Deskripsi Daerah Penelitian

A. Deskripsi Daerah Penelitian

1. Iklim

Kondisi iklim terutama hujan dan suhu berpengaruh terhadap komponen masukan air secara kualitas yang berhubungan dengan kondisi hidrokimia airtanah pada daerah karst. Tidak begitu banyak penelitian terkait kondisi iklim di karst Gunung Sewu. Penelitian paling mutakhir tentang kondisi iklim di Gunungsewu di antaranya dilakukan oleh Verstappen (1997) dan Urushibara-Yoshino dan Yoshino (1997). Penelitian-penelitian sebelumnya terkait iklim pada periode Kuarter di sekitar wilayah penelitian (Pulau Jawa) dilakukan oleh Urushibara-Yoshino (1995), Verstappen (1975; 1994), Dam (1994), Morley (1982), dan Budel (1975). Selanjutnya, rangkuman tentang perubahan iklim selama periode Kuarter di Pulau Jawa dan sekitarnya ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Deskripsi iklim lampau Pulau Jawa yang dilontarkan oleh Dam (1994) mengkonfirmasikan bahwa pada sekitar 126.000 sampai dengan 107.000 tahun BP (Before Present), iklim di Jawa mengalami periode hangat dengan temperatur sekitar 1-2 o

C lebih hangat dari kondisi iklim sekarang. Melalui analisis polen di sekitar Cekungan Bandung, Dam menjelaskan bahwa terjadi periode iklim yang lebih dingin dan kering pada sekitar 81.000 tahun BP sampai 17.000 tahun BP. Deskripsi ini juga didukung oleh Budel (1975) dan Verstappen (1975) yang menyatakan bahwa pada

saat itu (periode glasial akhir), kondisi iklim di Indonesia lebih dingin sekitar 1-2 o C dari saat ini. Urushibara-Yoshino dan Yoshino (1997) dan Verstappen (1997)

merangkum perubahan iklim di Pulau Jawa dan sekitarnya sejak 190.000 tahun BP (Gambar 4.1.) yaitu sebagai berikut: merangkum perubahan iklim di Pulau Jawa dan sekitarnya sejak 190.000 tahun BP (Gambar 4.1.) yaitu sebagai berikut:

: masih cenderung lebih hangat dari saat ini;

c. 60.000 – 12.000 BP

: lebih dingin dan kering;

d. 12.000 – 10.000 BP

: suhu menghangat;

e. 12.000 – 10.000 BP

: kenaikan muka air laut;

f. 10.000 – 9.500 BP o : hangat dan basah (sekitar 3,6

C lebih hangat);

g. 9.500 – 5.000 BP : sedikit lebih hangat dari sekarang;

h. 5.000 – 3.000 BP : jauh lebih lembab dari sekarang;

i. 3000 – 1.800 BP

: sangat kering;

j. awal AD – saat ini

: kondisi sekarang;

Gambar 4.1. Perubahan Iklim Jaman Kuarter Sejak 190.000 Tahun BP di Pulau Jawa dan

Sekitarnya (Urushibara-Yoshino dan Yoshino,1997)

Dari deskripsi perubahan iklim lampau ini terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan suhu dan kelembapan secara mencolok (hanya pada kisaran 3-4 o C) karena posisi daerah yang terletak dekat garis katulistiwa. Deskripsi iklim pada masa sekarang dapat diketahui dari publikasi-publikasi oleh oleh Adji dan Nurjani (1999), Suryanta (2001), MacDonalds dan Partners (1984), BMG (2000, dalam Sutikno dan Tanudirjo, 2006), serta Fakultas Kehutanan UGM (1993).Menurut BMG (2000) dalam Sutikno dan Tanudirjo (2006), suhu rata-rata bulanan di daerah karst

Gunungsewu berkisar antara 22,12 o C sampai dengan 26,97

C. Besarnya curah hujan bulanan di daerah penelitian yang didasarkan pada data di 12 stasiun penakar hujan yaitu Semanu, Tepus, Rongkop, Panggang, Ngawen, Nglipar, Playen, Wonosari, Karangmojo, Patuk dan Semin yang tercatat selama sekitar 50 tahun, ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan di Daerah Penelitian Periode Tahun 1947-2000

Bulan Curah Hujan (mm/bulan) Januari 361 Pebruari 364 Maret 328 April 182 Mei 99 Juni 83 Juli 57 Agustus 44 September 38 Oktober 123 November 224 Desember 14

Sumber : BMG (2000, dalam Sutikno dan Tanudirjo, 2006)

Pada penelitian ini, dipasang 3 stasiun penakar hujan yang diletakkan di hulu, tengah dan hilir DAS Bawah Tanah Bribin. Disamping 3 stasiun penakar hujan tersebut, dipasang juga stasiun iklim mini yang dapat mengamati kelembaban, suhu dan tekanan udara tiap setengah jam 1 kali. Ringkasan rata-rata parameter iklim bulanan pada stasiun tersebut disajikan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Tekanan Udara, Suhu, dan Kelembapan (RH) di Daerah Penelitian

Tekanan Udara

Sumber : pengukuran lapangan (2006-2007)

Distribusi kelembapan bulanan dan suhu bulanan rerata disajikan pada Gambar 4.2. Selain itu, pembahasan tentang distribusi hujan di daerah penelitian akan dibahas pada subbab selanjutnya karena akan dikaitkan dengan kondisi aliran dan hidrogeokimia SBT Bribin secara aktual.

28 100 Suhu ( derajat Celcius)

Jun-06 Jul-06

No v-06

Des 06

Jan-07

P eb 07 M ar-07 A pr-07

Waktu pencatatan

Gambar 4.2. Distribusi Temporal Rata-Rata Suhu dan Kelembapan di Stasiun Tambakromo

2. Geologi

Pengetahuan tentang kondisi geologi daerah karst terkait secara erat dengan kondisi hidrogeokimia sungai bawah tanah, terutama adalah jenis batuan dan struktur geologi. Secara regional, jika dilihat bahwa batugamping menempati daerah yang dibatasi oleh Sungai Oyo di bagian utara dan Samudera Hindia di sebelah selatan, maka oleh Samodra (2005), dan Suyoto (1994) dalam Kusumayudha (2005) stratigrafi batugamping di Kabupaten Gunung Kidul terfokus pada tiga formasi yaitu Formasi Oyo, Formasi Wonosari, dan Formasi Kepek, yang penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Formasi Oyo, tersusun oleh oleh batugamping pasiran yang strukturnya berlapis, kalkarenit, batupasir gampingan, dan batupasir napalan-tufaan. Formasi ini berumur sekitar Miosen Tengah. Hubungan antara Formasi Oyo dan Formasi Wonosari (batugamping terumbu) di bagian atasnya, maka sebagian Formasi Oya menjari dengan Formasi Wonosari; a. Formasi Oyo, tersusun oleh oleh batugamping pasiran yang strukturnya berlapis, kalkarenit, batupasir gampingan, dan batupasir napalan-tufaan. Formasi ini berumur sekitar Miosen Tengah. Hubungan antara Formasi Oyo dan Formasi Wonosari (batugamping terumbu) di bagian atasnya, maka sebagian Formasi Oya menjari dengan Formasi Wonosari;

c. Formasi Kepek, tersusun dari perselingan antara lempung, napal pasiran, dan batugamping berlapis. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal dan berumur Miosen akhir hingga Pliosen. Formasi Kepek dan Formasi Wonosari mempunyai hubungan selaras di satu tempat, dan menjari di banyak tempat. Oleh Suyoto (1994) dalam Kusumayudha (2005), Formasi Oyo, Kepek, dan Wonosari dianggap sebagai satu kelompok formasi yang diberi nama Kelompok Gunungsewu (Gambar 4.3.).

Ketiga formasi batuan tersebut di lapangan menunjukkan ciri-ciri bentangalam batugamping yang berbeda-beda pula. Dari pengamatan lapangan dan dari peta geologi oleh MacDonald dan Partners (1984), serta deskripsi oleh Bemmelen (1970), Rahardjo et al. (1977), Toha, dkk. (1994), Surono, dkk.(1992), Kusumayudha (2005), dan Samodra (2005), dapat disimpulkan bahwa seluruh daerah penelitian tercakup ke dalam Formasi Wonosari.

Gambar 4.3. Kolom Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Tengah (Suyoto, 1994,

dalam Kusumayudha, 2005)

Jika dilihat dari aspek strukturnya, maka menurut hasil interpretasi foto udara skala 1:50.000 maupun citra ERS skala 1:1.000.000 yang dilakukan oleh Kusumayudha (2005), jurus struktur retakan yang terdiri dari kekar, sesar, dan rekahan di daerah Gunungsewu mempunyai arah umum jurus struktur kekar atau Jika dilihat dari aspek strukturnya, maka menurut hasil interpretasi foto udara skala 1:50.000 maupun citra ERS skala 1:1.000.000 yang dilakukan oleh Kusumayudha (2005), jurus struktur retakan yang terdiri dari kekar, sesar, dan rekahan di daerah Gunungsewu mempunyai arah umum jurus struktur kekar atau

Gambar 4.4. Model Hidrogeologi Konseptual Barat-Timur daerah Gunungsewu

(Kusumayudha, 2005)

3. Geomorfologi

Pengetahuan tentang perbedaan tipe geomorfologi karst di daerah penelitian penting untuk diungkapkan karena adanya hubungan dengan intensitas tingkat pelarutan batuan gamping (Haryono, 1999). Pendapat tentang tipe geomorfologi karst Gunung Sewu pertama kali digaungkan oleh Lehmann (1936) yang mendeskripsikan bahwa karst Gunung Sewu bertipe connical atau kegel, dicirikan oleh bukit-bukit sinusioidal yang diselingi di antaranya oleh cekungan-cekungan dan saling berhubungan, dan jika dilihat dari atas akan kelihatan seperti bentukan berupa bintang. Beberapa geomorfolog lain yang menguatkan pendapat Lehmann adalah

Flathe dan Pfeiffer (1965); Balazs (1968;1971); Verstappen (1969), dan Waltham et al. (1983). Bahkan, Balazs (1968) mengkonfirmasikan bahwa jumlah bukit di kawasan ini berjumlah lebih dari 40.000 buah dengan kepadatan sekitar 30

bukit/km 2 . Kegel karst menurut Sweeting (1972) sebenarnya merupakan bagian dari tipe karst tropis. Kegel karst sering pula disebut sebagai cone karst atau cockpit karst. Kegel karst ini dicirikan oleh kumpulan bukit-bukit berbentuk kerucut yang sambung menyambung. Sela antar bukit kerucut membentuk cekungan dengan bentuk seperti bintang yang dikenal dengan cockpit. Cockpit seringkali membentuk pola kelurusan sebagai akibat kontrol kekar atau sesar. Depresi atau cockpit yang terkontrol kekar atau sesar ini oleh Lehmann (1936) disebut gerichteter karst (karst oriente). Gambar

4.5. menyajikan contoh karst tipe Kegel.

(a) (b) Gambar 4.5. Kenampakan Kegel Karst Gunungsewu dari Foto Udara (a) dan Lapangan (b-

foto oleh Haryono, 1999)

Tidak banyak penelitian terkini yang berkaitan dengan geomorfologi karst Gunung Sewu. Penelitian seperti Urushibara-Yoshino dan Yoshino (1997) lebih menekankan pada adanya pengaruh kondisi paleoklimat terhadap perkembangan karst Gunung Sewu. Selanjutnya, penelitian geomorfologi semi-detail salah satunya adalah oleh Ahmad, dkk (2005) yang mendeskripsikan secara mayor geomorfologi karst antara telaga Sanglen dan Telaga Kamal yaitu daerah antara Cekungan

Wonosari yang tersusun oleh batugamping berlapis ke arah selatan pada Pegunugan Seribu yang tersusun oleh batugamping masif.

Penelitian geomorfologi detail kawasan karst ini secara lebih komprehensif dipublikasikan oleh Haryono dan Day (2004). Menurut mereka, pengklasifikasian karst Gunung Sewu semata sebagai kegel karst adalah terlalu disederhanakan. Selanjutnya disebutkan bahwa terdapat distribusi tipe karst yang lebih komprehensif di kawasan ini yaitu (1) morfologi karst labirin; (2) morfologi karst poligonal, dan (3) morfologi karst tower. Dari hasil pengamatan lapangan, geomorfologi bagian utara sampai tengah didominasi oleh morfologi karst tower, sementara bagian selatan lebih didominasi oleh tipe morfologi karst poligonal.

Tipe morfologi karst poligonal dominan pada bagian selatan daerah penelitian (sekitar Kecamatan Semanu). Menurut White (1988) karst poligonal dicirikan oleh dolin atau cekungan-cekungan yang berhubungan antara satu dengan yang lain. Dengan demikian semua cekungan sudah dapat dikatakan membentuk dolin yang saling bersambungan. Jika dilihat rasionya, maka rasio antara luas area dolin dengan luas daerah karst mendekati satu. Sebenarnya, morfologi tipe karst inilah yang paling cocok mewakili kegel karst, karena bukit antar dolin di wilayah ini relatif membulat yang oleh Flathe dan Pfeiffer (1965) disebut sinusoidal. Hasil pengukuran morfometri cockpit oleh Haryono dan Day (2004) mendeskripsikan bahwa lebar dasar cockpit dapat mencapai 120 meter, sementara dolin tunggal mempunyai lebar sekitar 70 meter.

Morfologi karst tower mengandung dua pengertian, yaitu (i) bahwa tower karst haruslah mempunyai dinding yang vertikal dan terjal (White, 1988; Trudgill, 1985); (ii) pendapat kedua lebih condong kepada proses karstifikasi bahwa yang dapat disebut sebagai karst tower adalah tidak harus berdinding terjal dan tinggi, Morfologi karst tower mengandung dua pengertian, yaitu (i) bahwa tower karst haruslah mempunyai dinding yang vertikal dan terjal (White, 1988; Trudgill, 1985); (ii) pendapat kedua lebih condong kepada proses karstifikasi bahwa yang dapat disebut sebagai karst tower adalah tidak harus berdinding terjal dan tinggi,

(a) (b) Gambar 4.6. Morfologi Karst Poligonal (a) dan Karst Tower (b), dilihat dari Foto Udara

(Haryono dan Day, 2004)

4. Tanah dan Penggunaan Lahan

Deskripsi jenis tanah di daerah penelitian dapat dipergunakan untuk mengetahui perbedaan jenis tanah yang berkembang pada topografi bukit karst. Selain itu, sifat tanah akan berpengaruh pula terhadap interaksi air dan tanah pada

zone epikarst dan banyak sedikitnya sedimen pada SBT yang berpengaruh terhadap kekeruhan air. Tanah di daerah penelitian digolongkan terutama sebagai Entisols, Inceptisols, Alfisols (Wiyono et al, 2006) dan Vertisols (Agusman et al, 2006). Mulyanto (2006) melaporkan bahwa di kawasan karst Gunung Sewu tanah-tanah merah dengan warna yang lebih merah dari HUE 5 YR cukup dominan. Sebaran luas tanah ini dijumpai terutama di atas Formasi Wonosari yang tersusun atas batuan terumbu massif packstone. Entisols dijumpai di bagian puncak dan lereng (dome) perbukitan karst. Solum tanah pada bagian puncak dan lereng dangkal (0-20 cm) dan makin kearah lembah (doline) makin tebal. Alfisols terutama yang dijumpai pada lembah (dolin) dapat mempunyai ketebalan (solum) lebih dari 2 m (Wiyono et al, 2006). Pada puncak dan lereng perbukitan, profil tanah biasanya terdiri dari satu lapisan umumnya berwarna coklat sampai coklat gelap, tekstur debuan sampai pasiran, struktur remah sampai gumpal membulat halus, konsistensi gembur, perakaran halus banyak, fragmen batuan banyak menumpang langsung di atas batuan gamping terumbu. Alfisols dan Inceptisols dijumpai terutama pada dolin dimana solum tanah cukup tebal, terdiri atas beberapa lapisan berwarna kekuningan sampai kemerahan. Vertisols dijumpai terbatas berkembang di atas batuan gamping bioklastis pada bentang lahan cekungan atau datar, atau di atas batuan napalan (Mulyanto, 2006).

Pola pemanfaatan lahan yang relatif kurang produktif dijumpai pada daerah penelitian. Berdasarkan hasil penelitian oleh Bappeda Gunung Kidul (2007), penggunaan lahan di daerah penelitian didominasi oleh tegalan yaitu mencapai hampir 80%, kemudian penggunaan lahan persawahan sekitar 6% dan sisanya sekitar 15 % adalah permukiman, pekarangan, hutan, dan lahan kosong.