Problem Modernisme
III.3. Problem Modernisme
Walaupun Habarmas dan Linklater berusaha merekonstruksi rasionalitas Eropa dengan teori aksi-aksi komunikasi (dialog komunikatif) dan etika diskursus serta menghadirkan entitas komunitas politik era post-Westphalia, tetapi ruang pengandaian mereka masih partikular di wilayah Eropa kontinental, dan mengandaikan rasionalitas Eropa, etika diskursus sebagai sesuatu yang universal, tunggal dan total. Ontologi komunitas politik, epistemologi rasionalitas Eropa tidak dapat melampaui pengetahuannya sendiri. Dengan kata lain, rasionalitas modern diandaikan seperti katak dalam tempurung yang berputar-putar di
104 Ibid. hlm. 156. 105 Hardiman, op.cit. 106 Linklater, op.cit. 107 Loc.cit.
dalamnya. Proses ini dapat dinamakan sebagai lingkaran hermenutika yang dialami oleh wacana modernitas.
Epistemologi dan ontologi politik internasional mengalami perubahan. Politik internasional post-modern atau post-Westphalia mengandaikan komunitas politik yang terfregmentasi ke wilayah wacana masing-masing komunitas. Dengan kata lain, politik internasional di panggung duni internasional menjadi sebuah permainan komunitas politik yang plural dan heterogen, tergantung pada pengetahuan komunitasnya sendiri-sendiri. Dunia post-Westphalia mengandaikan relasi antara komunitas politik lokal dengan global, relasi etika partikular dengan etika universal, relasi eksklusif dengan inklusif dan antara universalisme dengan difference dalam media aksi-aksi komunikasi atau dialog terbuka.
Wacana modernisme adalah suatu paham pemikiran sekaligus ordo diskursif yang muncul di jaman pencerahan (renaissance). Wujud modernisme dapat diketahui melalui kelahiran kapitalisme dan negara bangsa (1648). Kemunculan modernisme merupakan pondasi bagi segala aspek kehidupan yang
sekarang secara luas disebut dengan nama modern. Crane Brinton 108 melacak istilah dari bahasa latin yang berarti: “just now.” Dalam bahasa Inggris, istilah
moderen dikontraskan dengan istilah: “ancient” (kuno). Kesadaran modern terbangun melalui nalar manusia untuk melihat newly. Newly adalah kebaruan yang terjadi alam momen kekinian, yang berjarak dengan ‘nenek moyang’. ‘Nenek moyang’ yang pada saat itu disebut dengan nama ‘nenek moyang.’ Karena kebaruan selalu berjalan dinamis dan terus melakukan perjalanan yang endless. Kemodernan yang menjadi the way of life disebut dengan modern culture. Menurut Brinton, modern juga dapat dipahami jika dihadapkan medieval. Perbedaan medieval dengan modern ditandai dengan humanisme, reformasi, penemuan geografis, ilmu pengetahuan, penemuan mesin cetak, pendobrakkan
atas kuasa gereja. Budi Hardiman melihat modern, 109 modernisasi atau modernisme identik dengan Brinton, yakni kesadaran akan kebaruan –kehidupan
manusia kekinian dengan menggunakan rasionalisasi. Rasionalisasi merupakan
108 Crane Brinton, The Shaping of The Modern Mind, (USA: The New American Library of World Literature Inc., 1956), hlm. 19-20.
109 Hardiman, op.cit., hlm.73.
pola berpikir rasional, yakni keberanian manusia untuk menggunakan akalnya– istilah Immanuel Kant dinamakan sapare aude!–beranilah untuk berpikir! Proses modernisasi dunia saat itu merupakan rasionalisasi dunia secara total. Penggunaan rasio mendorong manusia berpijak pada dasar-dasar akalnya seperti kebenaran berdasarkan pada wilayah epistemologi tunggal, standar dengan istilah logika. Pergeseran wacana dapat dilihat pada perubahan wilayah pengetahuan kosmologisme yang tergantung pada alam menuju displacement teosentrisme yang tergantung pada Tuhan atau agama. Kemudian dengan adanya rasionalisasi, wilayah wacana teosentrisme mengalami displacement ke wilayah antroposentrisme, yakni pemikiran yang menekankan ketergantungan pada rasio manusia, biasanya disebut dengan nama humanism (Barat). Humanisme adalah penggunaan logika tunggal untuk menjalani kehidupan di dunia. Lebih jauh Brinton mendeskripsikan humanisme dengan perlawanan rasio manusia masa itu terhadap dogma agama (Vatikan).
Genealogi modernisasi berangkat dari tradisi pemikiran Yunani Kuno. Hassan Hanfi memaparkan sejarah tradisi pemikiran dan budaya barat dengan jelas. Dalam karyanya, Oksidentalisme (2000), Hanafi menjelaskan ajaran nenek moyang pembentukan kesadaran modernitas (Eropa/Barat), Hanafi membagi tiga bagian dalam sub-bab ajaran nenek moyang: ajaran sisa sumber Yunani-Romawi, ajaran Kristen Yunani, dan ajaran Kristen Latin. Ajaran nenek moyang yang dijelaskan oleh Hanafi ini dijelaskan dengan menguak kesadaran Eropa secara menyeluruh, yakni memaparkan akar-akar kesadaran Eropa tanpa adanya keterputusan rangkaiannya sehingga keberlanjutan dari bentuk kesadaran Eropa dapat terlihat. Kesadaran Eropa begitu kuat didominasi oleh wacana teks Perancis dan Jerman. Dalam hal ini, wacana teks Jerman, Hegel merupakan pemikir yang memberikan benang merah tentang kesadaran Eropa.
Hanafi menjelaskan sisa sumber Yunani-Romawi adalah agama paganisme. Agama ini berlangsung selama era Yunani kuno: Hellenic. Kedatangan Kristen yang dibawa oleh al-Masîh saat itu belum sanggup melakukan perubahan terhadap kesadaran Yunani-Romawi yang pagan, yang cukup kuat pengaruh neo-Platonisme. Kebudayan yang di bawa oleh Kristen Hanafi menjelaskan sisa sumber Yunani-Romawi adalah agama paganisme. Agama ini berlangsung selama era Yunani kuno: Hellenic. Kedatangan Kristen yang dibawa oleh al-Masîh saat itu belum sanggup melakukan perubahan terhadap kesadaran Yunani-Romawi yang pagan, yang cukup kuat pengaruh neo-Platonisme. Kebudayan yang di bawa oleh Kristen
Kuatnya budaya agama pagan ini disebabkan oleh perbaruan dirinya sendiri. Wacana teks Barat bersikap skeptisme dan melakukan pembersihan diri terhadap ajaran-ajaran lama dengan mengatasnamakan ilmu yang anti- dogmatisme. Dengan demikian, ajaran tradisi pagan justru semakin kokoh. Tindakan mereka tidak lebih sebagai tindakan reflektif atau otokritik (self- reflection). Inilah sumber kekuatan wacana Barat. Hanafi menerangkan juga bahwa saat itu, ilmu seperti logika, gramatika, retorika, hitung, teknik arsitektur, astronomi, dan musik telah dipelajari secara teknis oleh mereka. Inilah kedamaian internal kesadaran Eropa yang telah diperoleh. Dengan pemahaman dan kesadaran akan alam, kaum pagan saat itu telah memperoleh kedamaian internal. Dalam hal ini, Hanafi cukup tajam mengatakan bahwa kedamaian internal yang final ini mempunyai sifat negatif dan positif. Sifat yang negatif muncul ketika kesadaran pagan tersebut telah final dan berakhir sehingga mereka tidak mempunyai kesadaran selain kesadaran agama pagan. Sedangkan sifat yang positif muncul ketika mereka menganggap bahwa kedamaian internal yang mereka peroleh bukanlah kesadaran akan sebuah keyakinan final, tetapi awal dari keyakinan agama baru dan keselamatan yang segera datang. Keyakinan agama baru dan keselamatan inilah yang sampai sekarang masih belum diperoleh. Jadi sebuah proses pergerakan becoming Eropa bukan being Eropa.
Dalam studinya, Hanafi menemukan hipotesis bahwa hubungan simbiosis mutualisme antara wacana teks paganisme Yunani dengan Kristen. Hanafi menemukan “formasi palsu”, yakni pemanfaatan arsitektur kebudayaan Yunani dan Romawi oleh Kristen sekedar sebagai bahasa untuk menciptakan kesadaran keimanan baru. Dalam konteks ini, wacana Kristen menjadi substansinya, sedangkan wacana Yunani dan Romawi sebagai bentuk atau bungkusnya saja. Dengan demikian, wacana Kristen mejadi ilmu tujuan, wacana Yunani dan Romawi menjadi teks ilmu perantaranya. Kemungkinan hasil penelitiannya, Hanafi menemukan “substansialisasi palsu,” yakni pemanfaatan Kristen oleh budaya Yunani-Romawi merupakan bahasa baru untuk mengartikulasikan substansi Yunani-Romawi lama. Sedangkan kebudayaan Yunani-Romawi menjadi substansi dan Kristen sebagai bentuk atau bungkusnya sehingga Yunani- Romawi menjadi ilmu tujuan, Kristen menjadi ilmu perantaranya. Dalam konteks dialektika ini, istilah teks substansialisasi palsu dan teks formasi palsu tidak jauh berbeda dengan istilah ‘Tuhan Socrates’ dengan ‘Tuhan al-Masîh.’
Hanafi memaparkan bahwa sumber kesadaran Eropa ini bertujuan untuk membuktikan kemungkinan kedua, yakni “substansialisasi palsu” pada masa terbentuknya ajaran pendeta geraja dari abad ke-1 hingga abad ke-7. Secara gradual “substansialisasi palsu” berubah menjadi “formasi palsu” pada wacana teks Skolastik dari abad ke-8 hingga abad ke-14. Perubahan “formasi palsu” ini mencapai puncaknya pada abad modern ketika aliran idealisme transendental secara substansial kembali ke “khotbah di atas bukit,” meskipun secara formal masih bernuansa Yunani kuno. Melalui Yunani Stoicism, bungkus Kristen mewujudkan substansi pagan Yunani di era Romawi saat itu.
Kronologis abad modern, berawal berjayanya substansialisasi palsu atas formasi palsu, yakni keberakhiran wacana teks Skolastik yang ditandai oleh perubahan dari teologi ke ontologi, filsafat alam ke empirisme, prioritas kehendak Tuhan ke prioritas kehendak manusia, penyatuan kuasa Gereja dengan kuasa negara ke pemisahan kedua kekuasaan: sekulerisme. Inilah tanda kemunculan abad modern. Awal abad ini (masih abad ke-14) di dahului tokoh seperti dens Scot yang berargumen bahwa pengetahuan bersumber dari indra dan alam diatur Kronologis abad modern, berawal berjayanya substansialisasi palsu atas formasi palsu, yakni keberakhiran wacana teks Skolastik yang ditandai oleh perubahan dari teologi ke ontologi, filsafat alam ke empirisme, prioritas kehendak Tuhan ke prioritas kehendak manusia, penyatuan kuasa Gereja dengan kuasa negara ke pemisahan kedua kekuasaan: sekulerisme. Inilah tanda kemunculan abad modern. Awal abad ini (masih abad ke-14) di dahului tokoh seperti dens Scot yang berargumen bahwa pengetahuan bersumber dari indra dan alam diatur
Arsitektur modernitas dapat dilihat melalui arsitektur teks pemahaman tentang Misa ala Romawi paganis yang sebenarnya merupakan ritus agama Romawi dan upacara kekaisaran yang ditransformasikan ke dalam “perjamuan Kudus” dalam agama baru dan yang mengakibatkan terhapusnya syi’ar agama tersebut harus mengakhiri aktivitasnya dan digantikan oleh kesakralan non Romawi yang sederhana dan didasarkan pada kegiatan pemikiran, kontemplasi dan doa-doa. Bahasa Latin yang dianggap sakral diganti dengan bahasa Jerman dan Perancis. Nasionalisme seperti Jerman lebih diunggulkan daripada ritus agama. Di tangan Luther, Perjanjian Lama dirubah bahasanya dari Latin ke bahasa Jerman. Luther menolak peran gereja sebagai mediator yang menghubungkan manusia dengan Tuhan. Luther berargumen keselamatan manusia hanya dapat dicapai dengan iman bukan dengan amal perbuatan, rahasia, dan ritus-ritus. Argumen berikutnya menyebutkan bahwa rahmat Tuhan yang didapat manusia tidak melalui Geraja, tetapi dapat terjadi langsung dari Tuhan ke manusia. Jadi Gereja diperuntukan untuk jiwa bukan raga. Hakekat agama dibangun langsung dari injil, bukan dari Gereja. Luther sepakat dengan teori hukum alam, kecenderugan humanisme, dan perdagangan bebas. Tokoh lainnya seperti Zwingli dan Calvin berpendapat bahwa Tuhan hadir dalam setiap benda dan dosa asal itu ada. Ketentuan medahului kehendak Tuhan dan mereka berpendapat bahwa dosa dapat dihapus melalui cara pertukaran. Calvin adalah aliran Kristen Protestan yang menyuarakan kebutuhan kelas elit terhadap pemikiran baru dan mewakili borjuisme masa itu. Kemunculan Calvinisme ini muncul ketika era awal kapitalisme. Max Weber merupakan penganut Calvinisme yang karyanya, “Etika
Protestan” meneguhkan bahwa zuhud, taqwa, dan akhlak mulia mendorong kapitalisme modern Barat. Inilah sebuah perjalanan awal dari alam modernitas.
Masa modern (kebangkitan) merupakan mata rantai sesungguhnya yang menghubungkan (patahan/diskontinuitas) abad pertengahan kesadaran Eropa dengan abad modern. Masa ini sebagai bagian dari sejarah Eropa, sebagai perwujudan revolusi terhadap masa lalu, sebagai pertanda bagi kemunculan masa datang, dan sebagai zaman humanisme Barat. Masa kebangkitan dapat diartikan sebagai kemampuan Eropa dalam memperoleh temuan-temuan di bidang kemanusiaan, alam, dan agama dengan mengandalkan upaya akal dan kemampuan melihat alam. Pada masa ini yang memicu ke ranah perkembangan ilmu pengetahuan modern Barat adalah lima aliran pemikiran: Lorenzo Falla, Picco della mirandolla, Utopianisme, dan ilmu empiris baru yang berhasil menciptakan ilmu astronomi, kedokteran, psikologi, dan fisika yang jauh dari apriori dan yang memberikan ciri khusus kepada abad modern sebagai abad ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan melebar ke ilmu politik yang didasarkan pada penolakan terhadap kekuasaan agama, perlunya pemisahan Gereja dan Negara: sekulerisme, dan perlunya pembangunan masyarakat sipil sekuler yang modern: civil society. Munculnya Lorenzo Valla yang mengedepankan kebebasan kehendak (free will). Dari sini, menguatlah kaum reformis yang menginginkan pembangunan masyarakat sipil (civil society) berdasarkan kebebasan kehendak rakyat (free will of civilian), dan saat itu Suarez adalah tokoh yang terberani –yang kembali membentuk aristotelianisme Kristen. Suarez berargumen bahwa esensi fisika bersifat tunggal bukan karena bentuk atau materinya, tetapi karena satuan-satuan universalnya. Ruh merupakan dasar yang penting bagi kehidupan seluruh makhluk biologis, baik secara empiris maupun secara rasional. Suarez menyimpulkan bahwa kehendak adalah keinginan akal dan kebebasan yang dipilih (free will). Karenanya manusia harus bertanggung jawab atas perbuatanya. Dalam bidang politik, Suarez menentang hak-hak ketuhanan bagi raja. Pemikiran politiknya banyak mempengaruhi Descartes, Spinoza, Leibniz dan Schopenhauer. Pemikiran politik masa kebangkitan mengambil dua bentuk: realis (realpolitik) Masa modern (kebangkitan) merupakan mata rantai sesungguhnya yang menghubungkan (patahan/diskontinuitas) abad pertengahan kesadaran Eropa dengan abad modern. Masa ini sebagai bagian dari sejarah Eropa, sebagai perwujudan revolusi terhadap masa lalu, sebagai pertanda bagi kemunculan masa datang, dan sebagai zaman humanisme Barat. Masa kebangkitan dapat diartikan sebagai kemampuan Eropa dalam memperoleh temuan-temuan di bidang kemanusiaan, alam, dan agama dengan mengandalkan upaya akal dan kemampuan melihat alam. Pada masa ini yang memicu ke ranah perkembangan ilmu pengetahuan modern Barat adalah lima aliran pemikiran: Lorenzo Falla, Picco della mirandolla, Utopianisme, dan ilmu empiris baru yang berhasil menciptakan ilmu astronomi, kedokteran, psikologi, dan fisika yang jauh dari apriori dan yang memberikan ciri khusus kepada abad modern sebagai abad ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan melebar ke ilmu politik yang didasarkan pada penolakan terhadap kekuasaan agama, perlunya pemisahan Gereja dan Negara: sekulerisme, dan perlunya pembangunan masyarakat sipil sekuler yang modern: civil society. Munculnya Lorenzo Valla yang mengedepankan kebebasan kehendak (free will). Dari sini, menguatlah kaum reformis yang menginginkan pembangunan masyarakat sipil (civil society) berdasarkan kebebasan kehendak rakyat (free will of civilian), dan saat itu Suarez adalah tokoh yang terberani –yang kembali membentuk aristotelianisme Kristen. Suarez berargumen bahwa esensi fisika bersifat tunggal bukan karena bentuk atau materinya, tetapi karena satuan-satuan universalnya. Ruh merupakan dasar yang penting bagi kehidupan seluruh makhluk biologis, baik secara empiris maupun secara rasional. Suarez menyimpulkan bahwa kehendak adalah keinginan akal dan kebebasan yang dipilih (free will). Karenanya manusia harus bertanggung jawab atas perbuatanya. Dalam bidang politik, Suarez menentang hak-hak ketuhanan bagi raja. Pemikiran politiknya banyak mempengaruhi Descartes, Spinoza, Leibniz dan Schopenhauer. Pemikiran politik masa kebangkitan mengambil dua bentuk: realis (realpolitik)
Pada masa kebangkitan ini, ilmu pengetahuan menjadi aliran utama. Kehadiran ilmu pengetahuan memberikan bungkus teoritis alternatif dan untuk menguasai realitas dengan teori-teori yang lebih akurat dari pengetahuan lama yang secara empiris telah terbukti kesalahannya. Jadi argumennya adalah hanya manusialah yang mempunyai kehendak untuk berteori bukan Gereja atau agama. Dengan adanya kemunculan Pompanazzi yang melakukan pembacaan kembali Aristotelianisme secara materialistik, yang berlawanan dengan filsafat Skolastik. Adanya kemunculan Telesio yang meneguhkan kembali paham materialisme. Munculnya astronomi modern yang diciptakan oleh Copernicus dan pendukungnya Giordano Bruno dan sepemikiran dengan Nicolas de Cusa. Penutupan inovasi ilmu pengetahuan diakhiri oleh Kepler yang bertema matematika dan Galileo yang mengedepankan keilmiahan, mengubah ilmu menjadi matematika, dan ide tentang pemisahan antara teologi dan ilmu. Masa kebangkitan merupakan keberakhiran satu fase sekaligus dimulainya fase lain dalam kesadaran Eropa. Akhir fase pendasaran dan awal fase keterbentukan. Masa kebangkitan telah berhasil menciptakan keterputusan antara masa lalu dengan masa sekarang; mengubah masa lalu menjadi masa depan; melakukan kritis dan membebaskan diri dari pengaruh pengetahuan lama yang selama itu menjadi sumber ilmu dan standar perilaku; teosentrisme berubah menjadi antroposentrisme; pembahasan tentang keabadian ruh menjadi pembahasan tentang kareakteristik dan pembentukan raga (materialistik). Sebuah masa kelahiran fisiologi, biologi, anatomi, dan ilmu kedokteran modern. Kesadaran Eropa dapat melakukan inovasi baru setelah meninggalkan pengetahuan lama. Realitas dapat dilihat secara transparan. Bungkus teori yang selama ini menghalangi pandangan ego terhadap alam telah disingkirkan. Bungkus teori baru modern ini telah merubah secara radikal bangunan Gereja dengan bangunan baru negara-bangsa yang bersandar dengan prinsip-prinsip ilmiah.
Antroposentrisme adalah kesadaran pagan Eropa. Kesadaran pagan ini merupakan payung dari ilmu pengetahuan (sains), dominasi akal dari mitos dan agama, dan seluruh bentuk kebudayaan yang berkaitan dengan proyek pencerahan: modernitas. Dengan perjanjian politik maka terbentulah EU, berawal dari Congress of Europe berlangsung (1948), Churchill mengingatkan akan masa depan benua Eropa yang hancur akibat perang dan menyampaikan visinya akan European Dream –sebuah perasaan yang hadir pada setiap orang masyarakat Eropa untuk mengatakan “here I am at home” di Eropa. Pembentukan Treaty of Rome (1957) memulai mengingatkan kembali perasaan ke-Eropa-an mereka secara struktural dan legal-formal dalam formulasi European Community. Di Eropa sendiri diadakan survey oleh World Economic Forum terhadap para pemimpin Eropa bahwa ternyata 92 persen dari mereka melihat lebih melihat
wajah Eropa dari pada wajah kenegaraan mereka. 110 Perjanjian dalam penguatan formulasi EU terus berlangsung seperti berlangsungnya Maastricht Treaty (1992),
Amsterdam (1997), Nice (2001), Konvensi Eropa (2002) hingga peristiwa kegagalan referendum konstitusi EU di Perancis dan Belanda. Namun terlepas dari berbagai macam konflik kepentingan di dalam EU dan masyarakatnya, EU sebagai sebuah integrasi regional telah berdiri. Proses panjang ini hanyalah wajah dari formasi nostalgia konflik kepentingan jaman Hellenic dalam wacana demokrasi. Bagi artikel ini, EU sudah berjalan sebagai sebuah katakan saja romantisme demokrasi Hellenisme.
Problem modernisme terjadi ketika landasan yang prinsipal berupa rasio manusia menggerakkan bangsa Eropa saat untuk menaklukkan alam dan manusia
non-Eropa. 111 Perkembangan ini berkembang semakin jauh dengan bercirikan totalitas, yakni penyeragaman (uniformities) atau homogenisasi atas realitas. Oleh
sebab itu, pemahaman tentang makna realitas bagi kaum rasionalis adalah kebenaran yang objektif –kebenaran yang satu. Dalam tataran praktis, pergerakan sejarah dunia umat manusia –budaya, hubungan sosial, politik, dan komunikasi
110 Leonard Hutabarat, “Kegagalan Referendum Konstitusi Eropa: ‘Quo Vadis’ Uni Eropa?” dalam Jurnal Global, Vol. 8, No. 1, November 2005.
111 Milton J. Belasco & Patricia R. Reilly, Basic World History, (Inggris: Cambridge Book Company), hlm. 127-143.
dalam bentuk dan wadah yang sama dan satu. Jadi totalitas ini akan membentuk konvergensi budaya modern dunia internasional. 112 Kritik kaum post-modernist
terhadap wacana modernitas memberikan sebuah kehancuran diri sendiri (self- destruction). Kritik atas Rasionalitas Eropa (Barat) mengalami nihilisme, karena melampaui rasionalitas merupakan hal yang mustahil bagi teoritisasi Barat. Salah satu penginspirasi post-modern, Nietzsche sudah mengumandangkan kematian Tuhan, kematian ilmu pengetahuan dan kematian bahasa, sehingga dia berbelok
ke mitos pagan Persia. 113 Problematika wacana modernisme ini berusaha dipecahkan oleh kaum
post-modernist dan post-structuralist lainnya. Mereka berusaha memaparkan kondisi dunia post-modern. Dunia ini menampilkan sebuah fenomena dunia
internasional yang absurd sekaligus reasonable, real sekaligus hiper-real, ada sekaligus tiada, us sekaligus liyan (otherness). Mereka berusaha menampilkan
relasi oposisi biner 114 yang berlangsung dalam satu dunia. Pemaparan ini diungkapkan agar bisa keluar dari kerangka oposisi biner yang tengah menjebak
dunia internasional, sehingga implikasinya menciptakan dunia wilayah pemahaman: Negara Utara sekaligus Negara Selatan, Negara terbelakang sekaligus Negara Maju dan Negara Imperial sekaligus Negara Kolonial, Barat sekaligus Timur, Oriental sekaligus Oksidental.
Jean-Francois Lyotard, dalam karyanya yang kontraversial di kalangan ilmuwan Amerika dan Perancis, “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge” (1992) menjelaskan bahwa dalam menghadapi narasi besar – istilahnya metanarrative atau grand narrative atau master-narrative, kita harus menciptakan atau memunculkan wacana narasi kecil –istilahnya smallnarrative. Sebenarnya Jean-Francois Lyotard sudah sejak tahun 1980 menyeru tentang “incredulity toward metanarratives”, yakni ketidakpercayaan terhadap narasi
112 Tradisi pemikiran ini adalah khas Kantian dan Hegelian yang merupakan salah satu dari pelopor teori kritis. Sebelumnya sudah penulis jabarkan di sejarah teori kritis.
113 Robinson, op.cit. 114 Semua pemikiran post-structuralist dan post-modernist mengarah pada penjelasan opisisi biner
sebagai kerangka modernisme dan keluar dari modernisme yang berarti keluar dari oposisi biner. Lihat karya Yasraf Amir Piliang, Hiper-Realitas: Kebudayaan, (Yogyakarta: LKiS, 1999) di dalam karyanya ini, Yasraf memaparkan konsep dan istilah kaum post-modernist dan post- structuralist , khususnya konsep oposisi biner.
besar. Menurut Lyotard, ketidakpercayaan tersebut merupakan produk kemauan pengetahuan ilmiah. 115 Hal tersebut merupakan dasar dari ketidakpercayaan itu.
Untuk lepas dari ‘lingkaran setan’ itu, alternatif penjelasan terakhir Lyotard adalah menggunakan analisis bahasa (intertektualitas) sebagai salah satu cermin
dunia. Lebih tepatnya adalah permainan bahasa 116 yang dipraktekkan oleh komunitas kecil –kepastian lokal (local determinism) seperti komunitas lokal.
Wacana metanarrative terdiri dari tradisi pemikiran modernitas dan anti modernitas. Bagian ini akan dipaparkan lebih jelas dalam kasus wacana perlawanan (anti-modernitas/anti-globalisasi) atas metanarrative modernitas (globalisasi/kapitalisme) yang diwujudkan oleh sebuah gerakan perlawanan terhadap metanarrative modernitas. Kondisi dramatis perlawanan terhadap metanarrative modernitas terjadi di Genoa (2001), Quebec City (2001), Prague
(2000), Seattle (1999). 117 Narasi metanarrative anti-modernitas terhadap metanarrative modernitas terlihat secara empirik bercerita tentang aktivisme
berbagai negara sebagai warga dunia dalam mengkritik World Trade Organization (WTO). Semua gerakan resistensi partikular yang bersatu sebagai metanarrative anti-modernitas ini mengagendakan penghapusan rejim internasional di level global, karena jika tidak dihapus, maka dunia akan digadaikan kepada para kaum kapitalis atau borjuis liberalis atau sistem kapitalisme. Namun narasi-narasi tersebut seringkali berakhir dengan bentrok, anarkhisme dan kondisi chaos. Contoh narasi lainnya, Geneva pada tanggal 29 November 1999—massa protes, termasuk di Perancis yang dipimpin oleh presiden Jacques Chirac dalam melawan globalisasi, WTO, dan putaran millennium negosiasi perdagangan. Sekitar 20,000 orang berdemontrasi di Paris dengan ikon "against the logic of WTO" dan ikon "the world is not a commodity." Di New Delhi sekitar 300 representatif orang asli
115 Semenjak era filsuf Rene Descartes, Pasca-Copernicus sampai dengan tatanan ilmu pengetahuan positivisme, tradisi Kantian, Hegelian, dan proyek modernitas puncak yang
ditindaklanjuti oleh kaum teori kritis dari mazhab Frankfurt Jerman. 116
Lihat beberapa karya Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Tractatus Logico-Philosophicus dan Philosophical Investigations. buku pertamanya menjelaskan tentang pentingnya logika bahasa. Struktur logika bahasa menentukan struktur realitas dunia. Karya keduanya melanjutkan karya pertamanya dengan menekankan tentang tata permaian bahasa dan kontektualisasinya pada realitas. Setiap realitas dan konteks mempunyai tatanan permainan bahasanya sendiri.
117 Robin Broad, Global Backlash: Citizen Initiatives for A Just World Economy, (Oxford: Rowman&Little Publishers Inc, 2002), hlm. 2.
India –tepatnya Sentral Indian State of Madhya Pradesh memprotes Bank Dunia dan WTO. Selain gerakan itu, representasi dari gerakan National Alliance of People dan organisasi dari Orissa, Bihar, Uttar Pradesh, Maharashtra and aktivis
dari Delhi juga berpartisipasi dalam demonstrasi tersebut. 118 Di Canada ratusan organisasi telah bergabung dalam aliansi meneriakan Agenda Rakyat (a Citizen’s
Agenda) untuk merebut kembali kontrol-kontrol korporasi-korporasi internasional terhadap pemerintah. Di Chile dengan Sustainable Chile berusaha melepaskan diri dari diskursus metanarrative neoliberalisme. Di Cancun, Mexico, 10-14 September 2003, mobilisasi untuk melawan WTO pun sudah berproses sejak 15 Desember 2002. Di Mexico City pada tanggal 15 dan 16 of November dan
mengadakan strategi untuk mendiskusikan pendekatan kita pada pertemuan 5 th Ministerial Meeting of the World Trade Organization.
Semua gerakan anti metanarrative modernitas menentang kebijakan metanarrative modernitas akhirnya menimbulkan kerugian bagi warga dunia
sendiri, karena begitu banyak korban yang jatuh dan tindakan kekerasan pun kerap terjadi. Jadi premis yang muncul dari oposisi biner rasio modernitas: semakin kuat gerakan-gerakan metanarrative modernitas menancapkan wacananya di dunia internasional, semakin kuat pula gerakan metanarrative anti- modernitas memprotes, menghujat, mendemo, dan mengkritisi wacana itu. Peristiwa ini memberikan gagasan agar bisa keluar dari oposisi biner metanarrative rasio modernitas. Oleh sebab itu, kasus wacana Community Supported Agriculture (CSA) bisa memberikan alternatif yang dinamakan sebagai smallnarrative, yakni komunitas pertanian di Amerika Serikat. Ilustrasi singkat dari CSA adalah sebuah komunitas yang memanfaatkan potensi alam dan bersahabat dengan alam, tanpa memeras, mengeksploitasi dan mengakapitalkan alam.ruang lingkupnya terfokuskan paa aspek pertanian sebagai bentuk awal dari peradaban. Wacana CSA memberikan pemahaman unik, khususnya
118 http://www.twnside.org.sg/title/delhi-cn.htm . Jika ingin menghubungi gerakan anti-globalisasi hubungi [email protected]. diakses pada tanggal 7 Maret 2005, pukul 19.47 wib.
membahasakan teksnya, dalam memahami tentang sistem ekonomi, relasi manusia dengan alam dan tafsir terhadap alam dan dunia. 119
Wacana CSA memberikan displacement yang cukup unik dan signifikan di dunia pascamoderen: pertama, dari aspek epistemologi/pengetahuan, wacana metanarrative modernitas berupa metodologi positivisme dikonstruksikan ke metodologi fenomenologi. CSA menunjukan pergeseran hubungan antara subjek pengetahuan (petani) dan objek (pengetahuan) ke pemahaman kesatuan pengetahuan subjek. Secara empirik, petani dan pengolah pertanian berhubungan dengan alam—ruang CSA, tanah, bibit, dan semua bentuk yang dihadapinya menjadi subjek pula. Hubungan tersebut menghilangkan pemisahan antara subjek dan objek, sebaliknya menjadi penyatuan petani dengan alam. Lain halnya metodologi metanarrative modernitas yang menganggap bahwa alam sebagai objek yang terpisah dari subjek (pengetahuan) dan menganggap alam sebagai objek material (pengetahuan) yang objektif. Dalam konteks ini kita bisa lihat tradisi pemikiran HI rasionalisme yang menggunakan pendesaran rasio Eropa, baik metode induksi maupun metode deduksi, baik atas dasar verifikasi maupun atas dasar falsifikasi. Tradisi pemikiran seperti ini justru mengakibatkan kehancuran alam dan ketimpangan hubungan antara manusia dan manusia. Kaum rasionalis mempunyai pandangan bahwa alam dan demikian juga manusia yang dijadikan sebagai objek, maka secara legal-formal dan normal sudah seharusnya dieksploitasi, dikontrol dan dikuras habis-habisan untuk kebaikan subjek pengetahuan. Terkait dengan formasi diskursif ini, wacana CSA menggunakan metode eksistensial: prereflektif dan reflektif, sehingga wacana CSA cukup dalam pemahamannya, artinya bukan melihat sesuatu atas dasar rasio dan unsur-unsur yang berasal dari luar (out there)–materialisme dan realisme, tetapi unsur-unsur dari dalam diri manusia sendiri–eksistensial, sehingga alam pun demikian juga manusia dihadapkan dan diperlakukan sebagai dirinya sendiri.
119
http://geologyandgeography.vassar.edu/projects/saed/Espar.htm , tanggal 9 Maret 2005, pukul 19.20 wib.Lihat juga Daniel Imhoff, Community Supported Agriculture: Farming With a Face on It, dalam Jerry Mander dan Edward Goldsmith (ed) The Case Against The Global Economy and For a Turn Toward The Local, ( San Fransisco: Sierra Club, 1996) dan http://www.nativityepiscopalchurch.org/scene/summer2003/july03_files/page0002.htm , diakses pada tanggal 9 Maret 2005, pukul 19.20 wib.
Kedua, dari aspek ontologi, wacana metanarrative masih melihat alam sebagai keberadaan material–sebuah alat dan fungsi untuk dikuras, dieksploitasi, dan memenuhi kebutuhan subjek (pengetahuan), seperti kaum (neo) realis yang berusaha mengontrol manusia satu dengan yang lainnya dengan tindakan strategis, kaum (neo) liberalis yang berusaha mengontrol alam dengan tindakan instrumental. Sebaliknya, wacana CSA justru melihat alam sebagai sesuatu yang sangat spiritual, artinya mempunyai makna yang cukup eksistensial, sehingga melihatnya lebih pada peristiwa mistis keseharian. Ontologi alam ditafsirkan sebagai tubuh subjek (pengetahuan) sejarah bersama alam. Dengan demikian, muncul sebuah pemahaman, seperti apabila tanah CSA dialiri bahan kimia, tanaman disemprot pestisida, dan menghasilkan hasil panen dari bibit genetik, maka para petani dan konsumen CSA sama halnya telah meracuni dirinya sendiri dan secara perlahan membunuh dirinya sendiri.
Ketiga, dari aspek aksiologi, wacana metanarrative modernitas masih mempertahankan bahwa kesenangan berasal dari luar–nilai-nilai hedonisme dan
sains yang menganut prinsip bebas nilai. Wacana semacam ini mengakibatkan kehampaan manusia modern (nihilisme), kerusakan alam, kekerasan struktural, dan kepalsuan hidup–istilahnya Boudrillard adalah hiper-reality. Wacana CSA memberikan sebuah pemaknaan kembali secara mendalam terhadap dunia- kehidupan, yakni adanya aktivitas sosial berupa voluntarisme, saling merawat, salaing memahami, baik sesama manusia maupun alam yang bagian dari manusia, saling membantu (gotong royong), pencarian diri yang otentik. Teks bebas nilai kaum rasionalis HI dirubah oleh teks CSA menjadi nilai yang sangat subjektif dalam diri manusia untuk memperoleh eksistensi diri. Aktivitas ini adalah fenomena etis baru yang terkadang dalam kearifan lokal muncul sebagai tawaran etika partikular dan inspiratif.
Praktik perekonomian di CSA, produksi CSA tidak diarahkan pada industrialisasi dan kuantitas hasil pertanian besar-besaran yang kemudian diekspor, dan di data statistik seperti halnya aturan main rejim internasional, tetapi mengacu pada keanekaragaman hayati, kesegaran, kealamiahan, dan memenuhi standar kesehatan mereka secara komunal atas dasar nilai-nilai etis mereka.
Demikian pula kaum CSA yang tidak memposisikan dirinya sebagai kaum kapitalis atau enterprener (subjek ekonomi) yang melakukan eksploitasi aset alam, khususnya lahan pertanian, petani dan buruh, tetapi kaum CSA adalah ras manusia seutuhnya. Kaum CSA memelihara aset tanah sebagaimana merawat dan melestarikan tubuhnya sendiri, dan hubungan produser dengan konsumen pun terjadi kesepakatan-kesepakatan dalam mengembangkan keanekaragaman hayati sebagai prioritas utama atas dasar kesepakatan melalui proses saling tukar menukar pengetahuan, self-understanding. Konsumsi CSA pun cukup memberikan sumbangsih peranannya dalam menentukan produksi pertanian dan terkait pula dengan konsekwensi-konsekwensi atas hasil panen. Sebaliknya wacana metanarrative modernitas yang mengaklaim terhadap proses yang progress, percaya terhadap kemajuan, perkembangan dan hidup yang lebih baik justru jatuh pada kondisi yang tidak jelas, seperti tidak jelas orang yang memproduksinya, tempat produksinya dan konsumen ditentukan oleh produser yang tak nampak dan tak berhubungan langsung. Dalam diskursus metanarrative, produser adalah subjek penentu pengetahuan dengan dualisme Cartesian yang menutup kemungkinan konsumen untuk mengembangkan gagasan-gagasan tentang produksi pertanian. Teks tersebut membawa wacana metanarrative ini lebih mengutamakan faktor memenuhi standarisasi rejim internasional seperti WTO. Arahnya pada ekspansi pasar dan ekspor-impor hasil panen untuk menaikan data statistik perekonomian Negara, sehingga konpetisi tetap bergerak ke arah yang menurut klaim mereka maju dan progresif menuju kebaikan bersama. Berbeda dengan komunitas kaum CSA yang hanya bergerak dalam level komunitas lokal dan meenuhi penghayatan kehidupan mereka, yakni harmonisasi manusia dan alam. Distribusi hasil panen sebagian besar diputar dalam komunitas CSA dan sebagian kecil dijual di supermarket terdekat. Distributor komunitas CSA dapat dikatakan tidak ada, karena hubungan yang terjadi adalah hubungan langsung antara petani dan konsumen. Hal ini berbeda dengan hubungan produsen dan konsumen dalam kerangka liberalisme. Kerangka ini menjadikan faktor produksi susah untuk diidentifikasikan oleh konsumen. Konsumen tidak melihat faktor produksi itu diolah dan didistribusikan.
Narasi alternatif wacana CSA ini adalah teks yang berusaha keluar dari mainstream metanarrative. Dari aspek pertanian, formasi diskursif CSA dapat mengkritik tradisi pemikiran metanarrative di HI, seperti kritik terhadap formasi diskursif strategisnya (neo) realisme, rasio instrumentalnya (neo) liberalisme, rasio kritisnya (neo) marxisme, rasionalisme, konstruktivisme, teori internasinal kritis dan kaum post-modernist nihilis. Semua pijakan mereka adalah formasi diskursif Barat, khususnya wacana CSA yang masih mempunyai wajah Barat, belum wajah Timur. Dengan kata lain, wacana CSA hanyalah sebuah teks kaum komunitas Amerika Serikat yang berusaha melawan tanpa kekerasan gerakan metanarrative (modernitas/anti-modernitas) yang ada Di bawah ini, penulis akan menjelaskan tentang wacana alternatif seperti model CSA untuk keluar dari teks opisisi biner: metanarrative modernitas dengan anti metanarrative modernitas, tetapi dalam kerangka studi pascakolonialisme. Studi ini mempunyai keunikan tersendiri, karena mengangkat kaum marginal, kaum terpinggirkan, kaum yang diklaim atau dianggap gila, aneh, ganjil, irasional oleh kuasa dominan pengetahuan di era sekarang ini dari wilayah yang selama ini terkoloni oleh kaum imperalis di Barat. Nampaknya kaum kolonial ini, sekarang sedang berusaha ‘melukis’ dirinya, tanpa adanya campur tangan ‘pelukis’ dari Barat atau kaum orientalis. Berdasarkan pijakan karya Edward Said, Orientalism (1979) dan ilmuwan pascakolonialisme, bagian ini akan menjelaskan lebih mendalam tentang studi pascakolonialisme.
Studi pascakolonialisme di bawah ini akan mengusung suara terbungkamnya kaum saminis dari Timur, Negara Dunia Ketiga, Indonesia. Studi ini adalah representasi dari wacana Negara Dunia Ketiga seperti Indonesia agar akar wacananya dapat terrepresentasikan dan di masa depan mempunyai kemungkinan menjadi sebuah landasan tradisi pemikiran HI Indonesia. Mungkin juga tradisi school of thought HI Indonesia berusaha diawali dengan studi ini. Studi ini berbeda dengan wacana CSA dan pascakolonialisme HI Amerika Serikat, sebab otentisitas ke-Timur-an berusaha disuarakan, sehingga partikularisme pemikiran HI Barat dapat diperlengkapi dengan partikularisme pemikiran HI Negara Dunia Ketiga. Untuk dapat keluar dari opisisi biner Barat-
Timur, sebenarnya kita sudah melihat pluralisme dalam tradisi pemikiran HI, seperti perbedaan formasi diskursif pemikiran HI Amerika Serikat dan Eropa yang beragam, memperlihatkan kepada kita bahwa perbedaan antara Barat dan Timur tidak beralasan. Dengan kata lain, keberagaman tradisi pemikiran HI tidak hanya berakar dari tradisi Barat, tetapi tradisi pemikiran HI bisa muncul dari formasi diskursif India, Cina, Islam, Malaysia dan Indonesia. Hal ini sangat penting agar perkembangan tradisi pemikiran HI dapat terus bergejolak, bergerak, dinamis dan terus berkreasi. Selain itu, tradisi ini memunculan solusi alternatif yang beragam, bukan homogen seperti sekarang—yang didominasi oleh tradisi pemikiran Amerika Serikat dan Eropa kontinental. Di bawah ini, penulis hanya akan merepresentasikan salah satu wacana unik, yang mempunyai potensi bagi SHI di Indonesia untuk berkembang. Selain perkembangan studinya, perkembangan tradisi pemikirnya pun akan lebih terbuka wawasannya, sehingga partikularisme tradisi pemikiran HI Amerika Serikat dan Eropa Kontinental dapat dipatah. Dengan kata lain, smallnarrative tradisi pemikiran HI yang selama ini ditindas, dibungkam, dikubur, dihegemoni dan didominasi oleh tradisi pemikiran HI Amerika Serikat dan Eropa Kontinental bisa disepadankan atau posisinya menjadi egeliter dengan tradisi-tradisi pemikiran HI lainnnya—yang baru dimunculkan setelah sekian lama hilang, beku.