Rekomendasi Penyempurnaan dan Kebijakan
3.2.7. Rekomendasi Penyempurnaan dan Kebijakan
Partomihardjo (2005) memberikan beberapa masukan yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan dalam upaya melestarikan ramin:
1. Penyelenggaraan Sistem Pengelolaan Hutan Alam Lestari (SPHAL) secara benar dan konsisten. Melalui penerapan sistem penebangan berdampak rendah, diharapkan kerusakan hutan dan tegakan tinggal akan mampu pulih kembali relatif cepat.
2. Dalam perencanaan selain penentuan batas tebang, arah dan gangguan lain perlu diperhatikan untuk mengurangi kerusakan anakan ramin yang ada.
3. Pengayaan anakan ramin pada areal bekas tebang dilakukan secepat mungkin segera setelah aktifitas penebangan selesai.
4. Menghindari sistem pengangkutan yang berdampak besar dan permanen. Pengangkutan
pengeringan yang mengakibatkan kebakaran. Sistem parit juga akan lebih mempermudah praktek penebangan liar.
sistem
parit
akan mempercepat
5. Penyuluhan kepada masyarakat setempat akibat dari kebakaran lahan gambut.
6. Kepastian hukum terhadap status kawasan hutan gambut perlu segera ditetapkan. Departemen Kehutanan maupun Dinas Kehutanan setempat hendaknya telah membuat suatu rencana pengelolaan kawasan hutan gambut lestari secara pasti.
Sementara Hadisuparto (2005) menyarankan dalam upaya konservasi hutan ramin regulasi, implementasi dan teknologi yang diperlukan meliputi:
1. Langkah awal dimulai dengan menetapkan kembali tataguna hutan terutama lokasi dan luas hutan rawa gambut sebagai habitat ramin. Kepastian kawasan sangat krusial bagi kelangsungan jenis endemik yang hampir punah ini.
2. Beberapa peraturan daerah seperti izin pemanfaatan cerucuk (pohon tingkat tiang termasuk pancang), untuk keperluan pembangunan jalan dan gedung di 2. Beberapa peraturan daerah seperti izin pemanfaatan cerucuk (pohon tingkat tiang termasuk pancang), untuk keperluan pembangunan jalan dan gedung di
3. Dalam teknik silvikultur hutan ramin perlu diutamakan pemeliharaan semai alam karena hasil studi menunjukkan bahwa pertumbuhan permudaaan alam lebih berhasil daripada permudaan buatan pada ekosistem rawa gambut.
4. Pertumbuhan anakan cabutan termasuk jenis ramin untuk tanaman perkayaan atau penanaman langsung pada hutan rawa gambut sering mengalami kendala karena sistem perakaran permudaan semai yang panjang, untuk itu manipulasi sistem perakaran jenis ramin, pengaturan permukaan air tanah dan penyuburan permukaan tanah gambut perlu dilakukan.
5. Pengadaan bahan tanaman (semai buatan) jenis ramin perlu dikembangkan untuk mengatasi anakan alam yang sudah terbatas jumlahnya.
6. Untuk mengatasi pertumbuhan anakan di lapangan perlu dilakukan pemberian zat perangsang tumbuh, pupuk esensial dan penularan mikoriza.
7. Pada lahan gambut yang telah dibangun kanal-kanal seperti pada eks PLG Kalimantan Tengah, proses pembasahan lahan (rewetting) perlu dilakukan melalui penabatan kanal (canal blocking) terutama dalam mengatasi kekeringan lahan gambut.
8. Moratorium penebangan pohon ramin pada hutan yang masih tersisa harus diimplementasikan dan penegakan hukum dalam mengatasi penebangan ilegal perlu ditingkatkan demi kelangsungan keberadaan hutan ramin.
9. Berbagai upaya pelestarian spesies dan populasi hutan ramin harus dapat dilakukan melalui regulasi, teknologi dan implementasi dalam mengatasi kelangsungan pertumbuhan jenis ramin dan lingkungannya.
Kebijakan pemerintah yang telah dan akan diambil menurut Lasmini (2006) antara lain mengeluarkan kebijakan dalam rangka pengelolaan hutan lestari dan usaha penyelamatan ramin antara lain: pada tahun 2002 telah diterbitkan SK Menhut no.4795/Kpts-II/2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) pada Unit Pengelolaan (Skema Mandatory Departemen Kehutanan) yaitu mewajibkan setiap Badan Usaha yang mendapat Hak Pengusahaan Hutan atau Ijin Usaha Pemanfaatan Kayu menerapkan PHAPL. Mengenai sistem silvikultur yang dipilih dan akan diterapkan untuk Hutan Alam Tanah Basah/Rawa, telah diterbitkan aturan Menteri Kehutanan berupa Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut- II/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Standar Sistem Silvikultur Pada Hutan Alam Tanah Basah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa. Namun untuk prosedur penetapan sistem silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa, perlu diatur lebih lanjut dengan Pedoman Pelaksanaan Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa dengan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
Untuk mencegah penurunan potensi hutan rawa gambut dan kerusakan lebih lanjut, beberapa tindakan nyata harus dilakukan secara terintegrasi oleh Eselon I terkait seperti Direktorat Jenderal Planologi, Badan Litbang Kehutanan, Direktorat Jenderal PHKA serta perguruan tinggi. Tindakan tersebut antara lain (Lasmini, 2006):
1. Implementasi SK Menhut mengenai moratorium serta melakukan revisi terhadap beberapa hal.
2. Menerapkan kriteria dan indikator PHAPL secara benar.
3. Mengimplementasikan ketentuan-ketentuan CITES (Appendix III dan II)
4. Melakukan survey potensi secara lebih komprehensif sehingga dapat diketahui secara lebih pasti potensi ramin yang masih tersisa.
5. Mencegah konversi hutan rawa gambut menjadi penggunaan dalam bentuk lain.
6. Menyelamatkan dan mengamankan populasi hutan yang masih tersisa.
7. Melakukan restorasi hutan rawa gambut dan rehabilitasi lahan dan hutan.
8. Membangun tabat-tabat di parit-parit yang telah digali sebelumnya baik secara legal maupun ilegal.
Gadas (2006) mengusulkan untuk menyelamatkan tegakan pohon ramin, maka ada beberapa pilihan kebijakan yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan adalah :
1. Memacu penerapan pengelolaan hutan alam secara lestari pada areal pengusahaan hutan yang masih mempunyai potensi tegakan ramin cukup tinggi.
2. Menetapkan beberapa areal hutan rawa gambut untuk menjadi kawasan yang dilindungi sebagai sumber benih/bibit ramin.
3. Melakukan pemulihan kembali hutan sekunder pada hutan rawa gambut dengan pembinaan permudaan alam ramin atau penanaman.