
Hans Kelsen mengemukakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan
hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar Grundnorm yang
tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar ini merupakan yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar
pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara ‘presupposed’, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.
194
Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar Grundnorm dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut
sebagai staatsgrundnorm
melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma
fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
195
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban- dingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum
193
Ibid.
194
Ibid.
195
Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, EinsiedelnZurichKoln: Benziger, 1948, hlm. 31.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum
Indonesia adalah
196
: 1
Staatsfundamentalnorm: Pancasila Pembukaan UUD 1945. 2
Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3 Formell gesetz: Undang-Undang.
4 Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota. Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali
disampaikan oleh Notonagoro.
197
Pancasila dilihat sebagai cita hukum rechtsidee merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif
adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm
196
Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXMPRS1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. IIIMPR2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lihat
A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287.
197
Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta: Bina Aksara,
1988, hlm. 27.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
198
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan tujuh asas Undang-undang yaitu
199
:
1. Undang-undang tidak berlaku surut
2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula 3.
Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum Lex specialis derogat lex generalis
4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang
berlaku terdahulu Lex posteriori derogat lex priori 5.
Undang-undang tidak dapat diganggu gugat 6.
Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui
pembaharuan atau pelestarian asas welvaarstaat 7.
Undang-undang yang di bawah tidak bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya Lex superiore derogat lex infiriore
198
Attamimi, Op Cit., hlm. 309.
199
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali, 1984, hlm. 47. Lihat juga B. Hestu Cipto Handoyo,
Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008, hlm. 73.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Sementara itu Amiroeddin Syarief menetapkan adanya lima asas perundang-undangan yaitu
200
: 1.
Asas tingkatan hirarkis 2.
Undang-undang tak dapat diganggu gugat 3.
Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum Lex specialis derogat lex generalis
4. Undang-undang tidak berlaku surut
5. Undang-undang yang baru mengenyampingkan Undang-undang yang lama Lex
posteriori derogat lex priori
2. Konsepsi