Kewenangan Pengujian Perda Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif

2. Kewenangan Pengujian Perda

Dalam agenda Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, MPR melakukan Perubahan Ketiga UUD 1945 antara lain terhadap BAB IX Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 A ayat 1 ditetapkan, Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi; menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Kemudian Pasal 11 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, ditentukan “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang terhadap undang-undang”. Kemudian dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, ditegaskan Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang terhadap undang-undang. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perda telah masuk ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Mahkamah Agung memegang kewenangan untuk menguji apakah Perda bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Eksistensi Perda akan diawasi secara represif oleh Pemerintah executive review dan oleh Mahkamah Agung melalui judicial review yang bersifat pasif. Pengkategorian masalah pembatalan Perda, apakah merupakan kewenangan pemerintah pusat untuk melakukan penilaian terhadap pelaksanaan otonomi daerah Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 yang dilihat dari Perda-perda yang diterbitkan pemerintah daerah; ataukah masalah ini menjadi masalah hukum yang selanjutnya penyelesaiannya pun melalui penyelesaian hukum. Berkenaan dengan itu, perlu dipahami apakah Perda Provinsi, Kabupaten dan Kota merupakan produk legislatif atau produk regulatif. Menurut Jimly Asshiddiqie, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD baik di provinsi maupun di kabupaten dan kota jelas merupakan lembaga yang menjalankan kekuasaan legislatif di daerah. Disamping itu, pengisian jabatan keanggotaannya juga dilakukan melalui Pemilihan Umum. Baik DPRD maupun Kepala Daerah, yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Keduanya, lembaga legislatif dan eksekutif, sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, dan sama- sama terlibat dalam proses pembentukan suatu Perda. Karena itu, seperti halnya undang-undang di tingkat pusat, Perda dapat dikatakan juga merupakan produk legislatif ditingkat daerah yang bersangkutan, dan tidak disebut sebagai produk regulatif atau executive acts. 277 Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan, berkaitan dengan pengertian local constitutiton atau local grondwet, maka Perda juga dapat dilihat sebagai bentuk undang-undang yang bersifat lokal. Mengapa demikian? Seperti undang-undang, maka organ negara yang terlibat dalam proses pembentukan Perda itu adalah lembaga legislatif dan eksekutif secara bersama-sama. 277 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian...., Op.Cit., hlm. 34. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 Jika undang-undang dibentuk oleh lembaga legislatif pusat dengan persetujuan bersama Presiden selaku kepala pemerintahan eksekutif, maka Perda dibentuk oleh lembaga legislatif daerah bersama-sama dengan kepala pemerintahan daerah setempat. Dengan perkataan lain, sama dengan undang-undang, Perda juga merupakan produk legislatif yang melibatkan peran para wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang berdaulat. Sebagai produk para wakil rakyat bersama dengan pemerintah, maka Perda itu seperti halnya undang-undang dapat disebut sebagai produk legislatif legislative acts. Sedangkan peraturan-peraturan dalam bentuk lainnya adalah produk regulasi atau produk regulatif executive acts. Perbedaan antara peraturan daerah dengan undang-undang terletak pada segi lingkup teritorial atau wilayah berlakunya peraturan itu, yaitu berlaku secara nasional atau lokal. Undang-undang berlaku nasional, sedangkan Perda hanya berlaku di dalam wilayah pemerintahan daerah yang bersangkutan saja, yaitu dalam wilayah daerah provinsi, wilayah daerah kabupaten, atau wilayah daerah kota yang bersangkutan masing-masing. Perda tidak ubahnya adalah local law atau local wet, yaitu undang- undang yang bersifat local local legislation. 278 Oleh karena Perda merupakan produk legislatif, maka timbul persoalan dengan kewenangan untuk menguji dan membatalkannya. Lembaga manakah yang berwenang membatalkan Perda. Apakah jika ditemukan kenyataan bahwa banyak 278 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 92- 93. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 Perda yang ditetapkan di daerah bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi atau peraturan tingkat pusat, maka pengadilan haruslah menentukan bahwa peraturan-peraturan daerah itu dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat. Sebagai konsekuensi dipertegasnya prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif dalam naskah Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945, maka produk legislatif daerah ini dapat saja bertentangan dengan produk produk eksekutif di tingkat pusat, maka pengadilan haruslah menentukan bahwa Perda itulah yang berlaku untuk daerahnya. 279 Menurut Bagir Manan, mengingat bahwa Perda termasuk Peraturan Desa dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri otonom, dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan ”pertingkatan”, melainkan juga pada ”lingkungan wewenangnya”. Suatu Perda yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kecuali Undang-Undang Dasar 1945 belum tentu salah, kalau ternyata peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi yang ternyata melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 atau Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 280 279 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan Kedua, Yogyakarta: FH UII Press, 2004, hlm. 279-280. 280 Ibid., hlm. 142. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 Meskipun daerah-daerah dari negara kesatuan itu bukanlah unit-unit negara bagian yang tersendiri, tetapi rakyat di daerah-daerah itu tetap mempunyai kedaulatannya sendiri-sendiri dalam lingkungan daerah provinsi atau daerah kabupatenkotanya. Tentu saja disamping kedaulatan dalam konteks bernegara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh sebab itu, produk legislatif di daerah provinsi atau daerah kabupatenkota berupa Perda sebagai hasil kerja dua lembaga, yaitu Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kedua-duanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, tidak dapat begitu saja dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat. Dalam Pasal 145 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa : ”Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Presiden”. Sedangkan Pasal 185 Ayat 5 menyatakan bahwa : ”Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Peraturan Daerah Provinsi tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD. Mekanisme peninjauan atau pengujian oleh Menteri Dalam Negeri ini dapat dikategorikan sebagai executive review yaitu mekanisme pengujian Perda oleh Menteri Dalam Negeri selaku pejabat eksekutif tingkat pusat. 281 281 Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian…, Op.Cit., hlm. 38. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 Penerapan mekanisme tersebut juga dikaitkan dengan dasar pemikiran Indonesia sebagai negara kesatuan unity state, sehingga dinilai rasional apabila pemerintahan pusat sebagai pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk mengendalikan sistem hukum di lingkungan pemerintahan daerah. Akan tetapi, tidaklah rasional apabila Pemerintah Pusat dianggap tidak berwenang melakukan tindakan mengatur dan mengendalikan pembentukan Perda yang tidak sejalan dengan maksud diadakannya mekanisme pembentukan Perda itu sendiri oleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Sepanjang untuk kepentingan nasional yang objektif, mengapa Pemerintah Pusat tidak dapat melakukan kontrol dan pembinaan kepada unit-unit pemerintahan daerah? Atas dasar pemikiran yang demikian itulah maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk membatalkan Perda dengan Peraturan Presiden. 282 Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Perda itu jelas disebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang resmi dengan hirarki di bawah undang-undang. Sepanjang suatu norma hukum dituangkan dalam bentuk peraturan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, dan tingkatannya berada di bawah undang-undang, maka sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24 A ayat 1 UUD 1945, pengujiannya hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan oleh lembaga lain. 282 Jimly Asshiddiqie, Perihal…..,Op.Cit., hlm. 98. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 Karena Perda itu termasuk kategori peraturan yang hirarkinya berada dibawah undang-undang, maka tentu dapat timbul penafsiran bahwa Pemerintah Pusat sudah seharusnya tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menilai dan mencabut Perda sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang berwenang untuk menguji Perda itu menurut Pasal 24 A ayat 1 UUD 1945 adalah Mahkamah Agung, 283 Menurut Laica Marzuki, tidak tepat Perda ditempatkan pada hirarki peraturan perundang-undangan terbawah, dibawah Peraturan Presiden Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004. Locale wet atau Perda dibuat guna melaksanakan undang-undang, wet atau gesetz. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum sepenuhnya menerangkan hakikat desentralisasi. Produk Perda seyogyanya tidak dibatalkan oleh perangkat pemerintah pusat. Perda yang menyimpang dari hukum dapat setiap saat dibawakan ke Mahkamah Agung dan Perda yang menyimpang dari hukum dapat dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh Mahkamah Agung. 284 Namun, pola pikir yang terkandung di dalam ketentuan Pasal 145 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jelas berbeda dari hal itu, karena Perda tidak dianggap sebagai objek pengujian oleh Mahkamah Agung. Perda itu tidak dianggap sebagai salah satu bentuk atau jenis peraturan perundang- 283 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian…..,Op.Cit., hlm. 39. 284 M. Laica Marzuki, Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 1 Maret 2007, hlm. 14. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 undangan di bawah undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Ketentuan dalam Pasal 145 ayat 5 dan ayat 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bukanlah upaya pengujian judicial review atas Perda melainkan pengujian judicial review atas Peraturan Presiden yang membatalkan Perda. Artinya Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut menegaskan kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji Peraturan Presiden itu terhadap undang-undang sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24 A ayat 1 UUD 1945. Di dalam sistem demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung yang diterapkan untuk mengisi jabatan-jabatan di lembaga legislatif dan eksekutif, peranan partai politik sangat menonjol. Dengan demikian undang-undang dan Perda sama- sama merupakan produk politik yang mencerminkan pergulatan kepentingan diantara cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif, baik di tingkat daerah maupun pusat, tidak boleh dinilai atau diuji oleh sesama lembaga politik. Pengujian undang- undang dan Perda itu harus dilakukan melalui mekanisme ”judicial review” dengan melibatkan peranan hakim yang objektif dan imparsial sebagai pihak ketiga. 285 Jika Perda sebagai produk politik diuji dan dibatalkan oleh lembaga politik melalui mekanisme politik dengan Peraturan Presiden, berarti partai politik akan dihadapi oleh partai politik. Proses politik yang sudah selesai di tingkat daerah, 285 Jimly Asshiddiqie, Perihal…..,Op.Cit., hlm. 103-104. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 dilanjutkan dengan proses politik di tingkat pusat. Jika pemerintah pusat dikuasai oleh Partai A, sedangkan pemerintahan di suatu daerah dikuasai oleh Partai B yang saling bertentangan satu sama lain, maka besar kemungkinan Perda sebagai produk politik di daerah yang bersangkutan akan dengan mudah dibatalkan oleh pemerintah yang dikuasai lawan politiknya. Oleh sebab itu, ketentuan Pasal 145 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut diatas dapat dipersoalkan secara kritis. Dalam Pasal 145 ayat 2 dinyatakan, ”Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”. Selanjutnya pada ayat 3 menentukan, ”Keputusan pembatalan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 enam puluh hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 1”. Apabila kita konsisten dengan pengertian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka mau tidak mau kita harus mengartikan bahwa Perda itu termasuk ke dalam pengertian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 A ayat 1 UUD 1945. Lagi pula, jika dikaitkan dengan pengertian primary legislation versus secondary legislation yang dapat dikatakan sebagai primary legislation adalah undang-undang, sedangkan Perda adalah produk secondary legislation, Perda itu merupakan bentuk delegated legislation sebagai peraturan pelaksana undang-undang subordinate legislation. Karena itu kedudukannya sudah seharusnya ditempatkan langsung di bawah undang- Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 undang. Karena itu, kedudukannya tetap berada di bawah undang-undang yang seperti ditentukan oleh Pasal 24 A ayat 1 termasuk objek pengujian yang menjadi bidang kewenangan Mahkamah Agung. 286 Dalam perspektif negara kesatuan atau unitary state eenheidsstaat adalah logis untuk mengembangkan pengertian bahwa pemerintahan atasan berwenang melakukan kontrol terhadap unit pemerintahan bawahan. Artinya, pemerintahan pusat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 tentu dapat dikatakan mempunyai kewenangan untuk mengontrol unit-unit pemerintahan daerah provinsi ataupun pemerintahan daerah kabupaten dan kota. Demikian pula pemerintahan daerah provinsi juga dapat diberi kewenangan tertentu dalam rangka mengendalikan jalannya pemerintahan daerah kabupaten dan kota di bidang pengaturan. Hal yang dikendalikan atau dikontrol oleh pemerintahan atasan itu antara lain adalah kontrol atas norma hukum yang ditetapkan oleh pemerintahan bawahan melalui apa yang dikenal sebagai general norm control mechanism. Mekanisme kontrol norma umum inilah yang bisa disebut sebagai sistem abstract review atau pengujian abstrak yang dapat dilakukan oleh lembaga eksekituf, legislatif ataupun oleh lembaga pengadilan. Jika abstract review itu dilakukan oleh lembaga eksekutif, misalnya, pengujian oleh pemerintahan pusat atas Perda daerah provinsi, maka mekanisme demikian disebut executive review. Jika abstract review itu dilakukan 286 Ibid., hlm. 104-105. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 oleh DPRD dan pemerintahan daerah yang menetapkan Perda itu sendiri, maka mekanisme peninjauan kembali semacam itu disebut legislative review yang dapat menghasilkan perubahan amendment peraturan. Jika pengujian itu dilakukan oleh pengadilan, maka hal itulah yang bisa disebut judicial review. 287 Disamping abstract review, mekanisme kontrol norma juga dapat dilakukan melalui prosedur abstract preview, yaitu control yang dilakukan sebelum norma hukum yang bersangkutan mengikat untuk umum. Misalnya, suatu rancangan Perda disahkan oleh parlemen tetapi sebelum diundangkan sebagaimana mestinya, pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk menguji, menilai, atau bahkan menolak pengesahan peraturan pemerintah bawahan. Mekanisme demikian dapat disebut sebagai executive abstract preview oleh pemerintahan atasan. Kewenangan untuk melakukan executive abstract preview itulah yang sebaiknya diberikan kepada pemerintahan atasan, bukan mekanisme review atas Perda yang sudah berlaku mengikat untuk umum. Jika suatu peraturan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif dan legislatif yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dibatalkan hanya oleh pejabat eksekutif tingkat atas, berarti ”prinsip negara kesatuan” dijadikan dalih untuk mengebiri aspirasi rakyat dengan tindakan yang semata-mata didasarkan atas pertimbangan politik. Oleh karena itu, terhadap Perda sebagai produk legislatif didaerah, sebaiknya hanya di-preview oleh pemerintahan atasan apabila statusnya masih sebagai rancangan Perda yang belum 287 Ibid., hlm. 107-108. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 mengikat untuk umum. Jika Perda itu sudah mengikat umum, maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan Perda yang bersangkutan. Dengan demikian, jika dibiarkan suatu Perda yang telah berlaku mengikat untuk umum yang ditetapkan oleh para politikus yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif ditingkat pemerintahan bawahan, dibatalkan lagi oleh para politikus yang duduk di lembaga eksekutif tingkat pemerintahan atasan, berarti Perda dibatalkan hanya atas dasar pertimbangan politik belaka. Hal demikian itu sama saja dengan membenarkan bahwa supremasi hukum ditundukkan dibawah supremasi politik. 288 Lembaga pengadilan mana yang sebaiknya diberi kewenangan untuk melakukan judicial review itu? Menurut Jimly Asshiddiqie, sistem yang dianut dan dikembangkan menurut UUD 1945 ialah centralized model of judicial review, bukan decentralized model. Seperti ditentukan dalam Pasal 24 A ayat 1 dan Pasal 24 C ayat 1 UUD 1945, sistem yang kita anut adalah sistem sentralisasi. Oleh karena itu, pilihan pengujiannya adalah oleh Mahkamah Agung atau oleh Mahkamah Konstitusi. Jika kewenangan untuk menguji Perda diberikan kepada Mahkamah Agung, berarti Perda mutlak dilihat hanya sebagai salah satu bentuk peraturan perundang- undangan yang berada di bawah undang-undang. Karena itu terlepas dari pernyataan bahwa Perda tersebut juga merupakan produk legilative acts, tetapi berdasarkan 288 Ibid., hlm. 107-109. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 ketentuan Pasal 24 A ayat 1 UUD 1945, pengujian atasnya mutlak hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung. Namun demikian, apabila kewenangan untuk menguji Perda diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, maka bentuk dan substansi Perda itu harus dilihat sebagai undang-undang dalam arti yang luas. Pasal 24 C ayat 1 UUD 1945 hanya menyebut ”undang-undang” dengan huruf kecil. Artinya, kualifikasi ”undang-undang” dimaksud belum dirinci. Jika ditafsirkan bahwa dalam kata ”undang-undang” tersebut dapat mencakup juga pengertian ”undang-undang dalam arti materiil” wet in materiele zin, maka niscaya substansi Perda dapat dilihat sebagai wet in materiele zin yang berbaju Perda. 289 Oleh karena itu, di samping pemerintah pusat dapat saja diberi peranan dalam melakukan mekanisme tertentu yang berkaitan dengan fungsi executive review, Mahkamah Konstitusi juga dapat menafsirkan bahwa Peraturan Daerah itu locale wet in materiele zin juga dapat dijadikan sebagai objek pengujian konstitusional yang harus dijalankannya sebagai lembaga pengawal konstitusi. Mengingat tugas Pemerintahan Daerah dalam rangka otonomi daerah semakin berat, maka pembentukan Perda, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah memerlukan perhatian yang serius. Proses harmonisasi, pembulatan dan pemantapan konsep rancangan Perda merupakan hal yang harus ditempuh. Pengharmonisan adalah merupakan upaya untuk menyelaraskan sesuatu, dalam hal ini Perda sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang tersusun secara 289 Ibid., hlm. 111. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 sistematis dalam suatu hierarki maupun dengan asas perundang-undangan agar tergambar dengan jelas dalam pemikiran atau pengertian bahwa Perda merupakan bagian integral yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Pengharmonisan dilakukan untuk menjaga keselarasan, kebulatan konsepsi peraturan perundang-undangan sebagai sistem agar peraturan perundang-undangan berfungsi secara efektif. 290 Disamping itu, pengharmonisan peraturan perundang-undangan sangat strategis fungsinya sebagai upaya preventif untuk mencegah adanya pembatalan oleh pemerintah ataupun diajukannya permohonan pengujian peraturan perundang- undangan kepada kekuasaan kehakiman yang kompeten. Pengharmonisasian akan menjamin proses pembentukan rancangan Perda dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum. Adapun aspek-aspek apa yang perlu diharmonisasikan, setidaknya ada 2 dua aspek yaitu yang berkaitan dengan konsepsi materi muatan dan teknik penyusunannya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ternyata memberikan ruang lingkup urusan pemerintahan yang sangat luas kewenangan kepada daerah untuk diatur dalam Perda. Ketentuan tersebut mengharuskan para pejabat di lingkungan pemerintah daerah yang ditugaskan untuk merancang sebuah Perda untuk mengetahui dan mempelajari berbagai peraturan 290 A.A. Oka Mahendra, “Harmonisasi dan Sinkronisasi RUU Dalam Rangka Pemantapan dan Pembulatan Konsepsi”, Makalah dalam Workshop Pemahaman Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Yogyakarta, Oktober 2005. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 perundang-undangan yang lebih tinggi yang terkait dengan substansi rancangan Perda. Penelitian dan kajian yang mendalam terhadap substansi peraturan yang lebih tinggi sangat membantu DPRD dan gubernurbupatiwalikota dalam menetapkan Perda dengan kualitas yang baik dan sekaligus menghindari kemungkinan ”pembatalan Perda” oleh pemerintahan dan merepotkan DPRD dan Kepala Daerah untuk menetapkan Perda tentang pencabutan Perda. Menurut Moh. Mahfud MD, 291 untuk menyelesaikan masalah banyaknya Perda yang dianggap bertentangan dengan landasan dan kerangka politik hukum nasional, ada tiga langkah yang dapat dilakukan, yakni pembuatan Program Legislasi Daerah Prolegda melalui penelitian dan penyaringan rancangan Perda secara ketat; pembentukan Desk Perda di Departemen Dalam Negeri yang ditugasi untuk meneliti dan menentukan ”nasib” setiap Perda dalam 60 hari sejak disampaikan ke Pusat; dan pengajuan uji materi judicial review kepada Mahkamah Agung oleh warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan atau menilai ada Perda yang isinya melampaui batas proporsional. 291 Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional”, makalah yang disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN Departemen Hukum dan HAM, 29-31 Mei 2006 di Mercure Accor Hotel, Jakarta. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 BAB III PROSES PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF A. Proses Pengujian Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap Perda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Di Indonesia terjadi dualisme tentang pengaturan pembatalan Perda yaitu, yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai badan administrasi dan pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dualisme ini terlihat dalam ketentuan Pasal 145 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan Perda dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Ketentuan ini yang melandasi Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Perda, dan dapat pula memberi sanksi berupa pembatalan bila Perda tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan Perda lainnya. Selanjutnya Pasal 145 ayat 5 menyatakan, “Apabila provinsikabupatenkota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung”. Ketentuan Pasal 145 ayat 5 tersebut di atas menjadi landasan bagi Mahkamah Agung untuk melakukan hak uji materil terhadap Perda. Hak uji materiil sendiri dimaksudkan agar Mahkamah Agung dapat menilai apakah isi dari Perda yang Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 dianggap bermasalah itu telah sesuai dengan atau tidak dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Mekanisme pembatalan Perda dapat disebut juga sebagai mekanisme Pengujian, tetapi tidak dilakukan oleh lembaga kehakiman judiciary ataupun oleh legislator melainkan oleh lembaga pemerintahan eksekutif tingkat atas pusat. 292 Akan tetapi, barometer pengukur atau penilai yang dipakai oleh lembaga penguji, dalam hal ini pemerintah pusat, bukanlah Undang-Undang Dasar tetapi hanya Undang-Undang. Alasan pembatalan Peraturan-peraturan Daerah itu semata-mata karena Peraturan-peraturan Daerah itu dinilai melanggar ketentuan undang-undang yang lebih tinggi derajatnya dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Karena itu pengujian yang demikian tidak dapat disebut sebagai pengujian konstitusionalitas constitutional review. 293 Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada akhir tahun 2005, ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pembinaan dan pengawasan 292 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung: Nusa Media, 2009, hlm. 134. 293 Jimly Asshidiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 74-75. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 dimaksudkan agar kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan. Di samping Pemerintah Daerah merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang meliputi pemberian pedoman. Bimbingan, pelatihan, arahan dan pengawasan yang dikoordinasikan kepada Menteri Dalam Negeri. Pemerintah dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten di daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pembinaan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap peraturan Kabupaten dan Kota dilaporkan kepada Presiden melalui Mendagri dengan tembusan kepada DepartemenLembaga Pemerintahan Non Departemen LPND terkait. Pengawasan Kebijakan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 Pengawasan dilakukan secara represif dengan memberikan kewenangan seluas- luasnya kepada Pemda untuk menetapkan Perda baik yang bersifat limitatif maupun Perda lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan Pemerintah. Karena tidak disertai dengan sanksi dalam kedua Undang-Undang tersebut, peluang ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk menetapkan Perda yang berkaitan dengan pendapatan dan membebani dunia usaha dengan tidak menyampaikan Perda dimaksud kepada Pemerintah Pusat. Berbeda dengan Pengawasan Kebijakan Daerah yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 dilakukan secara:

a. Preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah,

Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;

b. Represif, terhadap kebijakan berupa Perda dan Peraturan Kepala Daerah selain

yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD; c. Fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah; d. Pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah;

e. Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat.

Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada hakekatnya sebagai akibat tidak sesuainya lagi undang-undang tersebut dengan perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Selain itu perubahan atas undang-undang tersebut juga merupakan sebagai akibat adanya perubahan atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tahun 2000, pada Pasal 18 disebutkan 294 : Pasal 18 ayat 1 : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Pasal 18 ayat 2 : “Pemerintahan Daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Pasal 18 ayat 5 : “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Pasal 18 ayat 6 : “Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Sesuai dengan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen tersebut diatas, berarti Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Berdasarkan ketentuan itulah sebagai penjabaran atas 294 Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2002, hlm. 23-26. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Amandemen ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 2 disebutkan pula bahwa 295 : Pasal 2 ayat 1 : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah”. Pasal 2 ayat 2 : “Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Pasal 2 ayat 3 : “Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 2 menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah”. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Daerah dalam rangka meningkatkan efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan 295 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya serta dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara. Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring dengan prinsip di atas dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. 296 Dengan demikian, jelaslah berdasarkan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamkin keserasian hubungan antar daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal penting lainnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjag keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara. Hal tersebut senada yang dikemukakan oleh Logemann yang dikutip oleh Y.W. Sunindhia, bahwa otonomi daerah merupakan suatu kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Namun kebebasan yang terbatas atau 296 Untuk lebih jelasnya mengenai prinsip-prinsip otonomi daerah yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lihat pada bagian penjelasannya. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. 297 Salah satu kebebasan atau kemandirian daerah adalah dalam menetapkan kebijakan daerah, baik yang dirumuskan dalam Perda, Keputusan Kepala Daerah maupun ketentuan-ketentuan daerah lainnya. Namun, dalam kebebasan untuk menetapkan kebijakan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Perda lainnya. Menurut Bagir Manan, mengingat bahwa Perda dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri otonom dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan “pertingkatan”, melainkan juga pada “lingkungan wewenangnya”. Suatu Perda yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kecuali UUD belum tentu salah, kalau ternyata peraturan perundang-undangan tingkat tinggi yang melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD atau Undang-Undang Pemerintahan Daerah. 298 Oleh karena itulah produk legislatif di daerah provinsi ataupun di kabupatenkota berupa Perda sebagai hasil kerja dua lembaga, yaitu Kepala Daerah 297 Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 22. 298 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi,Cetakan Kedua, Yogyakarta: FH UII Press, 2004, hlm. 279-280. Lihat juga Penjelasan Pasal 7 ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis peraturan perundang-undangan selain yang telah diatur dalam hierarki Pasal 7 ayat 1, antara lain, Peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, Kepala Badan, Lembaga dan Komisi, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD KabKota, BupatiWalikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009 dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kedua-duanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tidak dapat dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat begitu saja.

1. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Perda Menurut Undang-Undang