Tradisi Pemikiran Kritis Hubungan Internasional Eropa Kontinental

III.2. Tradisi Pemikiran Kritis Hubungan Internasional Eropa Kontinental

Setelah menjabarkan tradisi pemikiran critical international relations theory Amerika Serikat, maka sekarang, penulis akan memaparkan tradisi

pemikiran critical international relations theory berikutnya. Kedua, tradisi pemikiran HI Eropa kontinental. Tradisi pemikiran HI Eropa Kontinental berbentuk kritik immanent, yakni tradisi pemikiran yang menggunakan patokan atau jalan dari struktur pemikiran yang sudah ada, yakni akarnya berasal dari dalam rangkaian tradisi pemikiran Eropa sendiri, khususnya tradisi Jerman. Tradisi Eropa ini tepatnya dinamakan sebagai critical theory atau mazhab Frankfurt. Tidak seperti di Amerika Serikat yang sifatnya eklektik, yakni mengambil tradisi pemikiran kritis dari berbagai tradisi pemikiran—Perancis, Jerman, Austria, Inggris, tradisi pemikiran lama, dll. Jadi tradisi pemikiran Eropa mempunyai pengistilahan tunggal: critical theory, dan berasal dari tradisi pemikiran Jerman. Tradisi pemikiran Jerman ini yang berusaha melanjutkan proyek modernitas. Sedangkan tradisi pemikiran kritis di bagain wilayah Eropa lainnya, seperti Perancis lebih dinamakan sebagai tradisi pemikiran post- modernism/post-structuralism. Tradisi pemikiran Perancis ini berusaha mengkritik secara total narasi modernitas.

Dalam dinamikanya, critical theory adalah ahli waris tradisi pemikiran Hegel, Jerman, sedangkan tradisi post-modernism/post-structuralism adalah ahli waris tradisi pemikiran Nietzsche, Jerman yang dikembangkan dan dikenalkan lebih jauh lagi oleh Foucault dan Derrida. Di Eropa, keduanya dihadapkan pada masalah yang sama: dialektika modernitas (modernisme). Dalam perkembangan selanjutnya, critical theory berusaha merekonstruksi problem modernitas. Filsuf Jerman, penerus tradisi pemikiran Frunkfurt I (pertama), Jürgen Habermas berusaha mengatasinya dengan aksi komunikasi yang berarti terus melanjutkan proyek modernitas. Sebaliknya, tradisi pemikiran Perancis justru mendekonstruksi problem modernitas, sehingga kaum post-modernist berusaha menyingkirkan kepercayaan mengenai sejarah dan rasionalitas. Dalam konteks ini, Nietzsche membelokkanya ke arah studi filologi dan dunia mitologis. Bagi kaum post- modernist seperti Nietzsche, refleksi historis itu hanya anak tangga yang kemudian ‘ditendang jatuh’ ketika sampai ke dalam dunia mitos. Baginya mitos adalah logos dan logos adalah mitos. Menurut dia, Kebenaran adalah kebenaran- kebenaran. Pandangan perspektivisme semacam ini menolak objektivisme ilmiah dan penafsiran bisa dilakukan menurut apresiasi hidup. Dia menjelaskan bahwa rasionalitas adalah kehendak-untuk-berkuasa. Di sini, dia jatuh ke dalam daya- daya estetis manusia arkhais atau anti-rasional, sehingga diklaim sebagai tradisi pemikiran nihilisme. Posisi ini menempatkan tradisi pemikiran post-modernism pada kondisi ambigu atau absurd. Penerus generasi post-modernism ini: George Bataille dan Foucault dimasukkan ke dalam strategi pembukaan kedok kehendak- untuk-berkuasa, sedangkan Heidegger dan Drrida dikelompokkan ke dalam kritik

metafisika. 83 Kedua tradisi pemikiran di atas (Amerika Serikat dan Eropa Kontinental)

adalah respon dari abad pencerahan yang berusaha menggerakkan roda modernisme sampai sekarang. Kemunculannya merupakan era pencerahan bagi manusia untuk menggunakan nalarnya dalam intervensi dan membuat sejarah kehidupannya sendiri di dunia. Manusia merupakan subjek sejarah yang

83 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: diskursus filosofis tentang metode ilmiah dan problem modernitas, (Yoyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 157-158.

mengkonstruksi dunia kehidupannya dari masa lalu, masa kekinian dan masa depan dari perkembangan dunia internasional. Prinsip Immanuel Kant: sapere aude! Adalah dasar dari setiap manusia untuk berani untuk berpikir. Keberanian ini diaktualisasikan dalam istilah roh spirit yang dinarasikan oleh G.W.E. Hegel. Dengan dialektika sejarah idealisme Hegelian ini, jaman bergerak ke arah totalitas modernitas. Tradisi ini dilanjutkan oleh gagasan Karl Marx dengan sejarah dialektika materialisme, yakni mengerakkan jaman ke arah konstruksi yang lebih practical (praxiology), sehingga jaman pun benar-benar dirasionalisasikan secara nyata dalam konteks kehidupan, khususnya dalam konsep kerja praktis ekonomis. Modernitas tidak hanya berhenti dalam pemahaman Marxisme ini, tetapi filsuf Jerman, Jürgen Habermas merekonstruksi kembali konsep dialektika sejarah materialisme Marx, khususnya konsep kerja praktis yang ditafsirkan lebih jelas lagi oleh Max Weber dengan memunculkan konsep rasionalitas-instrumental. Mengambil gagasannya Weber, Habermas berusaha menyelesaikan proyek

modernitas yang belum selesai. 84 Bab tiga ini, penulis memfokuskan pada problem keberlangsungan proyek

wacana modernisme hubungan internasional yang berusaha diselesaikan oleh Andrew Linklater dalam karyanya, The Transformation of Political Community (1998). Dalam konteks ini, critical international relations theory yang akan dibahas adalah tradisi pemikiran critical theory, Frankfurt school. Tradisi pemikiran ini adalah sebagian kecil dari studi-studi kritis di atas (Amerika Serikat dan Perancis), karena akan berlebihan jika paparkan, dan tentunya keterbatasan penulis dalam memperoleh pengetahuan, sehingga fokus kajiannya dikerucutkan kepada tradisi pemikiran HI yang berakar dari tradisi pemikiran critical theory, Jerman, khususnya berkaitan dengan proyek penyempurnaan modernitas yang dirancang oleh Habermas dan pengkajinya dalam SHI yang dikembangkan oleh Linklater. Kajian ini memaparkan karya Linklater tentang keberlangsungan wacana hubungan internasional dari awal berdirinya departemen ini merupakan produk dari modernisme dan dalam dinamikanya. Dia mengatakan bahwa proyek

84 Ben Agger, Critical Social Theories: an Introduction, terj (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), bagian Teori kritis mazhab Frunkfurt.

ini ternyata mengalami banyak pergolakan atau permasalahan, sehingga perlu solusi-solusi alternatif agar konstelasi politik internasional dapat tetap terjaga stabilitasnya. Selain konteks tersebut, bagian ini juga akan memaparkan problem modernisme sebagai bagian dari epoch dunia pasca Perang Dingin.

III.2.1. Wacana Critical International Theory (Critical Theory)

Tradisi pemikiran HI critical international relations theory terbagi menjadi dua versi: Amerika Serikat yang sifatnya eklektik (eclectic) dan Eropa Kontinental yang sifatnya immanent. Tradisi pemikiran Eropa Kontinental dipilah lagi menjadi dua tradisi: Perancis yang mewakili kaum post-modernist/post- strcuturalist dan Jerman mewakili kaum critical theorist/Frankfurt school, karena beberapa keterbatasan dan konsentrasi studi, maka studi bab ini tidak memaparkan secara luas genealogi tradisi critical international relations theory Amerika Serikat dan Perancis. Wacana ini adalah sebagian kecil dari wacana besar critical international relations theory yang sudah dipaparkan di atas. Kemudian, di bab- bab terakhir, sejak awal studi ini sudah dibantu oleh tradisi pemikiran Perancis dari Foucault. Di bagian terakhir tesis ini, melalui studi budaya, kajiannya akan membahas dalam tradisi pemikiran pascakolonialisme. Tradisi pemikiran pascakolonialisme ini berbeda dengan critical international relations theory Amerika Serikat, sebab wilayah studinya berangkat dari spasial Timur.

Bagian awal dari bab ini akan lebih memfokuskan hanya pada pemaparan tradisi pemikiran Eropa Kontinental, Jerman, Critical international theory/critical theory atau teori internasional kritis/teori kritis. Tradisi pemikiran critical international theory adalah sebuah proyek ambisius para ilmuwan modernis, khususnya dalam SHI untuk mentotalkan apa yang dinamakan sebagai tradisi wacana modernisme. Ilmuwan modernis HI yang cukup peduli terhadap totalitas modernitas adalah Andrew Linklater, sedangkan Rober Cox dan Richard Ashley hanya mengadopsi beberapa tradisi teks pemikiran teori kritis, sehingga posisinya tergantung pada pengadopsian konseptualisasiannya di HI. Walaupun bagian ini akan menyinggung wacana teks dari ilmuwan HI yang mengadopsi beberapa wacana teori kritis, tetapi bagian ini akan lebih memfokuskan lagi pada karya Andrew Linklater, The Transformation of Political Community (1998).

Pertimbangan penulis memilih karya Linklater: pertama, secara konsisten, Linklater berusaha meneruskan tradisi teks pemikiran modern yang memfokuskan pada wacana penerus generasi teori kritis, Jürgen Habermas. Habermas ini merupakan penerus tradisi teks modenisme terakhir, pemikir Frankfurt II setelah kegagalan proyek pertamanya oleh tradisi wacana teks Frankfurt I. kerja ini adalah bagian dari komitmennyaterhadap kritik immanent. Kedua, konsistensi ini membedakan teks pemikiran Cox yang memfokuskan pada pemikiran neo- Marxisme, Gramscianisme dan pemikiran liberal, Karl Polanyi. Analisis Cox juga memfokuskan pada ekonomi-politik sebagai gerakan (kekuatan) sosial baru dan alternatif antara (neo) liberalisme dan (neo) realisme dengan mengamati institusi- institusi kapital, negara dan gerakan-gerakan sosial seperti buruh. Linklater memfokuskan pada analisis masyarakat sebagai manusia yang menyangkut segala aspek kehidupan: budaya, ras, etnis, kumunitas, agama, ekonomi, politik, dll. Linklater mempunyai studi yang lebih kompleks dan luas, dibandingkan dengan Cox. Sedangkan Ashley hanya memfokuskan pada aspek epistemologi tentang klasifikasi rasionalitas dan kritiknya terhadap tradisi wacana modern. Nampaknya Ashley lebih mudah dimasukkan ke dalam tradisi teks pemikiran post-modernism, sebab aktivitas intelektualnya memfokuskan pada penyelidikan kritis dan pembongkaran atas tradisi teks modernisme saja. Kerja ini adalah proses dialektika modernitas saja sebagai kontemplasi HI. Ketiga, Linklater memberikan kontribusi yang konsistensi dalam rangka meneruskan tradisi pemikiran modernisme yang mengacu pada praktik-praktik tradisi Hellenisme, Yunani Kuno. Sebagaimana kita ketahui, tradisi ilmuwan dan pemikir HI juga sebagian besar merujuk pada tradisi teks Yunani seperti Thucidydes, Aristoteles, Plato, Socrates, Heraclitus, dll. Pemikiran Yunani Kuno ini diteruskan dalam bentuk formasi diskursifnya yang unik di awal abad pencerahan Eropa sampai dengan

dominasi Amerika Serikat sekarang ini. 85 Tokoh wacana critical international relations theory yang pertama, wacana

Robert W. Cox yang mengutip Horkheimer dengan mengistilahkan tradisi

85 Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, terj (Jakarta: Paramadina, 2000).

pemikiran kritis HI dengan critical international theory. Dari Horkheimer, Cox mengkritik SHI pada aspek metodologi/epistemologi, yakni dilihat dari pernyataan Cox “Theory is always for someone and for some purpose”. Cox menegaskan bahwa semua teori mempunyai pandangan, konsepsi yang ditentukan oleh konteks dan ruang tertentu pada jamannya, terutama konteks politik dan sosial saat itu:

All theories have a perspective. Perspectives derive from a position in time and space, specifically social and political time and space. The world is seen from a standpoint definable in terms of nation or social class, of dominance or subordination, of rising or declining power, of a sense of immobility or of present crisis, of past experience, and of hopes and expectations for the future. Of course, sophisticated theory is never just the expression of a perspective. The more sophisticated a theory is, the more it reflects upon and transcends its own perspective; but the initial perspective is always contained within a theory and is relevant to its explication. There is, accordingly, no such thing as theory in itself, divorced from a standpoint in time and space. When any theory so represents itself, it is the more important to examine it as ideology, and to lay bare its concealed

perspective. 86

Di atas, Cox mengatakan bahwa semua teori mempunyai perspektif. Bukan teori yang menentukan fenomena, tetapi justru perspektif yang terkondisikan di waktu dan jaman tertentu menentukan teori. Teori hanya merupakan salah satu perwujudan dari perspektif, sehingga teori bukan merupakan bentuk dari dirinya sendiri (das ding an sich).

Dalam penelitiannya tentang aspek epistemologi, Cox membagi dua ketegori tentang teori: problem solving theory dan critical international theory sendiri. Cox mengadopsi konsep traditional theory Horkheimer dengan menggantikan dengan nama problem solving theory di SHI yang tidak lain merupakan sebutan dari wacana HI modern. Cox melihat bahwa problem solving theory itu hanya digunakan secara praktis dalam menguatkan dan memperbaiki sistem status quo yang rusak atau bocor pada dataran partikular. Hal itu dimaksudkan untuk melancarkan relasi kuasa, distribusi kuasa, dan hubungan antar institusi (agen) dengan struktur dalam system, baik dalam wacana neo-realisme yang

86 Robert W. Cox, “Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory”, dalam Perspectives on World Politics, ed. Richard Littles dan Michael Smith, (London:

Routledge, 1991), hlm. 444-448.

terkondisikan anarkhi maupun wacana neoliberalisme yang terkondisikan kooperatif. Kondisi seperti itu hanya melihat dunia dalam konteks kekinian atau aktual (present) saja, yakni kerusakan apa yang harus diperbaiki agar tatanan (order) bisa stabil kembali. Problem solving theory ini memberikan kemampuan untuk membatasi masalah dan menyelesaikannya. Dalam sistem tersebut problem solving theory menciptakan hukum-hukum dan regularitas serta memunculkan generalisasi umum yang valid dan yang berkaitan langsung dengan keberlangsungan institusi dan struktur.Sedangkan critical international theory memberikan kemampuan untuk merekonstruksi akhir dari kegagalan teori modern HI. Teks teori ini menjelaskan perubahan wacana (sistem) secara menyeluruh atau bisa dikatakan perubahan sistem yang bersifat revolusiner-radikal. Perubahan itu menciptakan teks rasio baru, intertektualitas baru, tindakan baru dan tatanan yang baru juga. Jadi sistem lama dibongkar, lalu dikonstruksikan pada pola-pola wacana yang lebih emansipatoris, egaliter, otonom, berkeadilan sosial, dan humanis. Perubahan ini didahului dengan teks wacana rasio praxis, yakni kesadaran emansipatoris etis yang tidak lagi membedakan atau memisahkan antara wilayah teori dan wilayah aksi konkrit agen atau aktor dalam perubahan tatanan hubungan internasional. Wacana tersebut dapat tercipta melalui kesadaran diri tentang keterlemparannya di dunia (being-in-the world/being there) dalam wilayah kewajiban-kewajiban moral Kantian. Kesadaran itu bisa didapat pada kesadaran sejarah kritis meliputi segala aspek kehidupan dalam hidup keseharian (everyday life). Jadi cukup berbeda dengan problem solving theory yang memberikan solusi-solusi pasti dan konkrit dan teknis dalam hidup yang selalu rasional dan analitis. Critical international theory hanya menginspirasikan banyak alternatif bagi setiap aktor dunia untuk sadar-diri (refleksi diri), sehingga mempertanyakan kembali pengandaian-pengandaian moral dan etika dirinya menuju pada tatanan yang lebih inklusif dan universal atau kosmopolitan.

Dalam merealisasikan metodologi/epistemologi di atas, Cox mengadopsi konsep hegemoni sebagai pijakan awal mengembangkan wacananya di dalam SHI. Dalam karyanya, “Gramsci, Hegemony and International Relations: an Essay Dalam merealisasikan metodologi/epistemologi di atas, Cox mengadopsi konsep hegemoni sebagai pijakan awal mengembangkan wacananya di dalam SHI. Dalam karyanya, “Gramsci, Hegemony and International Relations: an Essay

Negara ini mengkonstruksi seluruh aspek kehidupan yang dihegemoni– kebudayaan. Awalnya Cox mengatakan bahwa konsep awal Gramsci adalah berpijak pada sejarah–atas dasar refleksi sejarah pada masanya. Selain itu, Gramsci juga mendasari dengan sejarah pengalaman pribadinya tentang konteks perjuangan sosial dan politiknya, yang sangat membantu Gramsci untuk menjelaskan dengan jelas kondisi masa sekarang. Menurutnya, wacana Gramsci selalu terkait dengan sejarah konteks perjuangannya. Wacana Gramsci dapat dipakai bukan pada dataran teori, tetapi dataran kontektual, yakni perubahan atas sejarah material. Pijakan sejarah material ini dikonstruksikan dengan konsep hegemoni. Kritik hegemoni, pertama mengarah pada hegemony of the proletarit dengan dictatorship of the proletariat. Kritik ini sebenarnya ingin menjelaskan bahwa negara akan bermakna jika menekankan pada struktur politik dalam wadah masyarakat sipil. Berdasarkan pijakan sejarah, Gramsci melihat relasi antara ikon gereja, sistem pendidikan, media massa, dan semua institusi yang mengkreasi diskursus dan tindakan-tindakan semua orang serta ekspektasi konsisten semua orang atas tatanan hegemoni.

Poin penting bagi Cox: Pertama, hegemoni ini menjembatani antara negara- pasar dengan tambahan elemen masyarakat sipil sebagai peyeimbang dan sebagai elemen idealisme. Kedua, Gramsci mengalihkan konsep power politik Machiavelli pada power hegemonik budaya-politik (political culture). Dengan hegemoni, maka cara-cara politis seperti kekerasan, koersif, dapat dirubah dengan cara-cara kultural seperti penciptaan citra yang pro, konstruksi image kesadaran melalui media–TV, Koran, internet, dll. Semua hal tersebut dengan lembut, tanpa sadar menginternalisasi ke dalam kesadaran individu-individu yang menempati suatu wilayah atau negara-bangsa tertentu. Di dalam hegemoni, kaum intelektual sangat berperan penting dalam proses pembentukan proses penyadaran individu atau internalisasi nilai-nilai hegemon.

87 Robert W. Cox, “Gramsci, Hegemony and International Relations Method”, dalam Gramsci, Historcal Materialism and International Relations , edit: Stephen Gill, (UK: Cambridge University

Press, 1993), hlm 49.

Wacana critical international theory kedua, Richard Ashley secara sistematis dan komprehensif mengadopsi wacana pengetahuan Jürgen Habermas. Ashley lebih mengkaji pada aspeks metodologi dan epistemologi SHI dengan mengidentifikasi tiga pengandaian pengetahuan (ilmu) yang bermuatan kepentingan: “knowledge-constitutive interests” atau kepentingan kognitif sebuah

teori atau bisa juga disebut dengan teori pengetahuan: 88 1). The practical cognitive interest atau kepentingan kognisi praktis, yakni pengetahuan yang bertujuan pada

bentuk pemahaman inter-subjektif, serta saling pengertian lebih lanjut. Pengetahuan ini mengarahkan kita pada pengembangan “interpretasi yang bisa berorientasi pada bentuk aksi-aksi tradisi bersama.” Kepentingan ini sebagai kepentingan konstitutif yang berasal dari pengetahuan sejarah dan budaya. Metode yang dipergunakan adalah cara-cara hermeneutika, semiotika, dan permainan bahasa (language games). Metode ini tidak membutuhkan dan menggunakan cara-cara verifikasi dan falsifikasi. 2). The technical cognitive interest atau kepentingan kognisi teknis yakni pengetahuan yang berbasis pada peningkatan kontrol objek oleh subjek dalam rangka menguasai alam (termasuk dominasi strategis terhadap manusia lain). Sedangkan dalam aktivitas penelitian, kontrol objek mengacu pada manipulasi data, informasi dan sumber-sumber yang akan dirasionalisasikan oleh subjek pengetahuan peneliti, sehingga bisa menegaskan atau mengukuhkan sekaligus meruntuhkan teori. Sebuah pengetahuan untuk memperoleh informasi tentang penyebarluasan atas kekuasaan kontrol teknis. Kepentingan ini dipahami sebagai kepentingan kognitif atas ilmu- ilmu analitik-empiris, yakni aktivitas kaum saintis, wacana neo-realisme, filsafat positivisme (seperti aliran lingkaran Vienna, Carnap dan Nagel) dan rasionalisme kritis (seperti Popper, Lakatos dan Albert) dengan penggunaan metode induksi (verifikasi) dan deduksi (falsifikasi). (3) The emancipatory cognitive interest atau kepentingan kognisi emansipatoris, yakni perolehan pengetahuan dalam hal menjaga kebebasan diri (ilmu&ulmuwan) dari kekuatan injeksi kemandegan dan kondisi distorsi komunikatif (seperti ideologi ilmu). Kepentingan ini berakar dari

88 Richard K. Ashley, “Political Realism and Humant Interests”, International Studies Quarterly 25 (1981), hlm. 208.

kapasitas manusia untuk menjalankan komunikasi pemikiran yang reflektif dalam menjernihkan kebutuhan, pengetahuan dan aturan-aturan; mengarahkan prinsip- prinsip pengetahuan pada kemandirian dan pemahaman terhadap diri sendiri (self- understanding) dengan membawa kesadaran, terutama yang sebelumnya difahami sebagai proses pembentukan diri (self-formative). Kepentingan ini mengacu pada pengetahuan yang berorientasi pada keseluruhan pengetahuan secara kritis.

Ketiga kepentingan di atas mempunyai dasar pengetahuan dalam menentukan keilmiahan SHI sebagai sebuah disiplin ilmu. Ashley berusaha menampilkan SHI sebagai sebuah kajian yang mempunyai pengandaian kritis (reflektif) atas dirinya dan juga berimplikasi pada tatanan praktis analisisnya (merubah dunia). Dalam hal ini, Ashley hanya menekankan pada SHI yang menggunakan pengetahuan kritis (reflektif), yakni pengetahuan yang bertujuan pada kognisi emansipatoris, pembebasan kesadaran atas sebuah fenomena tertentu. Konsekwensinya, SHI tidak serta merta sebagai alat bagi para penguasa, ilmuwan, praktisi, dan para aktor dunia untuk mereplikasi dunia, menguasai dunia, atau mengendalikan, mengontrol dunia, tetapi juga sebagai alat bagi dirinya sendiri untuk refleksi diri sekaligus refleksi diri orang lain (menggugah kesadaran), sehingga membebaskan setiap orang pada aras emansipasi diri: humanisme. Dalam konteks ini pengetahuan tidak sekedar alat saja, tetapi pengetahuan merupakan bagian dari dirinya dalam mengemban visi pembebasan diri, humanisme dan keadilan sosial.

Wacana ketiga dari varian teori internasional kritis merupakan karya pertama Linklater, Beyond Realism and Marxism: Critical Theory and International Relations (1990). Dalam karyanya, Linklater mengadopsi teks

rasionalisme Habermas: 89 1). Technical-instrumental-rationalization: kontrol terhadap alam. 2). Strategic-instrumental-rationalization: manipulasi dan control

manusia atas manusia lainnya di bawah kondisi aktual atau potensial konflik. 3). Moral-practical-rationalization: konstruksi (perubahan) tatanan global dan konsensus sosial dalam ruang publik (public sphere). Moral-practical-

89 Andrew Linklater, Beyond Realism and Marxism: Critical theory and International Relations, (London: MacMillan Press LTD, 1990).

rationalization dibagi lagi menjadi dua bagian: 90 pertama, moral-co-existence- rationalization. Rasionalitas ini adalah nalar moralitas co-existence yang dipahami dengan hubungan antara individu dan masyarakat dunia yang egaliter, yakni memandang diri masing-masing sebagai dirinya yang bebas mengekspresikan dirinya sendiri. Semacam dialog yang membebaskan. Dengan kata lain, dialog ini lebih pada dialog kebudayaan atau peradaban yang berbeda. Dalam kerangka

Wilhelm Dilthey, 91 konteks dialognya bukan pada dataran analitis (erklären), tetapi dalam konteks saling memahami (sinnverstehen) satu dengan yang lainnya,

sehingga tercipta kehidupan yang berdampingan. Kedua, universal moral code- rationalization. Rasionalitas ini adalah nalar moralitas universal. Nalar moralitas

ini merupakan proses sekaligus hasil dari konsensus-konsensus bersama yang telah disepakati dari sekian banyak aktor internasional. Aksi-aksi di tatanan internasional ini tidak hanya negara saja, tetapi siapapun (human race) bisa mengeksprsikan diri dan ikut dalam wilayah konsensus itu.

90 Richard Devetak, “Critical theory”, dalam Theories of International Relations, ed. Scott Burchill dan Andrew Linklater, (London: MacMillan Press LTD, 1996), hlm. 162-163.

91 Wilhelm Dilthey, seorang neo-Kantian meneruskan ide Windelband tentang pembagian ilmu antara nomothitic sciences—menghasilkan hukum (nomos) dan ideographic sciences—melukiskan

(graphein) , keunikan (ideos). Dia mengistilahkannya dengan geisteswissenschaften dan naturwissenschaften . Perbedaan keduanya dapat signifikan dalam konteks relevansi nilai (wertbeziehung) , yakni perdebatan nilai (wertulteilsstreit). Dia membuka Habermas jalan untuk refleksi historis dengan menunjukkan berakarnya ilmu pengetahuan pada konteks kehidupan konkrit manusia. Dia memberikan refleksi historis bagi Habermas di bidang interaksi atau tindakan komunikatif manusia—intersubjektif. Pemikirannya yang terkenal: philosophie des lebens, yakni filsafat yang merefleksikan kehidupan sebagai keseluruhan produk manusia seperti seni, pranata- pranata, agama, dan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya, karenanya, ilmu pengetahuan alam juga memiliki kedudukan dalam konteks kehidupan dan tidak terpisah dari kehidupan itu. Perbedaan epistemologi sangat kental dalam ilmu budaya dan ilmu alam, yakni bagaimana subjek melihat objek dan sikapnya terhadap objek. Jika ilmu alam mengkonstruksi pengalaman: menyusun teori untuk antisipasi peristiwa alamiah; ilmu budaya mentransposisi pengalaman: memindahkan objektivasi-objektivasi mental kembali ke dalam pengalaman reproduktif atau membangkitkan kembali pengalaman-pengalaman secara bersamaan. Dia menekankan pada pemaknaan terhadap karya pengarang sebagai struktur-struktur simbolis (proses karya itu dibuat), bukan struktur-struktur psikis (keadaan psikis tokoh sejarah). Metodenya adalah empati. Oleh sebab itu penelitian model ini mengandaikan analisis kekinian menggunakan cara empati terhadap penghayatan orang-orang masa lalu. Unit analisisnya melihat subjek peneliti dan objek yang diteliti sebagai makluk atau entitas historis. Ketika dia terjebak pada objektivitas, maka dia mengkaitkan ilmu budaya dengan hermenutika dalam studi otobiografi. Singkatnya dia berusaha menunjukkan ilmu histris-hermenutika dengan praxis hidup manusia sehari-hari dengan menghasilkan pengetahuan yang secara praktis bersifat efektif. Lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: pertautan pengetahuan dan kepentingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993).

Berpijak pada klasifikasi rasionalitas ini, Linklater pun berusaha merubah tatanan tatanan dunia yang statis, penuh keterasingan, marginalisasi dan penuh ketimpangan menjadi tatanan dunia yang lebih humanis, komunikatif dan transformatif. SHI berusaha didobrak kebekuannya dari ortodoksi pengetahuan SHI. Oleh karena itu, Linklater secara langsung pun mengkritik realitas politik internasional yang menyebutkan dunia internasional itu terkondisikan anarkhis dan selalu menghadirkan dirinya dalam wajah seram seperti perang, dan kepercayaan terhadap state-centric, yakni negara sebagai unitary actor merupakan suatu unit yang selfish dalam aktivitas perang, atau dalam konstruksi ortodoksi (neo) liberal menampilkan ‘wajah manis’ seperti hubungan interdependensi kompleks, kerjasama hubungan internasional yang otonom, adanya pengusaha atau industrialis yang berperan sebagai ‘santa claus’ dunia dengan membagi- bagikan dana bantuan atau dana hibah dan rejeki internasional, atau pandangan yang semacamnya. Dalam hal ini, Linklater tidak jauh berbeda dengan wacana Ashley yang berusaha menggunakan pengetahuan moral-practical-rationalization sebagai pengetahuan kritis (reflektif), refleksi diri dalam mengimbangi pengetahuan destruktif: rasio penguasaan alam (sifatnya instrumental) dan rasio penguasaan manusia (sifatnya strategis). Dengan demikian, teks Liklater juga berkepentingan membebaskan setiap individu sebagai warga dunia internasional pada aras emansipasi diri: humanisme nilai-nilai kebebasan dan nilai-nilai keadilan social dunia internasional.

Penjelasan lebih dalam dan detil wacana teori internasional kritis, Linklater terdapat dalam karyanya, The Transformation of Political Community (1998). Linklater menciptakan wacana yang cukup berbeda dengan wacana mainstream—(neo) realisme dan (neo) liberalisme dalam membentuk arsitektur tatanan hubungan internasional. Wacana Linklater merupakan pemahaman kritis atas epistemologi neo-realisme sebagai salah satu pendekatan HI yang belum dapat menciptakan tatanan hubungan internasional baru seperti tatanan hubungan yang berwajah komunitas politik internasional. (Neo) realisme masih terkonstruksi dalam wacana inter-state: state is unitary actor and structure determined agens in the anarchical system.

Poin kritis Linklater terhadap wacana neo-realisme: pertama, merekonstruksi teks negara modern dan teks sistem internasional untuk beralih pada perkembangan level universalitas yang lebih tinggi berupa aras komunitas antara lain etnis, suku, agama, kelokalan, dll –pemahaman multikultualisme. Kedua, mentransformasikan teks komunitas politik yang eklusif menuju tatanan inklusif, sehingga terjadi formasi orde: hormat menghormati antar budaya, antar pemikiran, dan antar tradisi dan sejarah yang berbeda-beda dalam kondisi dunia yang sifatnya universal dan kosmopolitan. Dengan kata lain, bayangan Linklater terhadap dunia internasional atau relasi dalam politik internasional adalah kondisi yang dialektis antara yang particularis (eksklusif) dan yang universalis (inklusif) dalam pertentangan yang konstruktif untuk membangun tatanan keharmonisan

dan humanisme dunia internasional yang semakin baik (better world). 92 Tentunya, secara logis, hal tersebut berkebalikan dengan pemahaman pemikiran HI

sebelumnya: kaum (neo) realis yang masih mempercayai monopoli negara atas power atau monopoli sistem terhadap power dalam menentukan unit negara beserta isinya; kaum (neo) liberalis yang cenderung mempercayai interdependesi kompleks atau rejim internasional sebagai satu-satunya pemegang power; kaum (neo) marxis yang mempercayai buruh atau gerakan sosial, gerakan anti- globalisasi/anti-modernitas sebagai pengandaian kepemilikan power dunia; kaum konstruktivis yang masih memeprcayai negara sebagai subjek perubah sejarah yang konstruktif dan progresif untuk tujuan-tujuan perdamaian dan keamanan

dunia internasional. 93 Pemikir HI London School of Economy, Martin Wight menjelaskan bahwa

SHI adalah ilmu survival, sehingga teorinya pun sangat kompleks dan berusaha terus berubah untuk merubah dunia –sebagai mana prinsip Darwinisme sosial: survival for the fittes. Pemikir HI Eropa mempunyai kemiripan, sehingga Wight dan Linklater tidak jauh berbeda gagasannya. Linklater berusaha mengkonstruksi

Andrew Linklater, The Transformation of Political Community, (UK: Polity Press, 1998), hlm. 16.

93 David A. Baldwin, “Neoliberalism, Neorealism, and World Politics,” dalam Neorealisme and Neoliberalisme: the Contemporary Debate, diedit oleh David A. Baldwin, (New York: Columbia

University Press, 1993). Lihat juga tema-tema yang lainnya seperti pada bab II tentang “Neoliberal Challenge and Neorealist Respon.” University Press, 1993). Lihat juga tema-tema yang lainnya seperti pada bab II tentang “Neoliberal Challenge and Neorealist Respon.”

pemikiran Eropa. 94 Tidak jauh berbeda dengan Wight, Linklater pun berhutang pada Bodin. Bodin menjelaskan bahwa pertalian sosial antara warga negara dan

negara sendiri justru tidak akan menghasilkan keterasingan. Komunitas politik berlangsung terus justru karena mereka eksklusif dan terus memperjuangkan identitas uniknya melalui menonjolkan perbedaan antara “kita” dan “mereka” atau “us” dan “the others.” Kondisi semacam itu, terkadang terhambat dan susah untuk diimplementasikan. Menurut Linklater, dalam runtutan sejarah, komunitas politik justru seringkali dipalsukan dalam tubuh negara –perjuang kemerdekaan negara-bangsa (konsep 1648). Komunitas politik ini juga tidak hanya tergantung pada pihak luar (mereka) sebagai peneguhan identitas unik mereka, tetapi juga dengan komunitas lainnya. Dalam sebuah negara, komunitas yang dominan cenderung menekan komunitas lainnya yang terpinggirkan seperti kelompok subaltern. Linklater mengutip Carr yang memunculkan persoalan baru: essential for the survival of community mengalami kegagalan, karena mereka mengarah pada komunitas ekstrimis atau fundamental.

Persoalan ikatan sosial yang semakin terpecah belah, terputus, terpisah, berserakan adalah persoalan yang signifikan. Linklater memulai argumennya dengan mengangkat pentingnya nilai-nilai moral dan prinsip etika universal. Menurut Linklater, kita harus memfokuskan pada analisis kewajiban dan hak universal. Hal ini merupakan penghargaan terhadap human race. Diskusi tentang universalistik berlangsung terus, ketika banyak pengakuan konsepsi etika universal tidak jauh berbeda bersifat eksklusi sebagaimana asosiasi yang partikular. Karya Linklater ini bertujuan untuk menegaskan tentang kritik-kritik kosmopolitan terhadap sistem negara kedaulatan dan untuk membela perluasan batasan-batas moral dari komunitas politik. Dalam perkembangannya, komunitas secara konstan dikonstruksi melalui batasan moral mereka yang tersebar atau

94 Martin Wight, International Theory: the Three Traditions, (New York: Holmes & Meier Publishers, Inc., 1992).

mengikat dalam ketegangan antara dua kubu yang berseberangan. Mereka berkembang dengan orientasi partikularistik untuk menjadi anggota di dalam masyarakatnya. Dalam konteks ini, orang di luar masyarakat tersebut akan mengalami pasang-surut dalam satu ordo tertentu. Jika satu kelompok subaltern berkembang luas, maka masyarakat yang berkembang di dalamnya pun akan menuju pada masyarakat yang inklusif, sementara itu masyarakat di luar dirinya akan secara otomatis mengalami marginalisasi atau eksklusifitas. Dalam konteks ini, Linklater menekankan pentingnya etika kosmopolitan yang mempertanyakan kembali signifakansi moral yang tepat dari batasan-batasan nasional, sehingga dengan adanya predominasi antara komunitas akan menguak problematika tentang batasan-batasan moral. Dalam menyelesaikan problem seperti itu, Linklater mengajukan rekomendasi tentang pentingnya perspektif etis (ethical) yang merefleksikan defisit moral dalam hubungan antara anggota sesama masyarakat. Dengan demikian, jika terjadi kemunduran moral, maka hubungan dengan masyarakat di luar komunitasnya akan justru menyerang signifikansi moral, bukan menjustifikasi perbedaan antara fellow-national dan orang asing, sehingga tidak terjadi peperangan.

Lebih Lanjut, Linklater mengungkapkan argumen kaum post-modernist dan kaum feminis yang mengatakan bahwa perbedaan yang radikal antara dunia domestic/lokal dan dunia internasional memberikan legitimasi yang cacat bagi negara kedaulatan. Di sini, kaum teori internasional kritis, kaum post-modernist dan kaum feminis sepakat bahwa transformasi komunitas politik itu sangat penting. Agar hal ini bisa terwujud, maka pendekatan yang dilakukan adalah problematising ranahnya, dimana kepentingan hak istimewa masyarakat-dalam (insider) terhadap masyarakat-luar (outsider) adalah proses yang saling melengkapi yang didukung oleh eksponen perspektif kosmopolitan. Jadi sebagaimana konsistensi argumen awalnya, Linklater menegaskan kembali bahwa membuat kasus moral sebagai bentuk baru dari komunitas politik adalah sebuah gejala penting di dalam teori HI sekarang kekinian. Fenomena berupa bentuk baru komunitas politik ini merupakan perkembangan yang penting dalam SHI, sehingga ketiga kaum tersebut mempercayai bahwa menciptakan negara modern Lebih Lanjut, Linklater mengungkapkan argumen kaum post-modernist dan kaum feminis yang mengatakan bahwa perbedaan yang radikal antara dunia domestic/lokal dan dunia internasional memberikan legitimasi yang cacat bagi negara kedaulatan. Di sini, kaum teori internasional kritis, kaum post-modernist dan kaum feminis sepakat bahwa transformasi komunitas politik itu sangat penting. Agar hal ini bisa terwujud, maka pendekatan yang dilakukan adalah problematising ranahnya, dimana kepentingan hak istimewa masyarakat-dalam (insider) terhadap masyarakat-luar (outsider) adalah proses yang saling melengkapi yang didukung oleh eksponen perspektif kosmopolitan. Jadi sebagaimana konsistensi argumen awalnya, Linklater menegaskan kembali bahwa membuat kasus moral sebagai bentuk baru dari komunitas politik adalah sebuah gejala penting di dalam teori HI sekarang kekinian. Fenomena berupa bentuk baru komunitas politik ini merupakan perkembangan yang penting dalam SHI, sehingga ketiga kaum tersebut mempercayai bahwa menciptakan negara modern

Menurut Linklater, kunci dari gambaran penelitian sosiologi adalah investigasi sosiologi yang mengidentifikasi benih-benih perubahan di masa depan dalam konstruk tatanan sosial politik internasional baru. Pijakan dasar yang paling utama dari penelitian sosiologi ini adalah sosiologi etisnya Immanuel Kant tentang perpetual peace (perdamaian abadi). Kant percaya bahwa kemungkinan hak legal yang tersebar luas tidak hanya berlaku bagi peningkatan kaum borjuis, tetapi juga berlaku untuk semua anggota masyarakat lainnya, yang sudah menjadi sifat dari masyarakat liberal bersama dengan ideologi yang dominan dari alas prinsip kebebasan dan persamaan individu-individu. Kemunculan masyarakat sipil transnasional membentuk sebuah kondisi, dimana setiap individu dapat menghilangkan pandangan-pandangan mereka tentang orang-orang yang aneh, ganjil, dan mempelajari mereka tentang bagaimana berasosiasi bersama mereka dalam bentuk hubungan manusiawi yang teratur.

Dengan menjelaskan gagasannya Carr, Linklater menjelaskan bahwa hasil krisis duapuluh tahun, pandangan kaum realis cukup bagus dalam memberikan poin penting bahwa proyek radikal (kaum teori internasional kritis/revolutionism) dari reformasi global telah gagal untuk menghargai kekuatan nasionalisme dan ketahanan kuasa negara. Negara menyudahi perjanjian sebuah batas komunitas moral pada bagian pertama abad duapuluh dengan menutup pintu atas orang- orang asing, mengejar kebijakan politik luar negeri nasionalis dan mengikat bentuk-bentuk praktik-praktik eksklusif dengan melawan minoritas melalui batas- batas teritorial mereka. Analisis kritis gagal menganalisa kemungkinan bentuk baru komunitas, dan juga miskin dari kepercayaan terhadap efek-efek globalisasi yang disuarakan dalam tulisan-tulisan Kant dan Marx. Banyak berargumen bahwa globalisasi menciptakan bentuk baru kuasa hegemoni, yang mengancam perbedaan budaya.

Namun baru-baru ini hal seperti Carr jelaskan dan argumenkan di atas justru membalik. Linklater berusaha menegasi proyek Carr yang selalu mengunggulkan kuasa negara berdaulat dengan strategi teks merekonstruksi

proyek reformis (modernitas). Linklater berargumen bahwa visi-visi normatif yang lebih awal tidak cukup jauh, sebab Kant dan Marx menekankan bahwa jalan ekonomi dari perubahan ekonomi membuat rekonstruksi ini menjadi mungkin terjadi bagi keberlangsungan umat manusia untuk menciptakan bentuk baru kerjasama universal; menekankan pada kebutuhan pemahaman budaya yang berbeda-beda: multikulturalisme. Dalam konteks ini, Linklater merujuk pada pendekatan analisis etis sosiologi yang berargumen bahwa memunculkan konsepsi identitas dan liyan (otherness) mempunyai sebuah sejarah tertentu: mereka jauh dari kealamiahan dan mereka mempercayai konstruksi sosial dan komunitas dialogis. Dengan kata lain, kaum yang dianggap aneh, ganjil, anomali justru terus merekonstruksi dirinya agar identitas budaya-politik mereka tetapu utuh dalam konstelasi politik internasional yang terus berubah. Memang, Linklater mempunyai persamaan ontologi tentang dunia sama dengan kaum konstruktivis atau strukturasinya Anthony Giddens, tetapi yang menarik adalah bagi Linklater monopoli kuasa tidak seharusnya dimiliki oleh negara bangsa atau sistem internasional yang ditentukan oleh hierkhy of power, tetapi pemahaman satu dengan yang lainnya berdasarkan dialog terbuka di tatanan internasional. Hal yang paling penting perlu direspon dalam SHI adalah semakin menguatnya wacana tentang budaya-politik lokal dan perjuangan identitas budaya bagi komunitas- komunitas di tatanan dunia internasional. Wacana ini merupakan displacemcent yang sangat signifikan dalam studi-studi HI pasca Perang Dingin atau kondisi dunia post-Westphalia.

Pada paragraf selanjutnya, Linklater menjelaskan tentang status universalisme etis dalam menghargai pentinganya perbedaan. Bagi Linklater, isu tersebut merupakan salah satu titik pusat di dalam teori sosial-politik dan teori HI pasca Perang Dingin. Berdasarkan preferensi normatif, investigasi sosiologis menganalisa prospek yang progresif menuju level yang lebih tinggi lagi dari universalitas dan perbedaan di dunia modern. Komunitas politik mewujudkan level yang lebih tinggi dari universalitas tidak akan memasukkan signifikansi moral yang mendalam terhadap perbedaan kelas, etnisitas, gender, ras, status terasing. Asosiasi politik akan menggabungkan level yang lebih tinggi terhadap Pada paragraf selanjutnya, Linklater menjelaskan tentang status universalisme etis dalam menghargai pentinganya perbedaan. Bagi Linklater, isu tersebut merupakan salah satu titik pusat di dalam teori sosial-politik dan teori HI pasca Perang Dingin. Berdasarkan preferensi normatif, investigasi sosiologis menganalisa prospek yang progresif menuju level yang lebih tinggi lagi dari universalitas dan perbedaan di dunia modern. Komunitas politik mewujudkan level yang lebih tinggi dari universalitas tidak akan memasukkan signifikansi moral yang mendalam terhadap perbedaan kelas, etnisitas, gender, ras, status terasing. Asosiasi politik akan menggabungkan level yang lebih tinggi terhadap

Dalam menekankan tujuan-tujuan moral, bagi Linklater sangat penting megutip pemahaman-pemahamn Kant dan Marx yang berargumen bahwa logika globalisasi dan fregmentasi telah membawa negara-negara pada satu titik, dimana hubungan baru antara universalitas dan perbedaan dapat terbangun di dalam struktur politik mereka. Globalisasi dan fregmentasi mengikis konsepsi tradisional dari komunitas dan mengurangi signifikansi moral konsep negara berdaulat. Globalisasi dan fregmentasi menstimulasi ancaman dan tantangan baru. Globalisasi mempunyai efek-efek buruk dalam menciptakan ketimpangan material, sementara itu, fregmentasi etis memproduksi bahaya baru: partikularisme yang ekstrim. Linklater bermaksud merekonstruksi bangunan realisme atau neo-realisme dalam perubahan bangunan sosial-politik. Dalam mengatasi problem ini, Linklater mengerjakan penjelajahan intelektual yang menekankan pada dialog terbuka komunitas politik di tatanan dunia internasional dengan dilengkapi perangkat normatif dan pertimbangan-pertimbangan sosiologis dari komunitas komunikasi yang inklusif, dimana bentuk dialog baru yang jauh berbeda dengan sebelumnya muncul.

Menurut Linklater teori kritis tidak dinilai hanya melalui kontribusi etika dan sosiologis, tetapi juga dinilai melalui kemungkinan-kemungkinan politik yang ada. Ketidaksempurnaan dalam kerangka normatif dan pendekatan sosiologi akan dilengkapi dengan analisis praxeology. Analisis ini memfokuskan pada refleksi sumber-sumber moral dengan menghadirkan peraturan-peraturan sosial, dimana aktor-aktor politik dapat mempergunakan tujuan-tujuan radikal. Dengan kata lain, tindakan para aktor politik tidak hanya berkaitan dengan aksi-aksi strategis dan taktis, tetapi adanya konsepsi bentuk baru komunitas politik dengan membawa keberadaan sikap-sikap moralis dalam kehidupan bermasyarakat internasional. Dasar dari teori kritis ini adalah metode Kant sebagai seorang yang menekankan pada pemikiran liberal tentang kebebasan dan persamaan, yang muncul sebagai respon dari tumbuhannya kuasa negara yang berhadapan dengan dominasi politik

dan kekerasan antar negara. Mirip dengan Kant, Marx membelokkan pemikiran borjuis tentang kebebasan dan persamaan berhadapan dengan tekanan alamiah dari relasi sosial kapitalis. Menurut Linklater, respon mereka menujukkan terbatasnya tujuan-tujuan sosial dalam ambiguiti modernitas: kebebasan kaum borjuis untuk satu segmen populasi dalam kasus Kant, dan dalam kasus Marx, kebebasan proletarian mengambil sedikit isu-isu tentang korban rasis, etnisitas dan ketimpangan gender. Analisis praxiologi modern harus bertujuan lebih luas lagi, tetapi juga tetap berpijak pada pemikiran Kant dan Marx, khususnya proyek yang mewarnai sikap-sikap moral yang dilengkapi dengan ide-ide modern berupa kebebasan dan persamaan dengan maksud mengkritisi sistem eksklusif yang timpang. Dalam konteks ini, teori sosial kritis merekonstruksi kecenderungan Marxis Klasik yang selalu mengacu pada mode of production sebagai sesuatu yang fundamental dalam rangkaian sejarah umat manusia bersama ruang moral- kultural. Atas dasar ini, Linklater mengaitkan argumennya dengan mengedepankan ide modernitas tentang kewarganegaraan (citizenship). Ide modernitas ini: pertama, muncul ketika reaksi tentang peningkatkan kuasa negara dan secara khusus sebuah respon apa yang disebut dengan proyek yang total (totalising prject) sedang berjalan –proyek modernisasi. Proyek ini mengacu pada usaha-usaha yang dibuat oleh pemerintah (kuasa negara berdaulat) untuk mewujudkan komunitas nasional dan menonjolkan perbedaan antara warganegara dengan pihak asing yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi perang antar bangsa (inter-state war). Kedua, dari pihak yang berseberangan dalam rangka peningkatan ketimpangan kapitalistis. Pihak ini memegang sumber moral yang paling penting, yang telah diakumulasikan dalam perjuangnnya melawan ekslusifitas. Pihak yang menentang ini memegang kunci masyarakat modern yang mempunyai kewajiban untuk memperluas batas-batas moral komunitas politik dalam rangka mengikat pihak asing ke dalam dialog yang dilengkapi dengan komitmen terhadap kewarganegaraan yang ideal.

Cara yang tepat untuk menciptakan kewajiban terhormat ini adalah membentuk kerangka institusional 95 yang memayungi komunitas dialogis.

Kerangka yang beragam sangat penting, yang akan memberikan karakter negara- bangsa yang berbeda-beda, dan anggota dari tradisi rasionalis teori HI telah memberikan kontribusi lebih dari perspektif lainnya untuk memahami prinsip- prinsip yang penting bagi mereka. Kaum rasionalis berbeda dengan kaum masyarakat internasional pluralis. Kaum pluralis bertujuan memegang prinsip- prinsip dasar dalam mewujudkan hidup berdampingan antar negara berdaulat, dan solidaritas masyarakat internasional dalam hal ini, negara berdaulat bekerjasama untuk melindungi prinsip-prinsip moral yang telah disepakati sebagai dasar hak asasi manusia. Kaum rasionalis selalu menekankan pada kuasa paksaan yang akan mencegah proses transisi dari pluralis menuju masyarakat solidaritas dalam mereformasi tatanan global. Menurut penelitian kaum rasionalis, pelanggaran- pelanggaran batas yang radikal terhadap negara kedaulatan mungkin terjadi di Eropa Barat. Kaum rasionalis menyarankan, sementara waktu mayoritas kuasa negara berdaulat tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip pluralis, di sisi lainnya mereka tetap dapat ikut berpartisipasi bersama pengaturan solidaritas dan minoritas kecil alam menjalankan proyek kolaboratif yang mematahkan prinsip- prinsip kedaulatan yang merupakan pusat dari hubungan internasional sejak perdamaian Westphalia (1648). Dalam hal ini, Linklater tidak memberikan pemahaman yang sifatnya paradoks, tetapi justru memberikan alternatif kemungkinan-kemungkinan perubahan pada sifat negara yang masih terjebak

95 Linklater bersama kaum liberal sepakat untuk mengembangkan idenya ini di institusi European Union (EU). Kasus dalam karyanya ditekakan pada multikulturalisme di Eropa. Ide ini sesuai

dengan gagasan para pemikir Eropa terdahulu sampai dengan sekarang, dari Kant hingga Habermas dan pemikir HI Eropa dari tahun 1919 sampai dengan sekarang, dari Martin Wight sampai dengan Linklater dan David Held. Semua itu adalah generasi yang mengakumulasi kuasa tradisi pemikiran Eropa. Mereka yang menciptakan struktur pemikiran Eropa. Struktur itu direkonstruksi terus sebagai teori survival, yakni alat untuk bertahan hidup sebagai subjek sejarah penoreh peta sejarah umat manusia di dunia internasional. Dalam hal ini, penulis mempunyai optimisme bahwa EU adalah sebuah institusi yang akan mengambil alih kuasa negara berdaulat di era post-Westpharlia, khusunya superpower negara berdaulat seperti Amerika Serikat. Ini adalah strategi teks jitu bagi pemikir HI Eropa dalam mengambil kuasa pengetahuannya dari kaum saintis Amerika Serikat dan juga terus berusaha mendominasi dan memperteguh kuasa pengetahuanya ke seluruh dunia internasional. Semua itu adalah tradisi Eropa yang berkiblat dari tradisi struktur pengetahuan Hellenisme, Yunani Kuno. Demikian juga institusi EU yang sebenarnya konstruksi dari polis-polis di era Hellenisme, Yunani Kuno.

pada ortodoks konsepsi Westphalia untuk berubah sedikit demi sedikit ke arah egalitarianisme antara negara sebagai institusi yang memonopoli kuasa di tatanan internasional dan komunitas lokal sebagai salah satu entitas yang baru akan hadir di tatanan politik internasional. Perdebatan ini berlanjut sampai dengan memuncuknya dua kubu: kaum refleksionis dan kaum rasionalis.

Melawan kaum realisme dan neo-realisme, di pihak kaum refleksionis, Linklater optimis dengan idenya, suatu transformasi komunitas politik akan mengangkat sebuah revolusi, karena saat ini masyarakat tidak lagi berhadapan satu dengan yang lainnya sebagai lawan geopolitik dalam kondisi anarkhi. Namun hubungan dialogis yang semakin sering dilakukan akan menghentikan atau mengakhiri pemahaman seperti wacana kaum (neo) realis yang terus mempertahankan konstruksi era Westphalia. Partisipasi dalam proyek ini bisa bekerjasama untuk menghidupkan proses perubahan yang lebih luas melalui jaminan penghormatan yang lebih terhadap pengaturan internasional terhadap nilai-nilai pluralitas dan solidaritas. Sementara kerangka kerjasama post- Westphalia sedang dibentuk, masyarakat yang berpartisipasi ini bisa bekerja untuk pencapaian dua kerangka tambahan dalam arti persetujuan dan dialog mengubah atau menggeser paksaan (force) dan dominasi negara berdaulat. Dalam konteks ini, maka menjadi suatu kemungkinan untuk memperkirakan kerangka normatif yang ideal atas sebuah komunitas komunikatif yang universal dan untuk meyakinkan bahwa aturan main global harus mempunyai perjanjian bagian yang lebih besar untuk kepentingan seluruh umat manusia (human race). Analisis narmatif, sosiologis dan praxeology dari komunitas politik yang dikembangkan di atas adalah orientasi dari karya Linklater secara keseluruhan.

Kerja Linklater terdiri dari bagian-bagian di dalam karyanya: argumen pertama, pendekatan kritis memberikan kemungkinan yang secara signifikan bagi keberlangsungan era ini. Era globalisasi dan fregmentasi yang menciptakan kemungkinan dalam mereformulasikan bentuk komunitas yang secara simultan lebih universalis dan lebih sensitif terhadap perbedaan budaya. Argumen kedua, etika universalisme pada argumen pertama perlu dipahami sebagai moralitas kosmopolitan sementara yang selalu dikritisi. Visi komunitas dialog ini terdiri

dari anggota-anggota yang mempunyai masalah dengan semua bentuk ketidakadilan yang eksklusif. Argumen ketiga, negara berdaulat tidak perlu mempertahankan prinsip konsepsi Westphalia, tetapi sebaiknya memperluas batasan-batasan moralitasnya melalui dialog terbuka atas nama nilai-nilai liberal: kebebasan dan persamaan. Argumen keempat, meneguhkan ide tentang warganegara secara lebih luas untuk merespon peningkatan kuasa negara berdaulat. Dalam konsepsi transformasi komunitas politik, masyarakat digiring agar mempunyai komitmen terhadap konsep warganegara yang ideal. Ketika ambiguiti modernitas pada akhirnya akan semakin kabur, maka masyarakat modern telah mengakumulasi sikap etika yang signifikan, yang bisa digunakan untuk mengurangi permasalahan defisit moral negara berdaulat. Argumen kelima, keintiman dunia post-Westphalia muncul tidak hanya di wilayah Eropa, tetapi bisa saja berlangsung di mana-mana. Masyarakat modern Eropa Barat bisa menjadi masyarakat internasional pertama yang tidak akan hancur oleh aksi-aksi seperti tindakan penaklukan dan nalar perang, tetapi akan bertransformasi secara damai melalui komitmen normatif yang lebih luas lagi tentang perluasan batas-batas moral dan politik komunitas.

Berkaitan dengan konteks di atas, Linklater juga mengadopsi pemikiran rationalism Grotian dari London School of Economy dalam memperkuat argumennya. Jadi hakikat dari karya Linklater berpusat pada satu tujuan: menghadirkan studi dan proyek yang lebih luas untuk mengembangkan pendekatan kritis dalam SHI yang meliputi analisis normatif, dan sosiologis, dan praxeology. Argumen keenam, Linklater akan menggabungkan dimensi normatif dan dimensi teori kritis sosiologis dengan memfokuskan pada aspek praxeology. Oleh sebab itu, Linklater akan berargumen bahwa perlawanan terhadap sistem yang tidak adil telah menghasilkan teori modern dan praktik-praktik kewarganegaraan yang baru. Ide tentang warganegara akan melengkapi masyarakat modern dengan sumber-sumber moral yang akan menciptakan tatanan baru yang lebih inklusif, baik secara domestik maupun secarainternasional. Jadi klaim Linklater dalam arsitektur komunitas politik akan mengarahkan pada sensitivitas yang lebih pada klaim-klaim universalitas dan perbedaan yang Berkaitan dengan konteks di atas, Linklater juga mengadopsi pemikiran rationalism Grotian dari London School of Economy dalam memperkuat argumennya. Jadi hakikat dari karya Linklater berpusat pada satu tujuan: menghadirkan studi dan proyek yang lebih luas untuk mengembangkan pendekatan kritis dalam SHI yang meliputi analisis normatif, dan sosiologis, dan praxeology. Argumen keenam, Linklater akan menggabungkan dimensi normatif dan dimensi teori kritis sosiologis dengan memfokuskan pada aspek praxeology. Oleh sebab itu, Linklater akan berargumen bahwa perlawanan terhadap sistem yang tidak adil telah menghasilkan teori modern dan praktik-praktik kewarganegaraan yang baru. Ide tentang warganegara akan melengkapi masyarakat modern dengan sumber-sumber moral yang akan menciptakan tatanan baru yang lebih inklusif, baik secara domestik maupun secarainternasional. Jadi klaim Linklater dalam arsitektur komunitas politik akan mengarahkan pada sensitivitas yang lebih pada klaim-klaim universalitas dan perbedaan yang

Narasi di atas merupakan wacana formasi disksursif yang cukup deskriptif. Formasi di atas membentuk sebuah arsitektur yang bebeda dengan formasi diskursif sebelumnya. Formasi ini berpijak pada kondisi dunia internasional pasca Perang Dingin yang tengah mengglobal dan sekaligus terfregmentasi menjadi kubu-kubu yang eksklusif. Dengan kepercayaan Linklater terhadap European Union, maka institusi tersebut tentunya akan terus direkonstruksi dan direproduksi secara luas ke luar wilayah Eropa untuk tujuan-tujuan perdamaian dan kemanan dunia internasional dan keusangan konsep negara berdaulat Westphalia. Atas dasar ini, wacana puncak teori modern HI (teori internasional kritis) berusaha merekonstruksi tradisi pemikiran Eropa kontinental yang berpijak pada pemikiran Kant, Marx, Hegel dan Grotius. Oleh sebab itu, kuasa pengetahuan Eropa kontinental berusaha direproduksi kembali oleh Linklater. Genealogi kuasa dari tradisi HI modern ini dijabarkan di bawah ini. Tradisi HI modern adalah struktur dari pemahaman pemikir Eropa tentang tatanan dunia yang tengah berubah. Oleh sebab itu, tatanan dunia yang tengah berubah ini berusaha dilihat melalui rekonstruksi tradisi wacana Eropa dari era pencerahan atau modernitas. Sedangkan genealogi critical international theory (sociological critical theory) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Klasifikasi Wacana Critical Theory di dalam Studi Hubungan Internasional KLASIFIKASI

Critical

KONSEP VARIABEL DIMENSI Critical Theory International

Neo-Marx (Gramsci)

Robert Cox Wacana Richard

Critical

Generasi I

Wacana Ashley International

(Adorno,

Theory

Marcuse, Horkheimer)

Andrew

Generasi II

Linklater

(Habermas)

Teori kritis berawal dari eksistensi ortodoksi Marxisme yang terus mengisi sejarah umat manusia. Kaum ortodoksi Marxisme ini tidak menyurutkan para pengkritiknya di zaman itu. Berbagai macam kritik terhadap Marx disuarakan, diantaranya para kritikus teori sosial seperti Goerg Lucaks (1885-1971), Karl Korsch (1889-1961) Theodor W.Adorna dan Herbert Marcuse, Max Horkheimer (1895-1973), Theodor W. Adorno (1903-1970), Herbert Marcuse (1898-1978). Pada akhirnya generasi terakhir diteruskan oleh Jürgen Habermas (1929-…), juga

seorang filsuf Jerman dari generasi Frankfurt school. 96 Penjelasan klasiffikasi di atas bisa dipaparkan bahwa Cox mengadopsi

akar filosofis critical theory dari Neo-Marxisme, Antonio Gramsci dengan membil istilah hegemoni dan juga mengadopsi akar filosofis generasi I, Horkheimer dalam karyanya, Dialectic of Enlightement, (1992) yang ditulis oleh Theodor W. Adorna dan Max Horkheimer. Karya ini menunjukan kepesimitisan mereka atas rasionalitas dan pencerahan: suatu teori yang dikembangkan oleh mereka tentang patologi modernitas. Dilihat dari perspektif rasio dalam sejarah yang secara empirik mengalami kecacatan atau problematik. Jadi di satu sisi, manusia berusaha menggunakan rasio untuk menuju pada pencerahan yang progresif, tapi di sisi lainnya menuju pada penghancurannya sendiri (self- destructive). Cox menunjukkan filsuf semacam ini. Secara tajam, Adorna dan Horkheimer ingin menunjukan lebih tajam: “the weakness of the modern

theoretical faculty.” 97 Mereka mengatakan bahwa kelemahan teoritisasi era modern telah muncul, dalam hal ini adalah kelemahan ilmu-ilmu sosial yang

mengadopsi ilmu alam. Dengan demikian SHI sebagai ilmu sosial sangat lemah, sebab dalam konteks pendekatan (metodologi/epistemologi) ilmu alam, ilmu sosial justru mendukung status quo, tidak menggunakan teorinya untuk mendukung kaum yang tertindas atau termarginalisasikan.

David Held, Introduction to Critical theory: Horkheimer to Habermas, (UK: Polity Press, 1990). Lihat juga karya Craig Calhoun, Critical Social Theory, (US: Blackwell, 1995). Karya ini menjelaskan lebih mengkhuskan ke tatanan politik dan budaya dunia. Dibandingkan dengan David Held yang cenderung memaparkan kerangka filosofisnya dan silsilah lengkap dari critica theory, Frankfurt Jerman.

97 Theodor W. Adorno & Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, (London: verso, 1979), bagian The Concept of Enlightenment.

Istilah hegemoni yang diadopsi Cox hadir dari critical theory yang masih belum tersistematisasikan dengan jelas dengan memfokuskan pada akar filosofis kaum Neo-Marx. Akar pemikiran ini sejalan dengan wacananya Korsch dalam karyanya, Marxismus und Philosophie (Marxian dan Filsafat, 1923), secara sederhana, Korsch mengkritik Marx dari segi gerakannya. Sesungguhnya Marx sebagai ideologi seharusnya mempunyai maksud-maksud praksis/praxis (moral, etika, emansipatoris, aplikatif) bukan maksud revolusi yakni, pertumpahan darah ataupun malah secara teoritis cenderung mendukung teori-teori bourgeois (kelas

status quo, kelas yang berkuasa). 98 Jadi mereka berusaha mempertautkan teori dan praxis. Jadi dari pijakn akar filosofis inilah Cox mempunyai ujaran: “Theory is

always for someone and for some purpose,” 99 dan berpikiran tentang pemilahan yang signifikan antara problem solving theory dan critical international theory

atau constituted theory itu sendiri dalam SHI. Sedangkan wacana critical international theory kedua, Richard Ashley secara sistematis dan komprehensif mengadopsi akar filosofis generasi II, Jürgen Habermas tentang wacana pengetahuan (teori pengetahuan). Wacana Habarmas yang diadopsi oleh Ashley berasal dari karya Habarmas, Knowledge and Human Interests (1971) 100

dan Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, terj. (1990). 101 Kedua karya tersebut menjelaskan tentang pautan antara pengetahuan dan

kepentingan. Menurut Habermas, terdapat tiga tipe ilmu pengetahuan: pertama, ilmu empiris-analistis yang berkepentingan memperoleh informasi dan mengontrol tindakan-tindakan yang sifatnya teknis. Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan teknis. Dalam SHI, studi ini lebih cenderung pada pendekatan behaviralisme dan positivisme. Kedua, ilmu historis-hermeneutis yang berkepentingan mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas, saling pengertian antar manusia yang mengarah pada tindakan. Pengetahuan ini disebut pengetahuan praktis. Dalam SHI, studi ini lebih cenderung pada pendekatan

98 Hardiman, op.cit., hlm. 38-39. 99 Selain membaca karya aslinya dan penjelasan sebelumnya, lihat juga karya Jackson dan

Sorensen, Introduction to International Relations, (UK: Oxford University Press, 1999), hlm.233. 100 Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, (Boston: Beacon Press, 1971).

101 Jürgen Habermas, Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, terj (Jakarta: LP3ES, 1990).

tradisional seperti memahami teks-teks sejarah perjanjian, teks hokum internasional, dan teks filsuf terdahulu sebagai alat Bantu pemahaman konteks fenomena tertentu. Ketiga, ilmu tindakan seperti sosial, ekonomi, sosiologi, dan politik yang mempunyai kepentingan emapsipasi diri, yakni melepaskan diri dari ideologi yang telah terbekukan di dalam dirinya. Jadi dari kategori inilah Ashley berusaha menunjukkan bahwa SHI pun dapat mejadi ilmu tindakan, yakni membebaskan diri dari dogma studi hubungan internasional yang telah mapan, dominan, dan beku sehingga SHI merupakan sumber kekuatan pendobrak dengan dialektika yang konstruktif (refleksi-diri) membebaskan SHI dari pandangan dominan yang telah menjadi ideologi tertentu di SHI seperti ideologi realisme, ideologi liberalisme, ideologi marxisme, ideologi ilmu pengetahuan, ideologi feminisme, ideologi post-modernime, dll.

Wacana ketiga, Andrew Linklater yang mengadopsi istilah rasionalisme dari generasi II, Habermas. Menurut Habermas dalam karyanya, The Theory of Communication Action Volume I: Reason and The Rationalization of Society (1981) menjelaskan penjabaran rasionalitas Weber: (1) Cognitive-instrumental rationality, yakni rasionalitas formal yang menggerakkan kerja-kerja ilmiah seperti di studi ekoomi dan politik. (2) Aesthetic-practical rationality, yakni rasionalitas seni yang mengerakkan kerja-kerja estetika dipetujukan kepada hedonistic-life-style. (3) The moral-practical rationality, yakni rasionalitas religius yang memproduksi dirinya sendiri sesuai dengan berjalannya proses budaya dalam waktu yang lama. Dari akar filosofis inilah Linklater

mengembangkan gagasannya dalam aras SHI. 102 Dari ketiga rasionalitas ini, SHI berusaha diarahkan kepada arah etik, yakni pertimbagan-pertimbangan kebenaran

moralitas (etika) daripada pertimbangan-pertimbangan kebenaran ekonomi-politik (relative gain, absolute gain) –berupa control terhadap sumber alam atau manusia. Arah inilah yang berusaha ditekankan oleh critical international theory ini agar SHI tetap mempunyai keterpautan antara aspek ilmiah dengan aspek nilai.

102 Jürgen Habermas, The Theory of Communication Action Volume I: Reason and The Rationalization of Society, ( Boston: Beacon Press, 1981), hlm.240-241. Lihat juga tafsir Hardiman

atas Habermas dalam Menuju Masyarakat Komunikatif, (Yogyakarta: Kanisius), hlm. 93-94.

Keterpautan ini tidak berarti SHI tidak ilmiah, tetapi pertimbangan-pertimbangan etik ini justru penting dalam dunia-kehidupan umat manusia.

Karya Linklater, baik karya pertama maupun keduanya terus merekonstruksi proyek modernitas. Linklater berusaha menunjukkan arah konstruksi negara dari negara Westphalia (1648) ke arah transformasi komunitas politik dalam tatanan internasional yang lebih baik lagi. Wacana Linklater memberikan ilustrasi bahwa negara yang sebelumnya merupakan unitary actor, berubah dengan mengalami disposisi menjadi bersifat egaliter dan otonom dengan individu seperti Soros, perusahaan seperti Freeport, komunitas seperti subak di Bali, suku Maori di New Zealand, dan aktor lainnya. Wacana Linklater ini terinspirasi oleh Habermas yang melihat bahwa critical theory generasi I hanya mengerjakan hal yang sia-sia. Dengan kata lain, critical theory generasi I hanya kritis terhadap kondisi yang ada tanpa memberikan sumbangsih baru atau alternatif baru yang nyata dan praktis atas tatanan dunia internasional yang seharusnya berubah terus. Melalui critical theory generasi II, Linklater dapat mengadopsi berbagai macam konsepnya Habermas seperti Hellenic world, yakni dunia dalam wajah demokrasi kosmopolitan yang diimpikan oleh Habermas, dibantu oleh dimensi praxeological, dan hubungan atas dasar dialogic ideal. Jadi mimpin Habermas tidak jauh berbeda dengan mimpi Linklater yang berusaha menampilkan wajah tatanan dunia internasional yang baru yakni dalam bentuk community yang dialogis antara universality dan particularity dengan mengangkat

nostalgia wacana zaman Yunani kuno: Hellenic. 103 Jangan melupakan bahwa akar genealogi dari critical international theory

masih tidak jauh berbeda dengan awal kemunculan SHI (1919) melalui pengadopsian ide-ide Kant dan beberapa tokoh Eropa lainnya seperti Hegel, Marx, fenomenologinya Edmund Hurssel dalam mempengaruhi epistemologi critical international theory, ontologinya para eksistensialis seperti kuatnya pengaruh Nietzsche dalam merubah ontologi realitas dari yang materialis dan

103 Richard Devetak, “Critical theory,” dalam Theories of International Relations, (New York: Palgrave, 1996), hlm. 157.

realis menjadi suatu yang konstruktif dan imajinatif. 104 Tidak luput juga pemikir lainnya seperti pengaruh hermeneutika Pierce dan Dilthey dan pengaruh idealisme

Fichte dalam memformulasikan rasio murni dengan rasio praktis. 105 Semua itu adalah kesadaran Eropa yang terus dikukuhkan dan dilegitimasi dalam bentuk

formasi struktur modernitas. 106 Konstruksi ini aalah struktur paganisme Yunani kuno yang sangat mutakhir, karena berusaha menyelesaikan proyek modernitas

dengan memberikan solusi dialog terbuka dan komunitas komunikasi kosmopolitan. Bentuk konkrit dari arsitektur kesadaran rasio Yunani kuno ini

hadir dalam wajah baru: EU sekarang ini. 107 EU ini tidak lebih dari formasi dari polis-polis Yunani masa dulu yang menggunakan rasionalitas teori-praksis –yang

Habarmas bayangkan. Inilah partikularisme yang berusaha penulis tunjukan dengan istilah Foucault the new history, sehingga metanarrative modernitas adalah sebuah bentuk dari smallnarrative tradisi pagan Yunani yang diteruskan oleh Eropa. Selain kesadaran Eropa yang tengah dibangun sebagai klaim universal, modern, dan seolah-olah kosmopolitan, sebenarnya adanya keabsenan dari spatial dunia lain (the others), yang mereka sendiri ciptakan, yakni dunia yang disebut dengan Timur. Inilah yang berusaha dibongkar oleh penulis sebagai seseorang yang mempunyai posisi berseberangan dengan spatial dunia Barat.