Sistem Silvikultur Rehabilitasi di Hutan Rawa Gambut

3.3 Sistem Silvikultur Rehabilitasi di Hutan Rawa Gambut

Menurut Istomo (2009) produksi kayu ramin dari waktu ke waktu terus merosot, kerusakan hutan rawa gambut sebagai habitat ramin tinggal 46,4% dari total habitat di tahun 1983 artinya lebih dari 50% hutan rawa gambut telah menjadi areal tidak produktif. Demikian pula jumlah pemegang IUPHHK-HA (HPH) di hutan rawa gambut pada tahun 1983 mencapai 200-an saat ini yang masih aktif berproduksi tinggal satu yaitu PT. Diamond Raya Timber. Kondisi penutupan hutan produksi, termasuk hutan rawa gambut, saat ini yang sangat beragam dalam bentuk mosaik yang didominasi oleh hutan tidak produktif (hutan sekunder dan belukar) akan sulit jika hanya diterapkan satu sistem silvikultur seperti TPTI.

Departemen Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut/2005 tentang Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa. Maksud dari peraturan tersebut adalah: (1) Mendorong pengelola KPHK dan atau pemegang IUPHHK pada hutan alam untuk dapat melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya serta berbasis kinerja dan (2) Diperolehnya acuan untuk memilih dan menerapkan sistem silvikultur yang tepat, efisien dan sesuai dengan kondisi spesifik KPHK atau IUPHHK pada hutan alam tanah kering dan atau hutan alam tanah basah/rawa. Sedangkan tujuannya adalah diperolehnya hutan yang secara ekologis sehat dengan struktur tegakan yang stabil agar dapat menghasilkan produktivitas hutan yang tinggi, baik kuantitas maupun kualitasnya, secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan fungsi perlindungan dan sosial yang optimal sesuai kebutuhan masyarakat, modal kapital dan tenaga kerja.

Dengan peraturan tersebut pengelola KPHK atau IUPHHK dapat memilih sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik ekosistem hutannya dan menjamin kelestarian pengelolaan sumberdaya hutan. Sistem silvikultur yang dipilih dan diterapkan harus memenuhi 4 prinsip yang merupakan satu kesatuan utuh, meliputi:

1. Kesesuaian dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya.

2. Pertimbangan yang lengkap dan menyeluruh terhadap nilai-nilai sumberdaya hutan.

3. Pertimbangan biaya dan manfaat ekonomi; dan

4. Kesesuaian dengan tujuan pengelolaan sumberdaya hutan.

Untuk memenuhi empat prinsip sebagaimana dimaksud, maka sistem silvikultur yang dipilih harus memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari.

Sedangkan pemilihan, penetapan dan penerapan sistem silvikultur yang dipilih harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. Penamaan sistem silvikultur yang akan dipilih dan diterapkan mengacu pada metode pemanenan dan teknik penanaman atau pengayaan tegakan yang akan dilakukan.

2. Mengingat beragamnya kondisi hutan alam produksi maka dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur.

3. Pemilihan dan penerapan sistem silvikultur untuk kepentingan khusus disesuaikan dengan rancangan teknis yang disusun bersama Rimbawan Kompeten.

4. Rancangan sistem silvikultur diusulkan setelah mendapat persetujuan dari Rimbawan Kompeten dan diajukan kepada Direktur Jenderal.

5. Direktur Jenderal menetapkan sistem silvikultur untuk setiap KPHP atau IUPHHK, setelah mendapat rekomendasi dari Tim Evaluasi.

6. Prosedur penetapan sistem silvikultur diatur lebih lanjut dalam Pedoman Pelaksanaan Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa dengan peraturan Direktur Jenderal.

Dalam rangka implementasi keputusan tersebut Fakultas Kehutanan IPB bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan mengadakan Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi pada tanggal 22 Agustus 2008. Hal ini juga sejalan dengan PP No 6/2007 dan PP No. 3/2008 selain Permenhut No. P30/2005. Penerapan multisistem silvikultur ini bukan sebagai dalih mengubah hutan alam (baik yang masih utuh atau sudah terganggu) yang beragam jenis menjadi hutan tanaman monokultur, tetapi tetap mempertahankan mosaik kondisi terakhir dan dikembangkan untuk meningkatkan produktivitasnya dengan penanaman. Oleh karena itu deliniasi makro dan mikro setiap unit pengelolalaan (IUPHHK atau KPHP) sangat diperlukan untuk menetapkan kawasan mana yang masih produktif untuk penerapan sistem silvikultur TPTI dan mana yang tidak produktif untuk dilakukan sistem silvilkultur yang lain (Istomo, 2009).

Untuk kawasan yang tidak produktif (hutan sekunder, belukar atau bekas kebakaran) dapat diterapkan sistem silvikultur yang lain seperti (Istomo, 2009) :

1. Sistem Tebang Jalur dan Tanam Indonesia (TJTI) atau sekarang dikembangkan menjadi TPTII (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif) yang lebih dikenal dengan nama SILIN, yaitu membuat jalur-jalur penanaman secara intensif dengan jenis komersial lokal, dimana ramin merupakan prioritas utama.

2. Pada areal yang relatif terbuka (belukar atau bekas kebakaran, termasuk areal eks-PLG) dikembangan penanaman multistrata dan multidaur. Strata pertama dan tahap pertama ditanam pohon pioner cepat tumbuh setempat (seperti Combretocarpus rotundus, Shorea balangeran, Camnosperma spp. dan lain- lain dalam jalur. Selanjutnya jika pohon-pohon pioner tersebut telah tumbuh dalam jalur berikutnya dapat ditanam ramin dan jenis komersial lainnya.

3. Alternatif lain dapat dikembangkan pola agroforestry dengan tanaman buah- buah dan getah seperti karet, jelutung, rotan, durian, dimana ramin sebagai tanaman pokok hutan.

Pola pengembangan sistem silvikultur rehabilitasi tersebut saat ini harus menjadi prioritas dan harus dikaji terus menerus untuk mengembalikan produktivitas hutan rawa gambut yang terus merosot. Dengan merehabilitasi hutan rawa gambut dan memprioritaskan jenis ramin sebagai tanaman pokok diharapkan dapat menyelamatkan ramin

mempertahankan dan mengembangkan ramin sebagai jenis unggulan di hutan rawa gambut.

dari

kepunahan

sekaligus