Wacana Saminisme
IV.3. Wacana Saminisme
Makere Stewart-Harawira present us with a sprawling world-historical narrative, an in-depth investigation of the processes of globatization and the emerging global order, of their combined impact on indigenous peoples and the invention of new forms of resistance to the structure of neo-imperialism. It is a well-informed argument that draws upon a series of expert and inter-related literruatures in world politics, indigenous philosophy and international law at its intersection with contemporary discourses of human and property rights. It is written out of a deeply held commitment to social justice and the belief of an indigenous political philoshophy that speaks to ‘existence’ and ‘being,’ and it calls for a ‘new political ontology of global order’ informed by indigenous world views and values. 142
Kutipan di atas adalah sebuah pengantar dari Michael A. Peters yang mengomentari karya Makere Stewart-Harawira, The New Imperial Order: Indigenous Respon to Globalization. Respon Peters dari karya ini memunculkan ontologi baru dengan tanda kutip: ‘new political ontology of global order.’ Konsep ini sesungguhnya berusaha menjelaskan bahwa keberadaan indigenous people atau komunitas lokal semenjak neo-imerialisme hadir, menjadi semakin terdesak, terbungkam, tertindas dan terhomogenisasi sistem kehidupannya. Neo- imperialisme adalah konsep yang diarahkan kepada struktur hegemoni Amerika Serikat di level sistem internasional. Berakhirnya sistem balance of power pasca Perang Dingin memunculkan sistem unipolar yang memberikan peluang bagi Amerika Serikat untuk berperan dan bermain ‘solo.’ Suara yang terbungkam ini sebaiknya disuarakan, yang terkubur sebaiknya dibangkitkan dan yang terbekukan sebaiknya dicairkan, karena semuanya adalah bentuk diskriminasi, homogenisasi perbedaan di dunia internasional, suatu bentuk ketidakadilan bagi komunitas lokal, proses dehumanisasi umat manusia yang terlahir dengan keberagaman dan holocaust atas nama rasio terhadap formasi sistem pengetahuan lokal atau indigenous people di seluruh dunia.
Makere Stawart-Harawira juga mempertanyakan kembali ortodoksi konsep lama SHI, seperti mempertanyakan konsep kedaulatan, permasalahan
142 Makere Stewart-Harawira, The New Imperial Order: Indigenous Respon to Globalization, (London&New York: Huia Publishers, 2005).
pemerintahan, penentuan nasib sendiri, penaklukan populasi indigenous people, mengeksplorasi tatanan liberal dengan keberadaan PBB, berkembangnya WTO dan tatanan ekonomi baru dekolonisasi periode post-war. Peters mengutip langsung pernyataan Stawart-Harawira yang menjelaskan tentang ‘the return of empire.’ Dia mengatakan bahwa signifikansi tatanan dunia saat ini adalah hubungan aturan main militer dan ekonomi serta naiknya teknologi pengawasan dan kontrol merupakan kunci bagi keberlangsungan dominasi global. Tatanan dunia internasional begitu kompleks untuk dimasukkan ke dalam ‘satu gambar,’ sehingga kita juga berusaha menghadirkan tentang studi resistensi indigenous people atau komunitas lokal dan mentransformasikannya ke bentuk lain agar tetap ‘eksis’ dan ‘hadir’ di tatanan dunia ini. Jadi kembali ditegaskan bahwa hegemoni kerajaan Amerika Serikat dan struktur yang opresif serta meningkatkan jurang ketidakadilan menuju proses dunia ‘free trade’ dan globalisasi, menciptakan fenomena kembalinya nilai-nilai indigenous people atau komunitas lokal dan sebuah alternatif secara esensial bagi tatanan dunia yang lebih adil berdasarkan nilai-nilai indigenous people atau komunitas lokal. Metanarrative modernitas sudah tidak relevan bagi keberlangsungan smallnarrative seperti indigenous people atau komunitas lokal, sehingga kehidupan politik, ontologi kosmologis dan traditional indigenous social yang berakar dari indigenous people atau komunitas lokal merupakan hal yang sangat penting untuk mengembangkan kerangka alternatif transformatif jalan hidup tatanan global pasca Perang Dingin. Stewart- Hawawira berusaha menyarakan suara yang terbungkam dari komunitas lokal Kaupapa Maori. Teori tentang Kaupapa Maori dikembangkan di Aotearoa-New Zealand oleh tradisi pemikiran Maori, seperti tokoh Graham Smith dalam menjelaskan pengalaman Maori dalam proses identitas dan dekolonisasi. Di bawah ini akan menjelaskan tradisi pemikiran Saminisme di Indonesia. Dalam konteks ini, pembahasan dalam pendekatan intertektualitas tentang relasi antara indigenous people atau komunitas lokal dengan tatanan sistem internasional belum pernah di eksplorasi di Indonesia. Jadi studi ini berusaha mewujudkan pembahasan semacam ini.
Dalam menggambarkan formasi diskursif saminisme ini, penulis akan mengambil artikel dari Muhammad Uzair Fauzan yang berjudul: “Politik Representatif dan Wacana Multikulturalisme dalam Praktik Program Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kasus Komunitas Sedulur Sikep Bombong-Bacem.” Karya ini sangat baru dan representatif untuk menjelaskan wacana saminisme, sebab Uzair telah menjelajahi studi-studi sebelumnya dari berbagai macam ilmuwan seperti pemahaman dari Lance Castle, Harry Benda, Pieter E. Korver, Victor S. King, Nancy Lee Peluso, Suripan Sadi Hotomo dan Amrih Widodo, Jasper, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Artikel Uzair ini memfokuskan pada data primer, yakni meneliti langsung ke fokus wilayah penelitian di satu komunitas Sedulur Sikep di dusun Bombong-Bacem. Dusun ini merupakan tempat konsentrasi Sedulur Sikep terbesar di derah Sukolilo. Selain itu, Uzair juga memilih Sedulur Sikep ini karena komunitas ini memiliki derajat komitmen yang tinggi terhadap ajaran saminisme. Sementara waktu komunitas ini juga sudah berintraksi dengan metanarrative modernitas, yakni negara berdaulat–dalam bentuk KAT dan kapitalisme –dalam bentuk sistem perekonomian.
Menurut Uzair, komunitas Sedulur Sikep atau lazim dikenal sebagai komunitas Samin, tersebar di berbagai kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut laporan penelitian Jasper yang dikutipnya, orang-orang Sikep ini dulu tersebar luas di Rembang, Pati, Kudus, Blora, Grobogan, Bodjonegoro, Ngawi dan Madium, dengan konsentrasi terbesar di daerah Kedungtuban dan Bapangan (Blora). Pada tahun 1907, anggota komunitas ini dilaporkan berjumlah 3000 orang.meskipun sekarang jumlah anggota komunitas ini dilaporkan banyak berkurang, tetapi kita masih bisa menemukan komunitas ini di berbagai kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satunya berlokasi di kecamatan Sukolilo, Pati, terutama di dusun Bombong-Bacem, desa Baturejo. Kecamatan Sukolilo berjarak kira-kira 25 km dari pusat kota Pati ke arah Selatan, berbatasan dengan kabupaten Grobogan di sebelah selatan, dan kaabupaten Kudus di sebelah utara.
Komunitas ini cenderung mempertahankan hubungan darah yang dekat agar mempunyai ikatan sosial yang kental. Dalam desa yang mereka diami, meskipun jumlah mereka haya 10%, tetapi peran mereka sangat penting dalam
politik desa. Dalam hal arsitektur rumah, meskipun mulai bermunculan bangunan baru dengan gaya arsitektur modern, tetapi sebagian besar rumah Sedulur Sikep masih mempertahankan rumah model Jawa dan berlantai tanah. Sebagian besar dari mereka masih mempercayai peruntukan ruang di dalam rumah model Jawa, khususnya ruang besar di bagian depan yang diperuntukkan untuk ruang tamu dan tempat penyimpanan hasil panen dan pupuk. Penghasilan mereka memang bekerja sebagai petani. Di desa itu, seorang pedagang dan penjual toko kecil, bukan termasuk komunitas Sedulur Sikep. Cara bertani mereka unik–berbeda dengan pertanian pada umumnya. Menurut Hasan yang dikutip oleh Uzair, pendamping Serikat Petani Pati (SPP) dari Institute for Rural Development, masyarakat Sikep memiliki tradisi dan pola pertanian khas yang menyumbang pada kemandirian mereka vis-à-vis pemerintah. Menurut Hasan, setidaknya ada dua hal yang khas: pertama, tidak memperdulikan atau membutuhkan PPL (petugas penyuluhan lapangan); kedua, mengutamakan varietas/bibit lokal yang tahan lama. Selain itu, pola pembagian hasil panen yang khas, yakni dibagi empat berdasarkan pertimbangan wineh (benih), sandang, pangan, wong. Buruh yang dimintai bantuan dalam ma panen akan mendapatkan bagian seperempat, karena dia termasuk pertimbangan yang keempat. Fenomena ini adalah teks ideal komunitas yang ternyata sudah semakin terhempas hilang. Mereka memiliki lumbung padai sendiri yang mereka sisihkan dari hasil panen untuk konsumsi sehari-hari, sehigga relatif tidak bergantung pada orang/pihak lain dalam hal pangan. Dengan demikian, jika dilihat dari luar, tidak terdapat perbedaan antara petani yang modern dengan petani komunitas saminis. Walaupun metanarrative modernitas yang terwakili dari Negara berdaulat berusaha intervensi pendidikan, perkawinan dan agama, tetapi mereka tetap mempertahankan tradisinya. Menurut lapoan penelitian dari Lembaga Penelitian Sosial Budaya Universitas Diponegoro (Undip) yang dikutip oleh Uzair, komunitas tersebut tak satu pun di antara warganya bersekolah formal, tetapi tidak sedikit warga Sikep yang memiliki kemampuan baca tulis. Dalam hal perkawinan, tak satupun dari warga ini mencatat perkawinannya dipertemen Agama/Catatan Sipil. Sementara dalam hal agama, mereka sebelumnya beragama budha, tetapi kemudian mereka menganut politik desa. Dalam hal arsitektur rumah, meskipun mulai bermunculan bangunan baru dengan gaya arsitektur modern, tetapi sebagian besar rumah Sedulur Sikep masih mempertahankan rumah model Jawa dan berlantai tanah. Sebagian besar dari mereka masih mempercayai peruntukan ruang di dalam rumah model Jawa, khususnya ruang besar di bagian depan yang diperuntukkan untuk ruang tamu dan tempat penyimpanan hasil panen dan pupuk. Penghasilan mereka memang bekerja sebagai petani. Di desa itu, seorang pedagang dan penjual toko kecil, bukan termasuk komunitas Sedulur Sikep. Cara bertani mereka unik–berbeda dengan pertanian pada umumnya. Menurut Hasan yang dikutip oleh Uzair, pendamping Serikat Petani Pati (SPP) dari Institute for Rural Development, masyarakat Sikep memiliki tradisi dan pola pertanian khas yang menyumbang pada kemandirian mereka vis-à-vis pemerintah. Menurut Hasan, setidaknya ada dua hal yang khas: pertama, tidak memperdulikan atau membutuhkan PPL (petugas penyuluhan lapangan); kedua, mengutamakan varietas/bibit lokal yang tahan lama. Selain itu, pola pembagian hasil panen yang khas, yakni dibagi empat berdasarkan pertimbangan wineh (benih), sandang, pangan, wong. Buruh yang dimintai bantuan dalam ma panen akan mendapatkan bagian seperempat, karena dia termasuk pertimbangan yang keempat. Fenomena ini adalah teks ideal komunitas yang ternyata sudah semakin terhempas hilang. Mereka memiliki lumbung padai sendiri yang mereka sisihkan dari hasil panen untuk konsumsi sehari-hari, sehigga relatif tidak bergantung pada orang/pihak lain dalam hal pangan. Dengan demikian, jika dilihat dari luar, tidak terdapat perbedaan antara petani yang modern dengan petani komunitas saminis. Walaupun metanarrative modernitas yang terwakili dari Negara berdaulat berusaha intervensi pendidikan, perkawinan dan agama, tetapi mereka tetap mempertahankan tradisinya. Menurut lapoan penelitian dari Lembaga Penelitian Sosial Budaya Universitas Diponegoro (Undip) yang dikutip oleh Uzair, komunitas tersebut tak satu pun di antara warganya bersekolah formal, tetapi tidak sedikit warga Sikep yang memiliki kemampuan baca tulis. Dalam hal perkawinan, tak satupun dari warga ini mencatat perkawinannya dipertemen Agama/Catatan Sipil. Sementara dalam hal agama, mereka sebelumnya beragama budha, tetapi kemudian mereka menganut
Akar sejarah saminisme, khususnya di dusun Bombong-Bacem ternyata menganut ajaran Saminisme pertama kali yang tersebar dari daerah Randublatung (bagian Selatan kabupaten Blora) oleh Samin Surontiko, seorang petani kelas menengah, pada pertengahan 1890an. Pada awalnya, imperialis Belanda tidak begitu peduli dengan gerakan ini, karena tidak memberikan ancaman dan persoalan yang serius bagi pemerintah kolonial. Namun ketika gerakan ini mulai menyebar pesat dan berhasil menarik pengikut sebanyak 3000 orang pada tahun 1904, dan mereka bersama-sama menarik diri dari kontrol imperalis Belanda, pemerintah kolonial ini mulaimeningkatkan tindakan kewaspadaan dan pengawasan terhadap gerakan ini. Kemudian dalam perkembangannya, peristiwa penangkapan Samin Surontika, lalu diasingkan ke Padang pada tahun 1907.
Menurut para peneliti yang dikutip oleh Uzair, komunitas Samin ini muncul ajaran dan gerakannya dipicu oleh dua hal: Pertama, kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menjadikan hutan sebagai perusahaan Negara (houtwesterijen) membuat petani di sekitarnya tidak lagi memiliki akses untuk memanfaatkan hutan yang selama ini menghidupi mereka. Kedua, Menurut Uzair, pengenalan sistem perekonomian uang ke seluruh komunitas tanpa kecuali memperparah kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan. Sistem perekonomian uang, yang diawali oleh politik pintu terbuka dan politik etis mendorong imperalis menerapkan pajak sebagai ganti dari istilah upeti. Faktor kedua ini masih diperburuk oleh sisa-sisa tradisi tanam paksa tidak memberikan waktu luang bagi petani untuk menggarap tananya sendiri, karena waktu telah dihabiskan menjadi kuli kecang. Pajak yang begitu memberatkan dan pengambilan waktu dan tenaga untuk pada priyayi yang diterapkan di seluruh wilayah, mendatangkan kesulitan bagi pengetahuan petani dan penduduk lokal saat itu. Metanarrative imperialisme mempersulit pemahaman birokrasi bagi penduduk lokal dan sistem ekonomi imperialisme justru menghimpit masyarakat saat itu, sehingga terjadi banyak Menurut para peneliti yang dikutip oleh Uzair, komunitas Samin ini muncul ajaran dan gerakannya dipicu oleh dua hal: Pertama, kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menjadikan hutan sebagai perusahaan Negara (houtwesterijen) membuat petani di sekitarnya tidak lagi memiliki akses untuk memanfaatkan hutan yang selama ini menghidupi mereka. Kedua, Menurut Uzair, pengenalan sistem perekonomian uang ke seluruh komunitas tanpa kecuali memperparah kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan. Sistem perekonomian uang, yang diawali oleh politik pintu terbuka dan politik etis mendorong imperalis menerapkan pajak sebagai ganti dari istilah upeti. Faktor kedua ini masih diperburuk oleh sisa-sisa tradisi tanam paksa tidak memberikan waktu luang bagi petani untuk menggarap tananya sendiri, karena waktu telah dihabiskan menjadi kuli kecang. Pajak yang begitu memberatkan dan pengambilan waktu dan tenaga untuk pada priyayi yang diterapkan di seluruh wilayah, mendatangkan kesulitan bagi pengetahuan petani dan penduduk lokal saat itu. Metanarrative imperialisme mempersulit pemahaman birokrasi bagi penduduk lokal dan sistem ekonomi imperialisme justru menghimpit masyarakat saat itu, sehingga terjadi banyak
Uzair mengutip Amrih Widodo dalam menjelaskan identifikasi ajaran saminisme. Ajaran Saminisme ini berdasarkan pada transformasi sosial di pedesaan Jawa. Pada akhir abad ke-18, kondisi saa itu terjadi suatu perubahan penggunaan istilah untuk petani dari wong Sikep menjadi kuli kencang. Oleh sebab pemberlakuan berbagai beban pajak dan kerja paksa, wong Sikep yang dulu pernah mandiri berubah menjadi kuli negara imperial dan aparatnya. Dari kondisi seperti ini, para pengikut ajaran Saminisme bangkit kesadarannya tentang wong Sikep. Fenomena ini adalah proses identifikasi diri bahwa identitas budaya seharusnya tetap diperjuangkan untuk direpresentasikan. Dengan kata lain, eksistensi suatu komunitas begitu signifikan sebagai keberlangsungan hidup. Signifikansiini membentuk konstruksi wacana Saminisme sampai dengan perkembanganya. Ajaran Saminisme ini sendiri lahir dalam konteks berbagai perlawanan petani yang muncul dalam kurun waktu yang sama. Hanya berselang dua tahun setelah belanda mengeluarkan kebijakan pajak dalam semacanya, Samin Surontiko mulai melontar wacana pengetahuannya di Blora. Namun kemunculan wacana ini tidak anyal disamaratakan dengan resistensi di jaman itu seperti maling kayu atau tribalisme petani. Bentuk perlawanan gerakan ajaran Saminisme ini justru menarik diri dari dunia publik untuk mencapai purifikasi perilaku hidup.
Pengalaman para peneliti yang diungkapkan oleh Uzair, mereka mengakui bahwa komunitas Sikep ini merupakan masyarakat yang masih menjunjung tinggi kejujuran, gemar menolong sesama dan mempunyai nalar yang relatif tinggi serta beberapa sikap mulai lainnya. Perlawanan yang dilakukan oleh Saminisme ini menggunakan permainan bahasa dan pengetahuan yang mereka miliki. Namun di sisi lainnya, mereka nampak menyurutkan reaksinya dengan mempersoalkan cara hidup mereka yang tidak mau bersekolah, tidak mencatat perkawinan di lembaga negara, dan sebagainya. Konstruksi para peneliti dan pandangan umum kemudian berbalik menjadi pemahaman bahwa Saminisme adalah komunitas aneh, liar, abnormal perilakunya, bodoh, gila, terbelakang, barbar, anomali dan terbelakang.
Ironisnya, pemerintah indonesia pasca kemerdekaan yang pernah mengakui sumbangsih komunitas tersebut terhadapperjuangan dalam menentang imperalisme, justru pada akhirnya terganggu oleh “kekonyolan” perilaku orang- orang Saminis atau Sikep ini. Naming penggunaan istilah Saminisme ini cenderung tidak digunakan sebab ikon ini mengarah pada seseorang yang membawa ajaran tersebut. Komunitas ini lebih suka atau mengklaim diri mereka sebagai komunitas Sedulur Sikep, karena yang ditekankan adalah konstruksi ajaran Sikep yang mengikat mereka. Akibat konstruksi tendensius yang sudah terbentuk terhadap komunitas Sedulur Sikep ini, maka pihak negara dan non- komunitas Sedulur Sikep selalu berusaha mengubah komunitas itu, dan jika ditanya tentang kemajuan dan perkembangan di desanya, mereka akan menggunakan indikator komunitas Sedulur Sikep. Jika komunitas Sedulur Sikep tidak ada, yakni semakin terkikis hilang, maka mereka akan mengatakan bahwa pembangunan di wilayahnya semakin maju dan berkembang pesat. Keberadaan komunitas Sedulur Sikep adalah indikator dari representasi keterbelakang atau tribalisme. Di kalangan pesantren Pati Utara dan Pati Kota yang awalnya ikut bergabung ke dalam Serikat Petani Pati (SPP) yang diketuai oleh salah satu tokoh komunitas Sedulur Sikep di Bombong-Bacem, pada akhirnya mereka keluar dari SPP tersebut. Dalam wawancara Uzair bersama Hasan, pondok pesantren NU di Pati ini menolak komunitas Sedulur Sikep ini, karena citra wong Sikep yang terbelakang an sudah menganggap bahwa agama mereka berbeda. Walaupun wong Sikep mengklaim mengikuti ajaran agama Adam atau bagiana dari ajaran Islam, tetapi nampaknya ajaran itu tidak memenuhi prinsip-prinsip Islam NU, sehingga wong Sikep bisa diklaim sebagai tidak beragama Islam atau secara ekstrim murtad dari islam, sebab bid’ah-nya sudah terlalu banyak.
Uzair mengutip Benda dan Castle dalam menjabarkan penetrasi atau intervensi metanarrative modernitas. Masuknya pengaruh negara berdaulat dalam komunitas Sikep bisa dilacak pada tahuan 1952an, ketika seorang pimpinan dari kementerian informasi mengklaim bahwa masyarakat Samin, di era kemerdekaan ini sudah mulai berperilaku normal, seperti orang pada umumnya. Senada dengan hal itu, pad tahuan 1987, para pejabat negara menyatakan bahwa wong Sikep Uzair mengutip Benda dan Castle dalam menjabarkan penetrasi atau intervensi metanarrative modernitas. Masuknya pengaruh negara berdaulat dalam komunitas Sikep bisa dilacak pada tahuan 1952an, ketika seorang pimpinan dari kementerian informasi mengklaim bahwa masyarakat Samin, di era kemerdekaan ini sudah mulai berperilaku normal, seperti orang pada umumnya. Senada dengan hal itu, pad tahuan 1987, para pejabat negara menyatakan bahwa wong Sikep
Uzair menjelaskan lebih dalam tentang wong Sikep yang sudah tidak terisolasi atau hidup tanpa interaksi dengan masyarakat nasional dan global. Di daerah Galiran (Baleadi), negara yang berkolaborasi dengan ekonomi internasional–dalam perspektif ekonomi-politik internasional berhasil menelusup jauh ke dalam masyarakat Sikep. Semakin berkurangnya komunitas Sedulur Sikep ini, karena mereka bermigrasi ke luar negeri sebagai tenaga kerja migran. Keberhasilan di sektor pertanian di desanya tidak menghalangi warga Sedulur Sikep menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Adanya Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di desa Galiran menciptakan kondisi yang mendukung semakin derasnya warga Sikep untuk bekerja ke luar negeri, dan sampai salah satu wong Sikep sendiri justru menjadi agen dari PJTKI. Dari sini, terjadi transformasi yang begitu signifikan. Ketika Uzair mewawancarai salah satu wong Sikep, dia berkata: “mergo sandang pangan, podho pindah toto coro njobo” (karena ingin memenuhi kebutuhan ekonomi, pindah tata cara lain). Beranjak dari transisi ini, maka wong Sikep sudah mulai mempunyai Kartu Tanda penduduk (KTP). Demikian juga permasalahn pendidikan. Mereka yang ingin bersekolah harus mempunyai akte kelahiran, yang berarti harus menyertakan dokumen lain seperti surat nikah orang tuanya, sehingga masing-masing orang tua harus pula mengurus surat nikah dan KTP yang disyahkan. Padahal, pernikahan itu sangat vital, jika wong Sikep menggunakan tata cara negara, maka konsekwensinya Uzair menjelaskan lebih dalam tentang wong Sikep yang sudah tidak terisolasi atau hidup tanpa interaksi dengan masyarakat nasional dan global. Di daerah Galiran (Baleadi), negara yang berkolaborasi dengan ekonomi internasional–dalam perspektif ekonomi-politik internasional berhasil menelusup jauh ke dalam masyarakat Sikep. Semakin berkurangnya komunitas Sedulur Sikep ini, karena mereka bermigrasi ke luar negeri sebagai tenaga kerja migran. Keberhasilan di sektor pertanian di desanya tidak menghalangi warga Sedulur Sikep menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Adanya Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di desa Galiran menciptakan kondisi yang mendukung semakin derasnya warga Sikep untuk bekerja ke luar negeri, dan sampai salah satu wong Sikep sendiri justru menjadi agen dari PJTKI. Dari sini, terjadi transformasi yang begitu signifikan. Ketika Uzair mewawancarai salah satu wong Sikep, dia berkata: “mergo sandang pangan, podho pindah toto coro njobo” (karena ingin memenuhi kebutuhan ekonomi, pindah tata cara lain). Beranjak dari transisi ini, maka wong Sikep sudah mulai mempunyai Kartu Tanda penduduk (KTP). Demikian juga permasalahn pendidikan. Mereka yang ingin bersekolah harus mempunyai akte kelahiran, yang berarti harus menyertakan dokumen lain seperti surat nikah orang tuanya, sehingga masing-masing orang tua harus pula mengurus surat nikah dan KTP yang disyahkan. Padahal, pernikahan itu sangat vital, jika wong Sikep menggunakan tata cara negara, maka konsekwensinya
program Komunitas Adat Terpencil (KAT), 143 maka intervensi negara untuk menghomogenisasi identitas budaya orang-orang di wilayahnya menjadi lebih
efektif dan efisien. Hal ini adalah bentuk dari prinsip metanarrative modernitas. Istilah dan definisi tentang komunitas, khususnya masyarakat Sedulur Sikep digambarkan, didefiniskan oleh institusi negara sebagai instrumen dari metanarrative modernitas untuk mengontrol dan memaknai komunitas disekitarnya. Dengan demikian, komunitas tersebut dapat menjadi warganegara ideal atau dianggap baik dari pandangan negara.
Wacana yang terbentuk menjadi sebuah formasi diskursif Saminisme mempunyai konstruksi berawal dari tradisi Jawa. Saat itu, ketika raja-raja Jawa mengalami kekalahan dari imperialis Belanda, transformasi hubungan kawula- gusti yang dulu pernah bersifat mandiri-mutualistik seluruhnya “diambil alih” oleh imperialis Belanda. Kekuasaan yang sebelumnya didasarkan pada wahyu tunggal yang hanya dimiliki oleh seorang raja, diganti dengan wahyu yang disebarkan ke lebih dari seorang individu oleh aturan mainan Belanda. Kemudian imperalis Belanda menganugrahkan gelar-gelar setingkat raja beserta hak-haknya. Menurut Amrih Widodo yang dikutip oleh Uzair, pada saat itu samin menemukan konstruksi formasi dikursif dirinya. Wacana ini muncul sebagai bentuk dari hadirnya kebenaran wacana saminisme atas dirinya sendiri, tanpa disengaja dikonstruksi oleh akal atau subjek sejarah dirinya. Adanya transisi hubungan kawula-gusti dan perlunya kemerdekaan dari imperialis Belanda, maka formasi pun mengalamiperubahan. Atas dasar ini, ajaran samin mengangkat pemahaman baru, yakni internalisasi konsep gusti tidak secara sempurna ke dalam diri tiap individu (kawula). Displacement seperti ini merupakan bentuk baru yang berbeda
Ibid., hlm. 88-91.
sama sekali dari sebelumnya. Menurut wong samin, internalisasi ini adalah tahap “pemurnian” yang diajarkan Samin kepada murid-muridnya.
Pemahaman kuasa Jawa mengalami suatu transisi dari gusti yang tunggal menjadi berserakan menyebar ke setiap individu mendominasi sebagain besar ajaran Saminisme. Berkuasanya kembali individu atas dirinya sendiri ini sekaligus menegaskan prinsip pada kemandirian dan kemampuan usaha sendiri. Dalam hal ini, Uzair memahami larangan-larangan (adeg-adeg) yang hingga kini masih dipegang teguh oleh komunitas samin di mana pun juga, seperti drengki, srei, dahwen, panasten, dan kemeren (demen, becik, rukun, seger, dan waras). Prinsip hidup ini merupakan pijakan dasar bagi mereka. Jika diringkas prinsip hidup ini menjadi: “tidak menginginkan milik orang lain.” Ajaran amin secara konseptual menempatkan objek keinginan di dalam diri sendiri. Di sini ketertarikan dan minat tidak ditujukan pada relasi kekuasaan antara diri sendiri dengan orang lain, melainkan dibatasi pada diri sendiri atau pada hal-hal yang sudah menjadi miliknya, sehingga juga menjadi bagian dari dirinya sendiri, termasuk keluarga batin. Pusat kekuasaan itu ada di dalam diri sendiri dan keluarganya. Di sini tidak ada atau tidak menghadirkan konsep negara sebagai unit politik. Hal itu ditegaskanoleh komunitas Sedulur Sikep di Blora: “negoro iku yo keluargane dhewe” (negara itu ya keluarga sendiri). Hal ini apat dilihat ketika mereka mendapatkan perbedaan perilaku, tata cara dan pandangan hidup seorang Sedulur Sikep. Mereka hamper selalu mengatakan bahwa hal itu merupakan urusan pribadinya sendiri. Mereka cenderung merelatifkan sebuah sebuah pendapatnya sendiri. Salah satu pemuka Sedulur Sikep, menurut Uzair menegaskan bahwa pada dasarnya kebenaran yang disebutnya sebagai pajek (pangeran sing jejek/aturan yang benar) selalu ada di tiap-tiap individu, sehingga ia tidak perlu dicari, atau bahkan diminta dari orang lain. Maka dari itu konsep perwakilan relatif seperti di DPR kita tidak berlaku di komunitas Sedulur Sikep, karena bentuk itu adalah penghapusan manusia seutuhnya atau penghapusan otonomi diri sebagai manusia. Keputusan-keputusan bersama selalu dilakukan dengan menggelar rapat akbar yang semua individu kepala keluarga Sikep hadir. Di setiap undangan apapun juga mereka selalu mengatakan bahwa dirinya mewakili dirinya sendiri, bukan
mewakili komunitas Sedulur Sikep. Bagi mereka, setiap manusia apapun berbedanya: pangkatnya, ras, suku, kebangsaan, agama, dll, pada dasarnya semua itu adalah sama saja: wong (manusia). Konsep wong dan konsep sandang-pangan merupakan dua istilah penting bagi komunitas ini. Wong adalah perwujudan yang tertinggi dan terkuat, karena manusialah yang bias menghasilkan sandang- pangan. Mereka lebih menyukai disebut dengan wong Sikep (atau Sedulur Sikep) untuk menunjukkan bahwa tugas dan tujuan mereka dalam hidup ini adalah menjalani Sikep rabi (bercinta), dan menjalankan tatane wong (menciptakan keturunan). Menurut komunitas itu, bercinta itu dilakukan oleh semua manusia. Satu-satunya perbedaan mereka dengan non-mereka adalah mereka jujur mengatakan dan menjalankan sikap hidup bercinta. Dengan demikian, komunitas Sedulur Sikep lebih murni daripada non-Sedulur Sikep. Menjadi murni berarti menjadi lugu, yakni terus terang, blak-blakan, apa adanya, jujur, terbuka–tidak ada perbedaan antara berniat, berpikir dan berbuat–merupakan satu kesatuan, tidak ada yang tersembunyi. Oleh Takashi Shiraishi gagasan ini dinamakan dengan the idea of purity. Gagasan ini adalah inti dari wacana Saminisme.
Keharusan mejadi lugu dan murni itu juga dipraktekkan dalam usaha memenuhi kebutuhan sandang-pangan yang mereka sebut sebagai tata nggauto. Mereka menyakini bahwa hasil kerja keras untuk memenuhi sndang-pangan seharusnya jelas asal usulnya: demunung. Istilah demunung ini selalu dipergunakan untuk mewakili kemurnian komunitas ini dalam usaha pertanian mereka. Usaha pertanian ini merupakan aktivitas yang menurut mereka paling aman untuk menjaga kemurniannya. Mereka tidak menyukai usaha dagang, sebab usaha tersebut cenderung membawa tindakan bohong, serakah, dan melanggar janji-janji atau prinsip hidup mereka. Banyak tindakan pedagang yang akhirnya tidak ngakoni an mengharapkan sesuatu yang bukan miliknya, sehingga mereka tidak bersikap lugu. Mereka leibih mengukai ijol, yakni menukar barang daripada kata jual-beli. Menurut Uzair, bertemunya pilihan pertanian sebagai satu-satunya tata-nggauto dan demunung dengan gagasan tentang kewajiban hidup manusia untuk menjalankan Sikep rabi itu tampak jelas dalam bahas Samin. Dalam permainan bahasanya, keduanya dimaknai sebagai simbol seksualitas dan Keharusan mejadi lugu dan murni itu juga dipraktekkan dalam usaha memenuhi kebutuhan sandang-pangan yang mereka sebut sebagai tata nggauto. Mereka menyakini bahwa hasil kerja keras untuk memenuhi sndang-pangan seharusnya jelas asal usulnya: demunung. Istilah demunung ini selalu dipergunakan untuk mewakili kemurnian komunitas ini dalam usaha pertanian mereka. Usaha pertanian ini merupakan aktivitas yang menurut mereka paling aman untuk menjaga kemurniannya. Mereka tidak menyukai usaha dagang, sebab usaha tersebut cenderung membawa tindakan bohong, serakah, dan melanggar janji-janji atau prinsip hidup mereka. Banyak tindakan pedagang yang akhirnya tidak ngakoni an mengharapkan sesuatu yang bukan miliknya, sehingga mereka tidak bersikap lugu. Mereka leibih mengukai ijol, yakni menukar barang daripada kata jual-beli. Menurut Uzair, bertemunya pilihan pertanian sebagai satu-satunya tata-nggauto dan demunung dengan gagasan tentang kewajiban hidup manusia untuk menjalankan Sikep rabi itu tampak jelas dalam bahas Samin. Dalam permainan bahasanya, keduanya dimaknai sebagai simbol seksualitas dan
Kuasa bahasa sebagai kekuatan komunitas Sedulur Sikep ini juga berlaku dalam konteks agama. Ketika ditanya oleh masyarakat umum tentang agamanya, komunitas ini biasanya menjawab Agama Adam (Agama Kawitan atau Adam Kwitan). Bagi masyarakat umum, jawaban ini dimaknai bahwa komunitas itu mengakui Adam sebagai manusia pertama di bumi ini, sehingga pemahamnnya mengarah pada komunitas Sikep beragama Semith (Yahudi-Kristen-Islam). Namun makna dari komunitas Sikep atau saminis ini justru melampaui dari semua pandangan umum. Mereka memaknai agama Adam dengan menjalankan kewajiban sebagai wong Sikep, yakni menggarap (berhubungan seksual dengan) istrinya dan tanahnya. Dasar minimal dari membangun hidup melalui sikap hidup wong Sikep adalah hubungan suami-istri. Banyak pendapat yang pro-kontra tentang keyakinan wong Sikep terhadap Tuhan. Jika makna Agama Adam ini ditafsirkan dengan hubungan suami-istri, maka komunitas ini tidak Tahu dan tidak persaya dengan Tuhan. Sedangkan pendapat yang pro dengan pendapat bahwa mereka mengakui Tuhan, maka kita dapat menilik istilah-istilah yang mereka gunakan seperti Gusti, Pangeran, Allah atau Gusti Allah. Perdebatan ini mempunyai pilihan tafsir yang bebas oleh setiap pengamat, karena sifatnya relatif. Abgi Uzair yang mengutip Castle dan Benda, hal yang paling pinting adalah penolakan komunitas ini terhadap otoritas di luar dirinya.
Di akhir penjelasannya, Uzair menjelaskan bahwa agama Adam tersebut menujukkan bahwa bagi komunitas ini, eksisensi segala sesuatu itu selalu diwujudkan atau ada dari dalam ucapan–permainan bahasa (speech). Bagi mereka,
mengucapkan kebenaran adalah keharusan. Kebohongan yang dimaknai ketimpangan antara ucap, niat dan tindakan adalah “dosa” bagi mereka. Namun ketika mereka berhadapan dengan aparatus metanarrative modernitas seperti negara dan sistem kapitalisme, ucapan merupakan medan perang yang sesungguhnya bai meeka. Oleh sebab itu, di sini terjadi politik simbolisasi (politics of symbolization) yang acapkali menempatkan mereka pada pihak yang kalh. Namun ketika mereka berhadapan langsung dengan lawan bicaranya, mereka dalam hati tertawa atau merasakan kemenangan dalam perang bahasa, karena sesungguhnya mereka mempunyai makna-makna simbolik yang melampaui pemahaman non-Sikep. Dalam konteks ini, mereka memegang posisi kontrol dan menguasa politik signifikansi (politics of signification). Jadi berbeda dengan komunitas atau pemikiran partikular lainnya, komuitas ini tidak ditentukan oleh keterkaitan terhadap tanah, ras, agama, suku, dll. Mereka mengikatkan dirinya pada wacana toto-coro, yakni segala sesuatu yang merupakan tradisi an penerjemahan ajaran saminisme, mulai dari cara berpakaian (pakaian serba hitam dan jelana panjang komprang untuk laki-laki, danberkebaya untuk perempuan dalam acara publik), keterikatan pada kerja petani, penolkan terhadap sekolah sampai dengan perkawinan ala negara. Orang yang menjalankan toto-coro ini dinamakan Sedulur tunggal toto-coro (saudara yang memiliki tata cara sama), sedangkan yang kebalikkannya, dinamakan dengan Sedulur liyan toto-coro (saudara berlainan tata cara). Ringkasan dari semua hal di atas dijabarkan lebih mudah alam bentuk peta di bawah ini.