Hidrogeokimia dan Agresivitas Airtanah Karst

5. Hidrogeokimia dan Agresivitas Airtanah Karst

Komposisi kimia airtanah pada suatu wilayah sangat tergantung dari interaksi antara airtanah dan mineral penyusun batuan dengan proses utama berupa pelarutan (dissolution). Menurut Appelo dan Postma (1993), terdapat tiga fase yang berkatian dengan proses ini yaitu (1) kondisi air tidak jenuh (undersaturated), sehingga masih mampu untuk melarutkan mineral batuan; (2) kondisi seimbang (equilibrium), proses pelarutan sudah berhenti, dan; (3) kondisi air sudah jenuh (supersaturated) sehingga terjadi proses pengendapan (precipitation).

Reaksi airtanah dengan batuan gamping merupakan proses yang sangat penting terhadap komposisi kimia airtanah di akuifer karst (Appelo dan Postma, 1993). Sementara itu, kandungan gas karbondioksida dalam airtanah merupakan hal yang sangat penting terhadap agresivitas airtanah terhadap batuan gamping. Secara

umum reaksi antara airtanah yang mengandung CO 2 dan batuan gamping adalah sebagai berikut:

CaCO

3 + CO 2 +H 2 O

+ 2HCO Ca 3 .................. (1) Jika terdapat CO 2 yang cukup dalam air, maka reaksi pelarutan (dissolution)

akan berlangsung, sehingga airtanah dikategorikan sebagai agresif terhadap batuan gamping. Sebaliknya, jika jumlah CO 2 tidak cukup maka akan terjadi proses pengendapan (precipitation). Airtanah karst yang agresif biasanya terdapat pada sistem yang terbuka (open system) dimana tersedia CO 2 yang cukup, karena tekanan akan berlangsung, sehingga airtanah dikategorikan sebagai agresif terhadap batuan gamping. Sebaliknya, jika jumlah CO 2 tidak cukup maka akan terjadi proses pengendapan (precipitation). Airtanah karst yang agresif biasanya terdapat pada sistem yang terbuka (open system) dimana tersedia CO 2 yang cukup, karena tekanan

Faktor lain yang dapat mempercepat proses pelarutan adalah masuk atau bercampurnya air yang mengandung cukup gas CO 2 . Proses ini dikenal sebagai proses percampuran (mixing) yang pertama kali diperkenalkan oleh Bogli (1960) sebagai teori yang dikenal sebagai Mixing Theory. Contoh paling baik dari proses ini adalah ketika air laut bertemu dengan air tawar yang mengakibatkan air menjadi bersifat sangat agresif terhadap batuan gamping seperti yang diungkapkan oleh Plummer (1975).

Jankowski dan Jacobson (1991) mendeskripsikan airtanah karst yang mempunyai tekanan parsial gas karbondioksida (PCO 2 ) tinggi bertemu dengan air laut dengan PCO 2 yang rendah mengakibatkan berkembangnya lorong-lorong solusional di sekitar pantai. Anthony, et al. (1997), melakukan investigasi awal dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara variasi temporal (seasonal changes) dan kondisi hidrogeokimia di Logdson River, Mammoth Cave, Kentucky. Dari penelitian ini terungkap bahwa faktor terpenting terhadap kondisi agresivitas airtanah karst adalah kandungan gas karbondioksida atau yang dalam penelitian ini

dinyatakan dalam tekanan parsial gas karbondioksida (PCO 2 ) yang terpengaruh oleh kondisi tanah, batuan dasar dan proses organik dalam gua. Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa perubahan musim panas dan dingin membawa pengaruh yang signifikan terhadap agresivitas airtanah karst.

Gambar 2.8. Model Konseptual Akuifer Karst (1. Mangin, 1975, 2. Blavoux dan Mudry, 1983, 3. Drogue, 1992, 4. Doerfliger, et al, 1999, 5. Lee dan Krothe, 2001 dalam Perrin,

Liu, et al. (2004b), berpendapat bahwa untuk mengetahui kondisi hidrogeokimia di daerah karst tidak cukup melakukan studi yang hanya difokuskan pada hubungan antara air dan batuan (water-rock interaction) saja, tetapi dibutuhkan

pengetahuan komprehensif terhadap efek dari variabel dari CO 2 yang terdapat pada sistem akuifer. Penelitian ini dilakukan pada saat hujan puncak dengan tujuan untuk mengetahui variasi temporal komposisi kimia dan agresivitas airtanah karst. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier antara ion dominan (Ca 2+ dan HCO -

3 ) dan daya hantar listrik tercatat, sementara PCO 2 air diffuse jauh lebih tinggi pada saat banjir puncak dibandingkan saat tidak terjadi banjir. Lebih jauh lagi analisis nilai indeks kejenuhan atau Saturation Indices (SI) terhadap mineral kalsit

menunjukkan bahwa pada saat banjir nilai SI terhadap kalsit adalah rendah. Pada waktu yang bersamaan PCO 2 air conduit tinggi dan SI terhadap kalsit juga rendah, yang mengindikasikan bahwa airtanah karst masih bersifat agresif. Penelitian ini kemudian berpendapat bahwa paling tidak kita harus mengetahui dua proses ketika banjir, yaitu hubungan antara batuan dan air (water-rock interaction) dan rembesan dari air hujan (dilution by precipitation), sementara untuk air bertipe diffuse atau fissure, mengkaji water-rock interaction saja sudah cukup. Selain itu, terungkap pula bahwa air bertipe diffuse yang bertipe jenuh (supersaturated) terhadap mineral kalsit dapat berubah menjadi sangat agresif ketika terjadi hujan diatas 100 mm/beberapa jam.

Karimi, et al. (2004) meneliti variasi hidrodinamik dari mataair karst Gilan di Iran. Parameter fisik dan kimia airtanah yang diukur meliputi DHL, suhu air, pH, dan ion mayor pada interval waktu dua mingguan. Analisis yang dipakai adalah analisis indeks kejenuhan (SI) terhadap kalsit, dolomit, dan gipsum serta tekanan parsial dianalisis dengan bantuan perangkat lunak WATEQF. Hasil dari analisis hidrograf Karimi, et al. (2004) meneliti variasi hidrodinamik dari mataair karst Gilan di Iran. Parameter fisik dan kimia airtanah yang diukur meliputi DHL, suhu air, pH, dan ion mayor pada interval waktu dua mingguan. Analisis yang dipakai adalah analisis indeks kejenuhan (SI) terhadap kalsit, dolomit, dan gipsum serta tekanan parsial dianalisis dengan bantuan perangkat lunak WATEQF. Hasil dari analisis hidrograf

Salah satu pendekatan untuk mengidentifikasi karakteristik akuifer karst adalah dengan melakukan analisis hidrokemograf, seperti yang dideskripsikan oleh Raeisi dan Karami (1997). Pada penelitian ini, mereka melakukan monitoring terhadap parameter-parameter Daya Hantar Listrik (DHL), pH, dan suhu di mataair karst Berghan, Iran dengan interval pengukuran setiap 20 hari selama periode 32 bulan, termasuk juga menganalisis komposisi kimia mataair karst ini atas dasar unsur mayor terlarut. Mereka juga menghitung debit mataair Berghan pada saat periode resesi setiap 3 minggu selama periode penelitian mereka. Tekanan parsial gas karbondioksida dianalisis dengan bantuan software WATEQF. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen baseflow mendominasi seluruh total aliran mataair masing-masing sebesar 71,5%, 100%, dan 66,2% secara berurutan pada periode resesi pertama, kedua, dan pada saat musim hujan. Sementara itu, nilai DHL, pH, suhu dan nilai indeks kejenuhan terhadap mineral kalsit tidak menunjukkan variasi yang signifikan. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa daerah tangkapan mataair Berghan didominasi oleh tipe aliran diffuse, dengan bukti berupa adanya imbuhan autogenik, breksi akuifer dan pebedaan yang kecil pada variasi hidrograf resesi.

Wang dan Luo (2001) menghitung transfer massa di sungai bawah tanah pada sistem karst Liulin, Cina Baratdaya. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung agresivitas airtanah karst setelah terjadinya kebocoran pada sistem airtanah karst oleh aliran permukaan. Untuk mengevaluasi secara kuantitatif transfer massa hidrogeokimia secara spasial, Wang dan Luo menggunakan teknik inverse model dengan batuan perangkat lunak NETPATH. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa percampuran dua komponen airtanah karst merupakan faktor utama yang menyebabkan adanya variasi transfer massa hidrogeokimia, sementara pelarutan dolomit lebih dominan daripada pelarutan kalsit.