Disaparitas Pidana Isi Keputusan Hakim
bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang
kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun
pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi
kegagalan dari sistem peradilan pidana.
Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih memenuhi rasa keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan. Keadaan ini tentu
menimbulkan inkonsistensi putusan peradilan dan juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh Negara kita, dimana pemerintahan
diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum, apa jadinya jika
masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia. Tidak sampai disitu saja, konsep equality before the law yang menjadi salah satu ciri Negara
hukum pun masih perlu dipertanyakan terkait dengan realita yang ada, dimana disparitas pidana tampak begitu nyata dalam penegakan hukum.
Fakta tersebut merupakan bentuk dari perlakuan peradilan yang tidak sama terhadap sesama pelaku tindak pidana sejenis yang kemudian diberikan hukuman
yang berbeda. Misalnya dalam kasus perkosaan yang sifat dan karakteristikanya sama, tetapi hakim menjatuhkan pidana yang jauh berbeda.
Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, yakni:
“Terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban terhadap judicial caprice akan menjadi terpidana yang tidak menghargai
hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Dari ini akan Nampak suatu persoalan yang
serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi dari kegagalan suatu sistem unutk mencapai persamaan keadilan di dalam Negara hukum dan
sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana. Sesuatu yang tidak diharapkan terjadi bilamana
disparitas tersebut tidak diatasi, yaitu timbulnya demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang lebih berat daripada yang lain dalam kasus
yang seband ing.”
4
Harkristuti Harkrisnowo yang dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa: Dengan adanya realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik
mempertanyakan apakah hakimpengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi
disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan societal justice. Sayangnya, secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah
melanggar hukum. Meskipun demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh
hakim.
4
Muladi-Barda Nawawi Arief, 1984,Op.cit, hal. 54
Harkristuti Harkrisnowo berpendapat salah satu pembenaran bahwa disparitas pidana telah membawa hukum kita kepada keadaan yang tidak lagi sesuai dengan
tujuan penegakan hukum. Hukum yang semula dimaksudkan untuk menjadi penjaga keadilan, kemanfaatan sosial, dan kepastian hukum tidak lagi dapat
dipenuhi secara utuh, karena dalam hal ini unsur keadilanlah yang oleh masyarakat dirasa tidak lagi dipenuhi atau diberikan oleh Hakim dalam
menegakkan hukum.
Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia, yang termasuk keluarga hukum eropa continental, yang tidak mengenal sistem presedent. Hampir seluruh Negara
di dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing disparity of sentencing mengundang perhatian lembaga legislatif serta
lembaga lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya.
5
Sebelum mengulas lebih dalam mengenai problematika disparitas pidana, terlebih dahulu baiknya dipahami mengenai pengertian
disparitas pidana, yakni: Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat
bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.
6
Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul karena
adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim
terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan.
5
Muladi, 1985, Op.cit, hal. 52
6
Muladi-Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal.52
Harkristuti Harkrisnowo membagi disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu: