1. Tradisi Pemikiran Kritis Hubungan Internasional Amerika

III.1. Tradisi Pemikiran Kritis Hubungan Internasional Amerika

Tradisi pemikiran HI Amerika Serikat. Tradisi ini mengadopsi hampir semua tradisi pemikiran kritis secara eklektik (eclectic) dalam tradisi perkembangannya di Amerika Serikat merupakan seperangkat tradisi pemikiran HI yang mengkritisi status quo, yakni sebuah pandangan kritis, baik dari posisi positivisme dan dari posisi post-positivism. Kritik dari posisi positivisme mencakup pendekatan Marxisme, neo-Marxisme dan neo-Gramscianisme. Beberapa dari kritik positivisme juga mempertimbangkan konstruktivisme sosial sebagai positivisme. Sedangkan kritik post-positivism mencakup pendekatan post- modernism, post-structuralism, pascakolonialisme dan feminism, yang membedakan dengan pendekatan realisme dan liberalisme dalam premis epistemologi dan ontologinya. Tradisi pemikiran HI ini cukup umum di Amerika Serikat, dan pendekatan ini diajarkan di level undergraduate dan postgraduate di berbagai universitas secara luas, baik di Amerika Serikat maupun di luar Amerika Serikat. Literatur yang dipakai di Amerika Serikat sebagai pijakan tradisi pemikiran kritis sebagai berikut: Robert D'Amico, Historicism and Knowledge, F.R. Ankersmit, Aesthetic Politics, Pierre Bordieu, Language and Symbolic Power, E.H. Carr, What is History? Peter Galison dan David J. Stump, The Disunity of Science: Boundaries, Context, and Power, Hookway and Pettit, Action and Interpretation, Larry Laudan, Science and Values, Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, Richard Rorty, Is Natural Science a

Natural Kind? Nathanial Berman, Modernism, Nationalism, and the Rhetoric of Reconstruction, David Campbell and Michael J. Shapiro eds., Moral Spaces: Rethinking Ethics and World Politics, David Campbell, National Deconstruction: Violence, Identity and Justice in Bosnia, Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference, Partha Chatterjee, The Nation and its Fragments, Molly Cochrane, Normative Theory in International Relations, William E. Connoy, Identity/Difference: Democratic Negotiations of Political Paradox, James Der Derian, On Diplomacy, Martin W. Lewis and Karen

E. Wigen, The Myth of Continents: A Critique of Metageography, Michi Ebata amd Beverly Neufeld, Confronting the Political in International Relations, Mark Neufeld, The Restructuring of International Relations Theory, Tejaswini Niranjana, Sitting Translation, V. Spike Petterson, “Whose Crisis? Early and Postmodern Masculinism” dalam Stephen Gill and James Mittleman, Innovation and Transformation in International Studies, Mark Rupert, Producing Hegemony, Michael Shapiro, Violent Cartographies: Mapping Cultures of War, Christine Sylvester, Feminist Theory and International Relations in a Postmodern Era, RBJ Walker, Inside/Outside: International Relations as Political Theory. Semua wacana ini memberikan sumbangsih dalam tradisi pemikiran HI dan sebuah studi miopis HI yang memberikan kontribusi positif dalam melanjutkan proyek masyarakat sipil di Amerika Serikat. Wacana ini menganalisa, memikirkan, dan merefleksikan peristiwa internasional yang kompleks melalui seperangkat lensa teoritis yang lebih cermat.

Pendekatan/teori HI Marxisme terdiri dari tradisi pemikiran Marxisme dan pemikiran neo-Marxisme. Keduanya adalah pandangan positivis yang menolak pandangan negara yang berinteraksi secara konfliktual dari pandangan kaum realis dan secara kooperatif dari pandangan kaum liberalis; pandangan kaum Marxis berargumen bahwa sistem internasional sebagai sistem kapitalisme yang terintegrasi dalam perjuangan akumulasi kapital. Sedangkan kaum konstruktivis sosial dalam tradisi pemikiran HI berusaha membawa premis epistemologi dan ontologi post-positivism ke ranah positivism. Dalihnya, konstruktivisme sosial ini mempunyai posisi di tengah-tengah antara positivism dan post-positivism. Kaum Pendekatan/teori HI Marxisme terdiri dari tradisi pemikiran Marxisme dan pemikiran neo-Marxisme. Keduanya adalah pandangan positivis yang menolak pandangan negara yang berinteraksi secara konfliktual dari pandangan kaum realis dan secara kooperatif dari pandangan kaum liberalis; pandangan kaum Marxis berargumen bahwa sistem internasional sebagai sistem kapitalisme yang terintegrasi dalam perjuangan akumulasi kapital. Sedangkan kaum konstruktivis sosial dalam tradisi pemikiran HI berusaha membawa premis epistemologi dan ontologi post-positivism ke ranah positivism. Dalihnya, konstruktivisme sosial ini mempunyai posisi di tengah-tengah antara positivism dan post-positivism. Kaum

Di seberang posisi positivisme, tradisi pemikiran post-positivism (atau reflectivism) di Amerika Serikat berusaha mengintegrasi sebuah kepentingan keamanan yang variasinya lebih luas. Dalam pandangan ini, SHI bukan hanya sekedar studi politik luar negeri dan hubungan antar bangsa, tetapi SHI seharusnya juga meliputi kajian aktor non-negara-bangsa; tidak hanya membahas isu-isu high politics, tetapi juga politik dunia dari peristiwa everyday world—yang melibatkan high dan low politics. Jadi isu yang dibawa oleh SHI adalah isu seperti gender, etnisitas, yang dipermasalahkan dan membawanya ke dalam isu-isu keamanan internasional—menambahkan (tidak menggeser) tradisi HI tentang diplomasi dan perang. Post-positivism bisa digambarkan sebagai incredulity towards metanarrative—dalam HI, hal ini merupakan penolakan semua cerita (penuturan) yang mengklaim dirinya sendiri bisa menjelaskan sistem internasional secara menyeluruh. Dengan demikian, kaum post-positivist sudah pasti menafikan debat neo-neo atau mengatakan bahwa semua debat neo-neo adalah bohong belaka. Kaum post-positivist tidak mengklaim dirinya menciptakan teori atau pendekatan universal. Perbedaan yang mencolok antara kaum post-positivist dan kaum positivis (realis/liberalis), jika kaum positivis mengerjakan proyek: “how power is exercised,” kaum post-positivist memfokuskan pada proyek: “how power is experienced,” dan berbeda juga dalam fokus studinya dan unit analisisnya. Biasanya kaum post-positivist mempromosikan pendekatan normatif di HI dengan mempertimbangkan tentang etika (ethics). Pendekatan ini merupakan pemahaman yang dihindari oleh tradisi pemikiran HI positivisme yang memisahkan antara fakta dan penilaian normatif. Tradis pemikiran HI Post-positivism berargumen bahwa wacana (discourse) adalah constitutive of reality. Dengan kata lain, adalah hal yang mustahil jika peneliti atau ilmuwan bisa benar-benar bersikap Di seberang posisi positivisme, tradisi pemikiran post-positivism (atau reflectivism) di Amerika Serikat berusaha mengintegrasi sebuah kepentingan keamanan yang variasinya lebih luas. Dalam pandangan ini, SHI bukan hanya sekedar studi politik luar negeri dan hubungan antar bangsa, tetapi SHI seharusnya juga meliputi kajian aktor non-negara-bangsa; tidak hanya membahas isu-isu high politics, tetapi juga politik dunia dari peristiwa everyday world—yang melibatkan high dan low politics. Jadi isu yang dibawa oleh SHI adalah isu seperti gender, etnisitas, yang dipermasalahkan dan membawanya ke dalam isu-isu keamanan internasional—menambahkan (tidak menggeser) tradisi HI tentang diplomasi dan perang. Post-positivism bisa digambarkan sebagai incredulity towards metanarrative—dalam HI, hal ini merupakan penolakan semua cerita (penuturan) yang mengklaim dirinya sendiri bisa menjelaskan sistem internasional secara menyeluruh. Dengan demikian, kaum post-positivist sudah pasti menafikan debat neo-neo atau mengatakan bahwa semua debat neo-neo adalah bohong belaka. Kaum post-positivist tidak mengklaim dirinya menciptakan teori atau pendekatan universal. Perbedaan yang mencolok antara kaum post-positivist dan kaum positivis (realis/liberalis), jika kaum positivis mengerjakan proyek: “how power is exercised,” kaum post-positivist memfokuskan pada proyek: “how power is experienced,” dan berbeda juga dalam fokus studinya dan unit analisisnya. Biasanya kaum post-positivist mempromosikan pendekatan normatif di HI dengan mempertimbangkan tentang etika (ethics). Pendekatan ini merupakan pemahaman yang dihindari oleh tradisi pemikiran HI positivisme yang memisahkan antara fakta dan penilaian normatif. Tradis pemikiran HI Post-positivism berargumen bahwa wacana (discourse) adalah constitutive of reality. Dengan kata lain, adalah hal yang mustahil jika peneliti atau ilmuwan bisa benar-benar bersikap

Masih dalam tradisi pemikiran HI post-positivism, dalam sub bagiannya terdapat tradisi pemikiran HI Feminisme yang terdiri dari seri HI feminisme: gelombang pertama, kaum feminis yang berusaha melibatkan wanita ke dalam level sistem internasional. Gelombang kedua, kaum feminis yang berargumen bahwa patriarchy (laki-laki sebagai pemimpin) adalah sebuah alasan bagi subordinasi wanita. Ketiga, kaum feminis post-structuralist yang menganalisa isu- isu gender dan seksualitas dengan membongkar definisi laki-laki dan wanita dalam SHI. Mereka berargumen bahwa tradisi pemikiran HI selama ini masih didominasi oleh laki-laki seperti studi diplomasi dan pahlawan. Tradisi pemikiran HI masih belum mempertimbangkan aturan main wanita dalam studi politik dan perang—dengan gendering war. Misalnya, proses pengambilan keputusan politik luar negeri pasca Perang Dunia II yang ditentukan oleh laki-laki, tetapi dalam proses pengambilannya sebaiknya menggunakan analisis yang dipengaruhi oleh wanita. Studi HI feminisme yang cukup berpengaruh adalah kerja Cynthia Enloe yang karyanya secara sistematis mengevaluasi SHI sebagai jalan yang bias gender.

Tradisi pemikiran HI Pascakolonialisme menantang tradisi pemikiran HI eropasentrisme, khususnya asumsi parokial bahwa pemikiran abad pencerahan Barat adalah superior, prgresif dan secara universal bisa diaplikasikan ke seluruh dunia. Tradisi HI Pascakolonialisme berargumen bahwa tradisi pemikiran HI Barat mengkonstruksi liyan (the other) sebagai spatial yang irasional, terbelakang, primitif, bodoh dan barbar. Tradisi HI pascakolonialisme berusaha mengekspos asumsi parokial HI; misalnya konstruksi kulit putih melawan orang-orang kulit berwarna. Misalnya cerita beban orang kulit putih terhadap pendidikan dan pembebasan laki-laki dan wanita kulit berwarna, melindungi wanita kulit Tradisi pemikiran HI Pascakolonialisme menantang tradisi pemikiran HI eropasentrisme, khususnya asumsi parokial bahwa pemikiran abad pencerahan Barat adalah superior, prgresif dan secara universal bisa diaplikasikan ke seluruh dunia. Tradisi HI Pascakolonialisme berargumen bahwa tradisi pemikiran HI Barat mengkonstruksi liyan (the other) sebagai spatial yang irasional, terbelakang, primitif, bodoh dan barbar. Tradisi HI pascakolonialisme berusaha mengekspos asumsi parokial HI; misalnya konstruksi kulit putih melawan orang-orang kulit berwarna. Misalnya cerita beban orang kulit putih terhadap pendidikan dan pembebasan laki-laki dan wanita kulit berwarna, melindungi wanita kulit