Kondisi spasial dan temporal agresivitas airtanah terhadap batuan gamping dan hubungannya dengan kondisi SKD di SBT Bribin

3. Kondisi spasial dan temporal agresivitas airtanah terhadap batuan gamping dan hubungannya dengan kondisi SKD di SBT Bribin

a. Tingkat agresivitas air SBT Bribin

Menurut Vesper dan White (2004) tingkat agresivitas di daerah karst lazim dinyatakan dalam suatu indeks yang dikenal sebagai indeks kejenuhan atau Saturation Indices (SI) terhadap mineral kalsit. Secara spasial dan temporal nilai kenaikan dan penurunan nilai SI kalsit di daerah penelitian disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Distribusi Nilai SI di SBT Bribin

LOKASI POSISI

MUSIM KEMARAU

KRITERIA

MUSIM HUJAN KRITERIA

Sungai Pentung Masukan

-0,01 s/d 1,13

Hampir jenuh s/d

0,18 s/d -0,61 Jenuh s/d agresiv

sangat jenuh

Luweng Hulu

0,06 s/d -1,04 Agak jenuh s/d Jomblangan

-0,43 s/d 0,63

Sangat agresiv s/d

agresiv Gua Gilap

jenuh

Tengah-hulu

-0,15 s/d 1,18

Agresiv s/d sangat

-0,51 s/d -1,21 Agresif s/d sangat

agresiv Gua Ngreneng

jenuh

Bocoran-hilir

-0,22 s/d 0,05

Agresiv s/d agak

-0,96 s/d -0,99 Sangat agresiv

jenuh

Gua Bribin Hilir

-0,93 s/d 0,29

Agresiv s/d agak

-0,12 s/d -1,01 Agresif s/d sangat

jenuh

agresiv

Sumber : hasil analisis data 2006-2007

Dari Tabel 11. terlihat bahwa julat indeks kejenuhan (SI) pada tiap-tiap gua mempunyai perbedaan nilai. Jika dilihat dari posisi dan kedudukannya, pada musim kemarau dan penghujan gua-gua di bagian hilir (G.Bribin dan Ngreneng) mempunyai nilai SI yang agresivitasnya lebih konstan dibanding gua-gua yang lain (julatnya tidak terlalu besar). Kenyataan ini bisa dilihat di Gua Bribin yang memiliki PAD paling stabil dibandingkan gua-gua yang lain. Meskipun demikian, sepanjang tahun air sungai di Gua Bribin mempunyai sifat paling agresif dibanding dengan tempat lain, bahkan nilai SI di Gua Bribin belum pernah melebihi angka 0 (setimbang) pada musim hujan (selalu agresif). Hal yang sama juga dijumpai di Gua Ngreneng. Jika dibandingkan dengan nilai SI di gua bagian hulu, sebagai contoh adalah Gua Gilap, maka Gua Gilap di musim kemarau mencapai nilai SI tertinggi sebesar 0,61, menunjukkan bahwa proses pelarutan sudah terhenti, bahkan pada awal musim kemarau nilai SI positif sudah tercapai. Hal yang sama juga dijumpai di Luweng Jomblangan dan Sungai Pentung. Sebaliknya, hal demikian tidak ditemukan di gua-gua bagian hilir. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pembentukan endapan gua (terutama saat kemarau) lebih intensif terjadi pada gua-gua di daerah hulu, sementara proses pelebaran lorong (pelarutan) yang lebih intensif yang ditandai dengan nilai SI negatif terjadi di gua-gua bagian hilir (G. Bribin dan Ngreneng), meskipun pada saat musim hujan proses-proses tersebut lebih dipengaruhi oleh pasokan komponen aliran conduit dari air hujan. Kenyataan distribusi nilai SI ini mengindikasikan bahwa terdapat proses percampuran (mixing) yang lebih intensif antara komponen aliran diffuse dan fissure di gua-gua bagian hilir. Ford dan Williams (1992), Bogli (1980), Plummer (1975), dan Jankowski dan Jacobson (1991) menjelaskan bahwa percampuran antara dua air yang masing-masing sudah jenuh (SI=positif) terhadap mineral kalsit mampu menurunkan nilai SI kalsit dan menyebabkan air menjadi agresif untuk melarutkan batuan karbonat. Kenyataan yang Dari Tabel 11. terlihat bahwa julat indeks kejenuhan (SI) pada tiap-tiap gua mempunyai perbedaan nilai. Jika dilihat dari posisi dan kedudukannya, pada musim kemarau dan penghujan gua-gua di bagian hilir (G.Bribin dan Ngreneng) mempunyai nilai SI yang agresivitasnya lebih konstan dibanding gua-gua yang lain (julatnya tidak terlalu besar). Kenyataan ini bisa dilihat di Gua Bribin yang memiliki PAD paling stabil dibandingkan gua-gua yang lain. Meskipun demikian, sepanjang tahun air sungai di Gua Bribin mempunyai sifat paling agresif dibanding dengan tempat lain, bahkan nilai SI di Gua Bribin belum pernah melebihi angka 0 (setimbang) pada musim hujan (selalu agresif). Hal yang sama juga dijumpai di Gua Ngreneng. Jika dibandingkan dengan nilai SI di gua bagian hulu, sebagai contoh adalah Gua Gilap, maka Gua Gilap di musim kemarau mencapai nilai SI tertinggi sebesar 0,61, menunjukkan bahwa proses pelarutan sudah terhenti, bahkan pada awal musim kemarau nilai SI positif sudah tercapai. Hal yang sama juga dijumpai di Luweng Jomblangan dan Sungai Pentung. Sebaliknya, hal demikian tidak ditemukan di gua-gua bagian hilir. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pembentukan endapan gua (terutama saat kemarau) lebih intensif terjadi pada gua-gua di daerah hulu, sementara proses pelebaran lorong (pelarutan) yang lebih intensif yang ditandai dengan nilai SI negatif terjadi di gua-gua bagian hilir (G. Bribin dan Ngreneng), meskipun pada saat musim hujan proses-proses tersebut lebih dipengaruhi oleh pasokan komponen aliran conduit dari air hujan. Kenyataan distribusi nilai SI ini mengindikasikan bahwa terdapat proses percampuran (mixing) yang lebih intensif antara komponen aliran diffuse dan fissure di gua-gua bagian hilir. Ford dan Williams (1992), Bogli (1980), Plummer (1975), dan Jankowski dan Jacobson (1991) menjelaskan bahwa percampuran antara dua air yang masing-masing sudah jenuh (SI=positif) terhadap mineral kalsit mampu menurunkan nilai SI kalsit dan menyebabkan air menjadi agresif untuk melarutkan batuan karbonat. Kenyataan yang

b. Karakter parameter SKD di SBT Bribin Menurut Daoxian (2005), parameter-parameter kualitas air karst yang biasa

digunakan untuk mengetahui pola SKD di suatu daerah adalah variasi nilai pH, SI, tekanan parsial gas karbondioksida, kandungan kalsium (atau bikarbonat) yang dilakukan pada komponen-komponen air sungai bawah tanah yaitu: (1) air hujan sebagai masukan, (2) air tetesan dari ornamen sebagai indikasi proses pelarutan- pengendapan, dan (3) air sungai bawah tanah. Tabel 12. dan Tabel 13. menyajikan julat besaran nilai parameter-parameter SKD di daerah hulu dan hilir. Khusus untuk hujan tidak dibedakan antara bagian hulu dan hilir dan tidak dibedakan antara musim hujan dan kemarau agar dapat diketahui perbedaan karakteristik parameter SKD air hujan dengan air tetesan dan air sungai bawah tanah.

Tabel 12. Distribusi Nilai Komponen SKD SBT Bribin Saat Kemarau

DAERAH HILIR (GUA BRIBIN) KOMPONEN SKD

DAERAH HULU (GUA GILAP)

AIR HUJAN

AIR TETESAN

SUNGAI

AIR HUJAN

AIR TETESAN SUNGAI

7,06 – 7,72 6,96 – 7,39 Log P CO2 -1,59 – -1,87

-1,88 – -2,47 -1,53 – -2.13

SI kalsit

Ca 2+ (mg/lt)

HCO 3 - (mg/lt)

Sumber : hasil analisis data 2006-2007

Tabel 13. Distribusi Nilai Komponen SKD SBT Bribin Saat Musim Hujan

DAERAH HILIR (GUA BRIBIN) KOMPONEN SKD

DAERAH HULU (GUA GILAP)

AIR HUJAN

AIR TETESAN

SUNGAI

AIR HUJAN

AIR TETESAN SUNGAI

6,93 – 7,18 6,46 – 7,03 Log P CO2 -1,59 – -1,87

-1,65 – -1,98 -1,19 – -1,79

SI kalsit

-0,65 – -0,79 -0,12 – -1,79

Ca 2+ (mg/lt)

HCO 3 - (mg/lt)

Sumber : hasil analisis data 2006-2007

Pada saat musim kemarau dan musim hujan, terlihat pengelompokan atau perbedaan nilai parameter-parameter SKD antara air tetesan dan sungai bawah tanah, dan bahkan jika dibandingkan dengan parameter SKD dari air hujan yang jatuh di daerah tangkapan SBT Bribin. Vesper dan White (2004) dan Daoxian (2005) menjelaskan bahwa untuk mengkarakterisasi parameter-parameter SKD pada berbagai jenis air di daerah karst dan untuk mengetahui interaksi antar parameter, dapat menggunakan scatter plot analysis. Dari hasil analisis scatter plot antara SI kalsit dan log P CO2 , SI kalsit dan log kalsium, SI kalsit dan pH, serta SI kalsit dan log P CO2 pada gua di bagian hulu dan gua bagian hilir pada musim kemarau dan penghujan (Lampiran

2 dan Lampiran 3), maka dapat dijelaskan bahwa: (1) Pada saat kemarau, kondisi agresivitas air di bagian hulu SBT Bribin (Gua Gilap)

sebagian besar berada pada kondisi jenuh (supersaturated-SI positif) yang dialami oleh air tetesan maupun air sungai bawah tanah. Ciri-ciri lain yang ditemukan adalah tingginya nilai pH, sedikitnya tekanan parsial gas karbondioksida, dan kalsium terlarut yang tinggi. Tingginya nilai SI kalsit di Gua Gilap mempunyai determinasi yang kuat dengan minimnya pasokan gas karbondioksida dari lorong (closed system), karena gas karbondioksida sudah dimanfaatkan untuk proses pelarutan pada zone tak jenuh, serta nilai pH dan kalsium terlarut yang tinggi. Proses hidrogeokimia yang dominan adalah water-rock interaction berupa pengendapan mineral kalsit, yang menyebabkan terbentuknya ornamen bawah permukaan yang intensif.

(2) Kondisi agresivitas di bagian hilir SBT Bribin (Gua Bribin) cenderung bersifat agresif (undersaturated-SI negatif). Berbeda dengan yang ditemukan di Gua Gilap, nilai pH di Gua Bribin tetap rendah sepanjang musim kemarau dengan fluktuasi yang relatif stabil. Selain itu, nilai tekanan parsial gas karbondioksida tercatat jauh lebih tinggi dari yang ditemukan di Gua Gilap yang mengindikasikan adanya sitem pelorongan yang terbuka (open system) sehingga setiap saat selalu ada pasokan gas karbondioksida yang menyebabkan air bersifat agresif. Akibatnya, proses yang dominan adalah pelarutan (dissolution) kalsit yang dicirikan secara fisik dengan lebarnya lorong sungai bawah tanah serta minimnya ornamen bawah permukaan karst.

(3) Pada musim hujan, karena adanya proses pengenceran oleh air hujan (dillution by precipitation), maka kondisi agresivitas air baik di hulu maupun di hilir mengalami penurunan menuju kondisi tidak jenuh (undersaturated) yang mengakibatkan dominasi proses pelarutan dan pelebaran lorong. Demikian juga (3) Pada musim hujan, karena adanya proses pengenceran oleh air hujan (dillution by precipitation), maka kondisi agresivitas air baik di hulu maupun di hilir mengalami penurunan menuju kondisi tidak jenuh (undersaturated) yang mengakibatkan dominasi proses pelarutan dan pelebaran lorong. Demikian juga

2. dan Gambar 3.