2. Penurunan Tanah (Land Subsidence) di Kota Bandung

2.2.1.2. Proses Kebijakan Publik Tiga tugas pemerintah yang tak pernah tergantikan adalah membuat

kebijakan publik, kemudian pada tingkat tertentu melaksanakan kebijakan publik, dan pada tingkat tertentu pula melakukan evaluasi kebijakan publik (Nugroho, 2006). Dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan publik, Ripley (1985) menjelaskan bahwa terdapat tahapan-tahapan seperti yang tergambar dalam bagan berikut:

STAGES (Functional Activities) Products

Agenda of Agenda Setting government

produce

allows

Formulation and legitimation of goals

Policy statement & program

produces

necessitates

Program Implementation

Policy Actions

stimulate produces

lead to

Evaluation of implementation,

stimulate

performance, and Policy and program

impacts performance and impacts

lead to

Decision about the future of the policy

and programs

Gambar 2.1. Tahapan Kebijakan Publik

Sumber : Ripley, Randall B. Policy Analysis in Political Science. Nelson Hall Publishers. Chicago: 1985. Hlm. 49

Dalam gambar 2.1. di atas dapat terlihat bahwa, menurut Ripley, terdapat beberapa tahapan dalam siklus kebijakan publik, yakni agenda setting (penyusunan agenda), formulation and legitimation of goals & program (formulasi dan legitimasi kebijakan), program implementation (implementasi kebijakan), evaluation of implementation, performance, and impacts (evaluasi terhadap implementasi, performa, dan dampak kebijakan), sampai pada akhirnya terbentuk keputusan mengenai kebijakan yang baru di masa yang akan datang. Aktivitas dalam proses kebijakan berdasarkan pendapat Ripley dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Agenda setting atau penyusunan agenda Tahap agenda setting adalah tahap dimana pemerintah harus menetapkan masalah apa yang menjadi dasar dari dibuatnya kebijakan publik. Terdapat tiga aktivitas utama dalam agenda setting, yang pertama adalah perception of problem, dimana pemerintah membangun persepsi di kalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Kedua, definition of problems, yakni tahap pembuatan definisi dan batasan masalah. Ketiga, mobilization of support for including problem on agenda dimana dukungan terhadap masalah tersebut dimobilisasi agar dapat masuk ke agenda pemerintah. Produk yang dihasilkan dari proses agenda setting ini adalah agenda pemerintah (agenda of government) yang selanjutnya diikuti atau ditindaklanjuti dengan aktivitas formulasi dan legitimasi kebijakan.

2. Formulation and legitimation of goals and programs (formulasi dan legitimasi kebijakan) Formulasi dan legitimasi kebijakan perlu dilakukan sebab tidak semua masalah yang ada dalam daftar agenda akan diwujudkan dalam kebijakan dan program. Dalam tahap ini terdapat empat kegiatan fungsional, yakni mengumpulkan, menganalisis, dan menyebarkan informasi (information collection, analysis, and dissemination), kemudian informasi tersebut digunakan untuk membangun alternatif kebijakan (alternative development). Aktivitas selanjutnya adalah melakukan advokasi bagi pendapat-pendapat berbeda dari berbagai kelompok, sekaligus membagun dukungan koalisi bagi pandangan yang mereka sukai (advocacy and coalition building). Setelah dilakukan negosiasi dan kompromi, dihasilkan keputusan (compromise, negotiation, decision). Keseluruhan tahap formulasi dan legitimasi ini kemudian akan menghasilkan produk berupa kebijakan (policy statement).

3. Program implementation adalah tahap yang perlu dilakukan setelah formulasi dan legitimasi telah terpenuhi dan menghasilkan kebijakan (policy statement). Pada tahap pelaksanaan program ini diperlukan adanya sumberdaya (resources) dan diperlukan pula penginterpretasian hukum

(interpretation), biasanya dalam bentuk regulasi tertulis dan elaborasinya. Selain itu dilakukan berbagai perencanaan dan pengorganisasian dalam pelaksanaanya (planning and organizing). Produk yang dihasilkan dari tahap implementasi ini adalah tindakan kebijakan (policy action).

4. Evaluation of implementation perlu dilakukan setelah tindakan kebijakan mengakibatkan berbagai dampak dan akibat. Evaluasi dilakukan terhadap akibat-akibat dari pelaksanaan program yang baru berjalan dan akibat- akibat dari pelaksanaan program yang sudah lama/sudah selesai pelaksanaannya.

5. Proses evaluasi selalu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan mengenai dampak dan kinerja dari suatu kebijakan. Kesimpulan-kesimpulan ini mempengaruhi keberlangsungan pelaksanaan kebijakan tersebut, apakah harus dilanjukan atau sebaiknya dihentikan. Kesimpulan dari hasil evaluasi yang telah dilakukan juga mempengaruhi pertimbangan pembuatan kebijakan baru di masa yang akan datang.

Pendapat berbeda mengenai siklus kebijakan publik diutarakan oleh Lester dan Stewart (2000), sebagaimana dikutip dari Kusumanegara (2010). Lester dan Stewart menggambarkan siklus kebijakan publik menjadi enam tahap yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2. Siklus Kebijakan Publik

Sumber : James P. Lester & Joseph Stewart Jr., Public Policy: An Evolutionary Approach (second edition). 2000. USA: Wadsworth Thomson Learning

Terdapat perbedaan antara penggambaran siklus kebijakan publik yang diutarakan Ripley dengan siklus yang digambarkan oleh Lester dan Stewart. Perbedaan tersebut terletak pada adanya tahap “perubahan kebijakan” dan tahap “terminasi kebijakan”. Akan tetapi, sebenarnya perbedaan ini hanyalah mengenai penggunaan istilah saja sebab “secara substansial perubahan dan terminasi yang

diketengahkan oleh Lester dan Stewart ini bermakna sama dengan keputusan mengenai masa depan program dan kebijakan menurut Ripley” (Kusumanegara,

2010, p. 16). Lindblom (1980) menyatakan pendapat yang sedikit berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh dua ahli sebelumnya. Dalam perumusan kebijakan, metode yang populer saat ini adalah membaginya ke dalam tahap-tahap tertentu kemudian menganalisisnya berdasarkan tahapan-tahapan tersebut. Akan tetapi, Lindblom memandang proses perumusan kebijakan sebenarnya adalah “proses yang tidak teratur dan bukan melalui proses yang relatif urut dan rasionalistis” (Lindblom, 1980, p. 5). Ada kemungkinan proses penyusunan agenda kebijaksanaan melebur dengan proses penerapan kebijaksanaan disebabkan oleh pemecahan masalah bagi satu kelompok menjadi masalah bagi kelompok yang 2010, p. 16). Lindblom (1980) menyatakan pendapat yang sedikit berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh dua ahli sebelumnya. Dalam perumusan kebijakan, metode yang populer saat ini adalah membaginya ke dalam tahap-tahap tertentu kemudian menganalisisnya berdasarkan tahapan-tahapan tersebut. Akan tetapi, Lindblom memandang proses perumusan kebijakan sebenarnya adalah “proses yang tidak teratur dan bukan melalui proses yang relatif urut dan rasionalistis” (Lindblom, 1980, p. 5). Ada kemungkinan proses penyusunan agenda kebijaksanaan melebur dengan proses penerapan kebijaksanaan disebabkan oleh pemecahan masalah bagi satu kelompok menjadi masalah bagi kelompok yang

2.2.1.3. Formulasi Kebijakan Pembuatan kebijakan adalah suatu tindakan yang berpola dan dilakukan

sepanjang waktu serta melibatkan banyak keputusan, baik yang bersifat rutin maupun tidak rutin (Wahab, 1997). Sangat jarang ditemukan kebijakan yang terdiri dari keputusan tunggal. Terdapat setidaknya tiga teori pengambilan keputusan yang paling sering dibicarakan dalam pelbagai rujukan kepustakaan mengenai kebijaksanaan negara. Menurut Wahab (1997), teori-teori tersebut antara lain teori rasional komprehensif, teori inkremental, dan teori pengamatan terpadu (mixed scanning).

1. Teori rasional komprehensif Teori ini adalah model teori pengambilan keputusan yang menghasilkan output berupa keputusan yang rasional, artinya keputusan tersebut dinilai dapat mencapai tujuan dengan efektif. Dalam memilih alternatif

keputusan akan mempertimbangkan alternatif yang dianggap dapat memaksimalisasi tercapainya tujuan, nilai, atau sasaran yang telah digariskan.

2. Teori inkremental Teori ini mencerminkan suatu teori pengambilan keputusan yang menghindari banyak masalah

dipertimbangkan. Inkrementalisme melihat “kebijakan publik sebagai keberlanjutan dari

yang harus

kebijakan pemerintahan sebelumnya dan hanya melakukan modifikasi kebijakan yang bersifat tambal sulam ” (Wahab, 1997, p. 26). Dalam pengambilan keputusan, teori ini menganggap bahwa policy-maker tidak harus terus membuat kebijakan baru apabila kebijakan yang sebelumnya telah dilaksanakan tidak menimbulkan permsalahan yang berarti.

3. Teori pengamatan terpadu (mixed scanning) Teori ini merupakan su atu teori yang merupakan “pendekatan 3. Teori pengamatan terpadu (mixed scanning) Teori ini merupakan su atu teori yang merupakan “pendekatan

1997, p. 26). Pendekatan dengan teori ini mengasumsikan proses pengambilan keputusan sebagai kamera dengan dua fungsi. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Nugroho (2012), bahwa “this

approach (Mixed Scanning Approach) assumes the process as a camera with two functions: wide angle function to make global picture and a zoom function to see the detail ” (p.129).

Model pengamatan tepadu (mixed scanning) akan menghasilkan keputusan yang sifatnya menyeluruh; tidak hanya ditujukan untuk menyelesaikan masalah besar yang nampak tapi juga memperhatikan detail-detail masalah dalam pengambilan keputusan tersebut. Menurut Nugroho (2012), pengambilan keputusan dengan menggunakan pendekatan ini adalah konsep yang “indah”, namun sangat sulit untuk dipraktikkan.

Ketika sebuah masalah masuk ke dalam agenda publik, maka solusi atas permasalahan tersebut harus dipersiapkan dengan penuh pertimbangan. Karena itu, diperlukan adanya suatu tahap formulasi kebijakan. Theodoulou dan Kofinis (2004) mengemukakan, “policy formulation is the development of remedies that

deal with a specific problem or address a particular issue within the institutional agenda. It takes place before legislation is enacted and theoretically ends once the policy is implemented.” (p. 132).

Dalam menyelesaikan masalah publik, Deborah Stone (1988) yang dikutip dari Theodolou dan Kofinis (2004) menyarankan lima tipe solusi yang perlu diformulasikan dalam kebijakan. Lima tipe solusi tersebut antara lain inducement, rules, facts, rights, dan power.

1. Inducement, yakni langkah kebijakan yang bersifat membujuk (positif) atau menekan (negatif) atas isu tertentu, misalnya kredit pajak (positif) dan penalti polusi (negatif).

2. Rules, menekankan pada pembentukan aturan-aturan dalam bentuk regulasi yang harus ditaati oleh masyarakat.

3. Facts, yaitu langkah kebijakan berupa penggunaan jalur informasi untuk 3. Facts, yaitu langkah kebijakan berupa penggunaan jalur informasi untuk

4. Rights, yakni pemberian hak-hak atau tugas-tugas pada masyarakat, dan power , berupa penambahan bobot kekuasaan pada pihak-pihak tertentu karena adanya tuntutan. Misalnya, guna memperbaiki pembuatan keputusan dalam anggaran pemerintah, badan legislatif diberi kekuasaan dalam bentuk peningkatan bobot kekuasaan anggaran.

Theodoulou dan Kofinis (2004) berpendapat bahwa pada sebuah proses formulasi kebijakan terdapat aktor atau pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Pihak-pihak tersebut yakni presiden, kongres, birokrat, kelompok kepentingan

(“interest group”), dan think-tanks serta policy entrepreneur. Aktor-aktor ini terlibat pada tahap-tahap ( “venues”) yang berbeda-beda dari pembuatan suatu kebijakan dan pada titik tertentu dapat mempengaruhi formulasi sebuah kebijakan.

Formulasi kebijakan memiliki banyak model dan setiap model tergantung pada kriteria apa yang dipakai dalam klasifikasinya. Berkaitan dengan hal ini, terdapat model formulasi kebijakan yang dirumuskan oleh Peter (1999) berdasarkan interaksi antara tingkat pengetahuan tentang sebab akibat (“knowledge of causation”) dengan tingkat informasi faktual yang dimiliki.

(Theodoulou & Kofinis, 2004, p. 142). Menurutnya, terdapat empat model formulasi yang dapat dilihat pada tabel 2.2. berikut.

Tabel 2.2. Model Formulasi Kebijakan

High Knowledge of

Low Knowledge of

Causation High Information

Low Information

Craftsman

Creative

Sumber: Diadaptasi dari B. Guy Peters. (1999). American Public Policy: Promise and Performance . New York: Chatham House.

Peter membagi formulasi kebijakan menjadi empat model, yaitu routine, creative, conditional, dan craftsman. Pembagian ini didasarkan pada hubungan

antara tingkat pengetahuan policy maker atas sebab-akibat dengan ketersediaan informasi bagi formulator untuk memformulasikan kebijakan.

1. Model routine merupakan model formulasi paling sederhana. Model formulasi routine menghasilkan wujud perubahan inkremental pada masalah kebijakan yang umum kepada agenda legislatif.

2. Model yang kedua menurut Peter adalah model creative. Pada jenis formulasi ini formulator memiliki tingkat pengetahuan akan sebab-akibat dan ketersediaan informasi yang rendah sehingga formulator harus bertindak kreatif dan berhati-hati terutama dalam mempertemukan antara kebutuhan individual dengan kebutuhan dari agen implementasi.

3. Model formulasi yang ketiga adalah conditional, dimana pada model ini pembuat keputusan memiliki ketersediaan informasi yang tinggi, namun di sisi lain tingkat pengetahuan akan sebab-akibat yang mereka miliki rendah. Dengan demikian, usulan kebijakan didasarkan pada dampak yang dimungkinkan dari kebijakan tersebut dan usulan semacam itu sering membuka peluang untuk melakukan modifikasi atas kebijakan ketika kebijakan itu sedang diimplementasikan ataupun ketika kondisi berubah.

4. Model formulasi yang terakhir adalah model craftsman, dimana pada model ini formulator memiliki tingkat pemahaman yang tinggi atas sebab- akibat, namun memiliki keterbatasan dalam ketersediaan informasi yang dibutuhkan. Kebijakan yang dihasilkan lebih bergantung pada kemungkinan hasil. Seringkali, model formulasi ini menghasilkan suatu kebijakan yang kurang baik karena walaupun formulator memiliki pemahaman yang tinggi akan hubungan sebab-akibat, mereka tidak mengetahui dengan jelas fakta-fakta yang ada dan kesalahan-kesalahan yang dapat dihindari.

Terkait dengan empat jenis model formulasi kebijakan publik yang telah diutarakannya, Peters (1999) berpendapat bahwa pengkategorisasian dalam pembuatan kebijakan adalah penting, namun bagaimana sebuah kebijakan ditentukan itu adalah sebuah isu politik. Seorang formulator kebijakan publik yang cerdas akan berusaha mendefinisikan dan menentukan masalah-masalah serta isu dengan tepat. Ini dilakukan agar masalah dan isu tersebut dapat disesuaikan dalam satu atau lain kategori.

2.2.2. Pajak Daerah Ditinjau dari lembaga pemungutnya, pajak dibedakan menjadi dua, yaitu

pajak pusat (disebut juga pajak negara) dan pajak daerah. Pembagian jenis pajak ini di Indonesia terkait dengan hierarki pemerintahan yang berwenang menjalankan pemerintahan dan memungut sumber pendapatan negara, khususnya pada masa otonomi daerah (Siahaan, 2010). Beberapa ahli merumuskan definisi pajak daerah menurut pendapatnya masing-masing. Soelarno (1999) mendefinisikan pajak daerah sebagai berikut.

“Pajak Daerah adalah Pajak Asli Daerah maupun pajak negara yang diserahkan kepada Daerah, yang pemungutannya diselenggarakan oleh

daerah di dalam wilayah kekuasaannya, yang gunanya untuk membiayai Pengeluaran derah berhubung dengan tugas dan kewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” (Soelarno, 1999, p. 22)

Sementara itu, Bird (2000) mendefinisikan pajak daerah dengan beberapa karakteristik yang melekat padanya, yakni “It assessed by a local government, at

rates dedicated by sub national government, collected by sub national government, and its proceeds accruing to sub national government ” (Lutfi, 2006, p. 3). Bird berpendapat bahwa pajak asli daerah adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah yang besar tarifnya ditentukan oleh pemerintah daerah. Selain itu, pemungutannya dilakukan oleh pemerintah daerah, dan hasilnya digunakan untuk kepentingan pembangunan pemerintah daerah itu sendiri. Namun demikian, kebanyakan pajak daerah hanya dapat memenuhi satu atau dua karakteristik tersebut. Menurut Lutfi (2006), hal ini dikarenakan kepemilikan kewenangan pemungutan pajak tersebut terkadang belum jelas.

Mardiasmo (1991) berpendapat bahwa pajak daerah adalah pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga daerah tersebut. Tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok antara pajak negara dengan pajak daerah jika dilihat dari prinsip- prinsip umum semisal pengertian subjek dan objek pajaknya. Perbedaan antara Mardiasmo (1991) berpendapat bahwa pajak daerah adalah pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga daerah tersebut. Tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok antara pajak negara dengan pajak daerah jika dilihat dari prinsip- prinsip umum semisal pengertian subjek dan objek pajaknya. Perbedaan antara

Menurut Samudra (2005), pajak daerah memiliki beberapa ciri-ciri dan karakteristik yang melekat. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut.

“(i) Pajak daerah dapat berasal dari pajak asli daerah maupun pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah.; (ii) Pajak daerah

dipungut oleh daerah terbatas di dalam wilayah administratif yang dikuasainya; (iii) Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum, dan; (iv) Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan Peraturan Daerah (Perda), maka sifat pemungutan pajak daerah dapat dipaksakan kepada masyarakat yang wajib membayar dalam lingkungan administratif kekuasaannya” (Samudra, 2005, p. 49-50).

Menurut pemaparan ciri pajak daerah oleh Samudra tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak daerah dipungut berdasarkan peraturan daerah dan wujudnya dapat berupa pajak asli daerah maupun pajak yang semula adalah pajak pusat, namun kemudian pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah daerah, kemudian dari hasil pemungutan pajak tersebut dipergunakan untuk membiayai pembiayaan pembangunan di daerah tersebut. Selain ciri-ciri pajak daerah, Samudra juga menyatakan bahwa suatu pajak dapat ditetapkan sebagai pajak daerah memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat

2. Sederhana

3. Jenisnya tidak terlalu banyak

4. Lapangan pajaknya tidak melampaui atau mencampuri pajak pusat

5. Berkembang sejalan dengan perkembangan kemakmuran di daerah tersebut

6. Biaya administrasi murah

7. Beban pajak relatif seimbang

8. Dasar pengenaan yang sama diterapkan secara nasional (Samudra, 1995, p. 50)

Merujuk pada pendapat Samudra (1995) tersebut, pada dasarnya, pemungutan pajak daerah harus benar- benar diperhatikan agar tidak “bertabrakan” dengan pajak yang sudah dipungut oleh pemerintah pusat. Hal ini untuk menghindari pemungutan pajak berganda yang akan memberatkan Wajib Pajak. Salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk dapat mengenakan pajak adalah adanya objek pajak yang dimiliki atau dinikmati oleh Wajib Pajak. Objek pajak adalah manisfestasi dari taatbestand atau keadaan nyata. Taatbestand diartikan sebagai sebuah keadaan, peristiwa, atau perbuatan yang menurut peraturan perundang-undangan pajak dapat dikenakan pajak. Kewajiban pajak dari seorang Wajib Pajak muncul secara objektif apabila ia memenuhi taatbestand dan sebaliknya, tanpa terpenuhinya taatbestand maka tidak ada pajak terutang yang harus dipenuhi atau dilunasi.

Suatu pajak daerah yang baik, menurut Bird (2000), haruslah memenuhi beberapa kriteria. Pa jak daerah yang baik menurutnya adalah pajak daerah “(i) that easy to administer locally, (ii) that are imposed solely (or mainly) on local resident, (iii) that do not raise problem of ‘harmonization’ or ‘competition’ between sub national government or between sub national and national government ” (Lutfi, 2006, p. 3). Bird berpandangan bahwa pajak daerah yang baik sudah semestinya mudah diadministrasikan sendiri oleh pemerintah daerah. Pajak daerah yang baik dikenakan oleh satu daerah hanya pada daerah tersebut saja, dan tidak menimbulkan masalah harmonisasi atau kompetisi secara horizontal maupun vertikal, artinya pemungutan pajak daerah yang baik tidak akan membuat terjadinya kompetisi tarif pajak antar pemerintah daerah ataupun antara pemerintah-pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

Lebih lanjut, Bird dan Vaillancourt (1998) mengemukakan beberapa sifat Lebih lanjut, Bird dan Vaillancourt (1998) mengemukakan beberapa sifat

1. Basis/objek pajak relatif tidak dapat berpindah, untuk memungkinkan pejabat daerah menyesuaikan tarif tanpa harus mengorbankan basis pajak mereka. (the tax base should be relatively immobile, to allow local authorities some leeway in varying rates without losing most of their tax base )

2. Penerimaan pajak harus dapat menutupi kebutuhan lokal dan bersifat dinamis. (the tax yield should be adequate to meet local needs and sufficiently buoyant over time )

3. Penerimaan pajak harus relatif stabil dan relatif dapat diproyeksikan dengan baik. (the tax yield should be relatively stable and predictable over time )

4. Beban pajak diupayakan agar tidak dialihkan ke daerah lain. (it should not be possible to export much, if any, of the tax burden to non- residents )

5. Basis (objek) pajak harus dapat dilihat untuk kepentingan akuntabilitas. (the tax base should be visible, to ensure accountability)

6. Pajak harus dianggap adil oleh Wajib Pajak. (the tax should be perceived reasonably fair by taxpayers )

7. Pajak harus relatif mudah dikelola secara efektif dan efisien. (the tax should be relatively easy to administer efficiently and effectively ).

Kriteria ini bukanlah serangkaian kriteria rigid mengenai sub-national tax yang ideal karena berbagai pihak mungkin memiliki pendapatnya sendiri mengenai apa yang menjadi kriteria sub-national tax yang ideal itu sebenarnya. Tidak semua orang dapat menganggap kriteria yang diutarakan oleh Bird dan Vaillancourt (1998) ini “necessarily or equally desirable” (p. 11), seperti misalnya apakah baik apabila pemerintah daerah harus diisolasi, baik atas konsekuensi tax base dari pilihan tax rates yang pemerintah daerah tersebut ambil maupun dari inflasi. Selain itu, tidak sesederhana itu untuk menarik kesimpulan yang jelas —dari berbagai informasi yang subjektif—tentang pajak daerah yang berbeda, yang mungkin sesuai dengan framework ini.

2.2.3. Pajak Air Tanah

Pajak air tanah adalah pungutan yang dibebankan kepada Wajib Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Beberapa negara di dunia mengenal pungutan atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah sebagai groundwater charges . Schiffler (1998) mengemukakan bahwa “groundwater charges are levied on the direct abstraction of groundwater” (p. 126). Di beberapa negara maju, misalnya Perancis dan Inggris, pungutan terhadap penggunaan dan/atau pemanfaatan air tanah sudah mulai dperkenalkan sejak akhir tahun 1960-an. Kemudian, Polandia menyusul pada akhir tahun 1970-an dan Belanda juga menerapkan pungutan atas pemanfaatan air tanah pada tahun 1983 (Schiffler, 1998).

Pajak air tanah maupun groundwater charges, keduanya merupakan bentuk dari environmental charges atau dikenal pula dengan istilah Pigouvian Tax . Pada dasarnya, environmental charges dirancang untuk menginternalisasi eksternalitas dengan cara membuat pihak-pihak yang dianggap menurunkan kesejahteraan anggota masyarakat lain untuk membayar eksternalitas negatif yang dihasilkan akibat perbuatan yang dilakukannya, sekaligus mendorong mereka unuk mengurangi perbuatan mereka yang menimbulkan eksternalitas negatif bagi masyarakat luas, sampai pada titik dimana marginal social cost bernilai sama dengan marginal private benefits (Schiffler, 1998, p. 127). Secara teoritis,

menurut Pearce dan Turner (1990), “the level of pigouvian tax should correspond to the marginal externality caused by an activity at the optimal level of externality in order to achieve a Pareto-optimal allocation of resources ” (Scliffer, 1998, p. 128). Terdapat banyak metode yang diperkenalkan untuk menentukan nilai kerusakan marjinal, namun pada praktiknya nilai yang diperoleh sebagai hasil dari penggunaan metode-metode ini besar kemungkinan menjadi sebuah dasar yang buruk untuk menentukan besarnya environmental charges.

Dalam konteks pengendalian atas pemanfaatan air tanah, ide dasar dari Pigouvian tax adalah mempengaruhi abstraksi air tanah “in such a way that the optimal depletion path is achived ” (Schiffler, 1998, 128). Dengan begitu, eksternalitas yang bersifat antargenerasi pun dapat diminimalisasi. Akan tetapi, dengan sulitnya menentukan level optimal dari eksternalitas, sangat sulit pula Dalam konteks pengendalian atas pemanfaatan air tanah, ide dasar dari Pigouvian tax adalah mempengaruhi abstraksi air tanah “in such a way that the optimal depletion path is achived ” (Schiffler, 1998, 128). Dengan begitu, eksternalitas yang bersifat antargenerasi pun dapat diminimalisasi. Akan tetapi, dengan sulitnya menentukan level optimal dari eksternalitas, sangat sulit pula

Pajak Air Tanah adalah suatu instrumen ekonomi dalam pengendalian penggunaan air tanah. Dibandingkan dengan fungsi budgetair yang bermanfaat untuk mengisi kas Negara, Pajak Air Tanah sebagai salah satu bentuk environment taxes and charges lebih ditujukan pada fungsi regulerend khususnya dalam pengendalian pemanfaatan air tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Quevauviller (2008), bahwa “environmental taxes and charges can be imposed on

users who abstract groundwater as an incentive for reducing water use and thus pressures on the aquatic ecosystem. The higher the taxes, the lower abstraction is expected to be ” (p.74).

Menurut Foster, Lawrence, dan Morris (1998), penentuan besarnya pungutan atas pemanfaaatan atau abstraksi air tanah dapat dilakukan berdasarkan dua hal, yakni berdasarkan kuantitas abstraksi yang telah terlisensi atau berdasarkan abstraksi aktual yang dicatat secara annual. Namun, seringkali pungutan atas abstraksi air tanah ini hanya sebatas menjadi sebuah angka nominal yang tidak dapat menutup administrative costs of regulatory body. Karena itu, menurut Foster, Lawrence, dan Morris (1998), terdapat urgensi yang mendesak untuk melakukan reformasi terhadap besaran pengenaan pungutan atas pemanfaatan air tanah dengan berdasarkan pada satu atau lebih kriteria-kriteria tertentu, tergantung pada kondisi sumber air tanah. Kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut.

1. Recovery biaya penuh dari badan regulator untuk mengadministrasikan evaluasi dan monitoring terhadap eksploitasi sumber air tanah.

2. Shadow cost dari air baku alternatif yang diberlakukan bagi pengguna 2. Shadow cost dari air baku alternatif yang diberlakukan bagi pengguna

3. Nilai ekonomi secara penuh, termasuk “harga” dari biaya atas eksternalitas yang timbul akibat abstraksi air tanah.

Penentuan desain pajak atas penggunaan air tanah perlu pertimbangan yang serius dan tidak coba-coba. Dari sudut pandang teoritis, besarnya pajak harus dapat menutup seluruh biaya yang timbul akibat penggunaan air tanah, termasuk biaya eksternal yang ditimbulkan kepada pihak ketiga (pihak atau anggota masyarakat yang tidak melakukan pemanfaatan air tanah) dan kepada lingkungan. Menurut Foster, Lawrence, dan Morris (1998), pendekatan yang paling rasional dalam penentuan besar pungutan yang dibebankan atas pemanfaatan air tanah adalah dengan memberlakukan faktor pembobotan (“weighting factor”) pada pungutan per-unit volume yang besarnya tergantung pada faktor-faktor berikut ini.

1. Proporsi penggunaan air yang termasuk dalam golongan benar-benar konsumtif

2. Kualitas dan lokasi dari sumber air tanah

3. Sensivitas keseluruhan dari lingkungan terkait dengan abstraksi air tanah, terutama dalam hal waktu dan tempat. Harus diberlakukan faktir pembobot yang lebih tinggi apabila abstraksi dilakukan di musim kemarau atau abstraksi tersebut dilakukan di area pesisir, atau dekat dengan lingkungan alam yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap ketersediaan air tanah.

4. Kualitas pasokan air yang diperoleh. Faktor pembobot yang lebih rendah hendaknya diberlakukan pada abstraksi air tanah dengan kualitas rendah. Sebaliknya, faktor pembobot yang lebih tinggi diberlakukan untuk memberi proteksi tambahan terhadap pemanfaatan sumber air tanah dengan kualitas yang tinggi.

Water Productivity Marginal Extraction Costs

MEC

= Marginal Extraction Costs

GAC

= Groundwater Abstraction Charge

MVW

= Marginal Value of Water

= Water Demand

Gambar 2.3. Dampak Pengenaan Pajak terhadap Permintaan Air Tanah Sumber: Schiffler, Manuel. (1998). The Economics of Groundwater Management in Arid Countries: Theory, International Experience, and A Case Study of Jordan . New York: Routledge, p. 129.

Pada gambar 2.3. di atas, dapat terlihat dampak pengenaan pajak terhadap permintaan air tanah, dalam konteks ini Schiffler (1998) lebih memfokuskan pada kasus penggunaan air tanah oleh petani dan sektor industri. Tingkat pemakaian air ditentukan oleh marginal value of water dan marginal extraction cost. Penggunaan air adalah variabel bebas, sedangkan nilai air dan biaya ekstraksi (extraction cost) adalah variabel terikat. Para petani ataupun pelaku sektor industri cenderung meningkatkan pemakaian air sampai nilai marjinal air (marginal value of water ) sama dengan biaya marjinal ekstraksi (marginal extraction cost). Marginal extraction cost atau biaya marjinal ekstraksi air tanah meningkat seiring dengan peningkatan penggunaan air karena memompa air dengan kedalaman yang semakin dalam akan memerlukan lebih banyak energi dan kekuatan memompa yang lebih besar. Apabila groundwater abstraction charge (GAC) diperkenalkan, biaya ekstraksi akan meningkat, dan akan mengakibatkan kurva MEC naik (upward shifting). Para pengguna air tanah mengurangi konsumsi air sehingga Pada gambar 2.3. di atas, dapat terlihat dampak pengenaan pajak terhadap permintaan air tanah, dalam konteks ini Schiffler (1998) lebih memfokuskan pada kasus penggunaan air tanah oleh petani dan sektor industri. Tingkat pemakaian air ditentukan oleh marginal value of water dan marginal extraction cost. Penggunaan air adalah variabel bebas, sedangkan nilai air dan biaya ekstraksi (extraction cost) adalah variabel terikat. Para petani ataupun pelaku sektor industri cenderung meningkatkan pemakaian air sampai nilai marjinal air (marginal value of water ) sama dengan biaya marjinal ekstraksi (marginal extraction cost). Marginal extraction cost atau biaya marjinal ekstraksi air tanah meningkat seiring dengan peningkatan penggunaan air karena memompa air dengan kedalaman yang semakin dalam akan memerlukan lebih banyak energi dan kekuatan memompa yang lebih besar. Apabila groundwater abstraction charge (GAC) diperkenalkan, biaya ekstraksi akan meningkat, dan akan mengakibatkan kurva MEC naik (upward shifting). Para pengguna air tanah mengurangi konsumsi air sehingga

2.2.4. Eksternalitas Eksternalitas didefinisikan Musgrave dan Musgrave (1991) sebagai “situations where consumption benefits are shared and cannot be limited to

particular consumers, or where economic activity results in social costs which are not paid for the producer or the consumer who causes them” (p. 44). Keduanya berpendapat bahwa eksternalitas adalah suatu keadaan dimana keuntungan konsumsi tidak dapat dibatasi dan dibebankan kepada konsumen tertentu saja atau dimana kegiatan ekonomi menimbulkan biaya sosial yang tidak perlu dibayar oleh produsen atau oleh konsumen yang menyebabkannya.

Berdasarkan dampaknya, Mankiw mengemukakan terdapat dua jenis eksternalitas, yakni eksternalitas positif dan eksternalitas negatif.

”An externality arises when a person engages in an activity that influences that well-being of bystander and yet neither pays nor receives any compensation for that effect. If the impact on the bystander is adverse, it is called a positive externality .” (Rosdiana & Tarigan, 2005, p. 35)

Melalui definisi ini Mankiw berpendapat bahwa eksternalitas tidak selalu berkonotasi negatif karena di samping itu ada pula eksternalitas positif. Contoh dari eksternalitas positif ini adalah pendidikan karena pendidikan, baik dalam bentuk formal, non formal, maupun informal, akan menciptakan lebih banyak orang terdidik yang berdampak baik bagi pemerintahan. Lebih lanjut mengenai kedua jenis eksternalitas ini, Mankiw menjelaskan sebagai berikut:

“Negative externalities lead markets to produce a larger quantity than is socially desirable. Positive externalities lead markets to produce smaller quantity than is socially desirable. To remedy the problem, the government can internalize the externality by taxing goods that have negative “Negative externalities lead markets to produce a larger quantity than is socially desirable. Positive externalities lead markets to produce smaller quantity than is socially desirable. To remedy the problem, the government can internalize the externality by taxing goods that have negative

Menurut Mankiw, “eksternalitas negatif akan cenderung membuat pasar menambah kuantitas produksi dan sebaliknya, eksternalitas positif cenderung membuat pasar menguran gi kuantitas produksi. “Pasar tidak dapat berfungsi secara efektif jika terdapat eksternalitas” (Musgrave & Musgrave, 1991, p. 44). Hal inilah yang dikategorikan sebagai kegagalan pasar karena eksternalitas.

Menurut Rosdiana & Tarigan (2005), “berkaitan dengan common property resources , akan terjadi bencana apabila pengelolaan dan eksploitasinya

diserahkan sepenuhnya pada pasar” (p. 38). Common property resources (sumber daya umum) memang jumlahnya berlimpah sehingga dapat digunakan oleh masyarakat luas dengan mudah dan biaya yang minimal bahkan gratis. Akan tetapi, sumber daya ini lama kelamaan akan habis apabila terjadi eksploitasi tak terkendali oleh pasar. Eksploitasi berlebihan ini apabila dibiarkan akan menimbulkan cost yang sangat besar dan tak sebanding dengan manfaat yang didapatkan, seperti kerusakan lingkungan. Untuk itulah, peran pemerintah sebagai regulator diperlukan untuk menangani kompleksitas masalah di dalam pasar yang ditimbulkan oleh adanya eksternalitas.

2.2.5. Konsep Harga

2.2.5.1. Pricing in Public Sector Jika dilihat dari sudut pandang perusahaan swasta, perhitungan terkait

penentuan harga relatif mudah dilakukan sebab terdapat ukuran-ukuran yang jelas, seperti keuntungan perusahaan adalah pendapatan yang diterima sedangkan pembayaran perusahaan atas bahan baku produksi dianggap sebagai biaya, dan kesemuanya itu diukur dengan menggunakan instrumen harga pasar (market prices ). Berbeda dengan perusahaan swasta, evaluasi lebih sulit dilakukan oleh pemerintah. Hal ini karena harga pasar tidak mencerminkan biaya dan manfaat sosial, padahal analisis biaya dan manfaat pada sektor publik harus pula mempertimbangkan biaya sosial yang di dalamnya termasuk pula eksternalitas (Public Finance, 2008).

Dalam pricing sektor publik, dikenal istilah shadow prices yang seringkali Dalam pricing sektor publik, dikenal istilah shadow prices yang seringkali

(and correspondingly for outputs generated) ” (p. 2). Meskipun harga pasar sebuah komoditas di pasar tidak sempurna menyimpang dari harga bayangan, dalam beberapa kasus harga pasar dapat digunakan untuk memperkirakan harga bayangan. (Public Finance, 2008).

Dalam menentukan kebijaksanaan penentuan harga, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Due (1985) berpendapat bahwa jikalau pemerintah ingin mencapai tujuannya dalam penggunaan dari pungutan-pungutan, maka harus diikuti beberapa ketentuan. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Pungutan-pungutan harga untuk menutupi keuntungan-keuntungan yang langsung

2. Perhitungan dari semua biaya, dimana biaya bagi masyarakat juga diperhitungkan, tidak hanya biaya yang dengan langsung dikeluarkan oleh pemerintah dalam memproduksi jasa tersebut.

3. Ketentuan penelitian harga berdasarkan biaya marginal, dimana harga harus sama dnegan biaya marginal maupun biaya rata-rata demi pencapaian kesejahteraan ekonomi yang optimal.

4. Biaya-biaya marginal yang berubah

5. Memaksimalisasi keuntungan secara sadar, hal ini akan menguntungkan bila ditinjau dari sudut pandang masyarakat tertentu, tetapi tidak untuk perekonomian secara keseluruhan.

6. Pungutan-pungutan terhadap pemakaian faktor-faktor produksi milik pemerintah, dimana hal ini akan mempengaruhi penentuan harga.

7. Defisit, yang mungkin terjadi dari ketidakmampuan untuk menyesuaikan tarif.

8. Pertimbangan penyebaran, dimana dalam mengambil keputusan pemerintah harus mempertimbangkan faktor penyebaran dan alokasi agar jasa yang disediakan dapat dirasakan secara adil dan merata oleh masyarakat dari semua golongan.

Dalam hal penetapan tarif penyediaan air, terdapat beberapa metode dasar yang umum dipergunakan. Hahnemann (1997) membagi metode tersebut ke Dalam hal penetapan tarif penyediaan air, terdapat beberapa metode dasar yang umum dipergunakan. Hahnemann (1997) membagi metode tersebut ke

Penentuan tarif dalam konsumsi air memberikan pengaruh pada upaya konservasi air yang dilakukan oleh pemerintah. McClure (1990) mengemukakan bahwa metode decreasing block-rate adalah metode yang tidak disarankan untuk digunakan. Penggunaan metode ini sama artinya dengan “memberikan hadiah”

bagi para pengguna air karena sifat dari tarif ini adalah semakin tinggi konsumsi air, tarif yang harus dibayar justru semakin menurun. Hal ini akan mendorong konsumsi air masyarakat dan akhirnya akan menimbulkan kegagalan dalam proses konservasi air. Lebih lanjut, United States Environmental Protection Agency (US EPA) mengklasifikasikan beberapa jenis tarif atas konsumsi air berdasarkan pengaruhnya terhadap upaya pemerintah dalam konservasi air. Klasifikasi menurut US EPA tersebut tersaji dalam tabel berikut.

Tabel 2.3. Klasifikasi Jenis Tarif Berdasarkan Efektivitas Terhadap Konservasi Air

Price Structures that Encourage Price Structures that are Less Effective Conservation

in Encouraging Conservation

 Increasing Block-Rates  Uniform Rate Structures  Time of Day Pricing

 Flat Fee Rates  Water Surcharges  Seasonal Rates

Sumber: “Pricing Structures”, United States Environmental Protection Agency

Menurut EPA, jenis tarif yang mendukung konservasi air adalah increasing block rates, time of day pricing, water surcharges, dan seasonal rates.

Tarif jenis increasing block rates dapat mengurangi konsumsi air dengan cara meningkatkan tarif per unit konsumsi seiring dengan meningkatnya jumlah konsumsi. Pada jenis tarif ini, kuantitas pemakaian air diumpamakan sebagai “blok” dan tarifnya dikenakan secara progresif. Pemakaian air sejumlah “blok”

pertama diberlakukan satu tarif, kemudian apabila konsumsi telah mencapai jumlah pada “blok” kedua, diberlakukan tarif yang lebih tinggi, begitupula ketika kuanti tas meningkat mencapai “blok” ketiga dan seterusnya. Jenis tarif yang kedua adalah time of day pricing, dimana tarif yang lebih tinggi dikenakan saat permintaan akan air mencapai level yang tinggi pula. Jenis tarif lain yang juga mendukung upaya konservasi air adalah water surcharges dan seasonal rates.

Water surcharges adalah jenis tarif dimana pengenaan tarif yang lebih tinggi diberlakukan pada tingkat konsumsi air yang terlalu banyak (lebih tinggi daripada rata-rata). Sementara itu, seasonal rates adalah jenis tarif yang tinggi rendahnya tergantung pada permintaan air dan keadaan cuaca, contohnya pada bulan-bulan di musim panas diberlakukan tarif yang lebih tinggi atas konsumsi air.

Adapun jenis tarif yang kurang efektif dalam mendukung upaya konservasi air adalah jenis tarif uniform rate structures dan flat fee rates. Pada pengenaan uniform rate structures, pengguna air akan dikenakan tarif yang seragam atas konsumsi air per-unitnya tanpa membedakan kelas mereka (apakah mereka pengguna dari sektor perumahan, rumah tangga, ataupun industri). Agak Adapun jenis tarif yang kurang efektif dalam mendukung upaya konservasi air adalah jenis tarif uniform rate structures dan flat fee rates. Pada pengenaan uniform rate structures, pengguna air akan dikenakan tarif yang seragam atas konsumsi air per-unitnya tanpa membedakan kelas mereka (apakah mereka pengguna dari sektor perumahan, rumah tangga, ataupun industri). Agak

2.2.5.2. Pengukuran Nilai Air Mengukur nilai air untuk berbagai jenis penggunaan yang berbeda-beda

adalah sesuatu yang rumit. Air bukanlah komoditas yang umum diperdagangkan di pasar dimana harga pasar terbentuk, karena itu nilai ekonomis dari air seringkali disebut sebagai shadow price ataupun biaya peluang atas air. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi nilai ataupun shadow price atas air, antara lain:

“(i) in domestic uses: from willingness to pay or from prices paid to water vendors; (ii) in agriculture and industry: from the residual value of water

in productive activities or from differences in land prices; (iii) in environmental uses: by the travel cost or contingent valuation method. ” (Schiffler, 1998, p. 39)

Lebih lanjut, Schiffler (1998) berpendapat bahwa terdapat setidaknya enam metode yang dapat dipergunakan sebagai alat dalam menentukan nilai air untuk berbagai keperluan yang berbeda-beda. Metode-metode yang dimaksud dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.4. Metode Penentuan Shadow Price Air

Type of Water Use

Method

Explanation

Residual Imputation

The value added or the profit per m 3 of water is

calculated on the basis of the farm budget or the profit and loss account.

Agricultural and Land Price Differential The difference between Industrial

the price of land without

a water source and the price of similar land with

a water source is calculated per m 3 of

water

Contingent Valuation

Based on a survey of households’ willingness

to pay for improved water Municipal supply.

Revealed Preference

Based on actual prices paid to water vendors

Travel cost method

Estimates the travel costs incurred (e.g. by tourists) to benefit from a water- based environment.

Environmental

Contingent Valuation

Based on surveys of the existence, option, and bequest value that households attach to aquatic ecosystems.

Sumber: Schiffler, Manuel. (1998). The Economics of Groundwater Management in Arid Countries , p. 40.

Menurut Schiffler (1998), terdapat lima metode yang dapat digunakan dalam menentukan shadow price air yang dipakai untuk berbagai keperluan, yakni agrikultur dan industri, municipal atau penggunaan skala domestik, dan environmental atau penggunaan untuk keperluan lingkungan yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan basah (“wetlands”) atau aktivitas rekreasi, seperti sungai, danau, dan sejenisnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai metode-metode tersebut menurut Schiffler (1998) adalah sebagai berikut.

1. Agricultural and Industrial Uses Penentuan nilai ekonomis atau shadow price air untuk keperluan agrikultur dan industri dapat diukur dengan metode residual imputation 1. Agricultural and Industrial Uses Penentuan nilai ekonomis atau shadow price air untuk keperluan agrikultur dan industri dapat diukur dengan metode residual imputation

antara tanah yang memiliki akses terhadap air dengan tanah yang tidak memiliki akses terhadap air. Menurut Young (1996), pendekatan ini sering digunakan pada valuasi air dalam irigasi di sektor agrikultur, melalui perbandingan antara nilai lahan yang teririgasi dan tidak teririgasi (McKinney, Ximing, Rosegrant, Ringler, dan Scott, 1999).

Sementara itu, shadow price air berdasarkan metode residual imputation ditentukan dengan menambahkan nilai dari semua faktor input non-air dengan nilai total dari produk yang dihasilkan oleh aktivitas agrikultur dan industri. Penghitungan dengan metode ini menggunakan fungsi produksi yang melibatkan empat faktor dalam produksi, yaitu capital (K), labor (L), land (R), dan water (W).

2. Municipal Uses Pada penggunaan domestik, nilai air dapat ditentukan dengan dua metode. Metode tersebut adalah contingent valuation dan revealed preference . Survei yang dilakukan pada beberapa rumah tangga dapat mengungkap seberapa besar keinginan mereka untuk membayar peningkatan penyediaan air. Ini adalah perwujudan dari pelaksanaan metode contingent valuation dalam penetapan nilai air.

Sementara itu, metode revealed preference adalah metode penetapan nilai air dengan berdasarkan harga air aktual yang dibayarkan kepada pihak penyedia air (“water vendors”). Namun, sebenarnya tarif air (“water tariffs”) tidak sesuai untuk dijadikan ukuran dalam penghitungan nilai ekonomis air karena tarif tersebut dirancang oleh utilitas air yang bersifat monopolistik.

“Water tariffs are not suitable for estimating the economic value of water because they are set by a monopolistic water utility which – in developing countries – often subsidizes them, with the result that they do not accurately reflect the full benefits of water supply to users .” (Schliffer, 1998, p. 39)

3. Environmental Uses Penetapan nilai air berdasarkan penggunaan untuk keperluan yang menyangkut lingkungan sebenarnya sulit untuk ditentukan secara ekonomi. Terdapat dua pendekatan yang dapat diterapkan dalam menentukan nilai ekonomis dari lahan basah (“wetlands”) ataupun

aktivitas rekreasional, yaitu pendekatan travel cost method dan survei. Penilaian berdasarkan travel cost method didasarkan pada biaya yang muncul dari wisatawan yang datang mengunjungi lingkungan berciri perairan, seperti danau, air terjun ataupun lahan basah, dan flora serta fauna yang bergantung pada tempat tersebut. Sementara itu, metode survei (contingent valuation) mengukur nilai air dengan cara menilai keinginan masyarakat sebagai responden untuk membayar sebuah ekosistem akuatik meskipun responden tersebut tidak ingin berkunjung untuk melihat ekosistem tersebut (“existence value”), hanya berpikir bahwa mereka ingin mengunjunginya (“option value”), atau ingin ekosistem akuatik tersebut tersedia untuk generasi berikutnya (“bequest value”).

Selain tiga metode penentuan shadow price air tersebut, Young (1996) berpendapat bahwa nilai air dapat dinyatakan sebagai nilai dari unit air yang dikonsumsi, nilai dari temporary flow atau nilai dari permanent flow air itu sendiri (Schiffler, 1998, p. 41). Sangat penting untuk mengingat dan mempertimbangkan perbedaan dari nilai unit air, nilai temporary flows air, dan nilai permanent flows air. Menurut Young (1996), ini penting untuk dilakukan untuk menghidari kebingungan dalam mendiskusikan dan menentukan nilai air secara tepat (Schiffler, 1998, p. 41).

2.3. Kerangka Pemikiran Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu sumber keuangan utama

sekaligus tolok ukur kemandirian pemerintah daerah, karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan PAD bagi pemerintah daerah. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengesahkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang memberikan local taxing power lebih besar bagi pemerintah daerah. Pemberian local taxing power ini membuat pemerintah sekaligus tolok ukur kemandirian pemerintah daerah, karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan PAD bagi pemerintah daerah. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengesahkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang memberikan local taxing power lebih besar bagi pemerintah daerah. Pemberian local taxing power ini membuat pemerintah