2. 1. Wacana Idealisme/Liberalisme
II.2. 1. Wacana Idealisme/Liberalisme
Arkeologi hubungan internasional melihat naiknya wacana-wacana tertentu sebagai suatu episteme yang berbeda-beda. Genealogi melacak awal wacana tertentu dan memahaminya sebagai akumulasi wacana, yakni kuasa pengetahuan dalam mendefinisikan politik internasional. Di bawah ini feneomena politik internasional berusaha didefinisikan oleh wacana idealisme/liberalisme. Politik internasional ditentukan oleh formasi diskursif yang dilontarkan oleh kaum idealis/liberalis Eropa. Dengan kata lain, konstelasi politik internasional dikuasai oleh intertekstualitas kaum idealis/liberalis sebagai pemenang dari perjuangan pemikiran. Di sisi lainnya, wacana selain idealisme/liberalisme menjadi terbungkam, yakni sangat lemah mewarnai atau mempengaruhi teks konstelasi politik internasional.
SHI merupakan perkembangan dari modernitas. SHI sangat kental dengan nuansa istilah negara-bangsa (1648) awal modernitas. SHI lahir sesuai dengan perkembangan keilmiahan seperti studi sejarah, hukum internasional dan politik pasca PD I. Dunia pasca PD I sangat mempengaruhi pengetahuan SHI. Kelahiran otoritas SHI diilustrasikan dalam karya John Baylis dan Steve Smith, The Globalization on World Politics (1997) yang mengatakan bahwa SHI dalam bentuk departemen politik internasional, berdiri pada tahun 1919 di universitas College of Wales oleh industrialis yang bernama David Davies. Sumber lainnya berasal dari karya Prakash Chandra, International Politics (edisi ke-3, 1995). Chandra menjelaskan bahwa pada awalnya, SHI adalah departemen politik internasional yang memisahkan diri mejadi sebuah studi tersendiri di Aberystwyth. Di departemen tersebut beberapa professor (pengarang otoritatif) seperti sejarawan Yunani kuno, Alfred Zimmern, C.K. Webster, Reynolds, E.H. Carr, dll, yang dikenal sebagai sejarawan menduduki posisi kepala di departemen tersebut. Mereka merupakan para ahli yang menjelaskan dalih-dalih kontelasi politik internasional. Sedangkan di wilayah Amerika Serikat, sejalan dengan SHI merupakan perkembangan dari modernitas. SHI sangat kental dengan nuansa istilah negara-bangsa (1648) awal modernitas. SHI lahir sesuai dengan perkembangan keilmiahan seperti studi sejarah, hukum internasional dan politik pasca PD I. Dunia pasca PD I sangat mempengaruhi pengetahuan SHI. Kelahiran otoritas SHI diilustrasikan dalam karya John Baylis dan Steve Smith, The Globalization on World Politics (1997) yang mengatakan bahwa SHI dalam bentuk departemen politik internasional, berdiri pada tahun 1919 di universitas College of Wales oleh industrialis yang bernama David Davies. Sumber lainnya berasal dari karya Prakash Chandra, International Politics (edisi ke-3, 1995). Chandra menjelaskan bahwa pada awalnya, SHI adalah departemen politik internasional yang memisahkan diri mejadi sebuah studi tersendiri di Aberystwyth. Di departemen tersebut beberapa professor (pengarang otoritatif) seperti sejarawan Yunani kuno, Alfred Zimmern, C.K. Webster, Reynolds, E.H. Carr, dll, yang dikenal sebagai sejarawan menduduki posisi kepala di departemen tersebut. Mereka merupakan para ahli yang menjelaskan dalih-dalih kontelasi politik internasional. Sedangkan di wilayah Amerika Serikat, sejalan dengan
global. 40 Salah satu sarjana sekaligus sejarawan yang melontarkan dalih-dalih
moral-legalistik adalah Zimmern. Sebagaimana disinggung di atas, Zimmern berdalih dengan pernyataan bahwa agar tidak terjadi kembali perang, maka dunia pasca PD I sebaiknya mendirikan institusi internasional dan menegakkan hukum internasional. Zimmern mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam memberikan formasi diskursifnya, khususnya dalam perkuliahan tentang pengetahuan etika, hukum, perjanjian dan konvensi internasional. Dalam konteks perkuliahannya, karena Zimmern adalah ahli sejarah, maka cara pengajarannya pun lebih mengarah pada metode verstehen, yakni pemahaman atau pengertian tentang sebuah fenomena, di mana pengalaman dan pemahaman teoritis bercampur aduk. Metode verstehen ini lebih memfokuskan pada pemahaman tentang makna dan penafsiran teks yang selalu bermuatan nilai, baik pada teks- teks yang tersembunyi maupun pada teks-teks sejarah hubungan internasional yang nampak secara fenomenal. Akumulasi pengetahuan yang terus-menerus direproduksi dalam bentuk elemen pernyataan-pernyataan selama tiga puluh tahun ke depan ini (dalam studi mereka sampai dengan tahun 1997), Zimmern mempunyai komitmen tinggi untuk terus merubah dunia agar lebih baik: damai (tanpa perang).
Arkeologi hubungan internasional (HI) mempunyai pendekatan berbeda dengan pendekatan Waltz dan Chandra dalam karya-karyanya yang membagi berdasarkan periode dalam memahami politik internasional. Arkeologi hubungan
40 Steve Smith dan John Baylis, The Globalization of World Politics: an Introduction to International Relations, diedit oleh Steve Smith dan John Baylis (New York: Oxford University
Press, 1997), hlm. 57.
internasional juga mempunyai sasaran objek analisis yang berbeda pula dengan mereka. Arkeologi HI berusaha mengawali analisisnya dengan mengamati wacana yang hadir dipermukaan SHI, sehingga ontologi politik internasional pun dapat terlihat. Hal ini dapat dilihat ketika Zimmern melontarkan pengetahuan moral- legalistik, institusi internasional dan hukum internasional dalam Jurnal The New Europe, yang diedit oleh R.W. Seton Watson. Wacana Zimmern ditindaklanjuti oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson yang secara praktis mengusulkan pernyataan empat belas pasal konsep perdamaian dengan aksioma Wilson’s ‘Fourteen Points’. Usulan ini ditindaklanjuti dengan kelahiran wacana baru HI berupa international diplomacy, yakni perjanjian terbuka (open covenant) antar negara-bangsa. Wacana baru ini akan merubah praktik-praktik diskursif diplomasi tertutup gaya lama, yang menciptakan hubungan pribadi antar negara- bangsa menjadi praktik-praktik diplomasi terbuka. Selain itu, Wilson juga mempercayai pernyataan Zimmern untuk melahirkan institusi internasional: LBB (League of Nations) beserta perangkat aturannya atas dasar prinsip collective
security. 41 LBB ini mengusung pendisiplin konstelasi politik internasional, yakni hubungan atau interaksi antar bangsa bergerak dalam mekanisme hubungan
mutual-understanding dan self-understanding dengan mengikuti tradisi dan sejarah nilai-nilai semacam norma, moralitas, dan hukum, perjanjian, konvensi internasional ala Eropa. Semua nilai-nilai ini direproduksi melalui kebiasaan- kebiasaan internasional yang terus-menerus dijalankan oleh aktor hubungan internasional, para teoritisi, ilmuwan SHI penafsir teks-teks sejarah dan teks hukum internasional terdahulu secara mendalam. Wacana ini mengarah pada salah satu dalih dari formasi diskursif normatif: sebuah kondisi yang menempatkan dirinya pada pandangan-pandangan yang seharusnya terjadi (what ought to be), yakni pandangan yang berkomitmen untuk merubah dunia melalui sebuah
harapan, istilahnya “making the world a better place.” 42 Berawal dari seorang industrialis (kapitalis), sejarawan, disiplin filsafat sejarah, hukum internasional,
formasi diskursif HI pasca PD I dinamai dengan wacana idealisme/liberalisme.
41 LBB bertujuan: menjamin perdamaian dunia, menghindari peperangan, dan menaati hukum dan perjanjian hukum internasional.
42 Smith dan Baylis, op.cit., hlm. 3.
Dengan demikian, arkeologi hubungan internasional menggambarkan jaman industrialisasi (kapitalisme) yang disokong oleh wacana kaum idealis/liberalis.
Wacana idealisme/liberalisme mengalami reproduksi pengetahuan menjadi sebuah seperangkat disiplin pengetahuan dalam SHI. Saat itu SHI adalah wacana idealisme. Disiplin pengetahuan ini dihadirkan dalam bentuk intertekstualitas, sebab pengetahuan dari wacana idealisme/liberalisme merepresentasikan wacana dibalik praktik-praktik diskursif pasca PD I, yakni bagaimana bangunan wacana idealisme/liberalisme muncul sebagai suatu pengetahuan di SHI. Dalam konteks ini intertekstualitas wacana idealisme/liberalisme yang terus direproduksi mulai dari Zimmern dan Wilson dijelaskan oleh Carles W. Kegley Jr. dan Eugene R. Wittkopf berupa pernyataan-pernyataan atau dalih-dalih formasi diskursif: 1). Pada dasarnya manusia secara alamiah itu baik atau altruistic. 2). Welfare menciptakan kemajuan (progress). 3). Perilaku jahat seperti kekerasan, adalah bukan hasil cacat ataupun pembawaan manusia itu sendiri, tetapi cacat institusi atau sistem yang memaksa manusia untuk berbuat selfish dan bertindak brutal. 4). Perang dan anarkhisme internasional tidak dapat dihindari, kecuali dengan mengedepankan institusi yang teratur dan rapi. 5). Perang merupakan masalah global yang membutuhkan penyelesaian kolektif atau multilateral, dibandingkan dengan penyelesaian dalam konteks nasional yang dapat diatasi negara (pemerintahan) itu sendiri. 6). Reformasi harus diinspirasikan dengan perasaan etika untuk kemakmuran dan keamanan semua orang. 7). Masyarakat internasional harus menata diri dalam mengurangi munculnya institusi-institusi yang dapat menciptakan perang. Negara-bangsa harus mereformasi sistem politik mereka sendiri menjadi sebuah pemerintahan yang demokratis, sehingga dalam kepemilikan hak menentukan sendiri (self-determination), mereka tetap terkondisi
aman dan nyaman dalam berhubungan satu dengan lainnya. 43 Berkaitan dengan prinsip collective security institusi internasional seperti
LBB, Ray Maghroori dan Bennett Ramberg, menjelaskan bahwa kaum idealis/liberalis mempercayai dalih: “collective security was superior to a balance
43
Ibid., hlm. 25-26.
of power, the inadequacy of which World War had demonstrated”. 44 Kepercayaan ini diaktualisasikan dalam beberapa mekanisme praktik-praktik diskursif: Pertama, pembentukan collective security dengan menciptakan LBB, menggeser atau menenggelamkan pengetahuan sistem balance of power seperti pembentukan koalisi antar negara-bangsa yang merdeka di jaman pra PD I. Hal ini dilakukan untuk menghalangi para aggressor seperti kasus Jerman. Kedua, dalam menyelesaikan konflik, negara-bangsa sudah seharusnya menekankan jalan mediasi (penengah) dan arbitrer sebagai solusi dari keributan dan konflik bersenjata. Pada tahun 1921 diwujudkan sebuah pengadilan permanen untuk mengadili konflik antar negara-bangsa. Berdasarkan wacana moral-legalistik Zimmern, ratifikasi Kellogg-Briand Pact tahun 1928 yang berisi pernyataan tentang peraturan bahwa perang sebagai instrumen dari kebijakan nasional dihapus (outlawed). Ketiga, para penganut ‘perintah kitab suci’ negara-bangsa
harus mengendalikan persenjataan dan sepakat atas pelucutan senjata. 45 Dalam konteks ini, ilmuwan Indonesia, Mohtar Mas’oed berkomentar bahwa kebutuhan
yang bersifat normatif tidak hanya mempengaruhi substansi dari kajian politik internasional, tetapi juga memunculkan kreasi teoritisasi pada masa itu. Saat itu, negara-bangsa mempunyai optimisme yang tinggi terhadap perdamaian melalui keberadaan hukum dan organisasi internasional. Dia mencontohkan dengan kasus arbitrasi internasional dan konferensi perdamaian Indonesia di Den Haag Belanda sebagai bentuk pengakuan kolonial Belanda terhadap Indonesia. Dia memberikan kesimpulan bahwa aktivitas yang progresif dari hukum dan organisasi internasional, berjalannya metode keamanan kolektif, adanya hak menentukan nasib sendiri dan pelucutan senjata, menunjukkan bahwa minat teoritis sebagian besar ilmuwan HI waktu itu mengarah ke wacana teori yang normatif dan
44
Ray Maghroori dan Bennett Ramberg, “Globalism versus Realism: A Reconciliation,” dalam Globalism versus Realism International Relations Third Debate , diedit oleh Ray Maghroori dan Bennett Ramberg, (USA: Westview Press, 1982), hlm. 225.
45 Charles W. Kegley Jr. dan Eugene R. Wittkopf, “World Politics, Trend and Transformation,” dalam Rival Theoretical Interpretations of World Politics, (New York: Boston, edisi ke-7, 1999),
hlm. 26.
utopia. 46 Pemahaman ini mengarahkan kita bahwa Mohtar Mas’oed merupakan salah satu dari pengarang pengetahuan HI yang membangun wacana idealisme/liberalisme dengan mereproduksi pengetahuannya di Indonesia. Tradisi wacana SHI di Indonesia berdasarkan teks Mohtar Mas’oed masih mencangkok tradisi-tradisi Zimmern dan Wilson. Wacana idealisme/liberalisme di Eropa, Amerika dan Indonesia nampaknya memperoleh ruang yang cukup artikulatif. Wacana idealisme/liberalisme saat itu, berdasarkan teks pernyataan Mohtar Mas’oed, merupakan pengetahuan satu-satunya saat itu dalam mendefinisikan konstelasi politik internasional. Terbungkamnya wacana lain, menjadikan wacana idealisme/liberalisme menjadi satu-satunya formasi diskursif yang paling menentukan ontologi konstelasi politik internasional. Oleh sebab itu, jaman pasca PD I wacana yang dinamai dengan metanarrative, yang memenangkan perjuangan pengetahuan adalah wacana idealisme/liberalisme.
Arkeologi HI menciptakan wacana yang merefleksikan formasi diskursif tertentu di jaman tertentu. Sedangkan genealogi Foucault berusaha melihat reproduksi pengetahuan yang pada akhirnya menjadi wacana metanarrative, yakni pengetahuan yang bermuatan kuasa, yakni membaca dan mendefiniskan politik internasional. Genealogi idealisme/liberalisme SHI yang diusung oleh Zimmern dan Wilson di atas dibangun dari fondasi jarring-jaring nilai liberalisme Eropa: dari para filsuf Inggris seperti John Locke (1632-1704) yang membuat negara konstitusi dan nilai-nilai toleransi serta juru bicara liberalisme. Filsuf Inggris yang terkemuka abad ke-17 lainnya, Jeremy Bentham (1748-1832) merupakan akar kuasa/pengetahuan hukum internasional dan nilai timbal-balik (reciprocity) hubungan internasional. Pemikiran filsuf Inggris ini direproduksi oleh filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) dengan menciptakan nilai-nilai kemajuan dan perdamaian abadi. Dari sekian filsuf ini, akumulasi kuasa/pengetahuan nilai- nilai liberalisme (idealisme) seperti kebebasan, kerjasama, perdamaian, dan kemajuan berkembang dalam wacana idealisme/liberalisme SHI dan kontelasi politik internasional. Wacana pemikiran filsuf ini dikembangkan oleh ilmuwan
46 Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 14.
SHI seperti Normal Angell yang wacananya sangat dipengaruhi oleh John Stuart Mill (1806-1873) ayahnya, James Mill adalah murid Bentham. Tokoh liberalisme (idealisme) HI seperti Charles Beitz mengembangkan gagasan Kant melalui pemikiran John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (1971) tentang teori keadilan. Konsep perdamaian Kant juga dikembangkan oleh Michael Doyle dengan menemukan apa yang Kant ramalkan dan harapkan sebagai zona perdamaian di antara negara-negara demokrasi liberal.
Teks yang dinamakan negara-bangsa merupakan negara modern yang mengembangkan proses modernisasi dengan nilai-nilai liberalisme (idealisme). Selain itu, jangan dilupakan bahwa hadirnya negara-bangsa merupakan awal dari formasi modern dan sekulerisasi (sekulerisme) spatial dunia Barat akibat trauma politisasi jaman abad pertengahan: skolastik (agama Kristen) sekaligus sebagai anak kandung dari modernitas. Jadi dari genealogi formasi diskursif idealisme/liberalisme telah mengakumulasi kuasa/pengetahuan disiplin HI, arkeologi hubungan internasional pasca PD I menampakkan formasi diskursifnya. Wacana ini tidak hanya teoritisasi SHI saja, tetapi sudah sekaligus praktek-praktek diskursif para pelaku (actor) hubungan internasional saat itu dalam berinteraksi di politik internasional.
Arkeologi hubungan internasional memunculkan wacana idealisme/liberalisme karena praktik-praktik diskursif pasca PD I memang menstrukturkannya seperti itu. Dengan demikian, pemahaman (analisis) sebab- akibat era PD I secara determisnitik tidak relevan. Ketiadaan institusi internasional yang menjalankan pratek moral-legalistik untuk menjaga perdamaian dunia internasional menciptakan formasi diskursif baru, yakni mengadakan institusi internasional dan membuat aturan moral-legalistik untuk mendisiplinkan the rule of the game politik internasional. Genealogi wacana idealisme/liberalisme menyimpulkan bahwa perjuangan sejarah pemikiran HI memunculkan wacana idealisme/liberalisme sebagai pemenang di jaman pasca PD
I. Wacana tersebut tidak berada dalam ruang hampa, tetapi menempati ruang pemikiran, ide, teori, pandangan tertentu di dunia politik internasional. Pengarang wacana idealisme/liberalisme seperti Zimmern mempunyai kuasa pengetahuan I. Wacana tersebut tidak berada dalam ruang hampa, tetapi menempati ruang pemikiran, ide, teori, pandangan tertentu di dunia politik internasional. Pengarang wacana idealisme/liberalisme seperti Zimmern mempunyai kuasa pengetahuan
II.2.2. Wacana Realisme
Jerman sudah tidak mau menaati dalih-dalih keharusan untuk mengacu kepada disiplin hukum internasional (the rule of the game) dengan melaksanakan Diktat Versailles. Pergeseran formasi diskursif politik internasional terjadi ketika secara tiba-tiba Jerman menyerbu Polandia, lalu meluaskan ekspansinya ke Norwegia, Belanda, Belgia, Luksemburg, (Juni 1940) Perancis. Sedangkan Inggris sulit ditaklukan melalui serangan Jerman yang terkenal dengan nama Battle of Britain. Ekspansi negara lainnya, Jerman menyerang Yunani dan Yugoslavia (1941), dan sebagian wilayah Rusia. Jepang menyerbu Masyuria (1931), lalu menyerang Cina Timur, Vietnam Selatan, Parl Harbour, Kepulauan Solomon, memutuskan kolonialisme antara Belanda dengan Indonesia, Amerika dengan Filipina, Inggris dengan Birma, Malaysia, dan Singapura. Kemudian praktik-praktik diskursif ini diangkat ke level pernyataan atau wacana berupa teoritisasi, konseptualisasi oleh tokoh fenomenal seperti pengarang E.H. Carr dan Morgenthau dengan memunculkan wacana yang disebut realisme.
Wacana formasi diskursif realisme mampunyai dalih-dalih: 1). Pada dasarnya orang itu selfish dan cacat etika serta tidak dapat lepas dari dosa realita. Mereka terlahir dimaksudkan mengawasi diri mereka sendiri (self-preservation). 2). Semua orang bertindak jahat, tidak ada yang bermoral, non-kompromi dan mengedepankan hasrat nafsu untuk kekuasaan serta keinginan untuk mendominasi yang lain. 3). Kemungkinan untuk membasmi hasrat-hasrat kekuasaan adalah utopia. 4). Politik internasional adalah struggle for power, “a war of all against all”. 5). Kewajiban utama setiap negara –tujuan akhir dari semua target nasional Wacana formasi diskursif realisme mampunyai dalih-dalih: 1). Pada dasarnya orang itu selfish dan cacat etika serta tidak dapat lepas dari dosa realita. Mereka terlahir dimaksudkan mengawasi diri mereka sendiri (self-preservation). 2). Semua orang bertindak jahat, tidak ada yang bermoral, non-kompromi dan mengedepankan hasrat nafsu untuk kekuasaan serta keinginan untuk mendominasi yang lain. 3). Kemungkinan untuk membasmi hasrat-hasrat kekuasaan adalah utopia. 4). Politik internasional adalah struggle for power, “a war of all against all”. 5). Kewajiban utama setiap negara –tujuan akhir dari semua target nasional
sistem aliensi yang selalu berubah. 47 Formasi diskursif di atas membaca dan mendefinisikan bahwa dalam
percaturan politik, ekonomi dan keamanan internasional, sasaran utama yang seharusnya dikonsentrasikan adalah tindakan pembendungan musuh bersama atau istilahnya “aliansi.” Pasca PD II, politik internasional, bermula dari pengetahuan Barat, realisme dalam membaca dan mendefinisikan Uni Soviet sebagai suatu kekuatan yang berbahaya. Dalam pendekatan genealogi, pengetahuan realisme melihat bahwa Uni Soviet perlu dibendung fregmentasinya, demikian juga sebaliknya. Akibat dari pengetahuan realisme, maka pemahaman politik internasional dipahami sebagai hubungan yang konfliktual seperti hubungan antara Barat-Timur. Di daratan Eropa ini, muncul teori hubungan internasional realisme tentang perlunya “membendung” musuh –yang dilontarkan oleh pengarang Barat Amerika Serikat, George F. Kennan. Dia berdalih bahwa sekutu Barat perlu menahan perluasan pengaruh Timur, Soviet. Dengan kata lain, reproduksi dan akumulasi wacana Kennan dalam SHI memunculkan dalih tentang derajat “pembendungan” terhadap Uni Soviet. Dimulai dari pengetahuan ini, maka lahirlah konsep hubungan yang bernuansa konfliktual seperti “Barat-Timur”, “Keamanan Eropa”, “Negara Tirai Besi”, dan “Perang Dingin” serta “Tirai
Kegley dan Wittkopf, op. cit., hlm. 28-29.
Bambu”–sebagai blok komunisme Asia. 48 Sebelum Kennan melontarkan pengetahuannya, politik internasional masih tak terdefinisikan dan belum terbaca
sebagai apa yang didalihkan oleh wacana kaum realis sekarang ini. Namun setelah itu, pengetahuan Kennan memudahkan kubu Barat (Amerika Serikat, dll) mengontrol realitas politik internasional. Dengan pengetahuan realisme, Amerika berevolusi menjadi penguasa global pasca PD II. Tujuan dan praktik-praktik diskursif politiknya telah menentukan lingkungan politik internasional. Dalam hal ini, formasi diskursif ilmu pengetahuan para pengambil kebijakan Amerika Serikat tidak hanya berperan dalam politik internasional, tetapi juga dalam penciptaan objek ilmu pengetahuan yang baru dan wilayah kekuasaan yang baru seperti studi Asia Tenggara, studi Islam, studi Soviet, studi Cina, dll. Saat ini, politik internasional didefinisikan dan dibaca sebagai era dekolonialisasi dan Perang Dingin. Signifikan kekuasaan pax-Amerikana berbeda dengan kekuasaan pax-Britannika, dan situasi kepentingan korporasi pasca PD II terhadap dunia Timur (dunia Ketiga) berbeda dengan kondisi di mana korporasi kolonial
berkembang dahulu. 49 Oleh sebab itu, timbulnya wacana realisme dan surutnya wacana idealisme membuat politik internasional berubah: hadirnya nilai-nilai
yang kejam, dipenuhi hasrat nafsu, adanya kecurigaan yang tinggi, menghilangnya sifat altruistic, aspek ekonomi hilang dari permukaan, bermainnya sistem sosial internasional yang diartikulasikan melalui kepuasaan emosi dan pemenuhan hasrat-hasrat jasmani, yang sering disebut dengan popularitas, gengsi dan harga diri negara-bangsa, bukan faktor ekonomi yang mengedepankan perdagangan internasional, penghasilan negara yang melimpah dan masyarakat yang bebas melakukan aktifitas ekonomi.
Momentum PD II benar-benar merubah, memutuskan dan menenggelamkan bangunan formasi diskursif dari pendahulunya: Locke, Bentham, dan Kant sebagai yang disebut dengan wacana idealisme/liberalisme menjadi wacana realisme. Genealogi wacana realisme bermula dari kuasanya
48 Juwono Sudarsono dkk, “State of Art Hubungan Internasional: Mengkaji Ulang Teori Hubungan Internasional,” dalam Perkembangan Studi HI dan Tantangan Masa Depan, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1996), hlm. 6. 49 Philpott, op.cit., hlm. 48-49.
dalam membaca dan mendefinisikan fenomena politik internasional, PD II yang diambil dari formasi praktik-praktik diskursif Perang jaman Yunani kuno yang digambarkan oleh Thucydides. Timbul kembalinya praktik-praktik Yunani Kuno, melalui wajahnya yang sudah berbeda sama sekali menciptakan keunikan tersendiri. Dalam konteks ini, Thucydides tidak mempunyai maksud membaca dan mendefinisikan Perang Peloponnesia Yunani dengan kerangka konseptual. Dalam membaca perang tersebut, Thucydides hanya mereproduksi dalih Aristoteles berupa: “a man is political animal.” Dasar ini merupakan dalih yang direproduksi terus-menerus, sehingga kaum realis bukanlah kaum yang merekonstruksi jaman, tetapi hanya memunculkan wacana masa lalu saja dalam bentuknya yang lebih unik. Di sini tidak ada sama sekali sebuah kemajuan apapun, selain dari sebuah perulangan atau timbulnya kembali wacana yang sebelumnya telah surut. Saat itu, semua negara-bangsa adalah binatang politik sebagai artikulasi dari ordo manusia masa lalu. Praktik-praktik diskursif dalam kancah politik internasional PD II tidak berhenti pada wacana Thucydides. Wacana Machiavelli (1469-1527) juga direproduksi kembali untuk membaca politik internasional. Teks wacana Machiavelli masa kerajaan Italia dulu diadopsi oleh ilmuwan HI seperti Morgenthau dalam melihat fenomena politik internasional PD II. Misalnya konsep power yang dimetaforkan oleh Machiavelli melalui istilah “Singa” dan “rubah,” ketika memaknai atau membaca aktor-aktor kuat politik internasional PD II. Otoritas pengetahuan Machiavelli memaknai elemen negara-bangsa dengan dalih bahwa negara-bangsa seharusnya memiliki sifat kejam, egois, tindakan menghalalkan segala cara untuk mengejar kepentingannya, dan tentang permasalahan moral, etika dikendalikan (ditentukan) di bawah (atas otoritas) kebijaksanaan “sang singa” atau “rubah.” Tidak jauh berbeda dengan Machiavelli, otoritas pengetahuan Thomas Hobbes (1588-1679) yang membaca praktik-praktik diskursif jaman skolastik juga dihadirkan kembali untuk memaknai atau membaca fenomena politik internasional PD II sebagai sebuah sejarah monumental tentang kekejaman, kebinatangan, kebrutalan, kebengisan, kekerasan, dan kejahatan diekspresikan dengan tindakan liar dan bebas oleh manusia. Mekanisme wacana yang beroperasi melalui elemen “state of dalam membaca dan mendefinisikan fenomena politik internasional, PD II yang diambil dari formasi praktik-praktik diskursif Perang jaman Yunani kuno yang digambarkan oleh Thucydides. Timbul kembalinya praktik-praktik Yunani Kuno, melalui wajahnya yang sudah berbeda sama sekali menciptakan keunikan tersendiri. Dalam konteks ini, Thucydides tidak mempunyai maksud membaca dan mendefinisikan Perang Peloponnesia Yunani dengan kerangka konseptual. Dalam membaca perang tersebut, Thucydides hanya mereproduksi dalih Aristoteles berupa: “a man is political animal.” Dasar ini merupakan dalih yang direproduksi terus-menerus, sehingga kaum realis bukanlah kaum yang merekonstruksi jaman, tetapi hanya memunculkan wacana masa lalu saja dalam bentuknya yang lebih unik. Di sini tidak ada sama sekali sebuah kemajuan apapun, selain dari sebuah perulangan atau timbulnya kembali wacana yang sebelumnya telah surut. Saat itu, semua negara-bangsa adalah binatang politik sebagai artikulasi dari ordo manusia masa lalu. Praktik-praktik diskursif dalam kancah politik internasional PD II tidak berhenti pada wacana Thucydides. Wacana Machiavelli (1469-1527) juga direproduksi kembali untuk membaca politik internasional. Teks wacana Machiavelli masa kerajaan Italia dulu diadopsi oleh ilmuwan HI seperti Morgenthau dalam melihat fenomena politik internasional PD II. Misalnya konsep power yang dimetaforkan oleh Machiavelli melalui istilah “Singa” dan “rubah,” ketika memaknai atau membaca aktor-aktor kuat politik internasional PD II. Otoritas pengetahuan Machiavelli memaknai elemen negara-bangsa dengan dalih bahwa negara-bangsa seharusnya memiliki sifat kejam, egois, tindakan menghalalkan segala cara untuk mengejar kepentingannya, dan tentang permasalahan moral, etika dikendalikan (ditentukan) di bawah (atas otoritas) kebijaksanaan “sang singa” atau “rubah.” Tidak jauh berbeda dengan Machiavelli, otoritas pengetahuan Thomas Hobbes (1588-1679) yang membaca praktik-praktik diskursif jaman skolastik juga dihadirkan kembali untuk memaknai atau membaca fenomena politik internasional PD II sebagai sebuah sejarah monumental tentang kekejaman, kebinatangan, kebrutalan, kebengisan, kekerasan, dan kejahatan diekspresikan dengan tindakan liar dan bebas oleh manusia. Mekanisme wacana yang beroperasi melalui elemen “state of
Bahasa ilmu sosial politik realisme berperan ganda: kolonialisme dan ilmu pengetahuan. Karena pengetahuan realisme adalah kuasa itu sendiri, maka ruang yang dinamakan politik internasional memiliki kualitas dan keabsolutan yang ditentukan oleh pembayangan abstraksi kaum realis. Dengan kata lain, ruang politik internasional dibentuk dan dipahami oleh rasionalisasi mekanik kaum realis. Abstraksi politik internasional adalah sebuah teks bahasa yang diambil dari ruang imajinasi kaum realis, sehingga politik internasional pasca PD II dikuasa oleh kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat yang berpengetahuan realisme. Berkaitan dengan konteks ini, genealogi pemikiran seperti di atas diwacanakan menyebar melalui para penganut wacana realisme seperti Raymond Aron yang sangat terilhami oleh Hobbes dan Clausewitz, John Herz yang tentunya mirip sekali pemahamannya dengan Hobbes, sedangkan tokoh kontemporernya seperti Kissinger, Krasner, dan Susan Strange pun mereproduksi wacana-wacana realpolitik jaman pencerahan Eropa melalui varian-variannya.
II.2.3. Wacana Tradisionalisme
Wacana idealisme dan realisme merupakan pengetahuan yang masih mengaitkan dirinya dalam wadah pendekatan sejarah filsafat, etika, politik dan hukum internasional. Pendahulu HI seperti Zimmern memberikan pelajaran menggunakan pendekatan sejarah filsafat dan hukum internasional ala Grotian, John Herz menggunakan pendekatan filsafat politik Hobbesian, Martin Wight menggunakan pendekatan filsafat sejarah, E.H. Carr, Morgenthau juga tidak jauh berbeda, dll. Terkait dengan kuasa wacana tradisional, Chandra menjelaskan lima tahapan perkembangan wacana tradisional HI dengan mengutip karya Kenneth Waltz Thomson, The Study of International Politics: A Survey of Trends and
Development (1952). Chandra menjelaskan lima tahapan wacana HI yang dibagi sebagai berikut: pertama, periode hampir akhir PD I yang didominasi oleh monopoli wacana sejarawan diplomatik yang menghindari studi permasalahan kekinian dan menghentikan perkembangan yang terpusat pada ranah teoritisasi, sehingga teori hubungan internasional saat ini tidak berkembang. Kedua, periode akhir PD I yang menekankan pada studi isu-isu kekinian. Namun pendekatan ini miskin dari pandangan integral hubungan internasional, karena tanpa melihat referensi masa lalu. Ketiga, periode kelanjutan dari periode sebelumnya sampai dengan akhir periode inter-war years. Periode ketiga ini memberikan kejutan yang begitu signifikan, sehingga para sarjana hubungan internasional mengadopsi wacana pendekatan moral-legalistik secara esensial dan melihat perang sebagai kecelakaan dan dosa. Selain itu, para sarjana tersebut menyatakan usulan: perlunya institusi internasional dan hukum internasional sebagai alternatif
“ultimate argument of kings“–mengajak perang. 50 Semua wacana ini bersumber dari formasi diskursif idealisme/liberalisme. Menurut penulis, pemaparan Martin
Wight di atas cukup menjelaskan formasi diskursif wacana tradisionalisme: 1). SHI jauh berbeda dengan teori politik. SHI lebih luas lingkupannya, kerumitannya, abstraksinya, sedangkan teori politik dan hukum sifatnya normal – tingkat kerumitannya lebih rendah daripada SHI, dan kalkulasi terhadap fenomena mudah diketahui hasilnya. Dengan kata lain, Wight menyatakan bahwa teori politik mempunyai kecenderungan untuk mengacu pada teori politik, pendekatan behavioralisme dan hukum, sedangkan teori internasional mempunyai kecenderungan mengacu pada studi sejarah. 2). SHI dan praktik-praktik diplomasi terjadi kondisi konfliktual dengan SHI, karena praktek-praktek diplomasi dan politik internasional didominasi oleh teori politik internasional bukan oleh penulisan sejarah (sejarawan). Dalam hal ini, Wight menunjukkan karya ahli sejarah Yunani, Thucidydes yang menulis Peloponnesian War dengan
menggunakan pendekatan sejarah. 51 3). Teks sejarah ini berelaborasi dengan
50 Prakash Chandra, International Politics, edisi ke-2 (India: Vikas Publising house PVT LTD, 1995), hlm. 3-4.
51 Menurut John Spanier perbedaan sejarah dengan teori: historians focus on the descriptions of specific events, which are unique to those times and places. While they can tell us how and why a 51 Menurut John Spanier perbedaan sejarah dengan teori: historians focus on the descriptions of specific events, which are unique to those times and places. While they can tell us how and why a
Melalui pemahaman B.K. Gills, kita dapat melacak genealogi kuasa teks- teks otoritatif wacana tradisional. Wacana tradisional dapat dikatakan sebagai jendela sejarah di HI. Gills mejelaskan bahwa pengaruh teks sejarah dapat dibagi tiga jenis: pertama, pemikiran sejarah tradisional. Pemahaman dari sejarah internasonal ini diawali dari kuasa sejarawan sosial Arnold Toynbee melalui konsep terkenalnya: ‘universal history’. Pemikir HI yang terpengaruhi oleh teks otoritatif Toynbee diantaranya adalah Martin Wight dan Hedley Bull. Kunci dari wacana sejarah tradisional ini adalah menganalisa negara-bangsa yang sudah (telah) eksis dalam sejarah: immanent explanation. Kedua, materialisme sejarah (historical materialism). Materialisme sejarah berasal dari pandangan Marxisme. Dia berargumen bahwa materialisme sejarah berupa masa lalu atau fakta-fakta materialistik yang sudah tertulis dulu merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh kaum kapitalis dan kaum buruh di dalam proses perjuangan kelas mereka. Pendekatan ini diadopsi oleh Robert Cox untuk mengkritik neo-realisme dan mengembangkan pemikiran Gramsci. Selain itu, pendekatan Marx yang diadopsi Lenin dan Stalin juga memberi kontribusi besar dalam SHI seperti adanya istilah imperialism: the highest stage of capitalism. Ketiga, sejarah sosiologi (sociological history). Saat ini, sosiologi memberi banyak kontribusi dalam studi sejarah yang mempunyai relevansi dengan SHI. Sejarah sosiologi
specific war happened, they do not tell us why wars occur more generally. A theory of international politics would attempt to answer this question. Such a theory would not look at each war as unique, but would analyze many wars. It would then specify from the data exactly which conditions seem repeatedly to result in war . Lihat John Spanier, Games Nations Play, edisi VII, (Florida: CQ Press, 1990), hlm. 9.
terkadang hadir tumpang tindih dengan sejarah materialismenya Marx, tetapi perbedaan yang signifikan terlihat dalam penjelasan terhadap aspek sosiologi Waberian. Pencetus dari pendekatan sejarah sosiologi ini adalah Fernand Braudel yang memunculkan konsep ‘total history,’ yakni kajiannya enam belas abad di dunia Mediterranean. Dalam konteks ini, Immanuel Wallerstein sebagai salah satu anak didik darinya; kajiannya tentang perkembangan masyarakat kapitalis di Eropa abad kedelapan belas. Pendekatan sejarah sosiologi ini juga dinamakan pendekatan sistem dunia (world-system approach). Salah satu pokok pemikirannya adalah menjelaskan ekonomi dunia; berasumsi posisi negara-bangsa cenderung lebih lemah dari masyarakat, tetapi masyarakat lebih lemah posisinya dari aspek ekonomi (area Asia Selatan); kota-kota kapitalis di Eropa berstruktur memusat; sejak abad lima belas Eropa terdapat ‘hierarchy of zones.’ Turunan dari pendekatan ini adalah ‘LSE School’ yang merupakan pecahan dari pendekatan sistem dunia. Pendekatan ini dicetuskan oleh Raymond Aron, Michael Mann dan John Hall. Pendekatan ini menekankan pada ‘geopolitical militarism’ yang mana militarisme berasal dari aspek geopolitik struktur sosial kita. Menurut mereka, aspek ini lebih tua dari kapitalisme. Pandangan militarisme ini bergabung atau
masuk ke dalam aspek ekonomi ketika kapitalisme lahir. 52 Identitas SHI pasca PD I di bawah penaklukan formasi diskursif
tradisional. Sejarah jaman PD I tidak ditentukan oleh subjek pemenang sejarah, tetapi oleh wacana yang melekat pada pemenangnya bersama dengan tatanan formasi diskursif yang melekat dalam dirinya. Sebenarnya tidak ada suatu kemajuan yang berarti, sebab formasi wacana tradisional tidak lebih dari sebuah peningkatan pamor sejarawan Yunani Kuno yang dioperasionalkan oleh sejarawan Eropa pencerahan yang sedang naik daun. Wacana tradisional membereskan semua lawan-lawan tandingnya, sehingga tidak ada wacana lainnya. Metanarrative gerakan tradisional begitu massive dan total dalam menyetir SHI dan ontologi politik internasional. Politik internasional dipraktikkan oleh aktor- aktor yang berkompetensi kuat dengan wacana pemikiran sejarah. Pemetaan dunia
52 B.K. Gills, “International Relations Theory and the Processes of World History: Three Approachs,” dalam The Study of International Relations: the State of the Art, edited Huga C. Dyar
dan Leon Mangasarian, (New York: St. Martin’s Press, 1989), hlm. 104-138.
politik internasional dibaca dan didefinisikan oleh apa yang para pemikir jaman Eropa pencerahan dulu bayangkan. Apa yang didiskripsikan dan direplikasi dari suatu ontologi politik internasional pasca PD I adalah bagian dari suatu kenyataan pemikiran, konsep, perspektif para pendahulunya, sebab pembaca dan pendefinisi dari ruang realitas politik internasional adalah ‘sang pengarang’ yang mempunyi relasi kuasa footnote atas otoritas teks-teks lama seperti teks dari filsafat sejarah Yunani Kuno dan teks dari para pemikir abad pencerahan.
Misalnya ‘sang pengarang’ seperti Edward Hallett Carr yang merupakan seorang realis, yang pertama kali mempercayai realisme politik seperti halnya John Herz dan setelahnya, Morgenthau. Dalam karyanya, “The Twenty Years’ Crisis” (1939) E.H. Carr berusaha memperjuangkan apa yang dinamakan sebagai pengetahuan realisme. Scott Burchill meringkas pengetahuan pemikiran E.H. Carr. Carr berpendapat bahwa sangat berbahaya jika kita berpijak berdasarkan dari karakter normatif, karena SHI akan mengarah pada bayangan tentang segala hal yang seharusnya, bukan pada sesuatu yang ada. Penyerangan Jepang terhadap Manchuria dan Italia menduduki Abisinia mengakhiri pamor dari kebangkitan kaum idealis/liberalis. Menurut dia, apa yang kita butuhkan adalah pengetahuan yang lebih tajam, di mana menekankan pada realitas kekuasaan politik dalam SHI, dibandingkan dengan dengan studi dunia internasional yang terbayangkan dengan apa yang seharusnya. Menurut dia, sistem politik internasional pasca perang telah diciptakan oleh para pemenang perang, merupakan rancangan dari mereka yang tetap mendapatkan keuntungan lebih, dari ekspansi kekuasaan ‘revisionist’. Kemunculan realisme menciptakan suatu kemenangan baru dari suatu perjuangan pemikiran sejarah Pasca PD I dan bentuk pemberontakkan atas wacana status quo yang ada. Menurut dia, kaum idealis/liberalis seperti Zimmern dan Wilson telah menjadi alat kepentingan bagi peguasa saat itu. Jika pengetahuan kaum utopia diambil secara serius, maka masyarakat politik internasional menempatkan kondisi ilusi kaum idealis/liberalis ini menjadi sesuatu yang lazim. Pada kenyataannya, tatanan pasca PD II merefleksikan kepentingan spesifik dari suatu Misalnya ‘sang pengarang’ seperti Edward Hallett Carr yang merupakan seorang realis, yang pertama kali mempercayai realisme politik seperti halnya John Herz dan setelahnya, Morgenthau. Dalam karyanya, “The Twenty Years’ Crisis” (1939) E.H. Carr berusaha memperjuangkan apa yang dinamakan sebagai pengetahuan realisme. Scott Burchill meringkas pengetahuan pemikiran E.H. Carr. Carr berpendapat bahwa sangat berbahaya jika kita berpijak berdasarkan dari karakter normatif, karena SHI akan mengarah pada bayangan tentang segala hal yang seharusnya, bukan pada sesuatu yang ada. Penyerangan Jepang terhadap Manchuria dan Italia menduduki Abisinia mengakhiri pamor dari kebangkitan kaum idealis/liberalis. Menurut dia, apa yang kita butuhkan adalah pengetahuan yang lebih tajam, di mana menekankan pada realitas kekuasaan politik dalam SHI, dibandingkan dengan dengan studi dunia internasional yang terbayangkan dengan apa yang seharusnya. Menurut dia, sistem politik internasional pasca perang telah diciptakan oleh para pemenang perang, merupakan rancangan dari mereka yang tetap mendapatkan keuntungan lebih, dari ekspansi kekuasaan ‘revisionist’. Kemunculan realisme menciptakan suatu kemenangan baru dari suatu perjuangan pemikiran sejarah Pasca PD I dan bentuk pemberontakkan atas wacana status quo yang ada. Menurut dia, kaum idealis/liberalis seperti Zimmern dan Wilson telah menjadi alat kepentingan bagi peguasa saat itu. Jika pengetahuan kaum utopia diambil secara serius, maka masyarakat politik internasional menempatkan kondisi ilusi kaum idealis/liberalis ini menjadi sesuatu yang lazim. Pada kenyataannya, tatanan pasca PD II merefleksikan kepentingan spesifik dari suatu
Apa yang diungkapkan di atas adalah sebuah mekanisme kuasa pengetahuan dari Carr yang berusaha memperjuangkan pemikirannya. Sejarah pemikiran yang dia adopsi dari para pemikiran filsafat menjadi sebuah footnote sekaligus otoritas teks untuk menyangga bangunan argumentasinya. Wacana tradisional yang digunakan oleh Carr berpijak pada identitas filsafat sejarah Eropa abad pencerahan. Penulis melihat bahwa di sini tidak ada kemajuan dan progres sama sekali, tetapi justru wacana tradisional hanya menguatkan kembalinya pembacaan-pembacaan berdasarkan dalih-dalih teks masa lalu dan pemikiran filsafat. Formasi diskursif yang timbul ini menaklukan, tidak hanya pemikiran para ilmuwan HI, tetapi menaklukan konstelasi politik internasional, sehingga mudah dikendalikan, diukur dan diraba-raba tingkat sensitivitasannya. Kesimpulan yang ditangkap dari wacana tradisional, wacana ini dipahami sebagai dalih-dalih dalam bentuk aksi bahasa. Wacana ini adalah jendela yang menentukan arah pandang pemahaman kita terhadap cakrawala diri kita sendiri untuk menentukan benar-salah, indah-suram, tepat-tidak tepat. Subjek sejarah sebagaimana para Hegelian sebenarnya tidak ada pada wacana tradisional, yang ada dan masuk akal oleh pemikiran orang-orang saat itu hanyalah wacana tradisional yang menentukan dirinya. Mekanisme wacana-wacana dalam perjuangan pemikiran menghasilkan kemunculan formasi diskursif tradisional. Formasi ini yang menentukan arah epistemologi HI pasca PD I dengan menciptakan realitas politik internasional.
II.2.4. Wacana Saintisme (Strukturalisme)
Sebagai mana disinggung di atas, SHI secara keilmuan sudah menjadi disiplin ilmu dalam ruang lingkup nasional di ilmu sosial dan politik di Wales, Inggris yang memfokuskan pada studi politik internasional. SHI masih memfokuskan pada isu-isu yang sangat terbatas seperti perang-damai, sebab- sebab perang, konvensi internasional, sejarah diplomasi, hubungan antar negara-
53 Scott Burchill, “Realism and Neo-realism,” dalam Theories of International Relations, (London: MacMillan Press LTD, 1996), hlm. 67-73.
bangsa dan politik luar negeri. Implikasinya, SHI menjadi turunan dari disiplin ilmu hukum internasional, disiplin ekonomi internasional, disiplin sejarah
internasional, dan disiplin politik (internasional). 54 Dengan berjalannya dinamika disiplin ilmunya, ketika konferensi Unesco (1948) berlangsung, SHI dalam
cakupan internasional disahkan secara legal-formal institusional dimasukkan sebagai sub dalam ilmu politik. Walaupun pada abad ke-20, di universitas- universitas dunia SHI menyinggung aspek hukum, sejarah dan ekonomi, legalitas
SHI sebagai disiplin ilmu sudah jelas masuk pada bagian tubuh ilmu politik. 55 Namun sebagai ilmu, SHI masih belum cukup dipahami sebagai ilmu yang ilmiah
dan dinamai sebagai ilmu pengetahuan. Dalam karya Open the Social Science (1996), Immanuel Wallerstein menyoroti lebih mendalam tentang isu perubahan disiplin ilmu sosial. Dengan mengutip Wolf, Wallerstein menyatakan bahwa menjelang PD I, ilmu-ilmu sosial semakin menguat di lima negara: Inggris, Perancis, Italia, Jerman dan AS, sehingga muncul lima studi ilmu sosial: ilmu sejarah, ilmu politik, ilmu ekonomi, antropologi dan sosiologi. Saat itu, sejarah menjadi disiplin ilmu yang mandiri, dan diakui bukan sebagai kajian spekulatif berarti memisahkan diri dari filsafat, tetapi sebagai kajian empiris. Ilmu ekonomi juga merupakan istilah baru di abad ke-19, sebelumnya ekonomi yang dibahas, ketika Adam Smith berupa studi filsafat, moralitas dan ekonomi-politik Inggris. Ilmu sosiologi menjadi sebuah ilmu sosial didisiplinkan sebagai sebuah studi ketika mengadopsi wacana positivisme (Auguste Comte) sebagai pendekatan sekaligus metodenya. Terakhir adalah studi tentang ilmu politik yang pada saat itu masih cenderung belum tegas mengikuti kubu positivisme Auguste Comte secara setengah-setengah. Ilmu tersebut masih menggunakan metode spekulasi dan filsafat, hingga pada akhirnya terjadi perubahan formasi diskursif pasca 1945 di Amerika Serikat. Bermula dari
54 Chris Brown, Understanding International Relations, (London: MacMillan Press LTD, 1999), hlm. 21.
55 Soelistyati Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hlm. 29.
Amerika Serikat, jelasnya University of Chicago, ilmu politik bersama subnya SHI mengadopsi wacana saintisme sebagai pendekatan dan metodenya. 56
Pasca PD II, SHI mulai mengalami perubahan formasi diskursif, adanya pernyataan yang menyebutkan bahwa SHI mempunyai dua kelemahan: pertama, semua pendekatan SHI seperti pendekatan sejarah, pendekatan hukum internasional, pemaknaan melalui filsafat dan metode verstehen dalam membaca fenomena politik internasional tidak bebas nilai, objektif dan mempunyai keberpihakan terhadap pihak-pihak tertentu, sehingga ketepatannya dalam membaca dan mendefinisikan realitas politik internasional kurang akurat, tepat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, SHI sebagai disiplin ilmu tidak ilmiah karena bersifat subjektif dan bermuatan nilai. Kedua, dengan semua pendekatan seperti sejarah, hukum internasional, filsafat dan metode verstehen, para pelajar mengalami kesulitan dalam mempelajari konstelasi politik internasional, sebab semua ketrampilan SHI bukan sesuatu yang mudah dipelajari, ditiru, tetapi lebih sebagai bakat, seni (art) atau ketrampilan yang membutuhkan penjiwaan sepenuh hati. Saat itu, SHI diasosiasikan oleh beberapa ilmuwan yang kritis sedang mengalami krisis metodologi dan krisis epistemologi. Kaum kritis ini berusaha keras untuk melakukan perubahan, diantaranya melakukan revolusi metodologi SHI, di University of Chicago, Amerika Serikat (1945). Hal ini memberikan pengaruh yang cukup kuat kepada pemikir SHI pasca PD II seperti imigran Jerman, Morgenthau. Selain dia, masih banyak ilmuwan seperti Kenneth Waltz, Morton Kaplan, David Singer, Karl Deutsch, John Spanier, Patrick Morgan, Richard Synder, yang gigih memperjuangkan pemikiran tentang dalih- dalih saintisme.
Wacana saintisme di wilayah ilmu politik dilahirkan oleh Charles E. Merriam. Dia merupakan bapak pembabtis para intelektual dari ilmu politik yang percaya dengan dalih-dalih saintisme. Wacana saintisme pada awalnya dinamai dengan wacana behavioralisme, karena kaidah dan dalihnya bersumber dari behavioralisme psikologi, yakni penyelidikan berdasarkan pola perilaku aktor-
56 Immanuel Wallerstein, Open the Social Science, (California: Stanford University Press California), 1996 diterjemahkan oleh Oscar, Lintas Batas Ilmu Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1997).
aktor politik, baik nasional maupun internasional. Dia memulai kariernya di Universitas Chicago Amerika Serikat sebagai ahli ilmu politik Eropa dan Amerika dengan karya pertamanya, Primary Election (1908) sebagai representasi dari wacananya yang bersifat behavioralistik: analitik-empiris. Konferensi nasional tentang ilmu politik diselenggarakan pada musim panas tahun 1923, 1924 dan 1925. konferensi kedua diselenggarakan di Chicago, di bawah pimpinan Merriam dan Leonard White, yang memberikan arah baru bagi ilmu politik. Dalam New Aspects of Polities, Merriam menerangkan dan menganjurkan ilmu politik sebaiknya sebagian besar analisisnya menekankan pada metode, prosedur dan pentingnya mengkuantifikasikan data-data serta penemuan-penemuan yang ada. Pada akhirnya, departemen ilmu politik Universitas Chicago menjadi pusat utama kegiatan-kegiatan akademik, serta berhasil menciptakan ilmuwan-ilmuwan politik terkemuka, seperti: Leonard White, Harold Gosnell, Quincy Wright, Harold Lasswell, Frederich Schuman, V. O. Key Jr, Gabriel Almond, Avery Leiserson, Herbert Simon dan David Truman. Mereka itu merupakan pelopor revolusi behavioralisme dalam ilmu politik. Di bawah pimpinan Hans Morgenthau dan Leo Strauss revolusi behavioral sempat surut, karena kedunya masih mengagungkan studi sejarah filsafat. Namun tahun 1950an, perkembangan ilmu politik behavioral mendapat dukungan keras terutama oleh berbagai donatur seperti, institusi Carnegie, Rockefeller dan Ford. Yayasan-yayasan tersebut juga mendirikan program-program besar, seperti penelitian yang dilakukan secara analitik-empirik di Michigan. Wacana behavioralisme dapat diinterpretasikan sebagai timbulnya wacana baru guna mengembalikan aspek-aspek ilmiah ilmu politik secara serius. Wacana ini mempunyai fondasi berdasarkan pada dalih-dalih ilmu alam dan biologi serta sejalan dengan perkembangan baru yang terjadi dalam bidang psikologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya–sosiologi. Perilaku yang merupakan sesuatu yang dapat diamati dan dipelajari secara objektif, benar-benar tengah menjadi fokus perhatian yang semakin besar bagi semua ilmuwan sosial
yang ilmiah. 57 Dalam hal ini, dalih-dalih saintisme awal atau pendekatan behavioralisme dalam SHI dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). SHI tidak jauh
SP. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hlm. 18-30.
berbeda dengan teori politik yang mengutamakan kalkulasi terhadap fenomena agar mudah diketahui hasilnya. 2). SHI didominasi oleh praktik-praktik tradisi ilmu alam atau pendekatan saintifik dengan menghapus pendekatan sejarah dan filsafat. 3). Dengan tidak ada kaitannya sama sekali dengan sejarah dan filsafat, karena dengan tradisi saintifik, SHI justru memotong tali penyambung antara sejarah-filsafat dengan tradisi pemikiran saintisme.
Genealogi kuasa intelektual behavioralisme amatlah kompleks. Leluhur dari wacana ini merujuk pada otoritas teks skeptis dan empiris David Hume. Pelopor wacana ini di Amerika adalah pragmatismenya William James (1842- 1910), yang menekankan pada empirisme, voluntarisme, tindakan-tindakan invidual dan hubungan antara kesadaran dan tujuan. Perhatian seperti ini cocok untuk prinsip-prinsip individualisme John Locke untuk menerangkan perilaku individu. Pelopor yang lain adalah, Charles S. Pierce (1839-1914) yang menciptakan pragmatism. John Dewey (1859-1952) yang merupakan pelopor filsafat praktis mengenai kebenaran yang tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip ideal (ide), melainkan pada pengalaman-pengalaman observasi. Perubahan umum atas proses belajar yang berkaitan dengan filsafat yang memunculkan disiplin ilmu psikologi dan dengan penekanan ini, filsafat menjadi “scientific” atau “observational persuit:” observasi perilaku manusia. Istilah behavioralisme dicetuskan oleh John B. Watson (1878-1958), ahli psikologi menganggap proses belajar terjadi sebagai hasil dari pengamatan antara rangsangan dan respon. Nampaknya filsafat dan sejarah merasa ganjil dengan metode eksperimetal. Kalaupun mereka tertarik pada pertanyaan-pertanyaan filsafat, ilmuwan behavioralis lebih melihat para filsuf ilmu seperti, Alfred North Whitehead, Rudolf Carnap dan Carl Hempel. Tujuannya adalah menenggelamkan wacana tradisional dan meningkatkan pamor wacana saintisme: logical-empirism. Dengan mendukung mengadopsi wacana ilmu alam (saintisme), kaum behavioralis terkait dengan jaring kuasa pengetahuan positivisme Saint Simon yang menekankan
metode ilmiah. 58
58 David E. Apter, Introduction to Political Analysis, (Cambridge: Massachusetts, Winthrop Publishers, Inc., 1977), hlm. 216-217.
Akumulasi kuasa pengetahuan untuk terus menciptakan kebenaran- kebenran baru dilakukan secara intens atau regular (1952) dan oleh kaum behavioralis dalam sebuah perkumpulan yang dinamai dengan “Komite Ilmu Tingkah-Laku” (Committee on Behavioural Science) di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Mekanisme kuasa pengetahuan diformulasikan dalam diskusi reguler yang menyangkut persoalan: bagaimana mengilmiahkan ilmu politik? Lebih tepatnya, bagaimana ilmu politik memiliki kesepakatan tentang sifat, ruang- lingkup, metode ilmu politik yang sama. David Easton merupakan salah satu dari pemikir behavioralis pertama yang menggunakan wacana saintisme, yakni analisis sistem dalam ilmu politik, dalam karyanya Political System (1953). Analisis sistem ini, pada akhirnya diterapkan di dalam SHI seperti juga dalam ilmu politik untuk membuat deskripsi yang lebih ilmiah dan bermetode induktif, serta pembuatan generalisasi dengan dasar pengetahuan kumulatif untuk membuat teori. Kaum behavioralis memberi penekanan pada ketelitian dan operasionalisasi konsep daripada intuisi dan pengertian tentang konsep sejarah masa lalu yang immanent. Kaum behavioralis sangat kuat dengan pandangan bahwa teori-teori harus dijauhkan dari ideologi apapun atau pre-konsepsi normatif. Analisa sistem dalam HI disebarluaskan secara luas oleh ilmuwan seperti Morton Kaplan, Karl Deutsch, Stanley Hoffman dan Charles McClelland. Mereka meyakini bahwa dalam kenyataannya SHI tidak dapat dipelajari secara terpisah dengan ilmu
politik. 59 Kaum behavioralis mempunyai formasi diskursif: konseptualisasi ilmu
sosial, kuantifikasi variabel-variabel, pengujian hipotesis formal dan membangun model-model kausalitas. Kaum behavioralis merupakan embrio positivisme dalam ilmu politik. Formasi diskursif wacana ilmiah ini dapat diketahui melalui penjelasan dalih-dalihnya: 1). Pembentukan hipotesa yang dapat diuji. 2). Pengujian hipotesa. 3). Pengumpulan, perbandingan dan pengintegrasian
penemuan dari berbagai pengujian dan berbagai hipotesa. 60 Mengembangkan
59 Varma, op.cit., hlm. 313-314. 60 Mas’oed, op.cit., hlm. 65-67.Lihat juga penjelasan Nicholson yang mengilustrasikan wacana
behavioralisme sebagai pendekatan yang seringkali menggunakan data statistik dan metode statistik. Lebih luas, mereka seringkali mengacu pada positivisme, lebih tepatnya dinamakan behavioralisme sebagai pendekatan yang seringkali menggunakan data statistik dan metode statistik. Lebih luas, mereka seringkali mengacu pada positivisme, lebih tepatnya dinamakan
Wacana saintifik ini dapat dilihat dalam rumusan teori lama menjadi rumusan teori baru model Morton Kaplan, “Balance of Power” dalam karyanya, System and Process in International Politics (1957). Model ini membuahkan sumber data dan seri-seri sejarah baru (new historical database and time-series) untuk menenggelamkan wacana tradisional seperti sejarah diplomasi. Wacana saintifik J.D Singer melalui proyek persatuan ‘Correlates of War’ di Ann Arbor, Michigan (1979) terkait dengan model matematika, “Teori Permainan” (Game Theory) dan “Teori Pengambilan Keputusan” (Rational Choice Theory) dan terus diproduksi kembali oleh oleh Thomas Schelling di Universitas Harvard (1960). Model state-centric dalam semua SHI merupakan kreasi teori sosial baru yang dikerjakan oleh John Burton (1972), Kenneth Boulding (1962) dan Johann
Galtung (1971). 61 Pendekatan behavioralisme di awal SHI cenderung mengadopsi
positivisme (klasik dan positivisme logis), 62 tetapi teori sistem yang dijadikan
sebagai empirisis. Mereka memusatkan perhatian pada dunia sosial yang dapat diuji dengan fakta- fakta. Teori yang berhasil, adalah teori yang sesuai maupun selaras dengan kenyataan dan juga dapat menjelaskan seperti kejadian sebab-sebab perang. Teori yang semacam inilah yang boleh dikatakan sebagai teori yang memberikan sebuah kebenaran (tell the truth). Dalam Michael Nicholson, International Relations: a Concise Introduction, (London: MacMillan Press LTP, 1998), hlm. 110.
61 Brown, op.cit., hlm. 36. 62 Sejarah positivisme digambarkan sangat jelas oleh Steve Smith di dalam ilmu sosial. Ada tiga
pokok varian kronologi positivisme dalam sejarah ilmu sosial (juga cukup relevan dalam studi hubungan internasional): Perkembangan positivisme oleh Auguste Comte dan positivisme logis serta varian yang lebih ekstrim lagi yaitu harus sesuai dengan prinsip-prinsip fisika, yang dibagi empat varian: logisme; verifikasionisme empiris; perbedaan teori dan observasi; teori Humean sebab-akibat. Lihat Steve Smith, “Positivism and Beyond,” dalam International Theory: Positivism and Beyond , diedit oleh Steve Smith, Ken Booth dan Marysia Zalewski, (Britain: Cambridge University Press, 1996).
turunan atau ontologis kaum behavioralis belum cukup kuat untuk mencitrakan pendekatan sistem. Sebaliknya Kanneth Waltz adalah ilmuwan HI yang sangat kuat menekankan pada epistemologi rasionalisme dan ontologi sistem. Menurut Waltz, politik internasional seharusnya dilihat dari pendekatan sistemik sehingga sifatnya tidak reduksionis, yakni menggunakan kasus-kasus tertentu untuk membangun teori umum (grand theory). Waltz mengomentari wacana sistem yang dihasilkan oleh kaum behavioralisme seperti David Easton. Menurut Waltz, wacana sistem para behavioralis hanya sampai pada tahapan pembentukan sistem berupa perilaku atau tindakan politik para aktor internasional saja. Sedangkan wacana sistem yang berupa struktur sendiri belum dapat dijelaskan oleh kaum behavioralis. Menurut Waltz, wacana sistem kaum behavioralis ini belum dikatakan sebagai teori. Waltz meneruskan kerja teoritis dalam karyanya, Theory of International Politics (1979). Waltz merupakan orang pertama yang merumuskan teoritisasi sistemik dengan nama: neo-realism/structuralism realism. Wacana ini bergulir pada tahun 1970an bersamaan dengan kemunculan wacana lain yang sejenis dengannya seperti neo-liberalism dan neo-marxism. Mereka semua merupakan kaum strukturalis yang saintistifik. Dalam memahami kaum strukturalis ini, penulis hanya menunjukkan karyanya Kenneth Waltz saja. Pertimbangan penulis: pertama, munculnya kaum neo-liberal dan neo-marxis ternyata tidak jauh berbeda tatanan wacananya dengan Kenneth Waltz yang disebut dengan neo-realisme. Ketiganya menggunakan pendekatan sistem dan epistemologi rasionalisme. Kedua, pada tahun 1990an, Ole Waever, Naumann dan Robert Keohane membagi dua kutub ekstrim yang saling berseturu: antara kubu kaum rasionalis yang terdiri dari kamu neo-realis, noe-liberalis dan neo-marxis dengan kubu kaum refleksionis yang terdiri dari kaum post-modernist, post- structuralist dan kaum feminist. Berpijak dari posisi ini, penulis dapat melihat dengan jelas bahwa kaum yang disebut juga kaum “neo-neo” merupakan kubu rasionalisme. Ketiga, karya Waltz merupakan karya awal HI yang berusaha secara serius merumuskan teori positivistik di HI. Waltz pun mengklaim dirinya telah melakukan revolusi saintifik seperti apa yang dilakukan oleh Copernicus dalam merubah secara revolutif pemikiran awal abad pencerahan tentang tatanan tata turunan atau ontologis kaum behavioralis belum cukup kuat untuk mencitrakan pendekatan sistem. Sebaliknya Kanneth Waltz adalah ilmuwan HI yang sangat kuat menekankan pada epistemologi rasionalisme dan ontologi sistem. Menurut Waltz, politik internasional seharusnya dilihat dari pendekatan sistemik sehingga sifatnya tidak reduksionis, yakni menggunakan kasus-kasus tertentu untuk membangun teori umum (grand theory). Waltz mengomentari wacana sistem yang dihasilkan oleh kaum behavioralisme seperti David Easton. Menurut Waltz, wacana sistem para behavioralis hanya sampai pada tahapan pembentukan sistem berupa perilaku atau tindakan politik para aktor internasional saja. Sedangkan wacana sistem yang berupa struktur sendiri belum dapat dijelaskan oleh kaum behavioralis. Menurut Waltz, wacana sistem kaum behavioralis ini belum dikatakan sebagai teori. Waltz meneruskan kerja teoritis dalam karyanya, Theory of International Politics (1979). Waltz merupakan orang pertama yang merumuskan teoritisasi sistemik dengan nama: neo-realism/structuralism realism. Wacana ini bergulir pada tahun 1970an bersamaan dengan kemunculan wacana lain yang sejenis dengannya seperti neo-liberalism dan neo-marxism. Mereka semua merupakan kaum strukturalis yang saintistifik. Dalam memahami kaum strukturalis ini, penulis hanya menunjukkan karyanya Kenneth Waltz saja. Pertimbangan penulis: pertama, munculnya kaum neo-liberal dan neo-marxis ternyata tidak jauh berbeda tatanan wacananya dengan Kenneth Waltz yang disebut dengan neo-realisme. Ketiganya menggunakan pendekatan sistem dan epistemologi rasionalisme. Kedua, pada tahun 1990an, Ole Waever, Naumann dan Robert Keohane membagi dua kutub ekstrim yang saling berseturu: antara kubu kaum rasionalis yang terdiri dari kamu neo-realis, noe-liberalis dan neo-marxis dengan kubu kaum refleksionis yang terdiri dari kaum post-modernist, post- structuralist dan kaum feminist. Berpijak dari posisi ini, penulis dapat melihat dengan jelas bahwa kaum yang disebut juga kaum “neo-neo” merupakan kubu rasionalisme. Ketiga, karya Waltz merupakan karya awal HI yang berusaha secara serius merumuskan teori positivistik di HI. Waltz pun mengklaim dirinya telah melakukan revolusi saintifik seperti apa yang dilakukan oleh Copernicus dalam merubah secara revolutif pemikiran awal abad pencerahan tentang tatanan tata
Dapat dikatakan bahwa Kenneth Waltz merupakan pelopor neo- positivisme dalam pendekatan (metodologi) hubungan internasional yang merubah formasi diskursif wacana behavioralisme dan sekaligus tatanan formasi diskursif realisme yang menurutnya bukanlah sebuah teori HI secara radikal, tidak berfungsi sebagai disiplin yang ilmiah dan tidak dapat memprediksi fenomena politik internasional. Waltz mempunyai wacana tersendiri yang ternyata menenggelamkan wacana status quo saat itu. Tatanan pengetahuan saat itu sedang dituntut untuk mengendalikan fenomena politik internasional yang susah dipahami dan dikendalikan. Melalui gagasan wacananya Waltz, maka pendekatan HI yang selama ini tidak jelas dapat mempunyai formasi diskursif yang jelas batasan, ukuran, dan struktur keilmiahannya. Misalnya, konsep power dan konsep balace of power realismenya Morgenthau yang masih susah dipahami oleh para akademisi lainnya. Karena lemahnya epistemologi dan metodologi, maka Kenneth Waltz berusaha mengadopsi neo-positivisme ke dalam HI dengan menjelaskan bahwa konsep power dan balance of power sangat berkaitan dengan struktur internasional. Dengan kata lain, konsep power dan dan balance of power di sini dipahami melalui koridor siapa yang mengendalikan dan menempati posisi struktur internasional paling tinggi dalam susunan hierarchy of power dengan mekanisme distribusi kapabilitas.
Revolusi tatanan wacana tahun 1970an ini terdiri dari disposisi dataran metodologi dan ontologi sistemik, yaitu pengetatan aspek epistemologi dan ontologi realisme ke dalam cara-cara positivistik. Epistemologi dapat dilihat dalam wacana Waltz tentang pemaparannya tentang definisi teori. Sedangkan aspek ontologi, Waltz berusaha melakukan penyederhanaan realitas politik internasional, yaitu memfokuskan pada sistem internasional yang melihat bahwa Revolusi tatanan wacana tahun 1970an ini terdiri dari disposisi dataran metodologi dan ontologi sistemik, yaitu pengetatan aspek epistemologi dan ontologi realisme ke dalam cara-cara positivistik. Epistemologi dapat dilihat dalam wacana Waltz tentang pemaparannya tentang definisi teori. Sedangkan aspek ontologi, Waltz berusaha melakukan penyederhanaan realitas politik internasional, yaitu memfokuskan pada sistem internasional yang melihat bahwa
Pembagian di atas dijabarkan sebagai berikut: pertama, pemikiran Waltz tentang teori. Namun sebelumnya, kita perlu ketahui profilnya. Kenneth Waltz dilahirkan tahun 1924, ketika kuliah di Universitas Columbia tahun 1950, dia memperoleh gelar master of art. Pada tahun 1954, Waltz mendapat gelar doctoral, di mana desertasinya yang diterbitkan pada tahun itu mendapat pujian yang besar, karyanya, Man, the State and War merupakan sebuah penelitian hebat dalam sejarah pemikiran mengenai sebab-sebab perang antar negara-bangsa melalui uji verifikasi secara sistematis jawaban-jawaban yang diberikan para filsuf, negarawan, sejarawan dan para ilmuwan politik terhadap persoalan mendasar: apa penyebab perang? Menurut Waltz terdapat dua kubu dalam menjawab pertanyaan tersebut: kaum pesimis dan kaum optimis. Akar pemikiran kedua kubu itu dilacak melalui tiga hal: konsepsi sifat dasar manusia, sistem ekonomi politik domestik negara dan politik internasional yang anarkhis tanpa adanya kuasa negara yang sifatnya otoritatif. Menurut Waltz yang mengevaluasi hubungan antara hal yang empiris dengan intuisi (imaji) menegaskan argumennya bahwa ketiganya tidak perlu diberatkan atau mempunyai kecenderungan pada salah satu hal tersebut. Hal ketiga mejelaskan kontelasi politik internasional, tetapi tanpa adanya dua yang lainnya, maka pengetahuan terhadap kekuatan-kekuatan untuk menentukan kebijakan tidak terpenuhi, demikian pula sebaliknya. Ketiga hal tersebut harus mempunyai porsi yang sama dalam mendekati fenomena politik internasional. Waltz menulis beberapa artikel penting mengenai manfaat bipolar versus multipolar antara negara adidaya. Pada tahun 1967, Waltz menerbitkan sebuah buku yang membandingkan kebijakan luar negari AS dan kebijakan luar negeri Inggris dengan melihat perbedaan sistem politik domestiknya. Pada tahun 1979, Pembagian di atas dijabarkan sebagai berikut: pertama, pemikiran Waltz tentang teori. Namun sebelumnya, kita perlu ketahui profilnya. Kenneth Waltz dilahirkan tahun 1924, ketika kuliah di Universitas Columbia tahun 1950, dia memperoleh gelar master of art. Pada tahun 1954, Waltz mendapat gelar doctoral, di mana desertasinya yang diterbitkan pada tahun itu mendapat pujian yang besar, karyanya, Man, the State and War merupakan sebuah penelitian hebat dalam sejarah pemikiran mengenai sebab-sebab perang antar negara-bangsa melalui uji verifikasi secara sistematis jawaban-jawaban yang diberikan para filsuf, negarawan, sejarawan dan para ilmuwan politik terhadap persoalan mendasar: apa penyebab perang? Menurut Waltz terdapat dua kubu dalam menjawab pertanyaan tersebut: kaum pesimis dan kaum optimis. Akar pemikiran kedua kubu itu dilacak melalui tiga hal: konsepsi sifat dasar manusia, sistem ekonomi politik domestik negara dan politik internasional yang anarkhis tanpa adanya kuasa negara yang sifatnya otoritatif. Menurut Waltz yang mengevaluasi hubungan antara hal yang empiris dengan intuisi (imaji) menegaskan argumennya bahwa ketiganya tidak perlu diberatkan atau mempunyai kecenderungan pada salah satu hal tersebut. Hal ketiga mejelaskan kontelasi politik internasional, tetapi tanpa adanya dua yang lainnya, maka pengetahuan terhadap kekuatan-kekuatan untuk menentukan kebijakan tidak terpenuhi, demikian pula sebaliknya. Ketiga hal tersebut harus mempunyai porsi yang sama dalam mendekati fenomena politik internasional. Waltz menulis beberapa artikel penting mengenai manfaat bipolar versus multipolar antara negara adidaya. Pada tahun 1967, Waltz menerbitkan sebuah buku yang membandingkan kebijakan luar negari AS dan kebijakan luar negeri Inggris dengan melihat perbedaan sistem politik domestiknya. Pada tahun 1979,
yang patut dipertahankan. 63 Pembelaan semacam ini dan rasionalisasi yang dibuat oleh Waltz merupakan penampilan wacana sebagai pengetahuan sangat erat
dengan kekuasaan. Karya Waltz adalah legitimasi untuk mengkonstruksi dan menaklukkan terhadap spatial kancah politik internasional. Waltz sebagai pengarang memberikan penjelasan atas disiplin ilmu HI bersama negara tempat dia tinggal sebagai institusi legitimasi juga terhadap dirinya. Antara pengarang, disiplin ilmu HI dan institusi saling memberikan legitimasi agar proses konstruksi dan penaklukan atas manusia di muka bumi ini dapat dinormalisasikan, dinetralkan dan disifatkan alamiah. Padahal sesungguhnya hal tersebut adalah kolonialisme wacana lain dan penindasan, marginalisasi kebebasan setiap manusia untuk bersuara melalui cara mereka sendiri-sendiri. Adanya disiplin ilmu HI, maka pengarang dalam tradisi keilmuan HI akan mengklaim terlebih dahulu karyanya, lalu secara tidak langsung melakukan penaklukan dan kontrol atas realitas yang ada. Jadi formasi diskursif Waltz ini membawa arus pada wacana pengetahuan untuk mengkonstruksi wacana kita dengan terpatri anggapan bahwa penaklukan AS dan Soviet terhadap negara-negara kecil seperti Vietnam, Korea, dll dalam kancah politik internasional merupakan suatu kewajaran, normal, alamiah dan lazim.
Di sini penulis memaparkan pemahaman Waltz tentang teori. Pemahaman ini merupakan mekanisme pengetahuan dan power beroperasi. Dalam prosedur ilmu pengetahuan (sains) yang diadopsi oleh ilmu sosial, kita sebatas bisa
63
Griffiths, op.cit., hlm. 64-69.
membuktikan kebenaran metodis, yakni kebenaran yang diciptakan oleh beberapa prosedur ilmiah. Kebenaran metodis ini pun secara ontologis tidak seutuhnya menjabarkan fenomena yang real. Namun, selama mencapai fungsi deskripsi, eksplanasi dan prediksi, penyelidikan tersebut sudah dapat dikatakan ilmiah. Semua hal tersebut hanya bisa dicapai dengan teori. Kurang lebih, pernyataan tersebut merupakan konsepsi para saintis sosial seperti Waltz. Dalam konteks ini, Waltz menyatakan penjelasan tentang perbedaan antara teori dan hukum. Sarjana politik internasional sebaiknya berhati-hati memilih kata kunci “theory” (teori) dan “law” (hukum) dalam melakukan penelitiannya. Hukum membangun hubungan antara dua variabel berupa konsep yang mempunyai istilah (value) sendiri; jika a maka b, di mana a terdiri dari satu atau lebih dari variabel independen (independent variables), dan b terdiri dari variabel dependen (dependent variable). Jika hubungan antara a dan b tetap (invariant), maka hukum bersifat mutlak. Jika hubungannya mempunyai taraf konstanta tinggi (highly constant), meskipun tidak tetap, maka pernyataan hukum berbunyi: jika a maka b, mempunyai tingkat probabilitas x. sebuah hukum tidak hanya ditemukan ketika terjadi hubungan dua variabel seperti di atas, tetapi hal tersebut juga ditemukan pada pernyataan yang berulang-ulang. Pengulangan memunculkan dugaan, jika saya menemukan a di masa depan, maka saya juga akan menemukan b. Misalnya pernyataan hukum gravitasi bumi; jika batu dijatuhkan, maka akan jatuh ke bawah; jika kita mendorong meja, maka meja itu akan bergeser ke depan. Jadi ada dua variabel yang selalu selaras dan tetap dimanapun juga. Hukum adalah sebuah pernyataan yang berdasarkan ketentuan-ketentuan mekanik alam (state of nature). Dalam konteks politik internasional kita bisa melihat jika suatu negara melakukan lawatan ke negara lain, maka lawatan itu dikarenakan oleh faktor kepentingan nasional negara tersebut. Dengan kata lain, jika terjadi aksi politik luar negeri suatu negara, maka aksi itu pasti karena kepentingan nasional. Kita dapat melihat variabel tetap berupa kepentingan nasional dan politik luar negeri. Jika terdapat variabel politik luar negeri, maka akan selalu ada variabel kepentingan nasional,
dan ini berlaku universal melampaui ruang-waktu. 64
64 Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (New York: Newbery Award Record Inc., 1979), hlm. 1-17.
Sedangkan teori, Waltz mejelaskan bahwa teori adalah sekumpulan hukum yang bersinggungan dengan fenomena atau tingkah laku partikular. Jadi teori secara kuntitatif lebih kompleks daripada hukum. Menurut Waltz, definisi pertama tentang sebuah teori didukung oleh inspirasi ilmuwan sosial yang membangun teori dengan verifikasi melalui hipotesa. Waltz menjelaskan konsepsi teori Karl Deutsch yang menggunakan cerita seperti Homer sebagai tes empiris. Namun, menurut Waltz kegiatan tersebut tidak menemukan penjelasan (explanation), tetapi hal itu hanya menemukan hukum saja. Walaupun Aristoteles bisa menerangkan aksi-reaksi, yaitu hubungan antara gaya dorong dan gerak, tetapi menurut Waltz, kondisi itu belum dapat menjelaskan pertanyaan: mengapa? Lebih jelasnya, Waltz mempunyai formasi yang berbeda dengan para kaum behavioralis yang mendiskripsikan dan penggunaan data sebagai apa adanya (what it is):
Numbers may describe what goes on in the world. But no matter how securely we nail a description down with numbers, we still have not explained what we have desribed. Statistics do not show how anything works or fits together. Statistics are simple desciptions in numerical form. The form is economical because statistics descibe a universe through manipulation of samples drawn from it. Statistics are useful because of variety of ingenious operations that can be performed, some of which can be used to check on the significance of others. The result, however, remains a description of some part of world and not an explaination of it. Statistics operations cannot bridge the gap that lies between
description and explanation. 65
Waltz juga menempatkan posisinya berseberangan dengan formasi diskursifnya Deutsch yang mengadopsi antropolog strukturalisme, Levi Strauss dengan mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan ilmuwan saat ini: “inductivist illusion” (ilusi induktif). Menurut Waltz, Ilusi induktif adalah kepercayaan tentang kebenaran telah mencapai titik terakhir dan eksplanasi bisa dicapai dengan akumulasi banyak data, dan mengujinya terus-menerus dalam kasus. Waltz mengatakan bahwa kalau kita menggabungkan data terus-menerus dan membangun dengan mengumpulkannya, akhirnya kita toh tetap tidak dapat memperoleh apa yang kita ingin ketahui. Jadi data tidak bicara dengan sendirinya. Observasi dan eksperimentasi tidak mengarahkan kita kepada pengetahuan sebab (knowledge causes). Kalau kita menggunakan cara-cara induksi, maka kita akan
Ibid, hlm. 3.
menemukan masalah. Walaupun berbeda dengan pendekatan neo-positivisme, penjelasan teori Waltz mempunyai kemiripan dengan seorang neo-positivistis, Karl R. Popper dari pada para behavioralis seperti Kaplan dan Deutsch. Dalam konteks ini Brown mengilustrasikannya sebagai berikut:
Waltz theory is defined quite precisely in his first chapter and in terms drawn from the thinking on scientific method of Karl Popper as Refracted through the lens of modern economic theory. Waltz concern in ‘positive’ rather than ‘normative’ theory and positive theory means the production of interrelated, linked, law-like proposition from which testable hypotheses can be drawn— although he does acknowledge the ‘testing’ is likely to be a more impressionistic
process in international relations. 66
Waltz, sependapat dengan ilmuwan terdahulu bahwa realitas hanyalah ‘penampakan’ dari fakta saja. Sedangkan realitas yang sebenarnya adalah kebenaran ‘di luar sana.’ Kita hanya mengerti dan memahaminya melalui sensasi. Dengan kata lain, “reality is out there”, kenyataan ‘ada’ dan eksis secara inheren melalui gejala, sedangkan benda atau kejadian yang nyata tetap ‘di luar sana.’ Realitas timbul melalui seleksi kita dan sekumpulan materi yang tersedia dalam kuantitas yang tak terhingga. Waltz mempertanyakan kepada ilmuwan penggunaan cara-cara induksi tentang pengambilan menyeleksi dan menyusun materi tersebut. Penelitian empiris, tanpa teori memang problematik. Pengalaman indrawi seringkali menjebak kita, sehingga Waltz menekankan pada signifikansi teori sebagai suatu abstraksi yang terdiri dari dalih-dalih argumentasinya. Hal itu dikarenakan penelitian empiris itu begitu luas, tanpa arahan atau petunjuk, kita akan dibuat bingung atas informasi mana yang akan dikumpulkan, juga bagaimana meletakkannya bersama, sehingga dapat kompherensif. Menurut Waltz, Jika kita bisa melihat dunia sesuai dengan kepentingan kita, maka kita tidak memerlukan teori. Jadi satu-satunya cara untuk mengatasi materi yang tak terhingga, (data empiris yang luas) kita memerlukan petunjuk teori (guidance of theory).
Waltz memberikan definisi teori melalui elaborasi sendiri. Mengutip Nagel dan Isaak, Waltz menjelaskan teori adalah pernyataan yang menjelaskan hukum- hukum kolektif. Hukum adalah tetap (invariant) atau hanya sekumpulan data.
66
Brown, op. cit., hlm. 46.
Teori menunjukkan mengapa hukum atau fakta empiris itu bisa berlaku. Setiap deskripsi dalam hukum sangat terkait dengan observasi dan eksperimentasi. Hukum hanya bisa valid, jika lulus melalui uji coba, observasi atau tes eksperimetal. Teori terdiri dari gagasan-gagasan teoritis. Teori tidak terbentuk hanya dengan induksi. Gagasan teoritisasi hanya bisa dimunculkan (invented), tidak ditemukan (discovered). Aristoteles menggunakan kerja rasio untuk menggerakkan eksperimentasi, Galileo menjaga jarak dengan dunia luar (real world) untuk menjelaskan dunia tersebut. Jadi gagasan teoritisasi terlepas dari kegiatan observasi dan eksperimentasi. Dengan kata lain, kita harus memutuskan hubungan antara saya sebagai subjek peneliti dengan objek yang saya teliti. Ada dinding yang harus kita buat, agar kita sendiri bisa membuat teori tanpa tercemar dengan data empiris atau hukum yang akan kita teliti. Dengan kata lain, terdapat pemisahan antara subjek peneliti dengan objek yang diteliti.
Gagasan teoritis bisa berupa konsep maupun asumsi. Tapi gagasan teoritis atau bisa dikatakan dugaan teoritis belum mampu menjelaskan maupun memprediksi apapun secara benar dan total. Isi hukum berupa benar dan salah– are they true? Sedangkan teori menjelaskan seberapa dalam eksplanasi kita buat– how great is their explanatory power? Hukum adalah observasi fakta-fakta; sedangkan teori adalah spekulasi untuk menjelaskan hukum tersebut. Hasil eksperimentasi permanen; teori hanya menyokongnya, dan bisa juga berubah; jadi
hukum itu tetap (remain), sedangkan teori berubah (come and go). 67 Akhirnya, kita bisa melihat pemahaman Waltz, bahwa teori sebenarnya menerangkan
hukum. Pendekatan Waltz ini sesuai dengan metodologi ilmu alam dan ilmu sosial seperti ilmu ekonomi. Keunggulan eksplanasi tidak terlahir melalui gagasan yang pasif atau seperti dukun menunggu wangsit. Eksplanasi diproduksi oleh kemauan mengontrol data dari pada memprediksi. Prediksi diperoleh melalui peristiwa yang reguler di dalam hukum. Teori terlebih dahulu akan menjelaskan dunia (a priori), dan selalu menjaga jarak dengan dunia (remains distinct from that world). Dalam hal ini, Waltz mengutip Albert Einstein yang berusaha menjelaskan tentang jarak kita dengan apa yang kita jelaskan: “a theory can be tested by
Waltz, op. cit., hlm. 6.
experience”, but there is no way from experience to setting up of a theory.” 68 Oleh sebab itu, kita harus mengklaim terlebih dahulu tentang teori, lalu baru menjelaskan fenomena. Teori dibentuk melalui konstruksi pernyataan-pernyataan teori, sedangkan hukum itu ditemukan atau diciptakan melalui pengamatan dan eksperimetasi.
Dalam membahas tentang teori, Waltz melontarkan pengandaian: Jika teori bukanlah bangunan kebenaran dan bukan juga reproduksi realitas, maka apa itu teori? Teori adalah gambaran, secara mental terbentuk, mempunyai batasan dunia dan mempunyai kewenangan yang aktif. Teori adalah gambaran untuk menghubungan dua variabel untuk menjelaskan sebagian dari kondisi nyata. Materi yang luas tentang dunia bisa diatur dengan cara-cara tertentu. Teori mengindikasikan ada faktor yang lebih penting daripada faktor lain, dan hubungan antara faktor-faktor terpenting itu sangat spesifik. Dalam realitas, semuanya saling berhubungan dan kondisi yang menonjol tidak bisa dipisahkan dengan yang lain. Secara rasional, teori terlepas dari dunia dalam menghadapi objek analisis. Waltz
mengutip James B. Conant: “theory is only overthrow by a better theory.” 69 Menurut Waltz, teori dibuat dengan “kreativitas.” Istilah kreatifitas
sebenarnya relevan dengan gagasan teoritisasi para ilmuwan seperti Nagel dan Popper. Teori merupakan hasil imajinasi lepas, intuisi dan kerja yang tidak terduga. Ilmuwan yang berhasil dan hebat adalah ilmuwan yang kreatif dan penuh intuisi sehingga menghasilkan teori yang luar biasa. Menurut Waltz, sebuah teori agar bisa dikonstruksi harus melalui simplifikasi dengan persyaratan: 1). Isolasi, yakni mengambil sudut pandang beberapa faktor saja yang terjadi aksi-reaksi ataupun saling berhubungan, 2). Abstraksi, yakni membuang unsur-unsur yang memang tidak berhubungan dan berkaitan, 3). Aggregasi, yakni mengumpulkan elemen yang diperlukan sesuai dengan tujuan-tujuan teoritis, 4). Idealisasi, yakni mengambil keteraturan terlebih dahulu sebagai proses membatasi diri dari dunia luar. Jadi simplifikasi ini sebenarnya mengambil kecenderungan dari berbagai
68 Ibid., hlm.7. 69 Ibid., hlm.9.
macam hukum yang masih berupa fakta-fakta tak terhingga, lalu memilahkannya dan mengambil faktor mana yang paling berpengaruh dan esensial.
Pembentukan teori tidak melalui metode induksi dan metode deduksi, tetapi keduanya hanya membantu ketiga gagasan kreatif itu muncul. Jadi, kedua metode tersebut dibutuhkan dalam mengkonstruksikan teori. Waltz menjelaskan sebuah teori akan kelihatan lemah, ketika terjadi kontradiksi di dalamnya, membahas banyak hal penting dengan argumentasi yang melebar, dan menjabarkan konsep. Seperti blok Barat dioperasionalkan menjadi Amerika Serikat lalu diturunkan lagi melalui kepentingan nasionalnya dan seterusnya. Menurut Waltz, hal itu akan membawa kita kepada pernyataan hukum. Fakta hanya mengikuti teori yang akan dimunculkan dari intuisi. Lebih spesifik Waltz menjabarkan prosedur pengujian teori: 1). Ungkapkan pernyataan yang diuji (intuisi), 2). Ajukan hipotesa, 3). Lakukan eksperimentasi atau tes observasi, 4). Dalam melakukan kegiatan langkah nomor 2 dan 3, gunakan definisi yang ditemukan dalam teori yang diuji (intuisi), 5). Kurangi atau kontrol variabel yang membingungkan, tapi tidak termasuk teori yang sedang diuji, 6). Lakukanlah pemilahan dan uji tes lagi sesuai dengan persyaratan di atas, (7) Jika gagal, pertanyakan lagi, apakah teori itu gagal total, perlu perbaikan dan pengulangan atau membutuhkan jangkauan yang lebih sempit dari klaim-klaim eksplanasi.
Pada akhirnya, Waltz mengungkapkan poin yang menurutnya sangat penting. Menurut Waltz, pernyataan umum (fakta/hukum) perlu ditambahkan dalam proses teoritisasi, jika terlalu banyak, maka sebaiknya hal itu dihilangkan saja. Jika teori dinyatakan dalam pernyataan umum, maka ditakutkan akan menciptakan banyak dugaan dengan jangkauan yang sulit diidentifikasi dan melebar. Untuk menarik kesimpulan yang tepat dan bisa diuji secara eksperimental, maka perlu menekankan pada bobot teori. Perlu diingat bahwa pengujian yang ketat dari teori adalah latihan menggunakan metode dibandingkan menguji teori. Selain, mengedepankan persyaratan uji teori, kita perlu meruntuhkan teori yang miskin: falsification. Dengan kata lain, kita sekedar menguji teori untuk diruntuhkan bukan malah dikuatkan atau menjadi potensial Pada akhirnya, Waltz mengungkapkan poin yang menurutnya sangat penting. Menurut Waltz, pernyataan umum (fakta/hukum) perlu ditambahkan dalam proses teoritisasi, jika terlalu banyak, maka sebaiknya hal itu dihilangkan saja. Jika teori dinyatakan dalam pernyataan umum, maka ditakutkan akan menciptakan banyak dugaan dengan jangkauan yang sulit diidentifikasi dan melebar. Untuk menarik kesimpulan yang tepat dan bisa diuji secara eksperimental, maka perlu menekankan pada bobot teori. Perlu diingat bahwa pengujian yang ketat dari teori adalah latihan menggunakan metode dibandingkan menguji teori. Selain, mengedepankan persyaratan uji teori, kita perlu meruntuhkan teori yang miskin: falsification. Dengan kata lain, kita sekedar menguji teori untuk diruntuhkan bukan malah dikuatkan atau menjadi potensial
Penjelasan Waltz di atas tentang segala macam teori adalah mekanisme ilmu pengetahuan. Misalnya pecah PD III, maka Waltz akan mengatakan bahwa sistem multipolar memang ternyata lebih rentan daripada yang bipolar. Jawaban dari misalnya dukun yang akan menyebutnya bahwa iblis atau kekuatan jahat menyelimuti konstelasi politik internasional tidak akan diakui dan diyakini atau dipercayai. Penulis melihat hal tersebut adalah sebuah konstruksi dan kuasa ilmu pengetahuan Waltz dalam menentukan mana yang salah dan yang benar, yang dipercaya dan tidak dipercaya dan yang pasti dan yang tidak pasti. Penaklukan wacana Waltz pada semua sarjana disiplin HI dan kontrol dia terhadap politik internasional menciptakan episteme jaman Perang Dingin berimplikasi pada kuasa AS yang tetap stabil sebagai superpower dan Uni Soviet sebagai major power sama halnya Cina saat itu. Pada akhirnya pada tahun 1989, Uni Soviet runtuh, sehingga AS menjadi satu-satunya kekuatan yang semakin kuat saja. Jadi yang penulis berusaha jelaskan, wacana pengetahuan Waltz adalah artikulasi dan akumulasi dari kebenaran kuasa AS terhadap konstelasi politik internasional.
Dalam tradisi pemikiran Foucault, kekuasaan tidak hanya mempunyai mempunyai potensi untuk menaklukan, memarginalisasi, menindas dan menghapus bayangan atau abstraksi tentang sesuatu, tetapi juga menghasilkan sesuatu seperti menghasilkan kebenaran yang dibuat oleh Waltz. Padahal kebenaran yang Waltz paparkan adalah kebenaran metodis yang sama sekali tidak berkaitan dengan realitas konstelasi politik internasional. Dengan kata lain, Waltz mempunyai bayangannya sendiri atas realitas politik internasional. Di jaman Perang Dingin ini, negara Dunia Ketiga seperti Indonesia adalah bayangan proyek lama, imajinasi, konstruksi dan penaklukan wacana yang dihasilkan oleh sarjana, pengarang dan pengembara Eropa atau negara-negara Barat. Karya Waltz adalah representasi dari pengarang Barat melalui mekanisme kuasa ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan atau mengakumulasi kebenaran yang sudah tercipta oleh penakluk sebelumnya. Dalam konteks ilmu pengethaun kolonial seperti karya Waltz dan pendahulunya, penulis perlu memaparkan argumen Philpott yang Dalam tradisi pemikiran Foucault, kekuasaan tidak hanya mempunyai mempunyai potensi untuk menaklukan, memarginalisasi, menindas dan menghapus bayangan atau abstraksi tentang sesuatu, tetapi juga menghasilkan sesuatu seperti menghasilkan kebenaran yang dibuat oleh Waltz. Padahal kebenaran yang Waltz paparkan adalah kebenaran metodis yang sama sekali tidak berkaitan dengan realitas konstelasi politik internasional. Dengan kata lain, Waltz mempunyai bayangannya sendiri atas realitas politik internasional. Di jaman Perang Dingin ini, negara Dunia Ketiga seperti Indonesia adalah bayangan proyek lama, imajinasi, konstruksi dan penaklukan wacana yang dihasilkan oleh sarjana, pengarang dan pengembara Eropa atau negara-negara Barat. Karya Waltz adalah representasi dari pengarang Barat melalui mekanisme kuasa ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan atau mengakumulasi kebenaran yang sudah tercipta oleh penakluk sebelumnya. Dalam konteks ilmu pengethaun kolonial seperti karya Waltz dan pendahulunya, penulis perlu memaparkan argumen Philpott yang
untuk memutuskan dosa masa lalu kolonialismenya. 70 Ilmu pengetahuan dalam disiplin HI tidak lebih dari sebuah artikulasi dan akumulasi relasi kuasa dengan
objek penelitiannya. Netralitas, objektivitas dan bebas nilai ilmu pengetahuan menjadi suatu kemustahilan, ketika hal tersebut tercemari oleh nilai-nilai filosofis, sosial, politik, ekonomi dan budaya ‘orang-orang Barat’ yang sejak dahulu (era kolonialisme) telah membayangkan, mengabstraksikan, membingkai diri mereka (us/the West) dan diri yang lainnya (the others). Penulis melihat bahwa penelitian tentang mempermasalahkan kembali asumsi, teori, konsep, pandangan yang berasal dari ‘orang-orang Barat’ belum dilakukan oleh ilmuwan HI Indonesia. Wacana politik internasional dihasilkan dalam kerangka wacana pengetahuan ‘orang-orang Barat’ yang terkait dengan pengarang dan akar pemikiran filosofis terdahulu seperti Bentham, Kant, Grotius, Marhiavelli, Hume, Hobbes, Descartes, Plato, Arsitoteles, Socrates, Mill, dll.
Kedua, deskrisipsi Waltz tentang pendekatan strukturalisme dan menjelaskan teori sistem. Dalam hal ini, Waltz memposisikan dirinya di dalam pemahaman strukturalismenya, berbeda dengan formasi diskursif realisme dan
behavioralisme yang masih menggunakan pendekatan reduksionisme. 71 Dalam menjelaskan pendekatan strukturalismenya, Waltz membagi pendekatan HI
70 Philpott, op.cit., hlm. 11-12. 71 Apter, op. cit., hlm. 410.
menjadi dua: reduksionis dan sistemik. Pertama, pendekatan reduksionis merupakan pendekatan yang memunculkan teori tingkat menengah dan teori parsial. Teori ini mempunyai jangkauan yang terbatas dengan beberapa variabel penjelas saja: (a) Berkaitan dengan the influence geographical environment: Alfred Thayer Mahan, Halford Mackinder, Nicholas Spykman, Harold dan Margaret Sprout; (b) Berkaitan dengan communications pattern dan community building: Karl Deutsch; (c) Berkaitan dengan functionalism dan sector integration: David Mitrany, Ernest Haas, Leon Lindlberg dan Joseph S. Nye; (d) Dengan deterrence: Bernard Brodie, Herman Kahn, Glenn Snyder, Paul Diesing dan Robert Jervis; (e) International development and conflict: Nazli Choucri dan Robert North); (f) Allience behavior: Williem Riker dan Stephen Walt); (g) Bargaining behavior: Thomas Schelling dan Anatol Bapaport; (h) Decision making theory: Richard Snyder, Graham Allison dan Glenn Paige. Sedangkan teori yang sistemik seperti: (a) power theory: Hans Morgenthau dan Henry A. Kissinger); (b) the neorealist theory: Kenneth Waltz dan Gottfried Karl Kindermann; (c) the systems theory: Morton Kaplan dan Richard Rosecrance; (d) neo-marxist theory of capitalist world economy: Immanuel Wallerstein dan Christoper Chase-dunn; (e) dependencia theory: J. Samuel, Arturo Valenzuela,
Cordoso dan lainnya). 72 Dalam konteks teori sistem, Waltz mempunyai formasinya sendiri dalam
menghadapi ontologi dunianya pasca PD II. Pendekatan reduksionis nampaknya sudah tidak relevan lagi dalam menganalisa kontelasi politik internasional PD II. Formasi diskursif PD II berubah menjadi tatanan ordo struktur internasional, dimana struktur tersebut merupakan bagian dari sistem internasional yang menentukan unit-unit negara. Pendekatan sistemik berasal dari formasi strukturalisme yang menyatakan bahwa struktur internasional menentukan unit- unit negara dari keseluruhan unit. Formasi diskursif reduksionis yang berasal dari wacana realisme, liberalisme, dan marxisme nampaknya menempati wilayahnya sendiri, sehingga tidak melihat bahwa sistem internasional yang datang diantara
72 James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr., Contending Theories of International Relations, (United State: Wesley Educational Publishers Inc., 1997), hlm. 15-16.
ketegangan antar negara-negara, dan hasil-hasilnya dari interaksi mereka sangat menentukan konstelasi politik internasional. Waltz percaya bahwa sistem internasional dapat dimengerti melalui tiga karakteristik: 1). Prinsip perencanaan sistem, yaitu sistem yang anarkhi dan stabil hanya dengan balance of power. 2). Karakter unit dalam sistem, yaitu negara mempunyai fungsi yang sama, 3). Kemampuan distribusi of power (capabilities) dari unit dalam sistem, yaitu
peradaran kekuatan dalam intraksi di sistem internasional. 73 Dalam sistem domestik yang ada ialah sistem yang hierakhi, dengan
power dan penguasa ditentukan melalui kewajiban juridiksi dan proses-proses hukum: hierarchy of authority. Sebaliknya formasi diskursif strukturalisme nampaknya melihat bahwa sistem internasional adalah anarkhi, dengan tidak adanya kekuatan yang mengatur perilaku negara terhadap satu sama lain: hierarchy of power. Negara bukanlah individu seperti dalam masyarakat domestic, tetapi Negara adalah unit yang sama semuanya dalam system internasional. Pendekatan reduksionis HI telah tenggelam pada masa Perang Dingin dengan diganti oleh pendekatan strukturalisme. Dalam konteks ini, perlu kita mengetahui pemaparannya Nicholson:
One of the positions the advocates most forcefully is that it is only possible to understand the international system via systemic theory; to attempt to understand the international system by theorist which concentrate on the attributes of units than make up the system is to commit the ultimate sin of reductionism. We know reductionism is wrong because we know that there are patterns of international systems that recur over time even when units make up the system changes; these patterns must be the product of the system itself, and cannot be the product of
mutable feature of its sub-systems. 74
Pernyataan di atas bisa ditajamkan pada beberapa pernyataan Waltz. Ia mengomentari wacana imperalisme Lenin yang bersifat reduksionis. Teori ini menyatakan bahwa imperalisme muncul pada masa dinamika monopoli kapitalisme, yakni the highest stage of capitalism. Seharusnya formasinya tidak seperti itu, karena wacana imperalisme sudah berjalan sebelumnya, sedangkan kapitalisme monopoli itu merupakan hal baru. Dengan kata lain, imperalisme lebih tua dari pada kapitalisme. Namun dalam hal ini, Lenin hanya menceritakan
73 Burchill, op.cit., hlm. 86. 74 Nicholson, op. cit., hlm. 46.
imperalisme ketika kemunculan embrio kapitalisme. Jadi menurut Waltz, imperalisme mempunyai formasi diskursif yang berbeda wilayahnya, sedangkan kapitalisme hadir sebagai wacana yang unik (baru). Dalam pendekatan strukturalisme tiga hal (sistem internasional yang anarkhis, unit-unit negara yang mempunyai fungsi sama dan distribution of power) tersebut merupakan kata kunci dari formasi diskursif neo-realisme. Sistem yang anarkhis adalah sistem yang mempunyai abstraksi unsur kekerasan dan unsur menghancurkan. Anarkhis adalah ketiadaan kekuasaan dalam level dunia. Negara berdaulat merupakan pemerintah yang mempunyai kekuasaan tunggal di dunia internasional. Setiap negara mengklaim independen dan otonom atas negara lain. Mereka berhak mengurusi kekuasaan dalam negeri mereka. Dalam konsep anarkhis, kita harus
membedakan authority dan power. 75 Dalam dunia anarkhis, struktur didefinisikan sebagai unit yang unggul (the major unit). Struktur internasional ditentukan oleh
perubahan yang signifikan oleh kekuatan besar. Kekuatan besar dinilai dengan mengukur kekuatan mereka dengan yang lainnya. 76
Waltz menegaskan kembali bahwa karakteristik unit negara dalam sistem yang terlihat tidak jauh berbeda atau katakanlah bahwa semua negara dalam sistem internasional dibuat secara fungsional sama dengan batas-batas struktur. Dunia internasional yang anarkhis menentukan negara yang hanya berfungsi (by force) memperjuangkan keamanannya, sebelum mereka menunjukan fungsi yang lainnya. Dengan kata lain, sistem internasional juga bisa diistilahkan sebagai ‘self- help’ sistem: semua negara-bangsa (secara teoritis diasumsikan sebagai aktor tunggal) berkewajiban melindungi diri mereka sendiri, karena dalam sistem yang anarkhi, memang tidak ada yang menjaga diri mereka, selain diri mereka sendiri. Waltz tidak menyatakan bahwa negara ‘self-aggrandising:’ sebuah organ yang agresif dan potensial sebagai agresor, tetapi Waltz menyatakan bahwa semua negara berhasrat hanya untuk melindungi diri mereka sendiri saja—self- preservation. Konsekwensi dari semuanya, negara diwajibkan peduli terhadap
75 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theeory: Realism, Pluralism, Globalism, (New York: MacMillan Publishing Company, 1987), hlm. 48.
76 Charles W. Kegley Jr., Contraversies in International Relations Theory: Realism and The NeoLiberalism Challenge , (New York: MacMillan Press LTD, 1995), hlm. 74.
keamanan mereka sendiri dan berjaga-jaga terhadap negara lain yang secara potensial mengancam. Mereka harus terus-menerus menyesuaikan diri di dalam lingkungan internasional dengan melihat kemampuan negara lain dan kemampuan
diri sendiri. 77 Walaupun dalam hubungan internasional mempunyai banyak aspek yang
bisa membedakan kepentingan nasional tiap negara, tetapi semuanya tetap pada hakikatnya ditentukan oleh sistem internasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Nicholson lebih lanjut bahwa “States and power are important but the economic actors, though ultimately subordinate, all play their role although in a much more
tightly defined system. Because all states are persuing power”. 78 Jadi walaupun ada negara yang mempunyai faktor ekonomi hebat, tetapi perilakunya tetap saja
ditentukan oleh konteks sistem dunia internasional. Pada bagian akhir ini, penulis mengarahkan pada pemahaman atas neo- realis sebagai wacana yang melihat kontelasi politik internasional berjalan sesuai dengan hukum mekanika Newtonian. Semuanya berjalan teratur dan positif serta alamiah. Wacana neo-realisme melihat bahwa struktur internasional sangat menentukan semua unit-unit negara, karena sistem internasional bersifat anarkhis. Politik internasional akan terjadi kekacauan dan terkondisikan tidak stabil, jika struktur internasional berjalan sesuai dengan polar yang beragam dan menyebar. Maka dari itu, Waltz mengajukan sistem balance of power sebagai struktur internasional yang final, stabil dan menentukan semua unit negara dalam lingkungan yang anakhis dengan aman, karena power akan terkumpul pada dua kekuatan saja sebagai timbangan berat power politik internasional. Kita bisa melihat stabilitas balance of power pada kasus seperti keruntuhan rezim Shah Iran, invasi Vietnam ke Kamboja (1978-1991), Perang Korea (1950-1953), Invasi Soviet ke Afganistan, Perang Teluk (1990) dan Perang Irak-Iran. Power yang terdistribusikan di seluruh dunia cukup memunculkan letupan kecil yang tidak begitu signifikan daripada letupan besar seperti PD II. Balance of power adalah sistem yang sangat bagus untuk menjaga stabilitas politik internasional agar tidak
77 Nicholson, op. cit., hlm. 47. 78 Ibid., hlm. 96-97.
terjadi Perang Dunia atau Besar. Anarkhisme internasional pasca keruntuhan Soviet, membuat Amerika Serikat bisa berbuat ‘sesukanya.’ Sebagai pemenang Perang Dingin, pasca keruntuhan Soviet, Amerika Serikat melancarkan penyerangan Afganistan dan Irak. Kita bisa melihat bahwa struktur internasional
balance of power telah bergeser menjadi struktur internasional yang unipolar. 79 Amerika Serikat sekarang ini tidak mempunyai lawan, satu-satunya penguasa:
superpower, sehingga dengan mudah menyebarkan wacana demokrasi liberal, laissez-faire, globalisme dan pasar. 80 Selain AS, disposisi dunia pun tengah
mengalami perubahan seperti munculnya gerakan buruh, gerakan masyarakat sipil global, gerakan social baru, gerakan anti-perang, gerakan anti-eksploitasi lingkungan (alam), gerakan anti-globalisasi, gerakan ras, suku, fundamentalisme agama, terorisme, dll. Apakah wacana Waltzian akan tetap mengkonstruksi dan menaklukan wacana ilmuwan HI dunia pada umumnya dan ilmuwan Indonesia pada khususnya dalam membaca konstelasi politik internasional? Pertanyaan ini akan dijawab di bagian bab berikutnya, yakni memaparkan pandangan Andrew Linklater dalam karyanya, the Transformation of Political Community (1998). Karyanya ini mempunyai optimisme tentang jaman baru: Post-Westphalia.
79 Unipolar adalah struktur di dalam sistem Internasioonal dimana hanya ada satu negara yang mendominasi sistem tersebut.
80 Aleksius Jemadu, Berbagai Kecenderungan Baru dalam Studi Hubungan Internasional Pasca Perang Dingin dan Pemaknaanya bagi Pembangunan Negara-Bangsa Indonesia. (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1999).
BAB III TRADISI PEMIKIRAN KRITIS HUBUNGAN INTERNASIONAL MODERN
Dalam ensiklopedia wikipedia, 81 critical international relations theory secara sederhana dijelaskan sebagai tradisi pemikiran kritis atau reflektif. Wacana
critical international relations theory merupakan tradisi pemikiran teori kritis dalam studi hubungan internasional (SHI) yang mengkritik modernitas. Wacana ini terdiri dari berbagai macam akar pemikiran yang mengutip tradisi struktur pemikiran Barat. Dengan kata lain, tradisi pemikiran ini bersumber dari tradisi pemikiran Barat: Amerika dan Eropa Kontinental—yang berakar dari tradisi pemikiran Yunani Kuno—abad pencerahan (modern). Akar dari semua tradisi pemikiran kritis bersumber dari seorang yang diklaim secara umum oleh kaum ilmuwan sebagai pendiri post-modernism Barat, Friedrich Nietzsche (1844-1900). Dia sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran Yunani Kuno, seperti filsuf Thales, Heraclitus dan Empedocles, dan beberapa filsuf berikutnya Socrates, Plato
dan Aristoteles. 82 Selain Neitzsche, dua filsuf yang membuka kran tradisi pemikiran critical international relations theory: seorang fenomenologi, Edmund
Husserl (1859-1938) dan seorang filsuf analitik-bahasa, Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Di bahwa ini akan dijabarkan proses perkembangan dan progres dari tradisi ketiga filsuf ini dengan berbagai macam variasinya. Penjabarkan ini terbagi menjadi dua tradisi pemikiran kritis: tradisi pemikiran HI Amerika Serikat dan tradisi pemikiran HI Eropa Kontinental. Kedunya mengkritik (kritis) wacana modernisme (abad pencerahan), karena mengalami distorsi dan stganasi. Tradisi kritis ini memberikan wahana yang cukup berbeda di dalam tradisi SHI pasca debat neo-neo (1980an). Di bahwa ini akan difokuskan pada penjelasan tradisi pemikiran kritis Eropa Kontinental, karena tradisi ini masih berusaha meneruskan proyek modernisme. Sedangkan tradisi Amerika Serikat sedikit akan dibahas,
81 Wikipedia ensiklopedi, “critical international relations theory,” http://en.wikipedia.org/wiki/Critical_international_relations_theory, diakses pada tanggal 10 Juni
2006, pukul 16.35 wib. 82 David Robinson, Nietzsche and Postmodernism, (UK: Totem Books, 1999).
Dengan demikian, sistematika tulisan ini: pertama, menjelaskan tentang arkhealogi critical theory atau critical international theory sebagai alternatif penyelesaian proyek modernisme. Namun hal tersebut tidak cukup, sebab representasinya masih berputar-putar dalam tradisi Barat, terutama wilayah wacana Eropa, sehingga bagian kedua akan memaparkan tentang problem modernisme. Sedangkan alternatif tradisi pemikiran HI pascakolonialisme akan dipaparkan di bagian bab selanjutnya.