Studi Pascakolonialisme di Indonesia

IV.2. Studi Pascakolonialisme di Indonesia

Sebenarnya pemerintahan Soekarno itu sudah bagus hanya tidak memperhatikan faktor ekonomi…Indonesia seharusnya memperhatikan masalah perbatasan tidak perlu membeli pesawat tempur segala seperti F-16…saya seorang Gandhisme yang menyarankan Indonesia sebaiknya berdiri di kaki sendiri (berdikari). Indonesia mempunyai nilai-nilai substantif seperti Gandhi ketika Soekarno

mengutuk bangsa Barat: “Go the hell with your aid.” 139

Pernyataan di atas merupakan daya tangkap penulis, ketika berdiskusi dan mendengarkan cerita Gus Dur di Kantornya PB NU Keramat Raya, Jakarta Pusat. Dalam konteks pernyataan Gus Dur di atas, penulis memaknai bahwa tradisi pemikiran Indonesia sebagai smallnarrative berisi tentang resistensi terhadap dunia internasional begitu luas dan sangat berbobot. Gus Dur selalu menegaskan bahwa kita seharusnya tidak pragmatis, tetapi justru harus mempunyai posisi yang jelas dalam dunia internasional seperti posisi dulu yang dilontarkan oleh Soekarno. Istilah “Gerakan Non-Blok” dan “Negara Dunia Ketiga” adalah konsep yang disuarakan oleh Soekarno dalam memposisikan bangsa Indonesia dengan posisi yang jelas. Dalam konteks ini, pemerintah Soekarno mempunyai jati diri bangsa, identitas dan harga diri sebagai bangsa yang memang pantas disanjung dan diacungi jempol—terlepas dari kelemahan faktor ekonominya. Namun demikian, tradisi intelektual Indonesia dalam hal teoritisasi, pendekatan, metodologi dan tradisi menulis sangat kurang (secara kualitatif), sehingga sebagian besar intelektual Indonesia membiasakan (terbiasa) diri mengekspresikan gagasannya melalui gaya penuturan. Kita bisa belajar tradisi pemikiran HI

139 Wawancara penulis dengan Gus Dur tentang perlawanan bangsa Indonesia menghadapi imperialisme (Abdurrahman Wahid) di Kantor PB NU Keramat Raya, Jakarta Pusat, pada hari

Senin, 5 Juli 2006, pukul 12.15-13.50 wib.

Indonesia melalui tradisi pemikiran intelektual dan praktisi kritis lain seperti Agus Salim, Natsir, Hatta, H.O.S, Cokroaminoto, para anggota organisasi Boedi Oetomo, dkk. Mereka semua mempunyai pemikiran kritis internasional, tetapi cenderung lebih kuat dalam tradisi penuturan daripada tradisi penulisan teks. Berpijak dari tradisi pemikiran intelektual Indonesia ini, penulis berusaha memposisikan dirinya dengan jelas. Mereka adalah akar dari tradisi pemikiran pascakolonialisme Indonesia yang belum digali lebih mendalam ke dalam level teoritisasi atau gaya bahasa tulis berbentuk interteks atau karya-karya ilmiah.

Pemahaman pascakolonialisme yang sudah penulis jelaskan di atas mengajak kita pada pemahaman ke level lokal Indonesia (sebagai pijakan) dan sikap kita terhadap tradisi pemikiran Barat di tatanan internasional. Namun tampaknya, metanarrative modernitas di Indonesia terus bergerak terus—dari dulu, ketika masuknya bangsa Barat, kolonialisme Belanda dan Jepang sampai dengan pasca kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya, wacana yang berkembang sangat kuat di Indonesia justru bukan tradisi pemikiran intelektual kritis Indonesia sendiri, tetapi dalam kerangka tradisi pemikiran Barat (Eropa dan Amerika Serikat). Wacana ini terkait dengan program proyek modernitas: meneruskan proyek negara berdaulat Westphalia beserta idealisme tentang konsepsi tentang warganegara (citizenship) dan kapitalisasi sistem ekonomi di pemerintahan Soeharto. Metanarrative modernitas mengalami tantang dari rivalnya, tetapi hanya menciptakan kritik yang sifatnya nihilistik–mengkritik melalui acuan-acuan normatif atau metafisika (epistemologi: rasio). Sedangkan problem lain di Indonesia adalah persoalan politik kewarganegaraan yang bisa saja lebih rumit dibandingkan dengan apa yang terjadi sebelumnya, yakni diantaranya ketercerabutan masyarakat Indonesia dari akarnya. Perseteruan antara yang lokal dan yang berasal dari luar (Barat) diceritakan oleh Hikmat Budiman

dalam artikelnya, “Minoritas, Mutikulturalisme, Modernitas.” 140 Hikmat mengandaikan Gerakan Aceh Merdeka bisa dianggap sebagai bentuk artikulasi

kepentingan warga yang diterjemahkan ke dalam praktik-praktik perlawanan

140 Hikmat Budiman, “Hak Minoritas, Mulikulturalisme, Modernitas,” dalam Hak Minoritas: dilemma multikulturalisme di Indonesia , diedit oleh Hikmat Budiman, (Jakarta: Yayasan

Interseksi).

bersenjata. Di kawasan Cagar Alam Morowali, Sulawesi Tengah, misalnya artikulasi politik komunitas, orang-orang yang tinggal di kawasan itu, To Wana yang begitu keras berbunyi: “Tare Kampung, Tare Agama, Tare Pamarenta.” Hikmat mengatakan bahwa semboyan ini berarti: “Tidak Ada Kampung, Tidak Ada Agama, Tidak Ada Pemerintahan.” Semboyan ini muncul sebagai respon dari konsepsi negara berdaulat Indonesia versi sistem Westphalia yang sempit, yakni banyaknya intervensi program kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan agama dari jaman Belanda sampai dengan metanarrative modernitas sekarang ini. Perjuangan artikulasi politik ini merupakan kasus empirik yang sebenarnya bisa dilacak jejak-jejak artefak otentisitas dirinya. Namun karena studi pascakolonialisme belum berkembang dan disiplin ilmu HI masih terjebak dalam kerangka pengetahuan partikular Eropa, maka wacana ini menjadi hilang tanpa bekas. Negara berdaulat sebagai metanarrative modernitas berusaha menciptakan kurungan, kerangkeng bagi warganegaranya. Warganegara yang dianggap keluar dari wilayah wacana negara berdaulat dianggap bukan warganegara Indonesia. Hikmat mengistilahkan power negara ini sebagai teknologi kontrol sosial dalam bentuk nation. Oleh sebab itu, negara berdaulat sering disebut dengan “negara- bangsa:” “negara” adalah pemerintahnya sedangkan “bangsa” adalah warganegaranya. Wacana negara berdaulat yang diusung oleh pemikir teori politik dan teori HI Barat mendefinisikan, melukiskan dan menekan kesadaran wacana Barat ke dalam wilayah wacana Indonesia sebagai gambarnya sendiri. Padahal, komunitas To Wana mempunyai lukisan tentang wacana dirinya sendiri, dan hal ini yang susah dilacak dalam studi pengetahuan sekarang ini. Makna dari konteks ini adalah wacana barat telah mengimperalisasi geopolitik dan wacananya sendiri ke dalam ruang yang bernama: “Indonesia” atau dalam konteks ini adalah komunitas To Wana.

Hikmat menceritakan pemahamannya tentang ketertindasan komunitas di Indonesia dan wacana pengetahuannya. Dia menjelaskan bagaimana konsepsi metanarrative modernitas negara berdaulat mendefinisikan tentang makna negara di Indonesia. Warga negara Indonesia adalah seseorang harus tinggal dalam kampung yang dikontrol oleh negara (pemerintahan) melalui camat, kepala desa,

RT/RW. Selain aspek pemerintahan, aspek agama pun harus diakui dan didanai Negara demi kepentingan nasional (national interest). Dia mengatakan bahwa eksistensi di luar bingkai semua itu berarti warganegara hanya manusia liar, ganjil, abnormal, anomali, irasional. Toh jika mereka dilindungi dan dijaga, tindakan itu pun hanya merupakan karena kepentingan nasional Indonesia yang berusaha menyerap investor dan turis-turis asing belaka. Padahal komunitas To Wana, tidak jauh berbeda dengan umat manusia lainnya, yang mampu bertahan hidup dalam dunia jaman sekarang. Nampaknya penuturan Hikmat berusaha mensuarakan komunitas To Wana bahwa mereka tidak mempunyai hak untuk hidup bereksistensi atau hadir di dunia ini, khususnya di Indonesia. Mereka terkotakkan ke dalam dimensi kehidupan irasional, sehingga studi tentang mereka pun tidak ada. Mereka nampaknya dianggap dan diklaim oleh wacana metanarrative modernitas tidak memberikan sumbangsih apa-apa terhadap tatanan politik internasional dan eksistensi negara berdaulat dewasa ini. Oleh sebab itu, ekspresi metanarrative modernitas dalam wujud negara berdaulat Indonesia justru berusaha mengubur komunitas To Wana yang sedang bertahan hidup di era sekarang ini dengan cara-cara tertentu–seperti intervensi ke dalam komunitasnya oleh institusi pemerintah. Komunitas Ta Wana sebenarnya sudah memiliki pola pemukiman, agama dan pranata sosial lainnya, yang mendukung dunia kehidupan mereka, tanpa bantuan negara berdaulat dan pengakuannya sebagai warganegara Indonesia. Obsesi negara berdaulat Indonesia tidak lain adalah bentuk imperialisme wacana terhadap warganegaranya sendiri untuk menyederhanakan dan menghomogenisasi spasial bhineka tunggal ika dan pola-pola kultural komunitas di dalamnya–ruang dan wilayah geopolitiknya.

Di bawah ini akan menunjukkan bahwa komunitas yang telah terbungkam dan ganjil begitu kuat bertahan hidup di dunia ini. Tatanan politik internasional telah mengalami transformasi ke bentuk komunitas politik post-Westphalia, sehingga mereka mempunyai hak untuk menjalankan tradisi budaya dan identitas politik mereka. Linklater telah memberikan jalan bagi studi ini untuk mengakui tradisi wacana Indonesia yang otentik: wacana saminisme. Wacana samin ini adalah salah satu dari wacana komunitas politik Indonesia seperti Sunda, Jawa, dll

yang berusaha eksis di Indonesia dalam menghadapi arus metanarrative modernitas, baik yang datang dari wilayah politik maupun wilayah ekonomi. Kedua wilayah tersebut telah mendorong politik internasional ke dalam kondisi pascamodern, khususnya kondisi pascakolonialisme–kaitannya dengan imperalisme dan kolonialisme yang belum selesai dewasa ini. Kaum teori internasional kritis, seperti Linklater menyediakan ontologi post-Westphalia, sehingga kita mengakui hak bagi wacana saminisme ini untuk diteliti di kajian HI. Kaum post-modernist dan post-structuralist memberikan legitimasi bagi wacana saminisme sebagai salah satu dari akar pertama pemikiran HI di Indonesia. Pada akhirnya, Studi pascakolonialisme mengkhususkan diri pada perlawan wacana saminisme terhadap metanarrative modernitas. Dengan permainan bahasa dan bentuk smallnarrative ini, wacana saminisme diharapkan sebagai alternatif teks intelektual HI di Indonesia akan mengkritik metanarrative modernitas (idealisme—teori kritis internasional) sekaligus wacana pemikirannya bisa mewarnai konstelasi permainan politik internasional dewasa ini. Penulis kira studi ini akan mengakhiri dan menyelesaikan permasalahan tentang ortodoksi HI selama ini, khususnya pemahaman yang sifatnya dikotomis antara konsepsi HI dan non-HI, HI sebagai ilmu dan HI sebagai studi. Karena selama ini, saya menegaskan bahwa tradisi pemikiran HI yang tengah kita pelajari adalah sebuah struktur pola wacana pemikiran HI Barat saja. Jika terdapat perdebatan toh itu hanya perdebatan diantara mereka (pemikiran HI Eropa dan Amerika) yang akan mengalami kebuntuan, ketika mereka berakhir pada nihilisme. Selain itu, mereka juga mengalami kebuntuan ketika berusaha masuk ke dimensi spasial Negara Dunia Ketiga, dimana sudah masuk ke dalam wacana mereka, karena arahnya sudah jelas, Negara Dunia Ketiga akan didefinisikan, dikreasi, dinamai oleh mereka. Struktur tradisi pemikiran Barat selalu akan menuju pada universalime dan homogenisasi wacana. Walaupun dalam kerangka multikulturalisme dan pluralisme seperti yang dicetuskan oleh Linklater, tetapi yang memayunginya toh tetap rasionalitas Barat. Negara Dunia Ketiga hanya merupakan sebuah bayangan dari Barat. Negara Dunia Ketiga dapat memperoleh otentisitanya, ketika perjuangan resistensi juga dilakukan dalam dataran wacana seperti studi ini. Jika yang berusaha eksis di Indonesia dalam menghadapi arus metanarrative modernitas, baik yang datang dari wilayah politik maupun wilayah ekonomi. Kedua wilayah tersebut telah mendorong politik internasional ke dalam kondisi pascamodern, khususnya kondisi pascakolonialisme–kaitannya dengan imperalisme dan kolonialisme yang belum selesai dewasa ini. Kaum teori internasional kritis, seperti Linklater menyediakan ontologi post-Westphalia, sehingga kita mengakui hak bagi wacana saminisme ini untuk diteliti di kajian HI. Kaum post-modernist dan post-structuralist memberikan legitimasi bagi wacana saminisme sebagai salah satu dari akar pertama pemikiran HI di Indonesia. Pada akhirnya, Studi pascakolonialisme mengkhususkan diri pada perlawan wacana saminisme terhadap metanarrative modernitas. Dengan permainan bahasa dan bentuk smallnarrative ini, wacana saminisme diharapkan sebagai alternatif teks intelektual HI di Indonesia akan mengkritik metanarrative modernitas (idealisme—teori kritis internasional) sekaligus wacana pemikirannya bisa mewarnai konstelasi permainan politik internasional dewasa ini. Penulis kira studi ini akan mengakhiri dan menyelesaikan permasalahan tentang ortodoksi HI selama ini, khususnya pemahaman yang sifatnya dikotomis antara konsepsi HI dan non-HI, HI sebagai ilmu dan HI sebagai studi. Karena selama ini, saya menegaskan bahwa tradisi pemikiran HI yang tengah kita pelajari adalah sebuah struktur pola wacana pemikiran HI Barat saja. Jika terdapat perdebatan toh itu hanya perdebatan diantara mereka (pemikiran HI Eropa dan Amerika) yang akan mengalami kebuntuan, ketika mereka berakhir pada nihilisme. Selain itu, mereka juga mengalami kebuntuan ketika berusaha masuk ke dimensi spasial Negara Dunia Ketiga, dimana sudah masuk ke dalam wacana mereka, karena arahnya sudah jelas, Negara Dunia Ketiga akan didefinisikan, dikreasi, dinamai oleh mereka. Struktur tradisi pemikiran Barat selalu akan menuju pada universalime dan homogenisasi wacana. Walaupun dalam kerangka multikulturalisme dan pluralisme seperti yang dicetuskan oleh Linklater, tetapi yang memayunginya toh tetap rasionalitas Barat. Negara Dunia Ketiga hanya merupakan sebuah bayangan dari Barat. Negara Dunia Ketiga dapat memperoleh otentisitanya, ketika perjuangan resistensi juga dilakukan dalam dataran wacana seperti studi ini. Jika

Dengan cara tutur yang khas intelektual India, Chakrabarty memulai ceritanya dengan kisah kunjungan perdana menteri Singapura, Goh Chok Tong ke Hyderabad, ibu kota Andhra Pradesh. Chandrababu Naidu, kepala negara bagian tersebut berusaha untuk menjadikan Hyderabad sebagai pesaing utama Bangalore –yang sering dianggap Silicon Valley-nya India. Takjub oleh kemampuannya, Goh Chok Tong secara terbuka memuji Naidu sebagai paling dinamis dan berpandangan jauh ke depan di India.

Namun pada minggu yang sama, surat-surat kabar di negeri Hyderabad mengabarkan berita tentang kebijakkan Naidu menghapus mata pelajaran sejarah dari program sarjana muda. Naidu menyatakan bahwa untuk selanjutnya pelajaran sejarah hanya akan menjadi bagian dari kajian tentang pariwisata, karena menurutnya, apa yang dibutuhkan oleh orang India tentang masa lalunya cukup jauh yang mereka perlukan untuk menceritai wisatawan asing. Sebaliknya, yang benar-benar dibutuhkan untuk keperluan mereka sendiri adalah teknologi komputer dan teknologi informasi. Ketika berhadapan dengan Kongres India, alasan yang diajukan dibalik kebijakan itu pun tidak kalah cemerlangnya untuk seorang pejabat pemerintah, yakni bahwa sekarang kita tidak lagi membutuhkan sejarah, kecuali dalam bentuk yang sudah dikomodifikasi. Untuk memparafrasekan Chakrabarty, kapitalisme telah mengubah sejarah menjadi sebuah suvenir, tanda mata, penekuk sebuah ingatan pada khasanah masa lalu, yang bisa dibeli dan dibawa pulang. Bagi Naidu, hanya itulah sejarah yang benar-

benar kita perlukan. 141

Metanarrative modernitas dalam bentuk kapitalisme di atas telah mengubah segalanya, termasuk studi sejarah yang sudah menjadi barang dagangan untuk dijual kepaa seseorang yang ingin menikmati sarana rekreasi, tamasya spiritual, mengunjungi tempat yang eksotis, nyaman dan unik untuk didatangi. Sebagai pertanyaan retorik bagi kita: Apakah kita juga tidak membutuhkan sejarah? Jawaban ini akan terjawab ketika sudah menemui kesimpulan dari studi ini.

Ibid., hlm. 17-18.