Pemanenan dan Dampaknya

3.2.2 Pemanenan dan Dampaknya

Penebangan dilaksanakan pada blok kerja tahunan yang ditetapkan dalam Rencana Karya Tahunan (RKT). Kegiatan penebangan meliputi penentuan arah rebah, penebangan, pembagian batang, penyaradan, pengangkutan ke tempat pengumpulan sementara (TPn) dan atau ke tempat penimbunan kayu (TPK).

Eksploitasi yang sangat intensif membawa dampak pada kerusakan tegakan hutan yang ada pada akhirnya mengakibatkan berkurangnya jenis/ragam hayati hutan gambut secara keseluruhan. Hutan gambut yang terlanjur rusak akan mengalami penurunan permukaan air gambut akibat drainase air yang jelek dan dapat mengakibatkan kekeringan. Hal tersebut disebabkan gambut memiliki sifat kering tak balik dan gambut merupakan bahan bakar yang potensial dalam kebakaran hutan (Abdullah, 1997 dalam Rusmana et al., 2001).

Istomo (2009) menyatakan bahwa pemanenan merupakan satu kesatuan dalam pengelolaan/pemanfaatan hutan produksi lestari. Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Dalam sistem silvikultur TPTI tahapan kegiatan dan tata waktu telah diuraikan secara jelas. Namun tahapan kegiatan dalam TPTI mengacu kepada kegiatan pengusahaan/ pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanah kering karena tidak ada sistem silvikultur khusus pada hutan rawa gambut.

Hal-hal yang secara khusus membedakan sistem pemanenan pada hutan rawa gambut sebagai tempat tumbuh ramin dengan hutan tanah kering (Istomo, 2009) adalah sebagai berikut:

1. Kondisi hutan rawa gambut yang tergenang air dengan kestabilan tanah yang rendah menyebabkan sistem pemanenan yang dilakukan berbeda dengan hutan di tanah kering yaitu menggunakan sistem semi mekanis (gabungan antara tenaga manusia dan tenaga mesin). Tenaga manusia lebih banyak terlibat dalam kegiatan penyaradan (pengangkutan log dari lokasi tebangan sampai lokasi pengumpulan log/TPn sejauh sekitar 500 m) dan pemuatan dari TPn kedalam lori angkut.

2. Sistem pengangkutan log dari lokasi TPn ke log pond menggunakan jalan lori dengan jarak mencapai 20 km.

Permasalahan yang sering timbul terkait dengan penggunaan sistem semi mekanis tersebut adalah (Istomo, 2009):

1. Ketersediaan sumberdaya manusia (khususnya tenaga kerja penarik kayu).

2. Efisensi kerja yang tergolong rendah (keterbatasan kemampuan tenaga manusia), waktu tempuh lori dan kapasitas angkut terbatas.

3. Masalah keselamatan kerja yang tinggi bagi penarik kayu dan pekerja lori. Menurut Istomo (2009), karakteristik ekosistem hutan rawa gambut yang unik, yaitu

jenis air sehingga tidak dapat digunakan sistem pengangkutan full mekanis. Jika digunakan pengangkutan full mekanis justru dapat berakibat pada kerusakan tegakan tinggal dan gangguan keseimbangan ekosistem lainnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh saat ini, PT. DRT telah menggunakan penyaradan full mekanis dengan menggunakan kombinasi kabel dan mesin dari logfisher. Dampak negatif akibat kerusakan logfisher terhadap tegakan tinggal dan keterbukaan hutan menjadi lebih besar.

Menurut Kurniawan (2002), dengan menebang sekitar 29 pohon/ha di Unit Manajemen Hutan (UMH) di PT. DRT telah menyebabkan keterbukaan areal sekitar 22,51%, dengan kata lain setiap menebang satu pohon akan menyebabkan

keterbukaan areal sebesar 0,77% atau 77,6 m 2 . Dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lain keterbukaan tersebut masih tergolong rendah. Data hasil-hasil penelitian keterbukaan hutan akibat pemanenan di beberapa lokasi disajikan pada Tabel 8.

Istomo (2009) menyatakan bahwa sistem pengangkutan log hasil tebangan sebaiknya tetap seperti saat ini dengan beberapa penyempurnaan, terutama berkaitan dengan pengurangan tenaga manusia, efisensi waktu tempuh dan keselamatan kerja. Dalam proses penyaradan perlu digunakan rel dan lori mini, sehingga tidak ditarik manusia. Hal ini telah dikembangkan dengan nama Rodongkak, sayang penelitiannya tidak dilanjutkan lagi. Dalam pemuatan log dari TPn kedalam lori dapat dikembangkan derek mini. Sedangkan dalam pengangkutan log dari TPn ke log pond perlu desain Istomo (2009) menyatakan bahwa sistem pengangkutan log hasil tebangan sebaiknya tetap seperti saat ini dengan beberapa penyempurnaan, terutama berkaitan dengan pengurangan tenaga manusia, efisensi waktu tempuh dan keselamatan kerja. Dalam proses penyaradan perlu digunakan rel dan lori mini, sehingga tidak ditarik manusia. Hal ini telah dikembangkan dengan nama Rodongkak, sayang penelitiannya tidak dilanjutkan lagi. Dalam pemuatan log dari TPn kedalam lori dapat dikembangkan derek mini. Sedangkan dalam pengangkutan log dari TPn ke log pond perlu desain

Tabel 8. Perbandingan keterbukaan areal akibat pemanenan

Persentase No.

Intensitas

Lokasi

penebangan keterbukaan areal

(pohon/ha)

1. UMH PT. DRT, Riau

2. HTD IPB, Jambi (Setiawan, 2002)

5,3 - 6

21,20 - 29,23

3. Pemanenan terkendali, Kalbar (Muhdi, 2001)

4. Pemanenan konvensional, Kalbar (Muhdi, 2001)

5. Pemanenan konvensional (Elias, 1998)

3-4

5,21 Sumber: Kurniawan (2002).

6. Pemanenan terkendali (Elias, 1998)

3-4