1. Konseptualisasi Studi Pascakolonialisme

IV. 1. Konseptualisasi Studi Pascakolonialisme

Akhyar Yusuf Lubis dalam Dekonstruksi Epistemologi Modern di bagian bab-bab terakhir menjelaskan tentang teori pascakolonialisme. 120 Secara

etimologi, Lubis menjelaskan istilah pascakolonialisme dengan menekankan pada konsep colonia, yakni berasal dari jaman Romawi yang berarti “tanah pertanian” atau makna lainnya berarti “pemukiman.” Istilah ini sesuai dengan pemaknaan sejarah jaman Romawi dahulu. Orang-orang Romawi yang tinggal di negeri- negeri lain. Lubis juga mengambil rujukan dari Oxford English Dictionary dalam penjelasannya. Referensi ini menjelaskan koloni sebagai suatu komunitas di dalam negeri baru; terbentuknya komunitas yang masih loyal, berhubungan dengan wilayah asalnya; pemukiman asli beserta keturunannya, penggantinya yang masih mempunyai ikatan dengan asalnya.

Lubis mengutip pemahaman Ania Loomba tentang konsep kolonialisme (colonialism). Sebelumnya pemahaman kolonialisme tidak dimaknai sebagai ide penindasan, penaklukan dan marginalisasi entitas tertentu. Namun masalah hadir ketika terjadi pembentukan sebuah komunitas yang ada di spasial area tertentu

120 Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006), bagian keempat.

melalui praktik-praktik penjajahan dengan media perdagangan, penjarahan, negosiasi, perang, pembunuhan missal, perbudakan, pemberontakan, pemaksaan budaya penjajah, dll. Peristiwa ini diabadikan melalui narasi interteks seperti karya-karya sejarawan, catatan pribadi seseorang, dokumen, arsip, manuskip, karya sastra, karya ilmiah, dll. Praktik-praktik ini menjadi suatu studi khusus yang justru mengalami institusionalisasi, sehingga bagi para ilmuwan dan peneliti yang berminat memunculkan studi kolonialisme dan studi pascakolonialisme. Menurut Lubis, praktik-praktik kolonialisme ini tidak hanya berupa penaklukan dan penguasaan tanah oleh kuasa Eropa terhadap Asia, Afrika dan Amerika sejak abad ke-16, tetapi lebih luas dimaknai sebagai penaklukan yang dilakukan oleh kekaisaran Romawi, bangsa Mogul, Cina, dll. Perubahan pemahaman tentang kolonialisme dibawa oleh kuasa Eropa yang mengubah seluruh dunia sejak jaman pencerahan. Kuasa Eropa mempunyai praktik-praktik kolonialisme yang cukup berbeda dengan para penakluk atau kolonial sebelumnya.

Gading Sanipar dalam “Mendefinisikan Pascakoloialisme?” memahami Loomba dari sisi lainnya, berbeda dengan Lubis. Sanipar justru mengutip teks Loomba yang mengkritik studi pascakolonialisme selama ini sebagai suatu kejelasan terhadap studinya. Saniper mengutip Loomba yang menjelaskan bahwa studi pascakolonialisme itu sebaiknya jangan terlalu sering keberja pada pengertian bahwa kolonialisme adalah satu-satunya sejarah dari masyarakat- masyarakat tersebut. Namun sebaiknya menegok pula sejarah yang tengah diukir sebelum ‘pemerintah’ kolonialnya, sehingga terjadi suatu pemahaman a-historis yang terungkap di wilayah jajahan (koloni), ketika kaum kolonialis itu berusaha memotong tradisi sejarah (pemikiran) koloni tersebut sebagai pipa penerus tradisi sejarahnya (pemikirannya/budayanya). Dengan demikian, benturan antara tradisi sejarah pemikiran sebelum dengan tradisi pemikiran yang tengah ada yang kemudian berlangsung terus dapat ditengeri (ditandai). Hal ini sangat signifikan dan penting agar para kolonialis (baca: Barat) tidak disalahkan—toh jika

disalahkan pun tidak sepenuhnya. 121 Hal ini senada dengan pemahaman Marx

121 Gading Sianipar dkk., “Mendefinisikan Pascakolonialisme?” dalam Hermenutika Pascakolonial , (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 8.

tentang kemunculan praktik-praktik kolonialisme sebelum dan ketika jaman (sistem) kapitalisme hadir di Eropa.

Lubis memaparkannya bahwa pemahaman Marx tentang keunikkan kuasa kolonial Eropa pun dijelaskan oleh Loomba dengan baik. Dia menjelaskan bahwa praktik kolonial model sebelum Eropa masih dipengaruhi oleh praktik-praktik diskursif di jaman pra kapitalisme, sehingga penguasaan para penakluk hanya pada sumber-sumber material berupa sumber alam seperti tanah, pembayaran upeti dan rempah-rempah. Praktik-praktik diskursif di jaman kapitalisme Eropa justru melebar ke tatanan sistem perekonomian, sistem kenegaraan, sistem budaya dan kehidupan kesehariannya, sehingga muncul praktik-praktik perbudakan, pegawai/buruh kontrak, faktor produksi, distribusi dan konsumsi dan simbol uang menjadi suatu barang yang signifikan. Sedangkan Said yang akan disinggung di bawah lebih luas lagi menjelaskan bahwa Eropa (1914) telah menguasa 85% wilayah bumi ini sebagai koloni, perlindungan, dominasinya dan persemakmurannya. Oleh sebab itu lahirlah studi pascakolonialisme, yakni muncul istilah post yang dihubungan dengan istilah kolonialisme setelah sekian

lama sejarah menorehkan praktik-praktik penaklukan atau kolonialisme. 122 Istilah post yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai pasca

memang mudah dilakukan selama ini mengandung makna transisi suatu periode atau epoch saja, tetapi jika istilah itu menjadi makna yang lebih kompleks lagi, maka istilah itu sebaiknya tetap ditulis apa adanya. Banyak entitas yang ditandai dalam memaknai istilah post. Hal ini identik dengan problem istilah post dalam post-modernism. Dalam konteks ini istilah awalan “post” menimbulkan banyak perdebatan: Lyotard dan Gellner memahaminya sebagai pemutusan hubungan pemikiran yang total dari segala yang berbau atau bernuansa modern; David Griffin memaknainya sebagai koreksi entitas-entitas tertentu saja dalam spasial kemodernan; Baudrillard, Derrida dan Faucault memaknai sebagai bunuh diri modernitas terhadap dirinya sendiri; Giddens memaknainya sebagai proses kontemplasi dari diri kemodernan; Habermas memaknainya sebagai proyek

Lubis , op.cit., hlm. 204.

modern yang belum selesai. 123 Istilah post ini juga menandakan sebuah serangan kaum seniman terhadap seni-seni modern yang mengklaim sebagai karya avant-

garde (1920an)—khususnya Dada dan surealisme, juga konstruktivisme, dkk. Namun Scott Lash tidak mempercayai pandangan sejarawan kritis Peter Bürger di atas ini. Argumen Lash justru sepakat dengan pemahaman Walter Benjamin di mana semua seni mempunyai aura, tetapi berbeda-beda. Wilayah modern dan wilayah post-modern mempunyai aura yang berbeda, tetapi tetap mempunyai aura. Jadi tidak berarti seni modern bersifat tanpa aura atau mempunyai nilai seni yang kering. Dengan kata lain, seni modern tidak berarti tidak unik dan hampa, sedangkan seni post-modern menampilkan sebaliknya, tetapi mereka keduanya

sama-sama unik saja. 124 Post dalam konteks pemaparan di atas mempunyai implikasi luas dan praktik diskursif yang berbeda-beda. Lubis memaparkan

beberapa karya: Frederic Jameson, Postmodernism, or the Cultural Logic of Late Capitalism (1984) dan pemikiran Anthony Appiah serta Seyle Benhabib sebagai

ilustrasi lebih luas tentang pemahaman istilah post. Jameson mengilustrasikan bahwa budaya [post-] modern mempunyai konsekwensi kemajuan sekaligus kehancuran. Appiah mengilustrasikannya dengan kemunculan problem tentang permasalahan etis, politis, etnis, kuasa, norma, moral dan budaya, khususnya menaruh perhatiannya pada persoalan historiografi dan pemahaman diri dalam

politik reprsentasi 125 kebudayaan dengan variasinya masing-masing spasial. Seyla Benhabib mempermasalahkan konsep etis dengan studi pascakolonialisme, sebab

problem etis akan terjadi ketika etika kolonial berbenturan dengan etika koloni. Pertanyaan retorik yang dilontarkan: bagaimana post dalam pascakolonialisme?

Menurut Lubis, istilah post dalam pascakolonialisme berpijak model berpikir dualis Barat. Pola berpikir ini sudah ada sejak Plato, jaman Yunani Kuno, jaman abad pertengahan—publik vs privat; masyarakat vs individu; sains vs agama; rasional vs irasional; laki-laki vs perempuan, lalu Descartes di jaman

I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: tantangan bagi filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 24. Bambang juga menjalaskan lebih luas tentang kemunculan teks postmodernisme di hlm 25.

124 Scott Lash, the Sociology of Postmodernism, terj (London: Rout1edge, 1990), hlm. 64. 125 Proses denaturalisasi atau dedoxatization dengan mengadopsi beberapa ide dari ahli semiotik Barthes. Lihat Linda Hutcheon, The Politics of Postmodernism, terj (Yogyakarta: Jendela, 2004).

pencerahan melontarkan ide: res cogitans vs res extensa. Model ini dipahami juga sebagai model berpikir oposisi biner. 126 Konsep ini semakin berkembang di

wilayah studi pascakolonialisme dengan mempertentangkan dua istilah: oriental vs occidental, Timur vs Barat, Subjek vs Objek, pengamat vs yang diamati, peneliti vs yang diteliti, teori vs praktik dan self vs the other. Edward Said sebagai salah satu pencetus studi pascakolonialisme melalui pembongkaran karya ilmuwan Barat seperti Eliot, Conrad, Mann, Proust, Woolf, Lawrence dan Joyce dengan bantuan pendekatan Foucault. Lubis membacakan pemahaman Said tentang tradisi pemikiran opsisi biner Barat. Said tidak menyepakati tradisi pemikiran ini. Bagi Said, tradisi pemikiran ini justru merendahkan tradisi pemikiran Timur sebagai konstruksi sosial-budaya dari will to power Barat (baca: Eropa). Mereka menganggap bebas nilai dan objektif, tetapi dibalik teks karya yang sifatnya bebas nilai dan objektif justru bermuatan will to power terhadap

spasial Timur. 127 Pendekatan Said dipahami oleh Lubis berpijak dari tradisi pemikiran Foucault, Derrida dan Gramsci sebagai dasar dari studi

pascakolonialisme-nya. Sikap ilmuwan Barat bagi Said tidak lebih sebagai sebuah kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur. Said membongkar karya-karya orientalis dengan menunjukkan ruang bias, ruang kepentingan, kekuasaan yang terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan oleh tradisi pemikiran Barat. Kaum pascakolonialisme menolak anggapan, klaim, tradisi pemikiran Barat yang merendahkan masyarakat dan tradisi pemikiran Timur sebagai sikap Barat yang

narsis, hegemonik, naïf dan imperialis. 128 Pemahaman “post” dan “colonial” bagi Sianipar tidak jauh berbeda

dengan Lubis. Sebagai penegasan aja, dia memaparkan terlebih dahulu istilah colonial yang berasal dari bahasa Latin: colonia = tertanian; pemukiman. Dengan langsung dan tegas, dia menafsirkan etimologi tersebut sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah (lemah) dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang. Sebagai contoh, kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol ke wilayah Nusantara ini megakibatkan benturan, perseturuan dan peperangan antara penduduk asli

126 Lubis, op.cit., hlm. 208. 127 Edward Said, Orientalism, terj (Bandung: Pustaka, 1996). 128 Lubis, op.cit., hlm. 210.

dengan para pedagang atau pendatang. Hal ini menciptakan hubungan imajinatif psikologis seperti trauma, ketakutan, kegelisahan dalam ruang-ruang sejarah manusia, khususnya penduduk asli dan penduduk baru datang. Sejarawan dari Australia menjelaskan tentang imajinasi ketakutan, trauma kegelisahan orang-

orang Australia terhadap bangsa Cina. 129 Sianipar menegaskan tentang kolonialis Cina, yakni saat itu adalah bangsa besar yang mempunyai wilayah luas dahulu

melebihi kekaisaran Eropa. Kuasa ini diukur salah satunya dengan pembayaran upeti kepada kaisar. Dia juga mencontohkan kolonialis seperti Romawi, kerajaan

Incha dan kekaisaran Mongol sebagai kaum kolonialis. 130 Di atas adalah penjelasan tentang istilah “post” dan “colonial/ism.”

Dalam karya Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, Cultural Studies: for beginners (2001) 131 menjelaskan tentang istilah pascakolonialisme sebagai sebuah

“studi” pascakolonialisme yang cukup berbeda, karena studi ini ternyata susah untuk berdiri sendiri, tetapi selalu melekat dengan/bersama dengan studi budaya. Dengan kata lain, sebagai suatu studi, tentunya studi ini mempunyai suatu wadah tertentu yang terinstitusionalisasi, sehingga dalam aktivitasnya, studi ini bisa diakui sebagai objek kajian ilmu dan mempunyai nilai ilmiah. Dengan menjadi bagian dari studi budaya, maka studi pascakolonialisme menjadi suatu kajian yang baru, unik dan menarik dalam memahami realitas dunia. Dengan kata lain, mereka melihat bahwa studi pascakolonialisme merupakan bagian dari studi budaya (cultural studies) yang mempunyai objek kajian tertentu dan mempunyai wlayahnya yang unik—tidak dimiliki oleh studi lainnya. Dengan demikian menurut mereka, sebelum memahami studi pascakolonialisme setidaknya kita perlu mengetahui studi budaya.

129

David Reeve, Seminar and Book Launching dalam sesi “People to People Relations,” Different Societies, Shared Futures: Australia, Indonesia and the Religion , hari selasa, 4 Juli 2006.

130 Sianipar, op.cit., hlm. 9. 131 Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon, Cultural Studies: for beginners, terj (Bandung: Mizan,

2001). Lihat juga Chris Barker, Cultural Studies: theory and practice, terj (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004). Dalam karya Barker ini nampak terlihat jelas pendekatan studi budaya memayungi semua tradisi budaya pemikiran modern dan klasifikasinya. Pada pengantarnya, Paul Willis mnejelaskan karya ini cukup bagus, karena menjabarkan ruang lingkup teoritis, metodologis, pendekatan, fakta empirik yang mudah kita untuk memilih. Signifikannya adalah memahami dan mempelajari basis-basis supra-disipliner dan menyodorkan anarkhisme teoritis dan intelektual. Karyanya ini mengubah status keistimewaan semua disiplin ilmu di era modern. Karya ini adalah revolusi pengetahuan atas strategi intelektual dalam melihat realitas dunia.

Mereka menjelaskan bahwa studi budaya merupakan kajian yang menggantikan masyarakat sebagai subjek telaahnya. Studi budaya hadir sangat kuat dalam karya humaniora, ilmu-ilmu sosial, sains dan teknologi. Istilah studi mengarahkan pada bidang yang lebih luas. Ambiguitas konsep budaya begitu beragam. Definisi budaya datang dari seorang antropologi Inggris, Sir E.B Tylor (1832-1917); seorang antropolog Amerika Serikat, Margaret Meed (1901-1978); dan pendiri studi budaya sendiri, Raymond Williams (1921-1988); ilmuwan sosial, Clifford Geertz (1926). Atas dasar beberapa definisi mereka, studi budaya membahas segala sesuatu dengan subjek berpijak pada budaya alam artian yang luas. Studi budaya meramu berbagai macam disiplin ilmu sosial, seluruh cabang humaniora dan seni. Studi budaya memayungi semua studi lama dan membahas studi lama. Dia berberak lintas disiplin, lintas metodologi dan melingkupi studi pemikiran intelektual, akademisi, praktisi dari disiplin lama sampai dengan studi baru seperti (epoch) pasca modernisme dan pasca strukturalisme. Oleh sebab itu, studi budaya bukan sebuah disiplin ilmu. Studi budaya adalah wadah bagi semua intelektual, akademisi, komunitas pemikir yang sangat beragam dan seringkali bersitegang, yang menggeluti berbagai macam persoalan di dunia, tentunya mempunyai posisi teoritis, metodologi dan politik yang berbeda. Jadi studi budaya berusaha melamapaui disiplin ilmu–cara penelitian yang tidak mengikuti baju pengekang disiplin-disiplin yang terlembaga. Studi budaya ini merupakan proyek kreatif agar kebebasan berpikir terwujud dengan penjelajahan interkstualitas dan petualangan wacana. Secara epistemologi, studi budaya memang susah untuk didefinisikan, tetapi studi ini bisa dilacak melalui pemahaman sejarah, sehingga memberikan telaah yang berciri tertentu, yang biasanya bisa diidentifikasikan dari aspek tujuan penelitiannya.

Karakteristik studi budaya: pertama, bertujuan mengkaji praktik-praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan. Hakikat tujuan studi budaya adalah menguak hubungan kekuasaan dan mempelajari pengaruhnya terhadap praktik-praktik kebudayaan. Kedua, mengkaji budaya yang lebih kompleks tidak hanya terjebak pada aspek budaya sendiri, aspek sosial ataupun aspek politik. Dalam hal ini, studi ini menganalisa konteks sosial dan politik tempat budaya Karakteristik studi budaya: pertama, bertujuan mengkaji praktik-praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan. Hakikat tujuan studi budaya adalah menguak hubungan kekuasaan dan mempelajari pengaruhnya terhadap praktik-praktik kebudayaan. Kedua, mengkaji budaya yang lebih kompleks tidak hanya terjebak pada aspek budaya sendiri, aspek sosial ataupun aspek politik. Dalam hal ini, studi ini menganalisa konteks sosial dan politik tempat budaya

Menurut Sardar dan Van Loon, berdasarkan dengan ranah studi budaya, maka studi pascakolonialisme memfokuskan pada fakta sejarah budaya kolonial Barat, khususnya Eropa yang membentuk hubungan Barat dan non-Barat setelah bekas koloni-koloni meraih kemerdekaan. Pascakolonialisme menunjukkan kelanjutan proses perlawanan dan rekonstruksi budaya oleh non-Barat dan mengeksplorasi pengalaman pengalaman penindasan, perlawanan, ras, gender, representasi, perbedaan, penyingkiran dan migrasi dalam hubungannya dengan wacana-wacana penguasa Barat. Hal ini senada dengan pemahaman Loomba dkk di atas bahwa studi ini bukan wilayah penghakiman tradisi pemikiran Barat, tetapi lebih pada refleksi otentisitas diri dalam menghayati hidup dan pembongkaran dibalik teks tradisi pemikiran Barat yang ternyata dipahami sebagai will to power.

Dunia pascakolonialisme mempunyai perbedaan yang signifikan dengan dunia post-modern. Dunia ini mempunyai cakupan lebih luas sebagai aktivitas yang beragam dan kontraversial daripada dunia pascakolonialisme yang sudah mengkerucutkan objek kajiannya. Namun demikian, studi ini sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran post-modernism dan post-structuralism. Dalam strategi politik representasi sebuah teks yang terbungkam sebagai salah satu aktivitas pascakolonialisme, ia mempunyai persamaan dengan studi post-modernism dan post-structuralism, tetapi ruang lingkup pascakolonialisme mempunyai fokus ke Dunia pascakolonialisme mempunyai perbedaan yang signifikan dengan dunia post-modern. Dunia ini mempunyai cakupan lebih luas sebagai aktivitas yang beragam dan kontraversial daripada dunia pascakolonialisme yang sudah mengkerucutkan objek kajiannya. Namun demikian, studi ini sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran post-modernism dan post-structuralism. Dalam strategi politik representasi sebuah teks yang terbungkam sebagai salah satu aktivitas pascakolonialisme, ia mempunyai persamaan dengan studi post-modernism dan post-structuralism, tetapi ruang lingkup pascakolonialisme mempunyai fokus ke

Berkaitan dengan studi pascakolonialisme yang begitu signifikan, identitas adalah hal yang sangat penting dalam membahas kajian wilayah ini. Menurut Said, Identitas suatu entitas adalah bentuk dari ekspresi eksistensi manusia. Identitas memberikan perwujudan keseluruhan jiwa manusia: secara budaya, secara politis, secara kejiwaan, dan semua faktor yang mengisi kehidupan manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Menyinggung tentang pengertian identitas, gagasan Gramsci dalam karyanya, Prison Notebooks memberikan pengaruh cukup besar bagi Said, sehingga pernyataannya dikutipnya sebagai berikut:

Titik tolak dari kerja kritik adalah kesadaran tentang siapa diri seseorang itu sebenarnya, dan “menyadari diri sendiri” sebagai satu hasil dari proses sejarah sampai detik-detik yang terakhir, yang telah mengedepankan dalam diri anda suatu ketidakterbatasan jejak, tanpa meninggalkan inventaris. Oleh karenanya, adalah kewajiban kita untuk sedini mungkin menghimpun inventaris seperti itu. 132

Ungkapan di atas memberikan pintu pada pencarian diri—eksistensi diri— identitas dan proses pembentukan identitas diri. Said cenderung berpegang teguh pada pengalaman dirinya. Said menuturkan: “aku ingin mengidentifikasi diriku sendiri; Aku adalah seorang warga Timur, karena bagi sang diri, Aku adalah penting untuk mempertahankan kesadaran kritisku.” Ketika Said harus mengenyam pendidikan Barat dan berhadapan dengan studi-studi orientalisme, Said melakukan refleksi, sehingga menemukan sebuah keyakinan bahwa betapa kuatnya kekuasaan investasi manusia sendiri untuk selalu mengadakan perlawanan terhadap corak kekuasaan imperialistik yang hegemonik. Dengan sendirinya jalan keluar dari kuasa imperalistik yang hegemonik tersebut adalah keberanian untuk selalu terjun ke dalam arena pertarungan. Dengan suara lantang dan konsisten Said berkata: “setiap manusia itu secara individual berhak menentukan totalitas keberadaan dirinya untuk menentukan keberadaan dan

Said, op.cit., hlm. 33.

identitasnya, dengan alasan apa pun!” 133 Walaupun Said terbentuk oleh Barat, tetapi identitas ke-Timur-annya tetap masih juga diperjuangkan, dan walaupun

Said seorang Kristen yang cenderung mempunyai pengaruh tradisi pemikiran Barat, khususnya abad pertengahan dan ‘perkawinannya’ dengan tradisi pemikiran pagan Yunani-Romawi, tetapi perjuangan gigih membela hakekat ke-Timur-annya sungguh poin yang sangat penting bagi kita–yang mengklaim Timur.

Ketika karya kaum post-modernist dan post-structuralist Barat mengalami kebuntuan: nihilisme, maka alternatif solusi dari suatu tatanan dunia-kehidupan umat manusia yang baru akan dibelokkan ke spasial non-Barat sebagai tradisi pemikiran sekaligus tatanan dunia yang telah terkubur lama. Studi pascakolonialisme ini merupakan representasi politis bagi suara-suara unik (diklaim sebagai ganjil oleh Barat) yang sudah tengah lama terkubur, tetapi berusaha memunculkan otentisitas dirinya—ontological everyday life. Dalam konteks ini, Sardar dan Loon berusaha memberikan pengantar pemikir studi pascakolonialisme dalam rangka keluar dari konstruksi pengetahuan/kuasa imperialisme atau istilahnya Lubis di atas sebagai: “kekerasan epistemologi Barat.”

Pemikir kaum pascakolonialis mempunyai karateristik unik seperti karya- karyanya yang sangat subversif dan provokatif. Beberapa pemikir pascakolonialis seperti seorang pascakolonialis dari India, Gayatri Chakravorty Spivak mengkritik kaum sejarawan hegemonik dengan mengambil studi kasus sejarah India. Spivak mengatakan bahwa konstruksi masa lalu India dan kehidupan kekinian India adalah proses kontinuitas (kelanjutan) dari homogenisasi Eropa, yakni bentuk homogen sistem negara berdaulat yang terdiri dari entitas kepala negara dan pemerintahan dengan nuansa Inggris. Tujuan Spivak tidak hanya mendekonstruksi sejarah imperial Inggris, tetapi juga menghancurkan rasionalitas sejarah kritis itu

Dikutip dari tulisan Haryanto Cahyadi, Keterlemparan Manusia dalam Dunia Ambigu: Menimbang Gagasan Edward Said dalam Horizon Filsafat Martin Heidegger, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), op.cit.,. Lihat juga karya Amin Maalouf, In the Name of Identity , terj (Yogyakarta: Resist Book, 2004). Karya ini sangat menarik ketika muncul pertanyaan mendasar tentang identitas Maalouf ketika dia pindah dari Libanon ke Perancis: Apakah saya seorang “lebih Perancis” atau “lebih Libanon”? Inilah pertanyaan yang mengusik keotektisitas Maalouf.

sendiri. Dalam memahami dunia internasional, Spivak berusaha menampung wacana yang terbungkam, yakni spasial non-Barat dalam ruang-ruang yang sama sekali beru dengan heterogenitas. Spivak berusaha menciptakan dunia dunia baru, yakni sebuah ruang dengan norma agar konstelasi politik internasional tidak dimonopoli oleh kuasa negara berdaulat saja atau kaum kapitalis yang berusaha memarginalisasikan komunitas yang mereka sendiri klaim atau anggap atau definisikan sebagai kelompok abnormal, ganjil, aneh, irasional atau gila. Menurut Spivak, Dunia Ketiga adalah kreasi wacana Barat yang mengunci budaya non- Barat–dan bagaimana Barat memandang serta memberlakukannya ke dalam

sebuah representasi imperial. 134 Sedangkan dalam pandangan produksi kolonial, menurut Spivak: “the subaltern has no history and cannot speak, the subaltern as

female is even more deeply in shadow.” 135 Walaupun Spivak berusah keras menyuarankan suara yang terbungkam, tetapi hal tersebut masih mengalami

kesulitan, karena jejak dari komunitas subaltern secara histories sasah untuk dilacak secara intelektual.

Pemikir kaum pascakolonialis yang lainnya, seorang sarjana kulit hitam Inggris, Homi Bhabha menggunakan psikoanlisis untuk membaca fenomena sejarah kolonialisme. Menurut Bhabha, wacana kolonialisme memiliki ketegangan psikologis yang mendalam yang menciptakan hubungan antara kolonial dan subjek yang dikoloni senantiasa ambivalen. Berbeda dengan idealisme naïf Spivak, Bhabha justru lebih realistik ketika subjek kolonial dimunculkan atau dihadirkan sebagai artefak perjalanan intelektual. Menurut Bhabha, subjek colonial yang dilepaskan, yang dipersonalkan akhirnya menjadi “objek yang tidak terhitung. Mereka senantiasa sulit untuk ditempatkan. Jika Spivak mengatakan susah untuk dimunculkan, tetapi Bhabha berargumen pribumi itu ada, tetapi susah untuk ditempatkan. Sifat utama kekuasaan kolonial adalah meruntuhkan otoritasnya sendiri dan secara paradoks dapat memberikan makna-makna bagi perlawanan pribumi. Bahkan pribumi terindokrinasi yang ditinggalkan oleh kekuasaan kolonial untuk menlanjtkan kerja mereka di bekas koloni-koloni

134 Ibid. hlm. 116. 135 Gayatri Chakravorthy Spivak, “Can the Subaltern Speak?” Post-Colonial Studies Reader, diedit oleh Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dkk, (UK: Routledge, 1995), hlm.28.

menampakkan ambivalensi wacana kolonial. Demokrasi liberal dan historisme Marxisme tidak dapat ditanggulangi dengan keanekaragaman budaya. Kecenderungan mereka untuk menguniversal dan menyejarah membuat keanekaraaman budaya transparan dan sukar dipahami. Dalam beberapa kasus, menurut Bhabha, budaya yang berbeda “tidak dapat dibandingkan” tidak dapat dikategorisasikan ke dalam kerangka universal. Dalam karyanya, The Location of Culture (1994), Bhabha memunculkan sebuah tempat yang merupakan spasial antara pribumi dan bukan pribumi, yakni “ruang ketiga.” Ruang baru ini adalah “hibriditas,” yakni ruang yang tidak hanya menggantikan sejarah yang membentuknya, tetapi membangun struktur baru otoritas dan melahirkan inisiatif politik baru serta wilayah baru negosiasi makna dan representasi. Hibriditas adalah situs perlawanan, suatu pembalikkan strategi dari proses imperalisasi yang mengembalikan yang tertindas menjadi mata kekuasaan.

Jika dipahami sesuai dengan perbedaan antara sistem kolonial dulu dengan kolonialisme modern sekarang ini, maka kolonialisme modern ini ditandai dengan dua ciri: pertama, daerah-daerah koloni tidak hanya memayar upeti dan dikuras sumber daya alamnya, tetapi struktur perekonomian daerah koloni (dengan manusia dan sumber alamnya) dirombak demi kepentingan negara induk. Kedua, daerah-daerah koloni menjadi pasar yang dipaksa mengkonsumsi produk-produk Negara induk. Dalam konteks kolonialisme modern, kemampuan manusia dan sumber daya alam wilayah koloni diairi, sehingga system yang terkonstruksi

dialirkan ke negara induk (core). 136 Dengan sistem perekonomian yang seperti ini caranya atau modelnya, maka negara koloni tidak lebih dari sebuah baut-baut atau

skrup-skrup kecil dari arsitektur sistem kapitalisme Barat (baca: Eropa dan Amerika).

Sistem kolonialisme mempunyai kedekatan dengan istilah imperialisme. Sebelumnya, sistem kolonialisme dipahami sebagai penaklukan dan penguasaaan atas tanah (lemah) dan pembayaran upeti penduduk asli kepada penduduk pendatang, sehingga istilah imperalisme pun tidak jauh berbeda engan kolonialisme sebagai penguasaan dan penaklukan, imperialisme hanya

136

Sianipar, op.cit., hlm. 9-10.

mempunyai sifat “paling atau unggul atau tinggi.” Dalam Oxford English Dictionary (OED), imperial adalah sesuatu yang merujuk pada kemaharajaan, yakni pemimpin seperti raja atau kaisar yang berkuasa absolut dan mutlak atas segala hal yang dibutuhkannya—despotisme, absolutisme, totalitarianisme. Oleh Lenin dan Kautsky, dalam karyanya Imperialisme, The Highest Stage of Capitalism (1947), pengertian istilah imperialisme dihubungkan dengan kapitalisme. Imperialisme dipahami sebagai tahapan tertinggi dari kapitalisme, ketika modal semakin berlimpah, sementara sumber alam dan tenaga dalam negeri semakin terbatas, sehingga kaum kapitalis mencarinya ke luar wilayahnya— mencari keuntungan dari luar negerinya (negeri koloni). Sementara itu, di dunia modern, imperialisme tidak memerlukan penguasaan atas lain secara langsung, tetapi justru lebih luas lagi cakupannya—dengan menciptakan system yang global sehingga penetrasi mudah dilakukan dalam wadah system perekonomian, pengendalian pasar dan tekanan politik Negara maju terhadap negera miskin, misalnya imperialisme Amerika atas negara-negara di dunia alam bidang ekonomi, politik dan militer meskipun tidak mempunyai kendali politis secara

langsung. 137 Dalam istilahnya G. John Ikenberry, Amerika Serikat di era pasca Perang dingin seperti sekarang ini disebut dengan neo-imperialisme. 138

Banyak hal yang diperoleh dalam studi pascakolonialisme, terutama relasi antara lokal-global. Di bawah ini, penulis berusaha memberikan relasi interteks antara lokal-global. Tarik-menarik dari lokal-global ini mempunyai pemahaman baru bagi studi hubungan internasional (SHI). SHI terwarnai berbagai macam disiplin ilmu yang berwadah dalam transdisipliner, sehingga ortofdoksi hubungan internasional (HI) dapat meleleh dari kebekuannya selama ini. Di bawah ini penulis lebih memfokuskan pada kajian tentang eksistensi komunitas lokal di Indonesia, khususnya saminisme yang selama ini terbungkam dan tersembunyi, ketika dihadapkan dengan wacana Barat. Wacana saminisme dipahami oleh tradisi

137 Ibid., hlm 17.

G. John Ikenberry, “Ambisi Imperial Amerika Serikat,” dalam Amerika dan Dunia, (Jakarta: YOI, 2005), hlm. 433-455. Lihat juga Lubis, op.cit., hlm. 213 tentang pemahaman imperialisme yang terbagi menjadi banyak aspek seperti ekonomi, penduduk, gagasan atau ide, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan aspek lainnya.

pemikiran HI modern (baca: Barat) sebagai noise, yakni kebisingan yang mengganggu telingi pendengar. Namun penulis berusaha memahami tradisi pemikiran saminisme ini bukan dari tradisi pemikiran HI modern yang mengklaimnya sebagai noise, tetapi dari tradisi pemikiran Timur sendiri sebagai sound, yakni penyuaraan teks-teks yang merdu layaknya orkresta yang didengarkan oleh pendengar; sebuah lagu yang merdu dengan alat musik yang berbeda-beda.