1. 1. Konseptualisasi Arkeologi Pengetahuan
II.1. 1. Konseptualisasi Arkeologi Pengetahuan
Pendekatan ini sangat berbeda dengan dialektika HI Hegelian yang berusaha mencapai totalitas pengetahuan HI atau kebenaran yang absolut tentang ilmu HI. Dengan bantuan karya Foucault, The Archeology of knowledge (1989), bagian ini akan menjelaskan kerangka sejarah pengetahuan melalui pelacakan wacana sejarah monumental atau peristiwa khusus. Arkeologi pengetahuan
merupakan pendekatan yang berusaha memunculkan bagaimana episteme 21 bekerja dan ‘speak themselves’ melalui apa yang disebut dengan produksi
‘discursive formations’ 23 (formasi diskursif) atau orders of discourse’ dengan menghapus atau membuang (exclude) segala sesuatu yang berbeda dengannya.
Beberapa formasi diskursif merupakan prinsip episteme yang terorganisir. Mereka bekerja untuk menggerakkan kemungkinan wacana, mengorganisir gagasan atau
21 Istilah episteme muncul dalam karya Foucault, The Order of Things (1973). Kata ini muncul, ketika Foucault mengilustrasikan sejarah ide-ide di Eropa Barat selama kurang lebih 400 ratus
tahun. Istilah episteme ditemukan, ketika dia memahami bahwa sejarah hadir tidak melalui keberlanjutan, progresif, keaslian, keajegan. Episteme mengorganisir pandangan-pandangan dunia tentang mereka sendiri (periode sejarah yang bermacam-macam). Timbul-tenggelamnya episteme tidak mengacu pada keaslian narasi yang murni, berkembang, berlanjut atau progresif. Episteme bukan tubuh pengetahuan yang tunggal seperti penjelasan beberapa istilah tertentu dalam terminologi ilmu pengetahuan. Episteme adalah produksi prinsip-prinsip yang terorganisir yang berkaitan tentang sesuatu terhadap sesuatu yang lainnya dengan mengklasifikasi sesuatu dan dengan mengalokasikan arti dan nilai-nilai mereka. Ruang episteme beroperasi dalam alam bawah sadar –kita tidak memikirkan tentang sesuatu hal tentangnya atau mengacu kepadanya. Mereka adalah dasar segalanya bagi kita dan kita taken for granted mereka. Seperti kita melihat film animasi Jepang yang terkenal, One Peace. Kita dapat meraba episteme-nya melalui pemahaman dibalik teks film tersebut. Foucault mengidentifikasi tiga episteme yang beroperasi selama 400 tahun dalam karyanya: abad pencerahan dunia ditentukan oleh Tuhan (God), Klasik –dunia ditentukan oleh pendekatan saintifik (Nature) dan Modern –ditentukan oleh manusia (Man). Ada kemiripan dengan pergeseran paradigmanya Thomas Kuhn, tetapi perbedaan yang signifikan adalah Kuhn masih melihat alasan saintifik berkembang kurang-lebih dengan progres yang linier, yaitu membangun suatu blok pada sesuatu yang sudah manjadi pakemnya, dan menambahkan kebenaran baru untuk menghadirkan tujuh pengetahuan. Lihat Geoff Danaher, Tony Schirato dan Jen Webb, Understanding Foucault, (London: SAGA Publications, 2000), hlm. 15-21.
22 Penulis merasa kesusahan menterjemahkan istilah discursive formations. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hlm. 269. Istilah discursive diartikan
dengan: 1). Sesuatu yang berkaitan dengan nalar: kemampuan; 2). Disimpulkan dengan logis: pemikiran; 3). Hal: kecerdasan. Jika digabung dengan formations, maka dapat ditarsir formasi pemikiran. Di atas, formasi pemikiran diartikan sama dengan orders of discourse.
23 Istilah order of discourse sama dengan formasi diskursif.
ide dan memproduksi ‘objects of knowledge’ (objek pengetahuan). 24 Dasar dari semua itu adalah intertekstualitas, yaitu melacak rangkaian jaring-jaring footnote
antar teks dari sejarah pemikiran yang terdiri pernyataan-pernyataan atau preposisi tertentu melalui representasi bahasa teks. Misalnya dalam karyanya Foucault, Madness and Civilization: a History of Insanity in the Age of Reason (1988). Dalam karyanya ini, Foucault mempertanyakan bagaimana wacana kegilaan itu ada di jaman kontemporer ini dan mengapa kegilaan sudah ada saat sekarang ini (sebuah proses produksi formasi diskursif kegilaan). Menurut dia, formasi diskursif kegilaan ini tergantung oleh tiga hal: disiplin, penjelasan dan pengarang.
Penjelasan dari hal di atas sebagai berikut: pertama, berbunyi dalam budaya orang Eropa, wacana kegilaan merupakan pemahaman yang dimiliki oleh disiplin (ilmu) seperti psikologi, psikoanalisis dan psikatri. Dijelaskan lebih mendalam bahwa semua disiplin, institusi yang didirikan oleh disiplin-disiplin ini, wacananya dan para praktisinya terhubungkan antara mereka, sehingga kurang lebih terdapat sebuah hasil kerja berupa kata final pada wacana kegilaan. Misalnya, jika perilaku seseorang (diduga gila) sedang dievaluasi atau dihakimi di pengadilan, maka pengadilan ini akan tergantung pada disiplin-disiplin ini (sebagai saksi ahli) untuk membimbing keputusan pengadilan. Kedua, keahlian yang mereka peroleh dan miliki membuahkan kelaziman melalui wacana dan hubungan antar teks/footnote (buku, artikel, makalah, dokumen kebijakan, studi kasus) yang memberikan penjelasan pada, dan keberakhiran dari produksi formasi diskursif kegilaan. Agar pengakuan dan keberadaan wacana kegilaan ini terakreditasi penuh dalam sebuah disiplin, maka seseorang harus bernegosiasi dengan berbagai macam rintangan institusi (yang mempunyai relevansinya) yang secara berkelanjutan menguji kebenarannya (kepantasannya) bersama dengan wacananya, logikanya, cara berpikir disiplin, tertentunya. Kedua, pengetahuan disiplin yang diakui tergantung pada, dan terorganisir melalui sebuah ‘nama.’ Nama ini terkait pada subjek pengetahuan dalam psikoanalisis di universitas, misalnya semuanya akan selalu terorgaisir sekitar kerja para pengarang seperti Freud, Jung, Adler, Jones, Klein dan Lacan. Nama-nama ini mempunyai
Danaher, Schirato dan Webb, op.cit.
keistimewaan tempat di disiplin –semua penjelasan dan teori mereka memproduksi apa yang oleh Pierre Bourdieu sebut sebagai ‘cultural capital’ dan para praktisi secara berlanjut menginterpretasikan kerja-kerja mereka. Jika di pengadilan orang tersebut pada akhirnya dianggap gila, maka penamaan gila ini tergantung pada pengarang yang memiliki culture capital yang paling banyak. Kombinasi dari disiplin, penjelasan dan pengarang ini menciptakan apa yang dinamakan sebagai ‚kebenaran kegilaan’ yang menghapus formasi diskursif lokal atau formasi diskursif umum. Jika seorang praktisi menganggap orang yang gila ini sebagai orang yang kerasukan setan atau kesurupan, maka praktisi tersebut secara otomatis tidak lazim atau tidak pantas untuk mengklaim dirinya sebagai anggota disiplin yang diakui, karena ‘order of reason,’ yang mereka gunakan
milik dari waktu lampau. 25 Dengan kata lain, praktisi yang menamai orang gila itu kesurupan dianggap telah murtad dari disiplin pengetahuan psikoanalisis yang dia
pelajari. Penjelasan kesurupan ini tidak mengacu atau tidak ada dalam kamus para pengarang seperti Freud dan Lacan.
Berkaitan dengan SHI, ambil saja contoh seperti adanya pendekatan sejarah ‘klasik’ yang digunakan sejak awal berdirinya SHI dalam karyanya Wight, International Theory: the Three Traditions (1992). Sejarawan HI sejak wacana idealisme hingga wacana realisme masih menganalisa politik internasional berdasarkan periode atau waktu. Dengan kata lain, pencarian fenomena asli, murni dan benar berusaha diungkap oleh sejarawan HI. Pendekatan sejarah ini mengarah kepada pengamatan konstelasi politik internasional dengan melacak kejadian masa lampau, lalu menentukan pola-pola tertentu seperti pola stabilitas kejadian, pola regulasi tindakan negara (wan) dan para diplomatnya, dan kondisi waktu kejadian konstan seperti waktu Perang Dunia I (PD I) dan Perang Dunia II (PD II), lalu pola waktu ini disinkronkan dengan pola waktu jaman Yunani Kuno ketika terjadinya Peloponnesian War (PW) sebagai proses teoritisasi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pengarang realisme yang paling terkenal, Morgenthau. Dalam karyanya, Politics among Nations, Morgenthau menggunakan peristiwa waktu monumental Yunani Kuno untuk menganalisa PD II. Dengan pendekatan
Ibid., hlm. 22-23.
sejarah ini, maka dua ilmuwan terkenal realis, baik E. H. Carr maupun Morgenthau mempunyai pengakuan kekuatan terhadap analisis sejarah dalam memberikan penjelasan kejadian kekinian dan masa depan tentang perang-damai, politik luar negeri, dll. Visualisasi pendekatan sejarah dalam HI merupakan proses panjang yang ditentukan oleh ruang-waktu yang linier, berpola, berkelanjutan yang progresif, bersambung, dan rasional.
Jika dipahami penjelasan di atas, maka pendekatan arkeologi dan genealogi akan melihatnya berbeda. Melalui pendekatan ini, sejarah wacana HI atau politik internasional merupakan sejarah yang unik, yang bekerja melalui episteme tertentu –akumulasi formasi diskursif. Formasi diskursif yang hanya digerakkan oleh mekanisme penjelajahan teks dan proses yang berlangsung tidak ditentukan oleh tempat-waktu, tetapi oleh timbul-tenggelamnya wacana berupa: konsep, istilah dan pernyataan-pernyataan (statement), sehingga prosesnya terjadi secara tiba-tiba, diskontinu (patah-patah), memiliki arsitektur yang berbeda dengan sebelumnya dan terkondisikan secara partikular di jaman tertentu. Setiap kejadian sejarah seperti PD II merupakan peristiwa perubahan formasi diskursif yang terdiri dari beberapa pernyataan seperti: adanya delusi institusi internasional, LBB dalam menentukan tatanan politik internasional, hadirnya Hitler sebagai kenyataan, penyerangan secara tiba-tiba Jepang terhadap kapal laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, dll. Pergeseran formasi ini disebabkan oleh pernyataan dalam wacana tertentu yang disuarakan oleh pengarang seperti E.H. Carr dan Morgenthau, sehingga konstelasi politik internasional berubah dari tenggelamnya episteme idealisme/liberalisme ke timbulnya episteme yang berbeda dan unik saat itu: realisme. Tindakan pergeseran (transisi) ini dinamakan sebagai the epistemological acts and thresholds, yakni awal dari sebuah wacana tertentu dalam tatanan episteme yang sedang mengalami kenaikan melalui produksi formasi diskursif yang terputus dari peristiwa asli (sebelumnya), motivasi terdahulu dan terhapuskannya keterlibatan imajinasi sebelumnya. Jadi dalam kasus ini, perubahan formasi diskursif bergerak dari level praktik-praktik wacana idealisme/liberalisme berubah menjadi praktek-praktek wacana realisme. Oleh Jika dipahami penjelasan di atas, maka pendekatan arkeologi dan genealogi akan melihatnya berbeda. Melalui pendekatan ini, sejarah wacana HI atau politik internasional merupakan sejarah yang unik, yang bekerja melalui episteme tertentu –akumulasi formasi diskursif. Formasi diskursif yang hanya digerakkan oleh mekanisme penjelajahan teks dan proses yang berlangsung tidak ditentukan oleh tempat-waktu, tetapi oleh timbul-tenggelamnya wacana berupa: konsep, istilah dan pernyataan-pernyataan (statement), sehingga prosesnya terjadi secara tiba-tiba, diskontinu (patah-patah), memiliki arsitektur yang berbeda dengan sebelumnya dan terkondisikan secara partikular di jaman tertentu. Setiap kejadian sejarah seperti PD II merupakan peristiwa perubahan formasi diskursif yang terdiri dari beberapa pernyataan seperti: adanya delusi institusi internasional, LBB dalam menentukan tatanan politik internasional, hadirnya Hitler sebagai kenyataan, penyerangan secara tiba-tiba Jepang terhadap kapal laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, dll. Pergeseran formasi ini disebabkan oleh pernyataan dalam wacana tertentu yang disuarakan oleh pengarang seperti E.H. Carr dan Morgenthau, sehingga konstelasi politik internasional berubah dari tenggelamnya episteme idealisme/liberalisme ke timbulnya episteme yang berbeda dan unik saat itu: realisme. Tindakan pergeseran (transisi) ini dinamakan sebagai the epistemological acts and thresholds, yakni awal dari sebuah wacana tertentu dalam tatanan episteme yang sedang mengalami kenaikan melalui produksi formasi diskursif yang terputus dari peristiwa asli (sebelumnya), motivasi terdahulu dan terhapuskannya keterlibatan imajinasi sebelumnya. Jadi dalam kasus ini, perubahan formasi diskursif bergerak dari level praktik-praktik wacana idealisme/liberalisme berubah menjadi praktek-praktek wacana realisme. Oleh
Foucault (demikian juga post-structuralist lainnya seperti Derrida) memfokuskan pada studi praktek-praktek wacana dengan prosedur logocentric, yakni studi pengetahuan yang memusatkan diri bukan pada alam, Tuhan, dan manusia, tetapi memusatkan diri pada pengetahuan itu sendiri (episteme in itself) melalui media bahasa dan ruang bawah sadar kita. Menurut pisau analisis mereka, wacana telah mengambil alih dunia pengetahuan HI dewasa ini (post-modernism epoch) melalui representasi bahasa percakapan, penuturan dan teks. Pada umumnya, episteme dalam tatanan HI mengalami peristiwa penyisihan, penindasan, perbedaan, dominasi dan marginalisasi suatu wacana tertentu. Oleh karena itu, baik Foucault maupun Derrida mengistilahkannya dengan studi pemahaman terhadap displacement dan placement wacana, yaitu suatu wacana akan bersuara, ketika wacana yang lainnya justru terbungkam atau tersisihkan. Selain itu, Foucault dan Derrida membantu pemahaman HI dalam memahami teori hubungan internasional yang sudah terpisah dari peristiwa monumentalnya dan terlepas dari praktek-praktek wacananya seperti praktik-praktik wacana Yunani Kuno membaca praktik-praktik wacana PD II. Jadi mereka tidak mencari keaslian dan kebenaran sejati, tetapi hanya menuturkan wacana yang tengah berkuasa saja dalam bentuk pengetahuan. Karena pendekatan genealogi memberikan pemahaman bahwa pengetahuan adalah kuasa terhadap konstruksi dan penaklukan objek, baik objek yang dianalisis maupun objek data dalam konteks penelitian.
Dengan memahami praktek-praktek wacana pengetahuan ilmu HI melalui prosedur logosentris membuat wacana yang dominan atau diistilahkan sebagai mainstream menjadi dipermasalahkan kembali sebagai sebuah entitas politis dan bermuatan kekuasaan. Implikasi dari proses yang sudah taken for granted ini disebut dengan pembongkaran atau istilahnya Derrida “Deconstruction” (dekonstruksi). Dekonstruksi ini membawa pemahaman baru tentang sejarah: total history dan general history. Total history merupakan wacana dominan seperti idealisme, realisme, tradisionalisme, saintisme, modernisme dengan Dengan memahami praktek-praktek wacana pengetahuan ilmu HI melalui prosedur logosentris membuat wacana yang dominan atau diistilahkan sebagai mainstream menjadi dipermasalahkan kembali sebagai sebuah entitas politis dan bermuatan kekuasaan. Implikasi dari proses yang sudah taken for granted ini disebut dengan pembongkaran atau istilahnya Derrida “Deconstruction” (dekonstruksi). Dekonstruksi ini membawa pemahaman baru tentang sejarah: total history dan general history. Total history merupakan wacana dominan seperti idealisme, realisme, tradisionalisme, saintisme, modernisme dengan
Pendekatan intertekstualitas (post-structuralism), Michel Foucault dan Jacques Derrida dengan menggunakan prosedur logosentrisme menciptakan konsekwensi bahwa bahasa dan permainan bahasa menjadi representasi dalam menampilkan kenyataan, sekaligus menafikan empirisme, materialisme, dan rasionalisme. Tampilan kenyataan ini dinamakan sebagai analisis meta-teori politik internasional. Sebagaimana telah disinggung di bagian bab sebelumnya, Jim George mengambil istilah wacana untuk menjelaskan pengetahuan realisme melalui definisi intertekstualitas yang hanya berkaitan dengan teks bahasa kaum realis dan permainan bahasanya, bukan dengan empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain, bahasa sebagai sarana antar teks yang mengilustrasikan fenomena dunia internasional. Bahasa teks adalah pengetahuan nyata dan sumber dari pengetahuan itu sendiri. SHI tidak akan pernah hadir kecuali dalam bentuk teks bahasa. Wajah wacana SHI diwujudkan dalam hubungan antar teks bahasa, sehingga fenomena politik internasional dapat dijelaskan dan dipahami. Wacana yang dibentuk melalui proses intertekstualitas bahasa yang membentuk fenomena politik internasional. Dengan kata lain, fenomena nyata sesungguhnya diciptakan oleh sulaman dari intertekstualitas wacana yang timbul.
II.1.2. Konseptualisasi Genealogi
Signifikansi dari tesis ini adalah mengkritik wacana modernitas dalam SHI dengan pendekatan arkeologi pengetahuan sebagai pendekatannya dan genealogi sebagai wilayah pengoperasian dari sebuah wacana. Semua mekanisme tersebut bermaksud menunjukkan wajah kekuasaan di balik sisi lainnya, yang dihadirkan dalam bentuk wacana (pengetahuan) sebagai sebuah kebenaran. Berkaitan dengan konteks ini, SHI merupakan bagian dari ilmu sosial dan politik yang membaca dan mendefinisikan kajian PD I, PD II, Perang Dingin (PD) dan pasca PD melalui banyak genealogi. Dalam suatu genealogi tertentu, posisi disiplin SHI ini mengklaim dan menyatakan dirinya sebagai kategori yang analisisnya bersifat Signifikansi dari tesis ini adalah mengkritik wacana modernitas dalam SHI dengan pendekatan arkeologi pengetahuan sebagai pendekatannya dan genealogi sebagai wilayah pengoperasian dari sebuah wacana. Semua mekanisme tersebut bermaksud menunjukkan wajah kekuasaan di balik sisi lainnya, yang dihadirkan dalam bentuk wacana (pengetahuan) sebagai sebuah kebenaran. Berkaitan dengan konteks ini, SHI merupakan bagian dari ilmu sosial dan politik yang membaca dan mendefinisikan kajian PD I, PD II, Perang Dingin (PD) dan pasca PD melalui banyak genealogi. Dalam suatu genealogi tertentu, posisi disiplin SHI ini mengklaim dan menyatakan dirinya sebagai kategori yang analisisnya bersifat
Tesis ini akan mengkritik, meruntuhkan wacana di atas dengan menunjukkan bagaimana formasi diskursif dalam bentuk wacana tertentu menjadi suatu wacana (pengetahuan) yang dominan dan otoritatif, menunjukkan bagaimana politik internasional (hubungan internasional) diproduksi dan diakumulasi dalam wacana (pengetahuan) politik (kuasa) tentang politik internasional. Klasifikasi tentang tradisi, agama, etnis, ras, suku, politik, budaya, ekonomi, ekonomi-politik seringkali menjadi variabel penjelas, tetapi belum pernah menjadi variabel yang menjelaskan. Dengan kata lain, subjek penelitian atau analisis HI belum menyentuh sama sekali atau menggunakan analisis berupa klasifikasi tradisi, agama, etnis, ras, suku, politik, budaya, ekonomi, ekonomi- politik.
Genealogi sebagai strategi sekaligus pendekatan yang satu paket dengan pendekatan arkeologi akan memberikan fokus pada klasifikasi di atas sebagai suatu penolakan terhadap pemberlakukan teori universal yang berlaku kapan dan di mana saja, atau teori tentang suatu kepastian yang dapat membaca fenomena politik internasional secara terus-menerus. Representasi realitas seperti fenomena perang yang dikatakan oleh kaum realis bukan teori tentang perang, tetapi lebih pada timbulnya pendekatan sejarah pemikiran tentang perang. Dalam pendekatan arkeologi dan strategi genealogi, walaupun istilahnya perang, tetapi fenomena tersebut merupakan representasi dari wacana tertentu dalam episteme (jaman) tertentu dan bentuknya berasal dari pengetahuan yang terkait dengan kuasa wacana tertentu. Contoh yang lainnya, kelompok konservatif Amerika Serikat yang lebih memfokuskan pada strategi politik luar negeri mempunyai klasifikasi tertentu, praktik-praktik wacana yang khas, pengetahuan yang unik, tentunya hal ini tidak berlaku secara universal bagi teori dan data untuk menjelaskan sifat hakekat manusia semacam dalih bahwa kelompok konservatif adalah kaum realis (realisme). Ini namanya reduksionisme, yakni proses pemangkasan wacana lain, selain wacana realisme yang dipopulerkan oleh kelompok konservatif.
Ilmuwan post-structuralism hubungan internasional, Shapiro yang dikutip oleh Simon Philpott dalam karyanya, Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity (2000) menjelaskan tentang pengertian genealogi. Menurut Shapiro, genealogi merupakan pembongkaran terus-menerus tentang formasi diskursif pengetahuan. Menurut dia, Genealogi menunjukkan asumsi, pandangan, pemahaman, penjelasan, istilah, dalih, data tertentu, merupakan pembentukan sosial tertentu, sehingga semua sistem pengetahuan sebagai suatu alat baca terhadap fenomena tertentu menciptakan fenomena yang pada akhirnya keliru (tidak relevan), suatu tindakan seenaknya atas keberhasilan perjuangan
wacana di antara kekuatan-kekuatan yang saling berkompetisi. 26 Jadi genealogi memberikan penjelasan bahwa pengetahuan (seperti SHI dalam wajah realisme,
dll) adalah hasil dari perjuangan “war of all against all” yang menghasilkan formasi diskursif pengetahuan yang lain sebagai pemenangnya.
Menurut Shapiro, teori politik tradisional (jaman modern) mempunyai bagian utopia yang mempunyai hasrat untuk mendapatkan, memberlakukan, menggambarkan tafsir ideal tertentu –wacana Hegelian. Sedangkan posisi dan fokus genealogi justru berusaha menunjukkan klaim-klaim kebenaran atau persyaratan bangunan tentang mekanisme analisis sebuah pengetahuan yang terkait dengan kekuasaan. Genealogi mengkonsentrasikan pada wacana-wacana yang berlaku, lalu menunjukkan formasi diskursif dengan menyatakan bahwa ternyata semua hal yang dianggap alamiah, objektif, bebas nilai, mapan (meanstream) dalam formasi diskursif tersebut bersifat politis dan mengandung kuasa. Apa yang dipahami oleh para Hegelian dengan dialektika idealisme dan Marxian sebagai dialektika materialisme dengan membaca fenomena masa sekarang (present) merupakan kelanjutan makna yang berasal dari masa lalu: jejak dari apa yang dimaksud sebagai hakekat dari masa lalu ditemukan di masa sekarang adalah berbeda jauh dengan genealogi. Genealogi memperlakukan pengetahuan bukan sebagai mekanisme emansipatoris dan idealisme yang sifatnya evolutif, konstruktif, progresif, total, melainkan sebagai suatu wajah dari
26 Simon Philpott, Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity, terj (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 26.
konstruksi kekuasaan dan sebagai suatu formasi diskursif penaklukan: kolonialisme. Genealogi memperlihatkan identitas yang dihasilkan dalam bentuk pengetahuan dan tafsir yang menormalisasi subjektivitas manusia dalam berbagai periode sejarah. Dengan demikian, Mitchell Dean yang dikutip oleh Philpott menyimpulkan genealogi sebagai operasi kekuasaan dalam praktik-praktik wacana (pengetahuan) dan sekaligus membedakannya dari arkeologi pengetahuan yang hanya membatasi dirinya sendiri pada penggambaran formasi diskursif yang
terdiri dari pernyataan-pernyataan dan dalih-dalih saja. 27 Genealogi mempermasalahkan ketegangan antara praktik dan konsep pengetahuan, yakni
ketegangan yang terjadi antara ‘seseorang,’ yang menjadi objek dunia dengan subjek berpengetahuan yang membaca dan mendefinisikan fenomena dunia (objek).
Jika dilacak kembali jauh ke belakang, istilah genealogi merupakan abstraksi bahasa terhadap fenomena abad skolastik (jaman Roma) yang digunakan oleh Neitzsche dalam membongkar moralitas Kristen. Dia berargumen bahwa moralitas tersebut hadir, karena Kristen adalah ‘si penurut’ dan mereka mengarang cerita tentang bagaimana, dan suatu hari segalanya akan berbeda – menjadi lebih baik. Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa moralitas Kristen hadir dalam sejarah spesifik yang kontekstual. Mekanisme kerja genealogi Foucault tidak jauh berbeda dengan genealogi Nietzsche. Menurut mereka berdua, genealogi adalah penyelidikan keaslian sejarah dari wacana dan institusi yang
sangat kuat (kuasa) yang mengklaim universal dan abadi. 28 Dengan demikian, dalam mekanisme genealogi, kita akan menyaksikan apa yang dinamakan oleh
Foucault sebagai fenomena “insurrection of subjugated knowledges,” yakni pemberontakan terhadap kuasa pengetahuan, sehingga pengetahuan adalah tidak lebih dari sebuah mekanisme kolonialisasi wacana atas sesuatu (objek analisis),
dan pada saat itu pula menenggelamkan pengetahuan yang lainnya. 29 Dalam karyanya, Power/Knowledge: selected interviews & other writings 1972-1977,
27 Ibid., hlm. 27. 28 Danaher, Schirato dan Webb, op.cit., hlm. 24. 29 Michel Foucault, Power/Konoledge: selected interviews & other wrtings 1972-1977, terj (New
York: Pantheon Books, 1980), hlm. 81.
Foucault mengatakan bahwa fenomena tersebut memiliki dua hal yang penting: pertama, mengacu pada konteks sejarah yang telah terkubur dan tersembunyi dalam koherensi fungsionalis atau sistematisasi formal (sesuatu yang dianggap ilmiah). Secara konkret, hal tersebut bukanlah sebuah semiologi hidup aman, dan juga bukan sosiologi distortif yang telah membuat konteks sejarah menjadi mungkin untuk memproduksi kritik yang efektif atas konteks sejarah tersistematisasi secara formal. Kedua, mengacu pada pemahaman pengetahuan yang naïf, berbeda, unik, aneh, terdiskualifikasi (low-ranking knowledges/popular knowledge/le savoir des gens), karena dianggap mereka tidak berguna dalam menganalisa yang terletak di bawah kesadaran pengetahuan yang diperlukan – direndahkan oleh pengetahuan yang sudah mapan (high-ranking knowledges/mainsteam knowledges) saat itu. Foucault yakin bahwa melalui kemunculan kembali low-ranking knowledges yang tengah direndahkan, terbungkam, termarginalkan mutunya, justru menghadirkan suatu pengetahuan khusus, spesifik, lokal dan unik. Pengetahuan ini tidak mempunyai makna umum, yakni suatu gaya atau ciri pemahaman yang dapat jatuh pada kondisi yang tidak menguntungkan, tak berfungsi atau terpakai, yang sewaktu-waktu mereka tidak dapat kokoh secara efektif dan eksplisit dalam mempertahankan dirinya. Jadi pemahaman tentang insurrection of subjugated knowledges membuahkan suatu kepedulian terhadap pengetahuan sejarah perjuangan (historical knowledge of struggles).
Hadirnya perjuangan sejarah pengetahuan dapat dinamai sebagai genealogi atau lebih baik dinamai dengan keberagaman penelitian genealogi yang bermacam-macam, penemuan yang sungguh-sungguh dari perjuangan pengetahuan bersama-sama dengan memori primitif yang hadir dalam konflik- konfliknya. Banyak genealogi merupakan produk yang terkombinasi dari high- ranking knowledge dan low-ranking knowledge yang belum pernah dicoba, kecuali jika tirani wacana yang mengglobal (globalizing discourse) bersama hirarkhi dan semua hak istimewanya terhadap teori-teori avant-garde dieliminasi atau diruntuhkan. Jadi genealogi merupakan gabungan pengetahuan ilmiah dan memori kelokalan yang memberikan kesempatan kepada kita untuk membangun Hadirnya perjuangan sejarah pengetahuan dapat dinamai sebagai genealogi atau lebih baik dinamai dengan keberagaman penelitian genealogi yang bermacam-macam, penemuan yang sungguh-sungguh dari perjuangan pengetahuan bersama-sama dengan memori primitif yang hadir dalam konflik- konfliknya. Banyak genealogi merupakan produk yang terkombinasi dari high- ranking knowledge dan low-ranking knowledge yang belum pernah dicoba, kecuali jika tirani wacana yang mengglobal (globalizing discourse) bersama hirarkhi dan semua hak istimewanya terhadap teori-teori avant-garde dieliminasi atau diruntuhkan. Jadi genealogi merupakan gabungan pengetahuan ilmiah dan memori kelokalan yang memberikan kesempatan kepada kita untuk membangun
Masih dalam karyanya, Foucault menjelaskan genealogi merupakan aktivitas penelitian yang tidak berkaitan sama sekali dengan pertentangan antara teori-praktik, tidak berkaitan dengan diskualifikasi dimensi spekulatif yang melawannya atas nama saintisme. Oleh sebab itu, genealogi tidak menggunakan empirisme dan juga tidak menggunakan positivisme dalam pengertian biasa dari bentuk terminolognya dan kekakuan aturan mainnya. Dengan demikian tanpa kembali pada positivisme yang lebih tepat bentuk keilmiahannya, genealogi mempunyai kemungkinan dapat berkembang. Genealogi tepatnya anti-scienses. Namun genealogi tidak mempertahankan kebenaran suaranya untuk menafikkan saintisme. Genealogi tidak memfokuskan pada kritik terhadap isi, metode atau konsep-konsep ilmiah, tetapi mempunyai fokus perhatian lebih pada efek-efek kekuasaan yang terpusat, yang terkait dengan institusi dan fungsi wacana saintifik (ilmu pengetahuan) yang terorganisir bersama masyarakat. Genealogi adalah analisis tanpa subjek sejarah sebagai pembentuk sejarah itu sendiri, tetapi justru membangun dasar-dasar dengan wadah sejarah. Berkaitan dengan konteks tersebut, kutipan langsung dari Foucault:
Genealogi is a form of history which can account for the constitution of knowledges, discourses, domains of objects etc., without having to make reference to a subject which is either transcendental in relation to the field of
events or runs in its empty sameness thoughout the course of history. 30
Oleh sebab itu, genealogi tidak berkaitan dengan kesadaran, persepsi, pandangan, perspektif, paradigma, bentuk ideologi, melainkan berkaitan erat dengan taktik dan strategi kekuasaan yang menyebar melalui penanaman, distribusi,
pembatasan, pengontrolan terhadap ruang (imajinatif) dan tempat (territorial). 31 Selama ini, SHI mungkin mengklaim dirinya objektif, bebas nilai, netral, praktis-
operasional dan ilmiah, tetapi para pengarang (ilmuwan) karya-karya HI sebagian besar ditentukan oleh tempat mereka tinggal, yakni konstelasi politik internasional dan ruang imajinatif mereka. Bagaimanapun juga SHI sebagai disiplin ilmu lahir
30 Ibid., hlm. 117. 31 Ibid., hlm. 77.
di Wales, Inggris (1919) dan para pengarang karya tentang HI tidak menempati ruang (spatial) kosong atau ruang hampa dalam membaca dan mendefinisikan politik internasional, tetapi menempati spatial wacana Eropa dan tradisi Barat.
II.1.3. Intertekstualitas/Hubungan Internasional
Intertekstualitas/hubungan internasional merupakan bagian dari pendekatan post-structuralism yang mempercayai realitas sebagai teks yang saling bertemu. Pertemuan teks-teks menciptakan jaring-jaring teks dengan berisi tentang makna terhadap ontologi politik internasional. Dalam konteks ini, keterkaitan antara SHI dengan pendekatan post-structuralism—arkeologi pengetahuan dan genealogi dengan istilahnya Der Derian: intertekstualitas/hubungan internasional dapat dipahami lebih mudah melalui karya James Der Derian, “The Boundaries of Knowledge and Power in International Relations,” dalam International/Intertextual Relations (1989). Dalam prologue-nya, Der Derian mengutip karya Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra: “power is it, this new virtue; a ruling thought is it, and around it a
subtle soul; a golden sun, with the serpent of knowledge around it.” 32 Pernyataan ini dapat dipahami bahwa pengetahuan HI melekat (embraced) dengan kuasa.
Keduanya merupakan satu kesatuan; pengetahuan adalah kuasa; dalam aspek epistemologi pengetahuan hubungan internasional mempunyai kemampuan untuk mendefinisikan (menentukan) dan menaklukan kebaikan, kendali pemikiran, kelembutan jiwa dan kebenaran ontologi politik internasional.
Der Derian mengilustrasikan SHI bahwa hubungan internasional dimulai dengan kehadiranya revolusi dan footnote. Genealogi hubungan formal antar bangsa sebenarnya sudah ada sebelum Revolusi Perancis: perkembangan kuasa yang selektif pada abad pertengahan Kristen (seperti Venice dan Konfederasi Swiss); penolakan terhadap sistem monarkhi dengan mengadopsi republikanisme oleh Belanda pada abad ke-16; doktrin yang berdasarkan pada perjanjian yang datang dari kemenangan Revolusi Inggris pada abad ke-17; di Amerika Serikat hadir institusionalisasi politik popular oleh Konggres Continental pada tahun
32 James Der Derian, “The Boundaries of Knowledge and Power in International Relations,” dalam International/intertextual Relations , (Canada: Lexington Books, 1989), hlm. 1.
1776. Namun Der Derian menunjukkan bahwa kedaulatan yang sangat erat dengan hubungan internasional dan sekaligus awal dari hubungan internasional adalah Declaration of the Rights of Man (1789) yang berisi: “sovereignty resides essentially in the nation.” Ironisnya, penyebaran doktrin oleh Napoleon ini sangat efektif menandakan keberakhiran dari hubungan antar dinasti (interdynastic relations) dan terlahirnya hubungan internasional.
Der Derian juga melacak terlahirnya teks asli internasional. Kata tersebut muncul dalam karya seorang Liberalis, Jeremy Bentham, Principles of Morals and Legislation dalam kalimat yang biasa saja, di mana Bentham membedakan antara hukum “internal” dari hukum “internasional.” Der Derian menunjukkan lebih lanjut tentang kemunculan istilah ini melalui teks internasional dalam karyanya Oppenheim, Internatonal Law dan sebuah variasi baru seperti dalam kreasi teks the International Working Men’s Association pada tahun 1864 yang mencair sendiri pada tahun 1943 menjadi Third Communist International.
Menurut Der Derian, sebenarnya bersatunya teks hubungan dan teks internasional susah dilacak seperti juga susahnya mencari asal usul disiplin
hubungan internasional dengan menggunakan teks nama hubungan internasional – International Relations/IR (HI). Dengan kata lain, disiplin HI sekarang hanya berupa ‘jejak kaki’ yang berasal dari akar jejak kaki-jejak kaki yang sumbernya
pun sudah menghilang, karena ketika dilacak ternyata tidak ditemukan. Dalam konteks sejarah, kesadaran-diri (self-consciousness) teoritis tentang HI tidak begitu mempermasalahkan perdebatan teks nama yang cocok dalam wilayah studi ini. Der Derian menunjukan beberapa karya: sebuah antologi, A.J.Grant dalam An Introduction to the Study of International Relations (1916) dan yang lainnya dari D.P.Heeatley, Diplomacy and the Study of International Relations (1919). Istilah hubungan internasional dikemudian hari menjadi semacam ritual untuk terus dipakai dalam karya-karya berikutnya dengan cara salah satunya menggunakan footnote. Teks hubungan internasional dalam pemakaiannya pun terkadang sering kurang relevan, ketika substansi dari hubungan internasional dijelaskan melalui aspek yang bermacam-macam (tidak hanya istilah nations, tetapi juga secara politis, ekonomi, legal aktor, baik dalam dunia internasional maupun pun sudah menghilang, karena ketika dilacak ternyata tidak ditemukan. Dalam konteks sejarah, kesadaran-diri (self-consciousness) teoritis tentang HI tidak begitu mempermasalahkan perdebatan teks nama yang cocok dalam wilayah studi ini. Der Derian menunjukan beberapa karya: sebuah antologi, A.J.Grant dalam An Introduction to the Study of International Relations (1916) dan yang lainnya dari D.P.Heeatley, Diplomacy and the Study of International Relations (1919). Istilah hubungan internasional dikemudian hari menjadi semacam ritual untuk terus dipakai dalam karya-karya berikutnya dengan cara salah satunya menggunakan footnote. Teks hubungan internasional dalam pemakaiannya pun terkadang sering kurang relevan, ketika substansi dari hubungan internasional dijelaskan melalui aspek yang bermacam-macam (tidak hanya istilah nations, tetapi juga secara politis, ekonomi, legal aktor, baik dalam dunia internasional maupun
Setelah mengilustrasikan teks hubungan internasional yang sangat ditentukan oleh konsensus dan penafsirnya (ambiguitas), maka Der Derian menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Posisi ini memberikan pemahaman baru terhadap SHI. Fokus analisis Der Derian dalam SHI berkisar pada “space- between,“ yaitu bentuk interteks antara pengetahuan dan kuasa dalam HI, antara batas luar-dalam tubuh teori internasional, antara politik tektual dan dunia politik, dan yang paling signifikan dalam isu perang-damai antara pribumi (indigenous) dan asing (aliens). Dengan pendekatan post-structuralism dan post-modernism, strategi penelitian ini menggunakan strategi dekonstruksi (deconstruct) dan denaturalisasi (denaturalize) melalui interpretasi mendalam terhadap bahasa (simbol), konsep, teks, yang telah terkonstitusi dengan wacana tertentu dalam HI. Proses dekonstruksi seringkali menyisihkan bahasa umum (popular), karena strategi dekonstruksi mengkonsentrasikan pada pembentukan wacana tertentu (dominan) daripada merefleksikan realitas, membongkar oposisi biner, meluluhlantakkan hubungan hierarkhi (antara fakta dan fiksi, laki-laki dan perempuan, self dan other), menantang konvensi-konvensi literal (bahwa makna tektual dimentahkan oleh kepentingan pengarang) dan menentang praktek-praktek positivis (di mana manipulasi fakta saintis menghasilkan kebenaran yang objektif) yang telah muncul di ilmu (pengetahuan) sosial. Metode dalam strategi dekonstruksi ini bermaksud mengusik cara berpikir seperti biasanya (habitual ways of thinking) dan beraksi dalam HI; tujuannya adalah melengkapi pemahaman yang lebih cerdas dan melengkapi kemungkinan alternatif untuk SHI.
Dalam hal ini, Der Derian menjelaskan lebih mendalam dalih post- structuralism yang melakukan perlawanan terhadap prosedur saintifik, sekaligus memberi dialog terbuka untuk membuat dalih post-structuralism dalam teori internasional. Kemungkinan membuat dalih ini dibenarkan oleh karya Martin Wight, “Why is there No International Theory?” dalam Diplomatic Investigations (1966) yang berasal dari subteks neo-Hobbesian: “where there is no sovereign Dalam hal ini, Der Derian menjelaskan lebih mendalam dalih post- structuralism yang melakukan perlawanan terhadap prosedur saintifik, sekaligus memberi dialog terbuka untuk membuat dalih post-structuralism dalam teori internasional. Kemungkinan membuat dalih ini dibenarkan oleh karya Martin Wight, “Why is there No International Theory?” dalam Diplomatic Investigations (1966) yang berasal dari subteks neo-Hobbesian: “where there is no sovereign
Rational Man, there persists a ‘war of all against all’ in international theory.” 33 Dalam konstelasi konflik teoritis, esai Martin Wight berdiri sebagai pre-teks yang sempurna untuk interpretasi teori internasional sebagai interteks, yang dideskripsikan oleh ahli semiotik, Roland Barthes. Der Derian mengutip langsung pernyataan Barthes tentang interteks: “a multi-dimensional space in which a
variety of writings, none of them original, blend and clash.” 34 SHI membutuhkan pendekatan intertekstualitas (post-structuralism) untuk penyelidikan kritis menuju
area pemikiran yang tidak ada kebenaran final, di mana makna diperoleh dari hubungan antar teks dan power dilibatkan (terlibat) bersamanya melalui permasalahan bahasa dan praktek-praktek signifikan lainnya. Oleh sebab itu, menurut Der Derian terdapat aspek strategi dari intertekstualisme dalam penyelidikannya: hal ini berkaitan dengan penyelidikan wilayah pertempuran secara umum yang dideskripsikan dalam teori internasional. Bagi pemahaman Der Derian, kemenangan tidak dinilai oleh kuasa teori untuk menentukan, menaklukan dan memverifikasi fakta (data). Strategi intertekstualitas (dekonstruksi) bermaksud untuk memahami timbul-tenggelamnya teori dan memunculkan interpretasi wacana baru terhadap dunia teks dengan mengundang pertanyaan tentang konstruksi determinasi menurut sejarah arkeologi menuju pemahaman kita. Dengan demikian kita dapat menambahkan dimensi dan alternatif baru dalam teori internasional tradisional (modernisme). Proses ini dimaksudkan untuk menghadapi kaum modernis yang monological dan totalizing theory; post- structuralism dan post-modernismism memposisikan dirinya heterological, multipolar grids of knowledge dan sifatnya praktis. Strategi intertekstualitas bukanlah sebuah konstruksi atau perbaikan teori internasional yang sudah usang, tetapi menyelidiki sesuatu yang dianggap (diasumsikan secara umum) benar: why
33 Ibid., hlm. 5. 34 Ibid., hlm. 6 33 Ibid., hlm. 5. 34 Ibid., hlm. 6
Berkaitan dengan konteks di atas, Der Derian kembali mengingatkan kepada kita tentang tawaran Martin Wight yang merupakan poin penting bagi kondisi bidang SHI yang terus-menerus tersebut. Dengan meninggalkan slogan kontemporer yang sering menempati posisi sebagai kreator teori internasional, mengamati efek-efek dari sikap realpolitik dan penolakan idealisme, melarikan diri dari metodologi (yang ketat), Martin Wight mengambil pemikiran yang jauh ke depan: “it sometimes seems that whereas political theory generally is in unison with political activity, international theory . . . sings a kind of descant over
against the movement of diplomacy.” 35 Baik Der Derian maupun penulis merasa penting untuk mengutip pernyataan langsung Martin Wight sebab dalam konteks
ini, pernyataan Wight memberikan pemahaman bahwa teori internasional jauh berbeda dengan teori politik dan praktik-praktiknya yang sifatnya mempunyai hubungan yang normal; teori politik yang dapat diaplikasikan secara benar dalam aktivitas politik, dan kalkulasi yang mudah diketahui. Teori internasional justru bersuara khas dalam melawan praktik-praktik diplomasi. Dalam karyanya, International Theory: the Three Traditions (1992), Wright menjelaskan dengan tegas bahwa teori politik cenderung mengacu pada filsafat politik, pendekatan behavioralisme, dan hukum internasional, sedangkan teori internasional cenderung mengacu pada studi sejarah. Wight berpendapat bahwa antara teori internasional dan praktik-praktik diplomasi terjadi kondisi konfliktual. Sebab tradisi studi sejarah tidak digunakan dalam praktik-praktik diplomasi yang ranahnya lebih praktis dan pragmatis. Padahal kalau kita mengamati SHI yang selalu peduli pada karya Thucidydes, Peloponnesian War (PW), maka kita akan
paham bahwa karya tersebut berisi teks-teks sejarah. 36 Teks-teks sejarah ini, menurut Bull bukan merupakan teks sejarah itu sendiri (itself history), tetapi teks
35 Ibid. 36 Hedley Bull, “Martin Wight and the Theory of Interntional Relations,” dalam Martin Wight,
International Theory: the Three Traditions , (New York: Holmes & Meier Publishers, Inc., 1992), hlm. xxi.
filsafat sejarah (philosophy of history), walaupun dalam hal ini, Bull tidak puas dengan pemikirannya Wight. Jadi penyelidikan HI mempunyai karakter yang sifatnya filosofis, Wight menyebutnya: “international theory is the political
philosophy of international relations.” 37 Karena mempunyai karakter tersebut, maka penyelidikan HI sudah pasti multi tafsir, tidak pasti atau sifatnya sangat
relatif: “it does not lead to cumulative knowledge after the manner of nature science.” 38 Dengan demikian, penyelidikan HI berbeda dengan penyelidikan ilmu politik dan ilmu lain seperti sosiologi. Mungkin ilmu politik dan sosiologi dapat menggunakan pendekatan behavioralisme dan positivisme. Namun penyelidikan ilmu HI justru lebih rumit dan kompleks serta keberadaannya dan sifatnya anti-
teori, tetapi mempunyai kecenderungan pada perspektif atau paradigma. 39 Berpijak dari pengetahuan Wight, pendekatan intertekstualitas (post-
structuralism) menjadi relevan dalam SHI. Menurut Der Derian, pendekatan ini merupakan langkah serius meta-teori (metatheory), yaitu teoritisasi tentang teori politik internasional. Melalui interpretasi/pemaknaan (permainan bahasa), meta- teori mengembangkan transfer teori dari konteks sejarah satu menuju pada konteks sejarah yang lainnya; dari formasi diskursif menuju formasi diskursif lainnya. Komitmennya adalah menjawab pertanyaan empiris melalui intertekstualitas yang sifatnya perkiraan atau rabaan, bukan dengan teori-teori yang pasti dan tepat yang sifatnya positivistik. Tepatnya mungkin dikatakan sebagai penyelidikan teoritisasi yang tak akan kunjung selesai, sebab memang mekanismenya bukan menciptakan teori yang pasti, absolut dan tepat, tetapi proses teoritisasi sebagai cara mendekati dan memahami fenomena HI, tepatnya konstelasi politik internasional. Jika hal ini tidak dilakukan, maka penyelidikan teoritis mengalami kemunduran menuju metodologisme, yang telah membuat usang dan stagnasinya teori hubungan internasional pada umumnya dan terciptalah dogmatisme HI atau istilahnya Jim George: “ortodoksi HI.” Der Derian dan penulis sendiri sepakat dengan pendapatnya Barthes yang menyatakan argumen bahwa pada momen-momen tertentu penting bagi kita untuk melakukan
37 Ibid., hlm. 1.
39 Ibid. Ibid. hlm xiii.
tindakan melawan metode (against method), atau setidaknya menyuarakan pluralitas, sebaliknya melawan suatu pandangan, tentang sebuah representasi besar yang tersusun dalam bentuk teks, suatu teks yang meliputi teks itu sendiri, yang merupakan satu-satunya ‘kebenaran’ dari beberapa hasil penelitian.
Der Derian mengatakan bahwa teoritisasi intertekstual jelas-jelas bukan merupakan proses verifikasi saintifik, bukan juga sebagai suatu anti-saintifik. Pendekatan intertekstualitas mengambil langkah dan memposisikan dirinya pada strategi self-conscious, yakni menjauhkan diri dari cara-cara formal yang dominan dan tren a-history dalam mendekati HI. Selama ini, variasi bentuk pendekatan rasionalis dalam SHI, seperti game theory, structuralism realism, dll, telah menampilkan HI sebagai sebuah simulacra: persuasif dan menarik dalam model abstraksinya, tetapi sifatnya metafisik dan eksklusi dalam aplikasi hiper-realitas mereka. Dengan kata lain, mereka terjebak dalam imajinasi dan delusi yang mereka abstraksikan dan bayangkan sendiri, tanpa terkait dengan realitas yang ada. Nampaknya selama kita mempelajari HI, kita terjebak pada pembahasan tentang teori politik daripada dunia politik. Sekarang ini, Menurut Der Derian dengan pendekatan post-structuralism dan post-modernism, isunya bagaimana kita, sebagai seorang teoritis tidak berpikir tentang dunia, atau bagaimana yang lain di masa lalu memikir tentang dunia, tetapi yang perlu diperhatikan betul-betul adalah bagaimana kita berpikir tentang para teoritis tersebut seharusnya berpikir tentang dunia. Dengan kata lain, kita secara skeptis arahnya justru mempertanyakan kembali mengapa para teoritis HI seolah-olah sudah berpikir ‘benar’ tentang dunia politik. Menurut Der Derian, mungkin isu ini merupakan gejala pendisiplinan teori, pengaruh dari pengendalian teori menuju pada sebuah permainan bagi pemikiran mahasiwa dalam menjelajahi halaman-halaman dalam jurnal. Keberlanjutannya, teori internasional berhadapan dengan tekanan-tekanan institusi untuk merelevansikan dirinya dan mereduksi dirinya sendiri menuju penyebarluasan dogma. Jadi SHI sebagai pengetahuan selalu terkait dengan kuasa (power).
Pendekatan intertekstualitas merupakan penyelidikan bagaimana petualangan ide-ide yang bergerak dari footnote ke footnote-footnote lainnya dan
batas-batas tradisi pemikiran HI menuju posisi ‘alamiah,’ lalu predominasi, dan bagaimana beberapa ide-ide tersebut hilang atau tenggelam dalam guncangan dunia politik (world politics). Oleh karena itu, pendekatan intertekstualitas ini tidak memberikan atau membentuk school of thought untuk memunculkan, menimbulkan suatu school of thought baru. Namun pendekatan ini hanya memberikan pintu menuju pilihan-pilihan school of thought –apapun bentuknya – tergantung pada fokus studi dan pijakan dasar pemikir HI. Dalam konteks ini, nanti bagian bab selanjutnya akan memfokuskan pada studi budaya sebagai pilihan topik tentang strategi budaya dan studi pascakolonialisme serta wacana tertentu untuk memberikan inspirasi alternatif school of thought. Aspek ini merupakan perbedaan penulis dengan Der Derian atau ilmuwan HI lainnya. Penulis mengajukan wacana saminisme di Indonesia sebagai strategi budaya politik perlawanan dan merupakan sebuah alternatif dari cikal bakal akar pemikiran HI di negara Dunia Ketiga: Indonesia. Wacana saminisme ini dikaji melalui studi pascakolonialisme yang dalam konteks Indonesia, mempunyai varian berbeda dengan studi HI resolusi konflik yang mengambil tradisi pemikiran India, Mahatma Gandhi (Hindu). Tradisi pemikiran Gandhi ini sempat disinggung oleh Wight sebagai salah satu variasi wacana dalam teori internasioal Timur. Karena pengetahuan Wight kurang mencukupi, maka pemikiran teori internasional yang berakar dari tradisi Timur ini sedikit sekali dikupas dalam karyanya, International Theory: the Three Traditions (1992).
Mengambil pandangannya Der Derian, Penulis menegaskan kembali bahwa pendekatan intertekstualitas bukan merupakan penelitian mencari identitas baru, otentisitas teori, penyucian disiplin HI melalui perlawanan terhadap ‘older’ school of thought. Pendekatan intertekstualitas berangkat dengan niatan untuk berdialog, tanpa menaruh perhatian penuh pada para pemikir-pemikir HI meanstream dan melupakan otoritas footnote-footnote yang ada, serta secara kritis menginterpretasikan suara-suara dominan agar terbuka pintu yang lebar, tertelanjagi, yang sifatnya spekulatif untuk memilih jalan tentang apa yang dapat atau apa yang tidak dapat dilakukan dalam dunia politik di masa depan.
Sederhananya memberikan ruang untuk berkontemplasi agar pilihan-pilihan yang ada benar-benar diputuskan secara matang dan tidak gegabah.