Tantangan dan Permasalahan

3.2.6. Tantangan dan Permasalahan

Menurut Hadisuparto (2005) hutan ramin di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan pada khususnya saat ini sudah mengalami kemunduran drastis. Setelah kurang lebih 35 tahun sejak penebangan selektif pada hutan produksi, saat ini seharusnya merupakan masa penebangan rotasi kedua. Kegagalan penanaman perkayaan dan kegagalan pemeliharaan hutan bekas tebangan (terutama akibat relogging) telah mempengaruhi berjalannya sistem polisiklik akibat terganggunya pelestarian hutan.

Maraknya penebangan tanpa izin (illegal logging oleh masyarakat dan kelompok usaha dengan melakukan cuci mangkok telah menghambat recovery atau suksesi alami pada ekosistem hutan ramin. Dewasa ini keberadaan hutan ramin di Indonesia, seperti di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat telah mengalami degradasi berat. Ancaman kepunahan jenis ramin bukan diakibatkan oleh kegiatan eksploitasi hutan saja, kebakaran lahan gambut telah memperparah kerusakan hutan ramin. Puluhan ribu hektar hutan gambut sebagai habitat ramin telah musnah akibat kebakaran setelah terjadi kekeringan oleh adanya pembuatan kanal secara besar-besaran untuk pembangunan proyek lahan gambut sejuta hektar untuk pencetakan sawah (mega rice project) di Kalimantan Tengah pada tahun 1997. Hutan primer ramin sudah sulit dijumpai pada habitatnya di hutan rawa gambut.

Menurut Partomihardjo (2005) penebangan liar yang tidak menghiraukan prinsip keseimbangan lingkungan merupakan ancaman cukup serius bagi kelestarian ramin. Praktek penebangan yang tidak terkendali ini umumnya tidak pernah menyisakan tegakan tinggal untuk pertimbangan regenerasi. Keadaan demikian akan sangat cepat mengancam keberadaan ramin di habitat alamnya.

Kebakaran lahan gambut terjadi akibat kekeringan oleh sistem drainase atau pembukaan kawasan hutan dalam skala luas. Berdasarkan hasil penelitian dan bukti lapangan menunjukkan bahwa kebakaran lahan gambut tidak pernah menyisakan bentuk kehidupan aslinya. Komunitas vegetasi hutan gambut pasca kebakaran diketahui sangat berlainan dengan jenis asli penyusun hutan gambut sebelum terbakar. Oleh karena itu, ramin tidak pernah dijumpai pada habitat gambut pasca kebakaran.

Belum ada pedoman sistem pengelolaan hutan rawa gambut disertai informasi sistem silvikultur yang tepat. Sistem pengelolaan yang ada hingga saat ini hanya untuk hutan daratan, sehingga sering tidak sesuai bagi kawasan hutan rawa gambut. Akibat sistem pengelolaan yang tidak tepat dapat menjadi ancaman kepunahan ramin sebagai jenis penyusun komunitas rawa gambut tersebut (Partomihardjo, 2005).

Hutan rawa gambut yang jenuh air, miskin hara dan rentan gangguan menjadi faktor utama sebagai kendala dalam pengelolaan hutan lestari. Ketiadaan aksesibilitas pasca penebangan menyebabkan kegiatan monitoring dan pemeliharaan bekas tebangan sulit dilakukan. Pembuatan kanal dalam rangka pembangunan infrastruktur sangat mengancam kelestarian ekosistem hutan rawa gambut karena menyebabkan subsidensi, over drainage dan rawan kebakaran.

Sedangkan faktor eksternal yang menjadi faktor kendala baik langsung maupun tidak langsung dalam rangka pengembangan ramin sebagai hutan tanaman adalah (Istomo, 2006):

1. Belum adanya sistem pengelolaan hutan rawa gambut (khususnya ramin) yang tepat berdasarkan karakteristik ekosistemnya, terbukti bahwa sistem silvikultur TPTI untuk hutan rawa gambut terus berubah-ubah. Belum efektifnya pengawasan dan penegakan hukun terhadap peraturan/ketentuan dalam TPTI sehingga aspek-aspek pelestarian pemanfaatan dan regenerasi ramin tidak berjalan efektif.

2. Tidak adanya kepastian penggunaan lahan, ancaman adanya konversi kawasan hutan menjadi penggunaan lain (terutama untuk perkebunan), perambahan hutan, kebakaran dan kegiatan penebangan liar menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian usaha.

3. Belum adanya kebijakan pemerintah tentang rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi atau dukungan dana untuk penelitian dan penanaman penyelamatan jenis-jenis terancam punah seperti ramin secara berkelanjutan. Sehingga kegiatan penanaman ramin saat ini oleh lembaga penelitian maupun pihak-pihak lain masih sangat terbatas dan tidak berkelanjutan.

4. Masih terbatasnya pengetahuan tentang teknik silvikultur ramin dari mulai pengadaan bibit, pola-pola penanaman, pemeliharaan sampai pemanenan. Sampai saat ini teknik silvikultur yang telah banyak dikuasai adalah pengadaan bibit, stek pucuk maupun kebun pangkas, namun belum tersosialisasi secara luas untuk praktik di lapangan. Pengetahuan tentang pertumbuhan, pola-pola penanaman (dalam jalur, monokultur atau campuran), teknik pemeliharaan (perlu tidaknya pemupukan di lapangan, pembebasan dan penjarangan) dan lain-lain belum banyak dikuasai.

5. Belum diketahuinya teknologi pembangunan hutan tanaman ramin dalam skala besar terutama menyangkut pembangunan infrastruktur dan penyiapan lahan mengingat kondisi tempat tumbuhnya berupa hutan rawa gambut yang rentan terhadap gangguan.

6. Belum adanya perhitungan finansial kelayakan ekonomi dan kelayakan lingkungan pembangunan hutan tanaman ramin dalam skala besar serta dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat dan lingkungan (termasuk dalam emisi dan penyerapan karbon).

Menurut Mujijat dan Hermansyah (2005), beberapa tantangan dalam upaya pengelolaan dan pelestarian ramin diantaranya adalah:

1. Secara teknis, perbanyakan bibit dan penanaman lapangan ramin melalui stek pucuk telah berhasil dengan baik, namun untuk melakukan perbanyakan secara masal dalam jumlah yang besar masih agak sulit.

2. Dari aspek pengamanan, ancaman illegal logging dan perdagangan illegal masih ada. Namun demikian, ancaman ini mulai menurun setelah adanya penggalakan pemberantasan illegal logging oleh pemerintah serta perubahan status CITES ramin dari apendix-III ke apendix-II sejak Oktober 2004 yang lalu.

3. Dari aspek kepastian kawasan, tantangan kedepan adalah masih adanya sebagian stakeholder yang masih menginginkan konversi atau perubahan status kawasan gambut menjadi kawasan non hutan. Untuk menyelamatkan ramin, maka pemerintah dan semua stakeholder harus mampu menjamin status kawasan hutan rawa gambut dan memelihara keutuhan ekosistemnya.