Perumusan Masalah

1. Perumusan Masalah

Istilah Karst Dynamic System atau Sistem Karst Dinamis (SKD) yang pertama kali dikenalkan oleh Daoxian (2005) sebenarnya bukan merupakan istilah baru. Bogli (1960, 1980), Sweeting (1972), Trudgill (1985), dan Ford dan Williams (1992), menjelaskan istilah ini sebagai suatu sistem yang didalamnya terjadi proses yang

dinamis antara H 2 O, CO 2 dan CaCO 3 yang dikontrol oleh karakteristik akuifer batuan gamping. White (1988), Ford dan Williams (1992), Smart dan Hobbes (1986) serta Gillieson (1996) secara prinsip membagi karakteristik aliran pada akuifer karst menjadi tiga yaitu: (1)aliran lorong (conduit); (2)celah (fissure), dan (3)rembesan (diffuse). Ketiga sifat aliran ini mempunyai karakteristik dan sumber yang berbeda dan berkaitan erat dengan 4 (empat) komponen utama imbuhan akuifer yang dideskripsikan oleh White (2004) yaitu berupa imbuhan allogenic recharge, internal runoff, diffuse infiltration, dan akuifer yang bertengger diatas akuifer karst. Sebagai akuifer yang berbatuan gamping, proses utama yang mengontrol karakteristik dan aliran pada akuifer karst adalah proses pelarutan (dissolution). Dreybort dan Gabrovsek (2003), mengungkapkan bahwa cepat atau lambatnya proses pelarutan batuan gamping tergantung dari besar kecilnya konsentrasi gas karbondioksida pada aliran airtanah karst. Selain itu faktor lain yang mengontrol adalah jenis pelorongan pada akuifer karst yang bersifat terbuka atau tertutup (Freeze dan Cherry, 1979).

Karena sifat pelorongannya yang anisotropis, penelitian untuk mengungkapkan sifat dan karakteristik akuifer karst di suatu kawasan umumnya dilakukan dengan pendekatan induktif. Salah satu pendekatan induktif yang dapat digunakan adalah pendekatan hidrogeokimia yang berasumsi bahwa komposisi kimia airtanah karst merupakan cerminan dari proses yang berlangsung dalam akuifer karst (Mudry, 2004). Metode ini dapat dikombinasikan dengan kajian sifat aliran sungai bawah dan merupakan metode yang dianggap paling representatif karena mampu mendeskripsikan sistem media penyimpan airtanah karst, termasuk sifat aliran pada akuifer berbatuan gamping yang berhubungan dengan sifat kimia airtanah karst, seperti yang dilakukan oleh Liu, et al. (2004a dan b), Etfimi (2005), Wang dan Luo (2001), Anthony, et al. (1997) serta Raeisi dan Karami (1997). Selanjutnya, Martin, et al. (2002) dan Karimi, et al. (2004) mengungkapkan bahwa interaksi antara diffuse flow dan conduit flow yang berperan banyak terhadap pelebaran celah pada batuan karbonat, ternyata juga dipicu oleh kadar agresivitas airtanah karst, sedangkan Taylor dan Greene (2001) Karena sifat pelorongannya yang anisotropis, penelitian untuk mengungkapkan sifat dan karakteristik akuifer karst di suatu kawasan umumnya dilakukan dengan pendekatan induktif. Salah satu pendekatan induktif yang dapat digunakan adalah pendekatan hidrogeokimia yang berasumsi bahwa komposisi kimia airtanah karst merupakan cerminan dari proses yang berlangsung dalam akuifer karst (Mudry, 2004). Metode ini dapat dikombinasikan dengan kajian sifat aliran sungai bawah dan merupakan metode yang dianggap paling representatif karena mampu mendeskripsikan sistem media penyimpan airtanah karst, termasuk sifat aliran pada akuifer berbatuan gamping yang berhubungan dengan sifat kimia airtanah karst, seperti yang dilakukan oleh Liu, et al. (2004a dan b), Etfimi (2005), Wang dan Luo (2001), Anthony, et al. (1997) serta Raeisi dan Karami (1997). Selanjutnya, Martin, et al. (2002) dan Karimi, et al. (2004) mengungkapkan bahwa interaksi antara diffuse flow dan conduit flow yang berperan banyak terhadap pelebaran celah pada batuan karbonat, ternyata juga dipicu oleh kadar agresivitas airtanah karst, sedangkan Taylor dan Greene (2001)

Sungai Bawah Tanah (SBT) Bribin merupakan salah satu sungai bawah tanah yang mempunyai potensi besar dan menjadi tumpuan pemenuhan air domestik masyarakat yang tinggal di kawasan karst Gunungsewu, Kabupaten GunungKidul yang dikenal sebagai daerah yang sulit air karena dalamnya lorong conduit yang mengontrol sungai bawah tanah mencapai 100 meter di bawah permukaan tanah sehingga sulit untuk dimanfaatkan. Pada periode tahun 2004 s.d. 2009 ini, kerjasama antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kab Gunung Kidul, BATAN, Kementerian Ristek, BMBF dan Universitas Kalsruhe, Jerman sudah hampir menyelesaikan proyek pemboran dan membuat bendung bawah tanah sistem mikrohidro di Gua Bribin. Bendungan baru ini diharapkan dapat menghasilkan listrik sebesar 250 sampai dengan 300 KW yang kemudian akan digunakan untuk meningkatkan kapasitas layanan distribusi airtanah karst ini menjadi dua kali lipat dari sebelumnya, sehingga tampak bahwa harapan terhadap kelangsungan sumberdaya airtanah SBT Bribin dalam jangka waktu yang panjang. Tetapi, sampai saat ini belum ditemukan penelitian terkait dengan sifat aliran dan akuifer karst dan proses hidrogeokimia yang mengontrol perkembangan SBT Bribin. Terkait dengan hal tersebut, maka penelitian ini mengangkat permasalahan:

1. Bagaimanakah sifat aliran SBT Bribin yang tercermin dari pelepasan aliran akuifer karst dan persentase aliran dasar (PAD) SBT Bribin sepanjang tahun?

2. Bagaimanakah hubungan antara karakter hidrogeokimia SBT Bribin dan sifat alirannya sepanjang tahun?

3. Bagaimanakah karakteristik SKD SBT Bribin yang didekati dengan tingkat agresivitas untuk melarutkan batuan gamping dan juga hubungannya dengan perilaku paramater SKD sepanjang tahun?