1. Bobot Komponen Kompensasi

Tabel 4.1. Bobot Komponen Kompensasi

1001- >2.500 No.

2 3 3 3 m 3 m 1000 m 2500 m m

1 Non Niaga

2 Niaga Kecil

3 Industri Kecil

4 Niaga Besar

5 Industri Besar

Sumber: Lampiran X Keputusan Menteri ESDM No. 1451 K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penentuan Nilai Perolehan Air dari Pemanfaatan Air Bawah Tanah dalam Penghitungan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah.

Nilai bobot setiap kelompok tersebut dipakai sebagai faktor pengali terhadap harga air baku. Nilai bobot tersebut ditetapkan berdasarkan ketentuan daerah, bisa lebih kecil atau lebih besar dari nilai di atas.

c. Prosentase Komponen Harga Dasar Air Setiap komponen Harga Dasar Air (HDA) mempunyai prosentase masing- masing yang besarnya berbeda antara komponen sumber daya alam dengan komponen kompensasi pemulihan, peruntukan, dan pengelolaan. Untuk komponen sumber daya, bobotnya adalah 60%, sedangkan untuk kompensasi pemulihan, peruntukan dan pengelolaan bobotnya adalah 40%.

d. Harga Air Baku Pengertian air baku yang digunakan dalam perhitungan Nilai Perolehan Air (NPA) adalah air yang berasa dari air bawah tanah, termasuk mata air yang telah diambil dari sumbernya dan telah siap untuk dimanfaatkan. Harga Air Baku ada nilai rupiah dari biaya eksploitasi yang dikeluarkan untuk mendapatkan air baku tersebut dan besarnya ditentukan oleh pemerintah daerah .

e. Tata Cara Menghitung Nilai Perolehan Air Berdasarkan berbagai komponen yang telah dipaparkan sebelumnya, Faktor Nilai Air (FNA) dapat dirumuskan sebagai berikut: Sumberdaya Alam

= 60% x Bobot komponen sumberdaya alam

Kompensasi = 40% x Bobot komponen kompensasi Jumlah

= Faktor Nilai Air (FNA)

Setelah Faktor Nilai Air (FNA) diketahui, Harga Dasar Air (HDA) dapat diketahui dengan mengalikan FNA yang telah diperoleh tersebut dengan Harga Air Baku (HAB). Besarnya Nilai Perolehan Air (NPA) akhirnya ditentukan dengan mengalikan HDA dengan volume penggunaan air tanah pada satu periode tertentu.

BAB 5 ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN KENAIKAN HARGA AIR BAKU SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN FUNGSI REGULEREND PAJAK AIR TANAH DI KOTA BANDUNG

Dalam Bab 5 ini, peneliti melakukan analisis berdasarkan data-data, baik data primer maupun sekunder yang telah diperoleh selama proses penelitian berlangsung. Dari pembahasan di dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan beberapa analisis, yakni analisis proses perumusan formulasi kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB), analisis mengenai kendala yang dihadapi dalam proses formulasi kebijakan tersebut, dan analisis kebijakan kenaikan HAB sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan fungsi regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung.

5.1. Analisis Proses Perumusan Formulasi Kebijakan Kenaikan Harga Air

Baku di Kota Bandung

Seiring dengan pembangunan yang berlangsung semakin pesat, Kota Bandung menghadapi suatu masalah lingkungan terkait dengan pengambilan dan pemanfaatan air tanah secara besar-besaran. Menyikapi persoalan ini, Pajak Air Tanah diharapkan dapat menjalankan fungsi regulerend dalam pengaturan konsumsi air tanah di Kota Bandung. Salah satu cara yang dapat ditempuh dalam meningkatkan fungsi regulerend dari suatu pajak daerah ada peningkatan tarif pajak. Melalui Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam penentuan tarif pajak, namun tetap berada dalam batasan-batasan tertentu, sebagaimana diutarakan Dr. Tjip Ismail, S.H., MBA., MM., selaku akademisi, “Di undang- undang disitu disebut tarifnya maksimum. Nah berarti daerah itu boleh lebih rendah daripada yang ditetapkan oleh undang-undang, ataupun maksimum. Tapi kelebihannya ga boleh. ” (Wawancara dengan Dr. Tjip Ismail, S.H., MBA., MM., selaku akademisi). Artinya, pemerintah daerah memang memiliki kewenangan untuk menentukan besar tarif Pajak Air Tanah, akan tetapi tidak boleh melebihi batas tarif maksimum yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Kota Bandung menerapkan Pajak Air Tanah sebesar 20% dari Nilai Perolehan Air (NPA). Tarif ini sudah mengacu pada tarif tertinggi yang diperbolehkan oleh UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemerintah kabupaten/kota tidak berwenang untuk menetapkan prosentase pengenaan Pajak Air Tanah melebihi 20% dari Nilai Perolehan Air. Kendati demikian, pemerintah kabupaten/kota masih memiliki kesempatan untuk meningkatkan fungsi regulerend dan budgetair Pajak Air Tanah dengan cara menyesuaikan Nilai Perolehan Air (NPA).

5.1.1. Latar Belakang Pembuatan Kebijakan

Penyesuaian Nilai Perolehan Air (NPA) di Kota Bandung dilakukan dengan cara menaikkan Harga Air Baku (HAB). Dengan menaikkan HAB ini, secara otomatis besaran NPA yang ditetapkan pada penggunaan air tanah di Kota Bandung pun ikut meningkat. Di Kota Bandung, NPA diperhitungkan oleh BPLH setiap bulan, kemudian ditetapkan dan diserahkan kepada Disyanjak untuk dipungut pajaknya. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi besarnya NPA bagi masing-masing Wajib Pajak setiap bulan, yakni Harga Dasar Air (HDA) dan volume progresif pengambilan dan pemanfaatan air tanah oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dalam satu bulan.

Nilai Perolehan Air (NPA) = Harga Dasar Air (HDA) x Volume Progresif

Besarnya NPA sangat dipengaruhi oleh volume progresif, yakni volume pengambilan air tanah yang dibedakan berdasarkan progresif jumlah kubikasi air yang diambil dan/atau dimanfaatkan. Pada penghitungan NPA, volume pemanfaatan air tanah adalah suatu variabel bebas yang dapat berubah-ubah setiap bulannya, tergantung dari tingkat pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang dilakukan oleh Wajib Pajak Air Tanah. Sementara itu, Harga Dasar Air (HDA) adalah harga air tanah per satuan volume yang akan dikenai pajak atas pemanfaatan air tanah, besarnya sama dengan harga air baku dikalikan dengan faktor nilai air (Fn air). Harga Air Baku (HAB) dan Fn air ditentukan berdasarkan peraturan walikota dan dengan mempertimbangkan ketentuan yang terdapat pada Lampiran X Keputusan Menteri ESDM No. 1451 K/10/MEM/2000 tentang

Pedoman Teknis Penentuan Nilai Perolehan Air dari Pemanfaatan Air Bawah Tanah dalam Penghitungan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah.

Harga Dasar Air (HDA) = Faktor Nilai Air (FNA) x Harga Air Baku (HAB)

Faktor Nilai Air (Fna) dan Harga Air Baku (HAB) adalah dua hal yang membentuk besaran Harga Dasar Air (HDA). Fna merupakan suatu bobot nilai dari komponen komponen sumberdaya alam dan kompensasi pemulihan, peruntukan, dan pengelolaan yang besarnya ditentukan berdasarkan subjek kelompok pengguna air serta volume pengambilannya. Secara umum, kelompok pengguna/pengusahaan air tanah di Kota Bandung dibagi menjadi empat kelompok besar, yakni:

a. Pemukiman (kontrakan, ruko, perumahan dengan sistem distrik terpusat, rumah praktek, dan sejenisnya)

b. Perdagangan dan jasa (salon, laundry, hotel, restoran, mall, industri rumah tangga, dan sejenisnya)

c. Bahan penunjang produksi (berbagai jenis industri)

d. Bahan produksi (pencucian mobil, pencucian motor, penjualan air baku, pabrik es, industri minuman olahan)

Komponen yang tak kalah penting dalam penghitungan Pajak Air Tanah adalah Harga Air Baku (HAB). HAB adalah harga rata-rata air tanah per satuan volume di suatu daerah yang besarnya sama dengan nilai investasi untuk mendapatkan air tanah tersebut dibagi dengan volume produksinya. Kewenangan untuk menentukan HAB berada di tangan Kepala Daerah. Kota Bandung sendiri mengatur besaran HAB di dalam peraturan walikota, yaitu Peraturan Walikota Bandung No. 107 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan Peraturan Walikota Bandung No. 1241 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penghitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah.

Pada tahun 2013 lalu, penyesuaian NPA di Kota Bandung dilakukan dengan cara menaikkan Harga Air Baku (HAB) untuk air tanah dalam dan air tanah dangkal. Hal ini dilakukan sebagai suatu upaya pemerintah dalam menindaklanjuti kondisi terus meningkatnya pengambilan dan pemanfaatan air Pada tahun 2013 lalu, penyesuaian NPA di Kota Bandung dilakukan dengan cara menaikkan Harga Air Baku (HAB) untuk air tanah dalam dan air tanah dangkal. Hal ini dilakukan sebagai suatu upaya pemerintah dalam menindaklanjuti kondisi terus meningkatnya pengambilan dan pemanfaatan air

“Ya.. Karena Bandung merupakan ibukota provinsi Jawa Barat, ya otomatis dengan kota jasa, otomatis pengambilan air tanah meningkat. Peningkatannya itu sifatnya relatif, tidak pasti, di bulan-bulan tertentu meningkat. Tapi secara umum tren penggunaan air tanah itu semakin meningkat. ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Melalui pernyataan Saptaji tersebut diketahui bahwa tingginya pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Kota Bandung erat kaitannya dengan peran Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat dan juga Kota Jasa, dimana banyak terjadi aktivitas-aktivitas ekonomi di dalam kota yang tak jarang memerlukan suplai air tanah. Pernyataan Saptaji mengenai tren peningkatan volume pengambilan air tanah di Kota Bandung ini penulis benarkan dengan berdasarkan pada data yang dihimpun dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung berikut ini.

Tabel 5.1. Volume Penggunaan Air Tanah di Kota Bandung (dalam

meter kubik) Tahun

Sumber: Badan Lingkungan Hidup Kota Bandung, diolah kembali

Data yang tersaji pada tabel 5.1. di atas adalah data volume penggunaan air tanah dalam yang dilakukan oleh Wajib Pajak pengguna air tanah untuk

pengusahaan perumahan, perdagangan dan jasa, sektor industri, dan sektor bahan produksi. Tren peningkatan penggunaan air tanah di Kota Bandung dapat terlihat dari tabel 5.1. berikut yang menyajikan data mengenai volume penggunaan air tanah bulan Januari sampai dengan Oktober di pada tahun 2012, 2013, dan 2014. Pada bulan Januari sampai dengan Oktober, baik dalam tahun 2012 maupun tahun 2013, volume penggunaan air tanah yang tinggi terjadi di bulan-bulan tertentu dan tidak menentu. Kemudian, dengan memperbandingkan antara volume pengambilan air tanah selama bulan Januari sampai dengan Oktober di tahun 2012 dan 2013, dapat terlihat bahwa peningkatan volume penggunaan air tanah terjadi hampir setiap bulan. Berbeda pada dua tahun sebelumnya, pada tahun 2014 terjadi penurunan volume penggunaan air tanah. Jika pada tahun 2012 dan tahun 2013 rata-rata penggunaan air tanah di Kota Bandung angka lebih dari 1 juta meter kubik, rata-rata penggunaan air di tahun 2014 turun menjadi sekitar 990.000 meter kubik per bulan. Penurunan ini ada kaitannya dengan pemberlakuan kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) per April 2014 yang akan dijelaskan lebih lanjut kemudian.

Selain karena status Kota Bandung sebagai ibukota provinsi dan Kota Jasa, meningkatnya pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Kota Bandung juga dapat dikorelasikan dengan maraknya alih fungsi lahan yang marak terjadi di Kota Bandung. Seperti diketahui, Kota Bandung adalah salah satu kota yang memiliki kemajuan perekonomian yang tergolong pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya sektor usaha di Kota Bandung, seperti perindustrian, properti, perhotelan, restoran, sarana rekreasi, dan lain sebagainya. Berdirinya berbagai sektor usaha ini menggeser lahan-lahan hijau di Kota Bandung untuk kemudian dialihfungsikan sebagai lahan untuk menjalankan bisnis. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan ekologis di Kota Bandung, dimana pengalihfungsian lahan hijau tersebut berdampak pada berkurangnya jumlah air yang dapat teresap ke dalam tanah. Di sisi lain, para pelaku usaha ini memanfaatkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan mereka akan air bersih yang jumlahnya tidak sedikit. Dengan kata lain, alih fungsi lahan yang marak terjadi di Kota Bandung ini menimbulkan efek domino yang sangat merugikan bagi lingkungan hidup Kota Bandung, khususnya berkaitan dengan kondisi air tanah, karena alih fungsi lahan Selain karena status Kota Bandung sebagai ibukota provinsi dan Kota Jasa, meningkatnya pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Kota Bandung juga dapat dikorelasikan dengan maraknya alih fungsi lahan yang marak terjadi di Kota Bandung. Seperti diketahui, Kota Bandung adalah salah satu kota yang memiliki kemajuan perekonomian yang tergolong pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya sektor usaha di Kota Bandung, seperti perindustrian, properti, perhotelan, restoran, sarana rekreasi, dan lain sebagainya. Berdirinya berbagai sektor usaha ini menggeser lahan-lahan hijau di Kota Bandung untuk kemudian dialihfungsikan sebagai lahan untuk menjalankan bisnis. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan ekologis di Kota Bandung, dimana pengalihfungsian lahan hijau tersebut berdampak pada berkurangnya jumlah air yang dapat teresap ke dalam tanah. Di sisi lain, para pelaku usaha ini memanfaatkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan mereka akan air bersih yang jumlahnya tidak sedikit. Dengan kata lain, alih fungsi lahan yang marak terjadi di Kota Bandung ini menimbulkan efek domino yang sangat merugikan bagi lingkungan hidup Kota Bandung, khususnya berkaitan dengan kondisi air tanah, karena alih fungsi lahan

“Di sebelah utara kota bandung itu termasuk wilayah resapan air jadi ada sekitar 3.000 hektar kawasan Bandung utara yang masuk wilayah kota Bandung yang kondisinya justru semakin kritis akibat alih fungsi lahan oleh pembangunan properti, hotel, apartemen, villa kemudian sarana pemukiman lainnya. Nah, hari ini yang terjadi adalah bagaimana alih fungsi lahan dan juga pengambilan air bawah tanah karena untuk kepentingan bisnis property tersebut, padahal warga sekitarnya sendiri masih membutuhkan. ” (Wawancara mendalam dengan Dadan Ramdan Ketua Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Jawa Barat)

Tingginya tingkat pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Kota Bandung bukan tanpa sebab. Salah satu hal yang menjadi penyebabnya adalah kebutuhan masyarakat, khususnya pelaku usaha di bidang industri dan perhotelan, akan suplai air yang tinggi. Hal ini diakui oleh Yudhi Permana, ST., Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, melalui pernyataannya, “Suplai air untuk hotel sangat besar loh itu, misal 100 kamar, berapa liter perhari, ” (Wawancara dengan Yudhi Permana, ST. selaku Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia). Di Kota Bandung sendiri terdapat berbagai jenis hotel, dari mulai jenis hotel melati hingga hotel berbintang lima. Umumnya, perbedaan di antara jenis-jenis hotel tersebut terletak pada jumlah dan kelas kamar yang disediakan serta ketersediaan fasilitas-fasilitas pendukung, seperti meeting room, restoran, ataupun kolam renang. Perbedaan- perbedaan inilah yang mempengaruhi tingkat pengambilan dan pemanfaatan air oleh sektor perhotelan. Semakin banyak kamar dan semakin banyak fasilitas yang tersedia, kebutuhan akan suplai air pun akan semakin meningkat.

Pada dasarnya, suplai air bagi sektor industri dan perhotelan diperoleh dari dua sumber utama, yakni air PDAM dan air tanah. Menurut Yudhi, sebenarnya sebagian besar hotel menggunakan air PDAM sebagai sumber utama dalam menyuplai kebutuhan air bagi operasional hotel sehari-hari. Akan tetapi, Yudhi tidak menampik bahwa pengambilan air tanah juga diperlukan. Walaupun kebutuhan akan sumber daya air bersih berbeda setiap hotel, namun pada Pada dasarnya, suplai air bagi sektor industri dan perhotelan diperoleh dari dua sumber utama, yakni air PDAM dan air tanah. Menurut Yudhi, sebenarnya sebagian besar hotel menggunakan air PDAM sebagai sumber utama dalam menyuplai kebutuhan air bagi operasional hotel sehari-hari. Akan tetapi, Yudhi tidak menampik bahwa pengambilan air tanah juga diperlukan. Walaupun kebutuhan akan sumber daya air bersih berbeda setiap hotel, namun pada

“Kalo penggunaan itu, yang pertama kan PDAM ya, yang utama PDAM. Dilihat juga dari kondisi tertentu juga, tergantung wilayahnya. Misalnya kalau wilayah kota, mungkin PDAM melimpah, tapi kalo wilayah seperti Lembang, gitu, kan agak susah. ” (Wawancara dengan Yudhi Permana, S.T., Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Jawa Barat)

Keterbatasan PDAM dalam melayani kebutuhan air masyarakat, khususnya di sektor perhotelan, dirasa masih kurang. Diakui Yudhi bahwa kebutuhan air bagi hotel tidak dapat dicukupi hanya dari PDAM saja. Maka itu, ekstraksi air tanah akhirnya dilakukan guna menutup kekurangan pasokan air PDAM. Hal ini diakui Yudhi dalam pernyataannya:

“Jadi pada dasarnya mereka itu menggunakan PDAM. Tapi dirasa nggak cukup akhirnya jadi ngebor lagi tanah, mungkin bisa beberapa titik. Perkubik itu ya, gede. Jadi untuk supply ke atas, ke kamar. Untuk kebutuhan hotel. Itu, rata-rata hotel seperti itu. Mungkin ground tank nya itu berapa biji, banyak. Jadi biasanya kalo PDAM itu kan terbatas, makanya mereka pakai air tanah dan jumlahnya juga nggak sedikit. ” (Wawancara dengan Yudhi Permana, S.T., Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Jawa Barat)

Dari pernyataan Yudhi tersebut, pada dasarnya alasan yang dikemukakan Wajib Pajak mengenai tingginya tingkat pengambilan dan pemanfaatan air tanah adalah karena minimnya aksesibilitas Wajib Pajak terhadap air PDAM. Karenanya, mau tak mau para pengusaha tersebut harus mencari alternatif sumber air lainnya untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih, yaitu dari air tanah. Keterbatasan kemampuan PDAM untuk melayani kebutuhan air masyarakat ini bukanlah hanya sekadar alasan Wajib Pajak atas kegiatan pengambilan dan pemanfaatan air tanah. Hal ini pun diakui oleh Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah BPLH Kota Bandung, dan Dadan Ramdan, Ketua Wahana Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat. Menurut Saptaji, “Jangankan untuk hotel, industri, restoran, untuk warga masyarakat perumahan juga, kan belum semua terlayani. Baru 55% lah bisa terlayani itu juga terseok-seok. ” (Wawancara Dari pernyataan Yudhi tersebut, pada dasarnya alasan yang dikemukakan Wajib Pajak mengenai tingginya tingkat pengambilan dan pemanfaatan air tanah adalah karena minimnya aksesibilitas Wajib Pajak terhadap air PDAM. Karenanya, mau tak mau para pengusaha tersebut harus mencari alternatif sumber air lainnya untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih, yaitu dari air tanah. Keterbatasan kemampuan PDAM untuk melayani kebutuhan air masyarakat ini bukanlah hanya sekadar alasan Wajib Pajak atas kegiatan pengambilan dan pemanfaatan air tanah. Hal ini pun diakui oleh Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah BPLH Kota Bandung, dan Dadan Ramdan, Ketua Wahana Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat. Menurut Saptaji, “Jangankan untuk hotel, industri, restoran, untuk warga masyarakat perumahan juga, kan belum semua terlayani. Baru 55% lah bisa terlayani itu juga terseok-seok. ” (Wawancara

Terlepas dari hal tersebut, Saptaji, selaku Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah BPLH Kota Bandung memiliki pandangan yang berbeda mengenai tingginya eksploitasi air tanah di Kota Bandung. Menurutnya, penyebab pengambilan air tanah besar-besaran yang terjadi di Kota Bandung adalah karena besaran Harga Air Baku yang terlalu rendah. Harga air baku adalah nilai rupiah dari biaya eksploitasi untuk mendapatkan air baku yang besarnya ditentukan oleh pemerintah daerah. Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung tergolong sangat murah, yakni Rp500 per meter kubik untuk air tanah dalam, Rp400 per meter kubik untuk air tanah dangkal, dan Rp125 untuk pemakaian oleh BUMN, BUMD, dan PDAM. Harga ini dinilai sangat rendah sehingga para pelaku bisnis yang menggunakan air tanah tersebut kurang memiliki concern untuk memasukkan biaya yang dikeluarkan dalam penggunaan air tanah sebagai cost perusahaan. Karenanya, para pengguna air tanah cenderung melakukan pemborosan dalam pengambilan dan pemanfaatan air tanah.

Atas segala permasalahan lingkungan yang terjadi di Kota Bandung, dirasa perlu adanya suatu kebijakan yang dapat meredam permasalahan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh Kota Bandung adalah dengan melakukan penyesuaian Harga Air Baku (HAB). Penyesuaian HAB ini akan berdampak lansung pada tingginya Pajak Air Tanah yang harus dibayarkan oleh para pengguna air tanah. Pada dasarnya, Pajak Air Tanah adalah suatu jenis environmental taxes dimana Pajak Air Tanah ini dirancang untuk menginternalisasi eksternalitas dengan cara membuat pihak-pihak yang dianggap menurunkan kesejahteraan anggota masyarakat lain untuk membayar eksternalitas Atas segala permasalahan lingkungan yang terjadi di Kota Bandung, dirasa perlu adanya suatu kebijakan yang dapat meredam permasalahan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh Kota Bandung adalah dengan melakukan penyesuaian Harga Air Baku (HAB). Penyesuaian HAB ini akan berdampak lansung pada tingginya Pajak Air Tanah yang harus dibayarkan oleh para pengguna air tanah. Pada dasarnya, Pajak Air Tanah adalah suatu jenis environmental taxes dimana Pajak Air Tanah ini dirancang untuk menginternalisasi eksternalitas dengan cara membuat pihak-pihak yang dianggap menurunkan kesejahteraan anggota masyarakat lain untuk membayar eksternalitas

“Secara filosofis sih menurut saya, kenapa muncul pajak dan kenapa izin untuk penggunaan air tanah itu sangat ketat, bahkan harus ada AMDAL, bahkan harus bikin AMDAL, itu karena kita ingin melestarikan air tanah. Jadi, dengan pertimbangan bahwa permukaan tanah kita kan selalu setiap tahun turun, salah satu penyebabnya itu karena eksploitasi air tanah itu sangat tinggi. Bahkan 'kan kita sampai bikin zona-zona, zona merah, zona kuning, dan zona hijau. Zona hijau masih bolehlah, tapi bolehpun kan tetap harus ada batasan. Nah salah satu aspek pengendaliannya itu adalah dengan pajak. Bahkan seharusnya sih kalau mengacu pada aspek pengendalian itu, seharusnya semahal mungkin. Kalau kita konteksnya mungkin adalah konteks pelestarian ya. ” (Wawancara dengan Aris Arifin selaku Aparat Bidang Peraturan dan Perundang-Undangan, Bagian Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Kota Bandung)

Penyesuaian Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung dilakukan dengan berdasarkan beberapa pertimbangan yang bersifat ekologis dan bukan semata- mata untuk mengeruk keuntungan dari lonjakan Pajak Air Tanah yang akan terjadi apabila penyesuaian atas HAB ini diberlakukan. Mengutip dari isi naskah kajian akademis LAPI ITB terkait dengan prakarsa Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung untuk mengevaluasi kembali Harga Air Baku (HAB), setidaknya terdapat tiga poin pertimbangan yang mendasari pembuatan kebijakan ini. Tiga poin pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Harga Air Baku (HAB) air tanah di Kota Bandung belum mengalami kenaikan sejak tahun 1990, yakni Rp500,00 per meter kubik untuk air tanah dalam, Rp400,00 per meter kubik untuk air tanah dangkal, dan Rp125,00 per meter kubik untuk PDAM, BUMN, dan BUMD.

2. Harga dasar yang masih sangat rendah tersebut masih terus digunakan hingga tahun 2011, yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandung No. 3 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah dan Peraturan Walikota Bandung No. 107 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penghitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah.

3. Kondisi perekonomian di Kota Bandung dinilai meningkat pesat dengan diversifikasi jenis usaha yang beragam sudah selayaknya diikuti dengan kenaikan infrastruktur pendukung keberlangsungan usaha, yaitu air tanah.

Isi dari tiga poin pertimbangan yang mandasari kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung ini dibenarkan oleh Saptaji melalui pernyataannya , “Pertimbangannya sebetulnya.. Kita semata-mata tidak untuk menaikkan PAD. Bukan itu. Pertimbangannya untuk menjaga agar pengambilan air tanah tidak semena-mena. ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung). HAB di Kota Bandung yang cenderung sangat murah memang menjadi salah satu penyebab dari penggunaan air tanah besar-besaran yang dilakukan oleh para pelaku bisnis di Kota Bandung, namun kebijakan penyesuaian nilai HAB di Kota Bandung tidak ditujukan untuk kepentingan menambah pundi-pundi pendapatan daerah. Lebih daripada itu, kebijakan ini lebih ditujukan untuk mengatur pengambilan air tanah.

Dari hasil wawancara dengan Saptaji, diketahui bahwa pertimbangan yang mendasari pembuatan kebijakan penyesuaian Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung adalah ketidaklayakan besaran HAB jika dilihat dari kondisi Kota Bandung saat ini yang di satu sisi mengalami laju pertumbuhan yang pesat, terutama dari sektor industri dan pariwisata, namun di sisi lain mengalami kondisi degradasi lingkungan yang sudah kian parah. Untuk setiap meter kubiknya, pengambilan dan pemanfaatan air tanah hanya dikenakan HAB sebesar Rp500,00. Nominal ini tidak sebanding dengan kota-kota besar lain di Indonesia yang juga memiliki pertumbuhan ekonomi pesat dengan kondisi lingkungan yang cenderung mengalami kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan air tanah secara besar- besaran, seperti Kota Jakarta dan Kota Surabaya. Hal ini diungkapkan Saptaji sebagaimana petikan wawancara berikut:

“Kita itu beranggapan bahwa Harga Air Baku sebesar Rp500 itu sudah tidak layak lagi di Kota Bandung. Sedangkan perbandingan dengan kota- kota besar lainnya itu sangat jauh sekali, terutama dengan Jakarta, Surabaya, Bali, dan lain sebagainya. Kita itu.. Rp500.. Ah, murah. Bukan murah lagi itu, bahkan sudah tidak layak lagi karena harga air baku Rp500 itu sudah kurang lebih 20 tahun tidak naik. Dari dulu, dari semenjak dulu itu Rp500 saja, Baru kemarin diubah, sedangkan yang lain itu sudah ada perubahan-perubahan. Jakarta itu sudah Rp24.000 sampai Rp40.000. ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Selain atas dasar pertimbangan bahwa Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung sudah tidak layak lagi diterapkan dengan melihat kondisi lingkungan Kota Bandung saat ini, pertimbangan lain yang menjadi dasar dibuatnya kebijakan penyesuaian HAB di Kota Bandung adalah besaran HAB yang masih lebih rendah daripada harga air PDAM. Kondisi ini sangat tidak mendukung bagi upaya peningkatan fungsi regulerend Pajak Air Tanah dalam mengatur pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Kota Bandung karena dengan lebih rendahnya Harga Air Baku dibanding harga PDAM, masyarakat, terutama pengguna air tanah dalam jumlah yang banyak seperti pelaku usaha di bidang industri dan perhotelan, akan cenderung lebih memilih untuk memanfaatkan air tanah daripada air PDAM. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Saptaji, “Harusnya kalau menurut saya, harga PDAM murah, harga air tanah mahal, gitu . ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung). Sebagai salah satu jenis dari Pigouvian taxes, prinsip dasar dari Pajak Air Tanah sesungguhnya adalah bagaimana mempengaruhi tingkat abstraksi air tanah. Berlandaskan pada prinsip ini, maka dengan mengupayakan besaran HAB yang lebih tinggi daripada harga air PDAM diharapkan masyarakat khususnya para pelaku usaha yang membutuhkan suplai air dalam jumlah yang banyak dapat beralih menggunakan air PDAM yang harganya lebih rendah daripada air tanah.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penyusunan kebijakan penyesuaian Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung didasarkan pada pertimbangan kondisi degradasi lingkungan akibat eksploitasi air tanah secara berlebihan yang pada umumnya dilakukan oleh para pelaku usaha. Selain itu, pertimbangan lain yang mendasari adalah ketidaklayakan besaran HAB per meter Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penyusunan kebijakan penyesuaian Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung didasarkan pada pertimbangan kondisi degradasi lingkungan akibat eksploitasi air tanah secara berlebihan yang pada umumnya dilakukan oleh para pelaku usaha. Selain itu, pertimbangan lain yang mendasari adalah ketidaklayakan besaran HAB per meter

5.1.2. Alternatif Kebijakan

Dalam menyikapi persoalan lingkungan hidup yang muncul sebagai akibat dari tingginya pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Kota Bandung serta untuk mendukung fungsi regulerend Pajak Air Tanah dalam mengatur pengambilan dan pemanfaatan air tanah, terdapat kebijakan lain yang dapat dilakukan selain dengan menerapkan kebijakan penyesuaian Harga Air Baku (HAB). Kebijakan-kebijakan ini dapat berwujud sebagai kebijakan yang bersifat ekonomis, seperti kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB), atau pula kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat teknis. Beberapa kebijakan ini sudah dilakukan, tapi ada juga beberapa kebijakan yang belum dapat dilaksanakan dengan baik karena terbentur berbagai hambatan. Berbagai alternatif kebijakan ini muncul sebagai pilihan untuk mengatasi masalah penggunaann air tanah secara berlebihan dan eksternalitas negatif yang ditimbulkan.

Terkait dengan hal ini, peneliti mengemukakan 5 alternatif kebijakan lain yang dirasa dapat mendukung fungsi regulerend Pajak Air Tanah dalam melestarikan lingkungan. Paparan dijabarkan berdasarkan keterangan yang dihimpun dari berbagai pihak dan instansi yang berwenang. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain adalah pembuatan sumur imbuhan dalam, pembatasan debit air tanah, kewajiban penghijauan, klusterisasi Harga Air Baku (HAB) berdasarkan tujuan penggunaan air tanah, dan pembatasan izin.

Alternatif kebijakan pertama yang dapat dilakukan adalah dengan mewajibkan pihak-pihak yang mengambil dan memanfaatkan sumberdaya air tanah untuk membuat sumur imbuhan dalam. Sumur imbuhan dalam pada dasarnya adalah suatu bentuk sumur resapan dimana pembuatan sumur ini akan sangat membantu dalam proses konservasi air tanah, sebagaimana dinyatakan oleh Saptaji, “Jadi airnya tuh tergantikan. Jadi dia tidak hanya mengambil, tapi juga menabung, ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung). Sumur imbuhan adalah upaya teknis yang dilakukan untuk menampung dan memulihkan kondisi akuifer air tanah dalam dengan memasukan, mengimbuhkan atau menginjeksikan air hujan maupun air permukaan setelah melalui bangunan pengolah air imbuhan secara gravitasi. Cara kerja dari sumur ini adalah dengan menampung dan meresap air hujan, melakukan sistem penyaringan, dan kemudian air hujan yang diresap tersebut akan memenuhi sumur imbuhan yang dibuat di dalam tanah dan akan mengisi kekosongan air tanah di dalamnya.

Gambar 5.1. Desain Sumur Imbuhan Dalam

Sumber: Situs resmi Balitbang Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia

Sumur imbuhan dalam dibutuhkan untuk mengatasi dampak negatif dari pengambilan air tanah yang berlebihan pada lingkungan. Pembuatan sumur imbuhan dalam ini menjadi kewajiban seluruh pihak yang mengambil dan memanfaatkan air tanah di Kota Bandung, sebagaimana dikutip dari hasil wawancara dengan Saptaji:

“Ya.. semuanya harus. Jadi waktu dia mengajukan izin, kalau memang dia baru pertama kali ya, dia mengajukan izin ada surat pernyataan. Surat

pernyataan dari pimpinan perusahaan bahwa dia akan sanggup, akan membuat sumur imbuhan dalam sesuai dengan kedalaman yang diambil sekarang. Nah itu berjalan saja. Nah pada tahun berikutnya, pas waktu mau daftar ulang atau pas mau praregistrasi izin, nah itu dilihat sudah ada belum. Kalau belum, ya nggak kita kasih izinnya. ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Dari pernyataan Saptaji tersebut, diketahui bahwa kewajiban pembuatan sumur imbuhan dalam di Kota Bandung harus dilakukan oleh seluruh pihak yang mengambil dan memanfaatkan air tanah. Hal ini dipertegas kembali oleh Saptaji,

“Semuanya yang mengambil air tanah wajib membuat sumur imbuhan dalam, berapapun kedalaman pengambilannya ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub

Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung). Aturan mainnya adalah dengan menjerat pengguna air tanah pada saat pengurusan izin pembuatan sumur bor. Pengguna dijerat dengan cara memberi kewajiban pada pengguna tersebut untuk menyertakan surat pernyataan yang menyatakan kesanggupan membuat sumur imbuhan dalam. Terkait dengan sanksi yang akan dikenakan kepada pengguna yang menyalahi apa yang dijanjikannya dalam surat pernyataan, dalam artian ia tidak membuat sumur imbuhan dalam, tindakan ini bisa berujung pada penyegelan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Saptaji, “Kalau nggak ada, ya emang kita tegur. Intinya mah

tidak bisa diperpanjang izinnya. Dengan tidak bisa diperpanjang izinnya berarti tidak mempunyai izin. Itu bisa disegel sama kita . ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung). Dengan demikian, mereka yang tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk membuat sumur imbuhan dalam tidak bisa memperpanjang izin penggunaan air tanah, kemudian untuk selanjutnya pengambilan dan tidak bisa diperpanjang izinnya. Dengan tidak bisa diperpanjang izinnya berarti tidak mempunyai izin. Itu bisa disegel sama kita . ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung). Dengan demikian, mereka yang tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk membuat sumur imbuhan dalam tidak bisa memperpanjang izin penggunaan air tanah, kemudian untuk selanjutnya pengambilan dan

Menurut penulis, kebijakan pemberian kewajiban membuat sumur imbuhan dalam bagi seluruh pengguna air tanah ini adalah salah satu kebijakan yang patut diperhitungkan sebagai salah satu jenis kebijakan yang baik untuk mendukung fungsi regulerend Pajak Air Tanah dalam menjaga kelestarian air tanah. Akan tetapi, menurut penulis kewajiban ini relatif sulit untuk dipenuhi karena biaya pembuatan sumur yang sangat tinggi, sebagaimana dinyatakan oleh Saptaji, “Untuk sekali pengeboran saja, dikenakan biaya Rp1.500.000,00 per meter (kedalamannya) ,” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung). Dengan demikian, bisa dibayangkan berapa besar cost yang dibutuhkan untuk membuat satu sumur imbuhan dalam saja. Menyikapi hal ini, BPLH sudah melakukan sosialisasi untuk mengubah metode pembuatan sumur imbuhan dalam sejak tahun 2010/2011, yaitu dengan membuat sumur yang memiliki dua fungsi, sebagaimana dinyatakan oleh Saptaji:

“Sekarang sudah banyak sekali di kota Bandung itu. Dan sekarang itu dari tahun 2010/2011, kalau ada yg mengajukan izin baru itu metodenya harus dirubah, harus memiliki dua fungsi maksudnya untuk menghemat biaya tidak usah ada sumur imbuhan lagi. Jadi sumur itu harus memiliki dua fungsi, yang satu diambil yang satu diimbuhkan. Jadi dalam satu sumur ini, berfungsi ganda. Namanya ASR, Aquifer Storage and Recovery. ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Para pengguna air tanah kemudian diharuskan untuk membuat sumur yang memiliki dua fungsi sekaligus, yakni untuk mengambil dan mengembalikan air tanah yang hilang akibat proses pengambilan dan pemanfaatan yang berlangsung secara terus menerus. Teknologi Sumur Multifungsi atau Sumur ASR adalah sebuah teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumur-sumur yang sudah tidak produktif atau sumur yang sudah berproduksi untuk menjadi sumur imbuhan dalam. Cara kerjanya adalah dengan menambahkan jalur untuk memasukan atau mengimbuhkan sejumlah air ke dalam akuifer air tanah dalam. Kedalaman sumur imbuhan disesuaikan dengan kedalaman akifer yang akan diisi kembali. Teknologi pembuatan sumur ASR ini dikembangkan untuk memangkas cost yang

harus dikeluarkan oleh para pengguna air tanah dan mendorong mereka untuk turut melakukan upaya konservasi air tanah seiring dengan pengambilan dan pemanfaatan yang mereka lakukan. Kelemahan dari kebijakan ini adalah kebijakan ini tidak dapat langsung berimbas pada keberhasilan konservasi lingkungan. Hal ini dikarenakan proses pengisian kembali air ke dalam lapisan tanah juga membutuhkan waktu yang tak sebentar. Selain itu, kebijakan ini juga tidak dapat menyelesaikan masalah penggunaan air tanah berlebihan yang terjadi di Kota Bandung secara efektif karena pada dasarnya kebijakan ini ditujukan untuk mengkonservasi air tanah dan bukan mencegah terjadinya perilaku boros dalam menggunakan air tanah. Kebijakan ini tidak bisa diandalkan untuk membuat masyarakat beralih menggunakan air PDAM, malah menjadi semacam legalisasi untuk mengambil dan memanfaatkan air tanah berapapun jumlahnya, asalkan pengguna tersebut mampu memenuhi kewajibannya untuk membuat sumur imbuhan dalam.

Alternatif kebijakan yang kedua adalah pembatasan debit air tanah. Maksud pembatasan disini adalah pengguna air tanah diperbolehkan untuk menggunakan air tanah, namun jumlah pengambilan dan pemanfaatannya dibatasi dan diawasi. Masing-masing pengguna seperti memiliki kuota air tanah tersendiri. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Saptaji,

“Jadi biasanya kan sebelum keluar rekomendasi teknis itu, kita tinjau ke lapangan. Diukur daerahnya menurut zonasi air tanah. Daerah itu termasuk daerah mana, daerah mana. Nah dari situ bisa diketahui, misalnya debit disana itu, muka air tanahnya berapa. Maksimal yang boleh diambil itu berapa. Jadi masing-masing berbeda. ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Pada prinsipnya, pembatasan debit air ini dilakukan dengan berdasarkan metode land differential, dimana batas debit air yang boleh diambil di suatu area akan berbeda dengan di area lainnya, tergantung dari bagaimana kondisi muka air tanah di wilayah lainnya. Semakin rendah muka air tanah di suatu area, maka semakin berkurang pula debit air yang diperbolehkan untuk diambil oleh pengguna air tanah di wilayah tersebut. Peninjauan ke lapangan dilakukan untuk mengetahui secara pasti bagaimana kondisi lingkungan dimana pengambilan air Pada prinsipnya, pembatasan debit air ini dilakukan dengan berdasarkan metode land differential, dimana batas debit air yang boleh diambil di suatu area akan berbeda dengan di area lainnya, tergantung dari bagaimana kondisi muka air tanah di wilayah lainnya. Semakin rendah muka air tanah di suatu area, maka semakin berkurang pula debit air yang diperbolehkan untuk diambil oleh pengguna air tanah di wilayah tersebut. Peninjauan ke lapangan dilakukan untuk mengetahui secara pasti bagaimana kondisi lingkungan dimana pengambilan air

Gambar 5.2. Peta Zonasi Air Tanah Kota Bandung Tahun 2014

Sumber: BPLH Kota Bandung

Dari gambar 5.2. tersebut dapat terlihat bahwa keadaan muka air tanah di Kota Bandung pada tahun 2014 terdiri dari empat zona secara berurutan, yakni zona hijau, zona kuning, zona oranye, dan zona merah. Zona hijau adalah zona paling aman dengan kedalaman air tanah kurang dari 20 meter, sedangkan zona paling berbahaya adalah zona merah dengan kedalaman muka air tanah lebih dari

50 meter. Pada prinsipnya, semakin dalam muka air tanah maka semakin sulit pula dilakukan pengambilan air tanah. Ini berarti, daerah yang termasuk dalam zona merah harus lebih mendapat perhatian dengan diberlakukan pembatasan debit penggunaan air tanah secara lebih seksama. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, besar pembatasan debit penggunaan air akan berbeda-beda bagi setiap pengguna, ini tergantung dari dimana lokasi pengambilan air tanahnya. Pengguna air tanah di zona hijau berkemungkinan lebih kecil memperoleh pembatasan debit penggunaan air karena muka air tanah yang masih relatif aman. Sebaliknya, pengguna air tanah di daerah yang termasuk ke dalam zona merah 50 meter. Pada prinsipnya, semakin dalam muka air tanah maka semakin sulit pula dilakukan pengambilan air tanah. Ini berarti, daerah yang termasuk dalam zona merah harus lebih mendapat perhatian dengan diberlakukan pembatasan debit penggunaan air tanah secara lebih seksama. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, besar pembatasan debit penggunaan air akan berbeda-beda bagi setiap pengguna, ini tergantung dari dimana lokasi pengambilan air tanahnya. Pengguna air tanah di zona hijau berkemungkinan lebih kecil memperoleh pembatasan debit penggunaan air karena muka air tanah yang masih relatif aman. Sebaliknya, pengguna air tanah di daerah yang termasuk ke dalam zona merah

Pengguna air tanah harus mematuhi pembatasan debit air ini karena seiap pelanggaran akan ketahuan oleh petugas, sebagaimana dikatakan oleh Saptaji:

“Kita kan setiap bulan mencatat meter airnya oleh petugas. Ketauan.. nah dari ketauan itu nanti petugas kita bisa menyesuaikan debit. Jadi

nanti disegel debitnya, dia tidak bisa mengambil lebih dari debit yang diizinkan. ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Melalu pernyataan tersebut, diketahui bahwa penyegelan debit akan dilakukan apabila ketahuan bahwa pengguna melanggar aturan pembatasan debit air yang telah diberlakukan sebelumnya. Menurut penulis, kebijakan ini sudah cukup baik dan idealnya dapat diandalkan untuk mengontrol penggunaan air tanah. Akan tetapi, kebijakan ini sebenarnya sangat sulit dilakukan secara menyeluruh di Kota Bandung mengingat banyaknya titik pengambilan air tanah di Kota Bandung, baik yang legal maupun yang illegal. Di satu sisi, kunci keberhasilan dari kebijakan pembatasan debit penggunaan air ini adalah pengawasan yang ketat dan menyeluruh kepada seluruh pengguna air tanah untuk memastikan tidak adanya kecurangan dan pelanggaran terhadap batas debit penggunaan air tanah yang telah ditentukan, sementara di sisi lain BPLH dan dinas-dinas terkait masih memiliki keterbatasan terutama dalam hal sumber daya manusia yang sebenarnya sangat penting keberadaannya dalam membantu proses pengawasan pembatasan debit penggunaan air ini.

Alternatif kebijakan yang ketiga adalah kewajiban penghijauan. Kewajiiban penghijauan ini terkait dengan kewajiban masyarakat pengguna air tanah dalam menyediakan ruang terbuka hijau seiring dengan penggunaan air tanah. Hal ini berkaitan dengan fungsi RTH itu sendiri sebagai daerah resapan air. Dengan begitu, air tanah yang terambil akan dapat tergantikan karena air hujan dapat terserap oleh permukaan tanah. Fungsi dari RTH lebih kepada pelestarian air tanah dangkal yang dipengaruhi oleh cuaca dan tumbuh-tumbuhan, sesuai pernyataan Saptaji, “Dampaknya ya ada untuk dirinya sendiri, Karna dengan Alternatif kebijakan yang ketiga adalah kewajiban penghijauan. Kewajiiban penghijauan ini terkait dengan kewajiban masyarakat pengguna air tanah dalam menyediakan ruang terbuka hijau seiring dengan penggunaan air tanah. Hal ini berkaitan dengan fungsi RTH itu sendiri sebagai daerah resapan air. Dengan begitu, air tanah yang terambil akan dapat tergantikan karena air hujan dapat terserap oleh permukaan tanah. Fungsi dari RTH lebih kepada pelestarian air tanah dangkal yang dipengaruhi oleh cuaca dan tumbuh-tumbuhan, sesuai pernyataan Saptaji, “Dampaknya ya ada untuk dirinya sendiri, Karna dengan

Sebagai salah satu opsi solusi, BPLH telah mengadakan sosialisasi tentang hal ini, s ebagaimana diakui Saptaji, “Tapi kita sudah sosialisasikan dan salah satu upayanya, upaya paksanya adalah jika tahun depan mereka tidak menyediakan ruang terbuka hijau maka izin tidak akan diberikan ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung). Kendati kewajiban penghijauan ini dapat menjadi salah satu opsi kebijakan yang bagus bagi pelestarian air tanah, peneliti merasa kebijakan ini masih kurang efektif untuk mendukung fungsi regulerend Pajak Air Tanah dalam mengontrol penggunaan air tanah di Kota Bandung. Hal ini karena kewajiban penghijauan dan sanksi berupa tidak diberikannya izin penggunaan air tanah itu tidak akan mempengaruhi niat pengguna air tanah untuk tetap mengambil dan memanfaatkan air tanah. Di samping itu, kewajiban penghijauan ini, seperti yang dinyatakan sebelumnya, hanya dapat mempengaruhi kuantitas air tanah dangkal yang notabene dipengaruhi cuaca dan vegetasi. Pada kenyataannya, pengambilan dan pemanfaatan air tanah besar-besaran yang dilakukan oleh pengguna air tanah dari sektor industri dan perhotelan lebih banyak memanfaatkan air tanah dalam untuk memenuhi kebutuhan mereka akan air bersih. Dengan kata lain, terdapat ketidakseimbangan antara apa yang diambil (air tanah dalam) dan apa yang dikembalikan (air tanah dangkal). Karena itu, peneliti beranggapan bahwa kebijakan pemberian kewajiban penghijauan ini kurang dapat mendukung fungsi regulerend Pajak Air Tanah dalam usaha konservasi air tanah.

Kebijakan klusterisasi Harga Air Baku (HAB) berdasarkan tujuan penggunaan air tanah adalah satu kebijakan yang sebenarnya ingin dilakukan oleh pihak BPLH, namun belum dapat direalisasikan. Klusterisasi yang dimaksud Kebijakan klusterisasi Harga Air Baku (HAB) berdasarkan tujuan penggunaan air tanah adalah satu kebijakan yang sebenarnya ingin dilakukan oleh pihak BPLH, namun belum dapat direalisasikan. Klusterisasi yang dimaksud

“Sebenarnya saya punya rencana untuk revisi perda dan penyusunan harga air baku. Jadi mau di kluster lagi, misalkan untuk sosial, dan lain- lain itu 'kan tarifnya masih sama ya, nah itu ingin kita bagi lagi. Sekarang kan untuk sumur dalam Rp5000, untuk sumur dangkal Rp3.500, nah itu kita ingin kluster lagi, gitu. Memang menurut saya juga itu harus. ” (Wawancara mandalam dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Selama ini, besaran HAB di Kota Bandung memang berlaku uniform- rate yakni Rp500,00 per meter kubik untuk air tanah dalam (menjadi Rp5.000,00 setelah perubahan) dan Rp400,00 per meter kubik untuk air tanah dangkal (menjadi Rp3.500,00 setelah perubahan). Pemberlakuan tarif HAB ini tidak memandang untuk tujuan apa air tanah akan digunakan, artinya untuk apapun tujuan penggunaannya, berlaku tarif yang sama. Penggolongan hanya dilakukan dalam menentukan Faktor Nilai Air (FNA), dimana berlaku nilai indeks kompensasi pemulihan yang berbeda-beda, tergantung pada jenis kelompok apa penggunaan air tanah tersebut, apakah pemukiman, perdagangan dan jasa, barang penunjang produksi, ataupun bahan produksi.

Secara teoritis, metode uniform-rates yang selama ini berlaku dalam penentuan harga (shadow price) air di Kota Bandung dianggap kurang mendukung upaya konservasi air tanah. Hal ini dikarenakan penentuan Harga Air Baku (HAB) tidak mempertimbangkan untuk apakah tujuan penggunaan air tanah tersebut padahal tingkat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan untuk masing- masing tujuan penggunaan itu berbeda. Menurut penulis, ide pengklusteran HAB sesuai dengan tujuan penggunaannya ini sangat menarik dan apabila berhasil direalisasikan, kebijakan ini akan dapat mendukung fungsi regulerend Pajak Air Tanah dalam konservasi air tanah. Di samping itu, kebijakan ini juga dapat menciptakan keadilan karena HAB dipatok dengan besaran yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan juga dengan pertimbangan kerusakan lingkungan yang akan terjadi. Sebenarnya, kebijakan ini sudah dipersiapkan dan hanya tinggal diajukan kepada Walikota, namun terbentur dengan halangan sebagaimana diutarakan oleh Saptaji:

“Ya.. Kita terbentur masalah undang-undang itu ya.. Sebenarnya saya punya rencana untuk revisi perda dan penyusunan harga air baku. Saya sudah menyiapkan dan tinggal mengajukan ke pak walikota tapi kalau kita mengajukan juga kan salah karena aturannya sekarang bukan kewenangan kita lagi. Jadi provinsi yang harus berinisiatif untuk merubah HAB. ” (Wawancara Mendalam dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Undang-undang yang dimaksud Saptaji adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur beberapa hal, di antaranya mengenai pembagian urusan di berbagai sektor pemerintahan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Salah satu sektor yang diatur pembagian urusannya adalah urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral. Pengurusan air tanah termasuk dalam sub urusan geologi, dimana pada sub urusan ini pihak yang mendapatkan kewenangan adalah pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Perbedaan kewenangan di sektor geologi ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.2. Pembagian Urusan Pemerintahan Sub Urusan Geologi Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Pemerintah Pusat

Pemerintah Provinsi

Pemerintah Kab./Kota

a. Penetapan cekungan

a. Penetapan

zona

air tanah

konservasi air tanah

b. Penetapan zona

pada cekungan air

konservasi air tanah

tanah dalam Daerah

pada cekungan air

Provinsi

tanah lintas Daerah

b. Penerbitan

izin

provinsi dan lintas

c. Penetapan kawasan

pemakaian, dan izin

lindung geologi dan

pengusahaan air tanah

warisan geoogi

dalam Daerah Provinsi

d. Penetapan status dan

c. Penetapan

Nilai

peringatan dini bahaya

Perolehan Air Tanah

gunung api

dalam Daerah Provinsi

e. Peringatan dini potensi gerakan tanah

f. Penetapan neraca sumber daya dan cadangan sumber daya minera dan energi nasional

g. Penetapan kawasan rawan bencana geologi

Sumber: Lampiran Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Seperti yang terlihat pada tabel 5.2. di atas, berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan apapun. Kewenangan untuk penetapan zona konservasi, penerbitan izin pengeboran, penggalian, pemakaian, dan pengusahaan air tanah, serta penetapan Nilai Perolehan Air (NPA) menjadi kewenangan daerah provinsi. Dengan demikian, daerah kabupaten/kota hanya memiliki kewenangan dari sisi pengurusan Pajak Air Tanah berlandaskan pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana Pajak Air Tanah merupakan salah satu jenis pajak kabupaten/kota yang pengadministrasiannya dilaksanakan seluruhnya oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal ini diklarifikasi oleh Saptaji dengan pernyataan berikut:

“Ya sekarang justru karena Undang-Undang 23 itu pelimpahan kewenangannya itu ke provinsi, jadi kita juga sudah tidak bisa apa-apa karena pengurusan pengendalian, konservasi, perizinan, semuanya 'kan ditarik ke provinsi. Jadi kita tidak punya kewenangan apa-apa. Hanya pajak saja . ” (Wawancara mendalam dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Pengalihan kewenangan atas pengelolaan air tanah kepada pemerintah provinsi ini sejatinya mempersempit ruang gerak pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menciptakan prakarsa dan melakukan upaya dalam mengkonservasi lingkungan, terutama di bidang air tanah. Apabila dibandingkan dengan daerah provinsi, daerah kabupaten/kota tentu lebih mengenal seluk beluk daerahnya masing-masing beserta permasalahan lingkungan yang harus dipecahkan. Masing-masing daerah memiliki permasalahannya masing-masing dan keberagaman tersebut belum tentu bisa disikapi dengan baik seluruhnya oleh daerah provinsi. Maka itu, menurut penulis, lenyapnya kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air tanah ini menjadi suatu hal yang disayangkan karena sebenarnya pemerintah kabupaten/kota perlu diberikan ruang juga untuk berprakarsa dalam membuat kebijakan yang tepat sasaran dalam mendukung upaya konservasi air tanah di daerahnya masing-masing.

Di samping keempat alternatif kebijakan yang telah peneliti jabarkan sebelumnya, alternatif yang kelima adalah pembatasan izin. Hal yang menjadi sorotan pemerhati lingkungan dan memiliki keterkaitan dengan tingkat pengambilan dan pemanfaatan air tanah dan dampak ekologisnya terhadap lingkungan hidup di Kota Bandung adalah banyaknya pemberian izin alih fungsi lahan yang dipergunakan untuk bisnis, seperti bisnis properti, industri, pemukiman, dan lain sebagainya. Kondisi ini dipandang sebagai cerminan dari minimnya concern pemerintah dalam menangani kerusakan lingkungan yang makin parah terjadi di seluruh Indonesia, khususnya di Kota Bandung, padahal pemberian izin ini akan memberikan pengaruh langsung pada ketersediaan sumber daya air, sebagaimana dikemukakan Dadan Ramdan berikut ini:

“Jadi upaya pemerintah untuk melindungi wilayah resapan juga sangat minim terbukti dengan banyaknya izin-izin yang dikeluarkan. Juga untuk mengkonservasi air bawah tanah pun sama gitu ya juga banyak “Jadi upaya pemerintah untuk melindungi wilayah resapan juga sangat minim terbukti dengan banyaknya izin-izin yang dikeluarkan. Juga untuk mengkonservasi air bawah tanah pun sama gitu ya juga banyak

Salah satu dampak dari banyaknya izin yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan alih fungsi lahan maupun pengambilan dan pemanfaatan air tanah adalah status sebagian besar wilayah Kota Bandung yang sudah masuk dalam zona merah atau sona kritis. Selain itu, dampak dari alih fungsi lahan yang marak terjadi adalah gagalnya air untuk meresap ke dalam tanah yang berakibat pada meningkatnya jumah air yang mengalir di permukaan tanah. Hal ini dibenarkan Dadan melalui pernyataannya, “koefisien runoff-nya

juga sekarang sudah mencapai angka 70%, artinya 70% air itu harus mengalir di permukaan tanah bukan diresap karena kawasan lahan hijaunya semakin habis ” (Wawancara mendalam dengan Dadan Ramdan, Ketua Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Jawa Barat). Berdasarkan pernyataan Dadan tersebut, dapat terlihat bagaimana korelasi antara pemberian izin, tingkat penggunaan air tanah, dengan damage level atau tingkat kerusakan yang dialami lingkungan. Di satu sisi, semakin maraknya berbagai jenis bisnis tersebut membuat tingkat pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Kota Bandung semakin tinggi, sementara di sisi lain daerah resapan air makin berkurang sehingga jumlah air yang tergantikan dan kembali ke dalam tanah sangat jauh berbanding terbalik dengan jumlah air yang diambil dan dimanfaatkan.

Selain itu, masih terdapat pula pembuatan sumur illegal yang dilakukan oleh kalangan pengguna air tanah. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan atas pemberian izin yang dilakukan oleh dinas dan instansi yang terkait, dalam hal ini terutama Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung dan DESDM selaku pemberi izin penggunaan air tanah, harus lebih diperhatikan lagi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dadan Ramdan:

“Dari riset yang teman kami lakukan, menunjukkan sekitar 5.000 sumur arthesis bermasalah. Ada indikasi ilegal. Jadi izinnya satu, bangunnya dua. Jadi selain mengendalikan izin, juga bagaimana pemerintah melalui dinas terkait, apakah BPLH, BPLHD, untuk bisa melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan izin-izin lingkungan, dokumen-dokumen amdal yang sudah menjadi kewajibannya pengembang. ” (Wawancara mendalam dengan Dadan Ramdan, Ketua Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Jawa Barat)

Menurut penulis, kebijakan pembatasan izin ini memang sudah menjadi kewajiban dari instansi-instansi yang terkait, khususnya DESDM sebagai instansi yang mengurus mengenai pemberian izin di tingkat provinsi. Akan tetapi, kebijakan ini sepertinya belum cukup tepat sasaran dan kurang relevan untuk mendukung fungsi regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung. Pada dasarnya, tujuan dari pemberlakuan pajak atas penggunaan air tanah adalah bagaimana mengatur perilaku masyarakat dalam mengambil dan memanfaatkan air tanah yang pada akhirnya berhubungan dengan usaha konservasi air tanah itu sendiri. Memang, pembatasan izin alih fungsi lahan pun memiliki tujuan akhir yang sama, yakni pelestarian lingkungan khususnya air tanah. Namun, kebijakan pembatasan izin ini tujuan utamanya adalah penyelamatan lahan hijau (ruang terbuka hijau) yang memiliki fungsi sebagai daerah resapan air. Menurut penulis, kebijakan ini merupakan kebijakan yang bagus, namun kurang memiliki fokus pada upaya untuk mengontrol pengambilan dan pemanfaatan air tanah secara langsung.

Sebagai gambaran dari beberapa alternatif yang telah dikemukakan sebelumnya, berikut daftar alternatif beserta kelebihan dan kelemahannya yang tersaji dalam tabel 5.3. di bawah ini.

Tabel 5.3. Alternatif Kebijakan dalam Mendukung Upaya Peningkatan Fungsi Regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung

Alternatif Kebijakan

Kelebihan

Kelemahan

Perlu waktu yang tak imbuhan dalam

a. Pembuatan sumur

Air tanah yang telah

diambil dan

sebentar untuk

dimanfaatkan dapat

menggantikan air tanah

tergantikan dengan air

dalam yang sudah

hujan yang mengalami

diambil, terkesan sebagai

proses penyaringan di

kebijakan yang

dalam sumur imbuhan

melegalisasi pengambilan

dalam.

air tanah secara berlebihan asalkan sudah memenuhi kewajiban membuat sumur imbuhan dalam.

Relatif sulit untuk pengambilan air

b. Pembatasan debit

Sangat sesuai untuk

mengontrol penggunaan

dilakukan di Kota air di daerah-daerah yang Bandung karena masuk dalam zona kritis

pembatasan debit air ini karena pembatasan debit harus diimbangi dengan pengambilan air akan

pengawasan yang ketat

menjaga daerah tersebut

dan menyeluruh,

dari kondisi yang

sedangkan titik

semakin parah.

pengambilan air banyak dan instansi-instansi yang terkait masih kekurangan sumber daya manusia.

Kurangnya kesadaran penghijauan

c. Kewajiban

Menjamin ketersediaan

ruang terbuka hijau

pengguna air tanah, tidak

(RTH) yang dapat

menjamin berkurangnya membantu penyerapan air niat untuk menggunakan hujan ke dalam tanah dan air tanah, hanya mengisi kekosongan air

menggantikan cadangan

tanah dangkal.

air tanah dangkal, padahal yang diambil besar-besaran adalah air tanah dalam.

Belum bisa sesuai tujuan

d. Klusterisasi HAB

Mendukung fungsi

ditindaklanjuti karena penggunaannya

regulerend Pajak Air

Tanah secara langsung,

kewenangan

menciptakan keadilan

kabupaten/kota dalam

karena HAB dipatok

pengelolaan air tanah dengan harga yang sesuai sudah tidak ada lagi dengan tujuan

berdasarkan Undang- penggunaan dan dampak Undang No. 23 Tahun ekologis yang dihasilkan. 2014 tentang

Pemerintahan Daerah.

e. Pembatasan izin Menghentikan alih fungsi Tidak mengurangi lahan, menjamin

penggunaan air tanah

ketersedian RTH yang

secara langsung, lebih

lebih banyak agar air

ditujukan untuk

hujan dapat meresap

penyelamatan lahan

lebih mudah dan

hijau.

menggantikan air tanah yang sudah diambil.

Harga yang naik terlalu Baku (HAB)

f. Kenaikan Harga Air

Mengatasi disparitas

antara harga yang harus

tajam menimbulkan

dibayar atas pemakaian

kekagetan pada

air tanah dengan air

masyarakat dan

PDAM.

berpotensi memicu pengambilan dan pemanfaatan air tanah secara illegal.

Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti)

Dari beberapa alternatif yang telah dikemukakan sebelumnya, penyesuaian Harga Air Baku (HAB) menjadi sebuah alternatif yang paling sesuai untuk meningkatkan fungsi regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung, mengingat HAB di Kota Bandung terlalu rendah dan sudah tidak layak lagi untuk diterapkan karena kondisi air tanah di Kota Bandung yang semakin memburuk. Untuk itu, disusunlah sebuah peraturan walikota yang baru, isinya antara lain mengatur mengenai penyesuaian HAB di Kota Bandung.

5.1.3. Tahap Pembuatan Kebijakan

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) ini diatur dalam sebuah peraturan walikota. Walaupun sama-sama berwujud produk hukum daerah, proses pembuatan peraturan walikota secara umum berbeda dengan proses pembuatan produk hukum daerah lain, misalnya peraturan daerah. Pada penyusunan peraturan daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) turut berperan sebagai badan legislatif. Usulan yang datang dari SKPD kemudian diteruskan kepada DPRD melalui Bagian Hukum dan HAM Kota Bandung untuk ditindaklanjuti. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aris Arifin:

“Misalnya Perda. Perda 'kan peraturan paling tinggi, kita mekanismenya harus ke Dewan dulu. Pada dasarnya yang bikin peraturan, legislasi, itu 'kan Dewan. Tapi kebanyakan usulan peraturan daerah itu dari pemerintah. Nah kalau dari pemerintah daerah itu biasa dari SKPD. Mereka membentuk tim penyusunan rancangan peraturan daerah, nah nanti kita kompilasi, kita koordinir. Ada istilahnya itu program penyusunan peraturan daerah. Jadi setiap tahun diinventarisir, diusulkan, diputuskan bersama dengan Dewan, mana saja perda yang akan dibahas. Kalo pada tingkat eksekutif, kita kan legislatif, kita inventarisir dulu, mana SKPD yang mau ngajuin perda. Nah rancangan itu kita seleksi, mana yang layak mana yang tidak. Baru nanti kita bawa ke paripurna, lalu diputuskan bersama dengan dewan, kemudian rancangan itu ditetapkan untuk dibahas tahun depan. ” (Wawancara mendalam dengan Aris Arifin, S.H., Aparat Bagian Hukum dan HAM Seksi Peraturan Perundang-Undangan Kota Bandung)

Perbedaan antara proses penyusunan peraturan daerah dengan proses peraturan walikota terletak pada keterlibatan DPRD yang cenderung kurang. Pada pembuatan peraturan walikota, yang lebih berperan adalah SKPD yang bersangkutan bersama Bagian Hukum dan HAM. Dalam hal pembuatan peraturan walikota yang berkaitan dengan Nilai Perolehan Air (NPA) dan Pajak Air Tanah, instansi atau SKPD yang berwenang adalah Dinas Pelayanan Pajak (Disyanjak) Kota Bandung dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung. Usulan datang dari dua SKPD tersebut. Oleh karena tupoksi Pajak Air Tanah ada pada Dinas Pelayanan Pajak, maka Dinas Pelayanan Pajak yang memproses hal-hal terkait pajak dan karena ini terkait dengan air tanah, maka harus merujuk pada aturan tentang air tanah yang merupakan tupoksi dari BPLH.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa penyusunan sebuah peraturan walikota diawali dengan usulan SKPD. Kemudian, berbeda dengan proses penyusunan perda yang melibatkan DPRD, usulan SKPD yang telah dikaji akan diserahkan kepada Bagian Hukum dan HAM untuk disinkronisasi dengan peraturan di atasnya. Proses ini pula yang terjadi pada pembuatan Peraturan Walikota No. 1241 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penghitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah. Secara sederhana, proses perumusan peraturan walikota tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut:

Gambar 5.3. Proses Penyusunan Peraturan Walikota Bandung No. 1241 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penghitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah

Sumber: Dokumen Kajian Air Tanah LAPI ITB

Gambar 5.3. di atas menunjukkan proses penyusunan Peraturan Walikota Bandung No. 1241 Tahun 2013, dimana di dalamnya terdapat kebijakan penyesuaian Harga Air Baku (HAB). Dalam proses penyusunan peraturan walikota ini terdapat beberapa pihak yang terlibat, yakni Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung, Tim Peneliti dari LAPI ITB, Bagian Hukum dan HAM Sekretariat Daerah (Sekda) Kota Bandung, dan Dinas Pelayanan Pajak (Disyanjak) Kota Bandung. Secara garis besar, proses perumusan tersebut dibagi menjadi empat tahap sebelum kemudian disahkan. Tahap pertama dimulai dari tahap persiapan, dilanjutkan dengan tahap analisis, kemudian diteruskan ke tahap pelaporan, sampai akhirnya masuk ke tahap penyusunan peraturan walikota. Pada masing-masing tahap terjadi akivitas yang berbeda-beda, sebagaimana akan diuraikan lebih jauh dalam poin-poin berikut.

A. Tahap Persiapan

Untuk membuat kebijakan, dibutuhkan sebuah kajian yang dapat dijadikan dasar dalam mengambil keputusan. Dalam hal pembuatan kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung, kajian ini dibuat oleh pihak ketiga yang digandeng oleh BPLH Kota Bandung, yaitu LAPI ITB selaku tim peneliti. Hal ini dibenarkan oleh Saptaji dalam kut ipan wawancara berikut: “Ya kita kan sebelum itu ada kajian dulu, ada kajian, apakah di Kota Bandung itu... Harus berapa- berapanya. Kita waktu itu menggandeng LAPI ITB sebagai pihak ketiga yang membuat kajian ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung).

Dalam membuat sebuah kajian tentu dibutuhkan data-data yang valid dan komprehensif agar nantinya kajian tersebut dapat dijadikan dasar yang kuat dan relevan dalam pembuatan kebijakan. Tahap persiapan adalah dimana di dalamnya terdapat kegiatan inventarisasi data sekunder dan produk hukum yang dilakukan oleh tim peneliti. Pada tahap ini, dilakukan pengumpulan dokumen data sekunder dari berbagai pihak, di antaranya Badan Geologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, asosiasi profesi, dan lain-lain. Data-data yang diinventarisasi antara lain data mengenai tingkat pengambilan air tanah di Kota Bandung, peta hidrologi Kota Bandung, kondisi Cekungan Air Tanah Bandung-Soreang yang menjadi sumber air tanah bagi masyarakat Kota Bandung, perkembangan jumlah sumur bor, kondisi muka air tanah kota Bandung. Data sekunder juga didapatkan dengan menghimpun berbagai penelitian-penelitian mengenai kondisi hidrogeologi Kota Bandung yang telah dilakukan sebelumnya sebagai dasar teoritis dan pembanding dalam membuat kajian kebijakan. Selain itu, terdapat pula inventarisasi beberapa produk hukum yang berlaku saat itu untuk mendukung analisis dalam kajian tersebut selanjutnya, di antaranya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2008,, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007, dan Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Kesemua data ini mengalami proses inventarisasi oleh tim peneliti dari LAPI ITB untuk nantinya menjadi bahan analisis.

Sebelum masuk pada tahap persiapan, proses perumusan peraturan walikota ini tentu bermula dari munculnya inisiatif atau prakarsa. Inisiatif yang dimaksud adalah usulan untuk menyesuaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung yang terlalu rendah. Kendati memang BPLH Kota Bandung memiliki peran yang menonjol dalam proses perumusan kebijakan ini, inisiatif pembuatan kebijakan ini tidak hanya datang dari pihak BPLH saja, namun datang dari berbagai pihak, seperti yang diungkapkan oleh Saptaji:

“Bukan hanya datang dari BPLH, tapi dari wacana para ahli terus dari kita, dari dewan juga. Karena memang Rp.500 ini sudah tidak layak lagi

untuk di Kota Bandung. Kalau dengan Rp.500 orang akan semena-mena menggunakan air. ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Dari pernyataan Saptaji tersebut nampak bahwa prakarsa untuk menaikkan besaran Harga Air Baku (HAB) tidak hanya datang dari BPLH selaku instansi yang paling bertanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan hidup di Kota Bandung, tapi prakarsa juga datang dari para ahli dan DPRD. Inisiatif ini muncul dengan dilatarbelakangi kondisi rendahnya HAB yang berimplikasi pada tingginya pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Kota Bandung tanpa mempedulikan kondisi muka air tanah Kota Bandung yang semakin mengalami penurunan tiap tahunnya. Inisiatif ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembuatan kajian guna mengetahui seberapa besar kenaikan yang dapat dikenakan atas HAB di Kota Bandung.

B. Tahap Analisis

Dalam penyusunan peraturan walikota mengenai tata cara penghitungan Harga Dasar Air (HDA) sebagai dasar penetapan Nilai Perolehan Air (NPA) yang di dalamnya mengatur pula mengenai kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung ini, masing-masing pihak dan instansi memiliki perannya masing-masing. Peran yang paling menonjol terdapat pada tim peneliti dan BPLH Kota Bandung selaku instansi yang memiliki tanggung jawab langsung terhadap pengelolaan lingkungan Kota Bandung. Tim peneliti adalah salah satu pihak yang memiliki peran penting dalam proses formulasi kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung. Hal ini karena tim peneliti-lah yang menyusun naskah kajian akademis yang dijadikan dasar dalam pembuatan kebijakan tersebut. Kajian yang dilakukan tim peneliti dilakukan dengan mengkaji harga dasar air dari sudut pandang akademik, sosial-ekonomi, dan hukum.

Setelah melakukan inventarisasi data, tahap kedua adalah tim LAPI ITB melakukan proses analisis data sekunder dan juga produk hukum yang Setelah melakukan inventarisasi data, tahap kedua adalah tim LAPI ITB melakukan proses analisis data sekunder dan juga produk hukum yang

Terdapat empat ruang lingkup kajian akademik yang dilakukan oleh tim peneliti, yaitu kajian filosofis, kajian sosiologis, kajian yuridis, dan kajian teknis. Pertama, kajian filosofis adalah landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Penting dilakukan untuk menghindari pertentangan antara peraturan perundang-undangan mengenai HAB ini dengan nilai-nilai hakiki dan luhur yang ada di tengah masyarakat, seperti etika, agama, dan lain-lain. Dalam hal kebijakan kenaikan HAB di Kota Bandung, nilai yang dijunjung lebih kepada nilai ekologis dimana cita-cita yang ingin dituju adalah penurunan tingkat abstraksi air tanah oleh masyarakat Kota Bandung, khususnya para pengguna air tanah dari sektor usaha, untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup Kota Bandung, khususnya kondisi muka air tanah Kota Bandung yang saat ini mengalami krisis.

Kedua, kajian sosiologis adalah penyusunan naskah akademis dengan mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomi dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang. Kajian sosiologis ini dilakukan untuk menghindari tercerabutnya peraturan perundang-undangan, dalam hal ini kebijakan mengenai kenaikan HAB di Kota Bandung, dari akar-akar sosialnya di masyarakat. Contoh tercerabutnya sebuah peraturan perundang- undangan dari akar sosialnya adalah peraturan yang ditolak oleh masyarakat setelah diundangkan. Dengan demikian, sebisa mungkin kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) ini dapat menjembatani antara cita-cita ekologis yang ingin dituju pemerintah Kota Bandung dengan nilai-nilai sosial ekonomi yang dekat dengan masyarakat agar nantinya kebijakan ini dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik.

Ruang lingkup yang ketiga adalah kajian yuridis, dimana dalam pembuatan kajian akademik perlu untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memberikan daya dukung terhadap peraturan yang akan dibuat. Dalam hal ini, terdapat beberapa peraturan perundangan yang berlaku pada saat itu, yang digunakan dalam pengkajian, seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007, Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah, dan juga Peraturan Walikota No. 107 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penghitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah yang salah satunya memuat pula pengaturan mengenai Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung.

Ruang lingkup yang terakhir adalah kajian teknis, dimana dalam pembuatan kebijakan ini dilakukan kajian yang lebih bersifat teknis berhubungan dengan segi hidrogeologi Kota Bandung. Kajian teknis ini dilakukan pada beberapa aspek keilmuan, seperti keberadaan air tanah di dalam tanah, bagaimana sistem akuifernya, bagaimana pola aliran air tanahnya, dan bagaimana mekanisme eksploitasinya dengan prinsip suplai yang berkelanjutan. Dengan mempertimbangkan aspek teknis ini, dapat diperoleh gambaran mengenai bagaimana kondisi air tanah di Kota Bandung sebenarnya dan berapa seharusnya harga air yang sesuai untuk diberlakukan di Kota Bandung.

Tahap analisis ini dilakukan dengan metode penyelenggaraan lokakarya. Pada awalnya, memang analisis dilakukan oleh pihak LAPI ITB selaku tim peneliti, dengan mempertimbangkan keempat ruang lingkup kajian yang telah dijabarkan sebelumnya. Selanjutnya, tahap analisis dilakukan dengan beberapa lokakarya yang masing-masing memiliki agenda tersendiri. Lokakarya ke-1 beragendakan penyampaian hasil analisis kepada stakeholders dan juga merangkum masukan dari stakeholders. Setelah itu, diselenggarakan lokakarya ke-2 dengan agenda mensosialisasikan hasil kajian naskah akademik kepada stakeholders . Selanjutnya, lokakarya ke-3 dan ke-4 diselenggarakan untuk pembahasan aspek hukum dan legal drafting.

Dengan mellihat rincian singkat agenda dari masing-masing lokakarya, dapat diketahui bahwa tahap analisis ini tidak hanya dilakukan oleh tim peneliti

dari LAPI ITB selaku pembuat kajian, namun juga melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Pada lokakarya yang pertama dan kedua, proses analisis melibatkan stakeholders internal. Dalam proses ini terdapat agenda penyampaian hasil kajian yang telah dilakukan oleh LAPI ITB kepada para stakeholders, sekaligus merangkum berbagai pendapat dan masukan dari para stakeholders untuk menjadi pertimbangan dalam menentukan besaran HAB yang baru. Stakeholders yang dimaksud ini adalah pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan pengelolaan air tanah di Kota Bandung, seperti Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung, Bagian Hukum dan HAM Kota Bandung, Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung, dan Dinas ESDM, sebagaimana diakui Saptaji, “Dilibatkan, semua dilibatkan. Dari Disyanjak, Bagian Hukum, ESDM, BPPT, semua dilibatkan. Karena Pajak Air Tanah itu 'kan kaitannya dengan izin. ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung).

Berdasarkan analisis tim peneliti, diperoleh hasil bahwa besaran Harga Air Baku yang sesuai untuk diberlakukan di Kota Bandung paling rendah adalah Rp5.000,00 per meter kubik dan paling tinggi sebesar Rp10.000,00. Hal ini

dibenarkan oleh Saptaji melalui pernyataannya, “Berdasarkan... Dilihat dari berbagai aspek, 'kan gitu. Dari sosiologis, ya pokoknya dari berbagai macam aspek. Nah setelah itu, hasilnya adalah bahwa Kota Bandung itu minimal harus Rp5.000, maksimal Rp10.000. ” (Wawancara mendalam dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung). Range harga ini diperoleh dari hasil kajian tim peneliti dengan melibatkan data sekunder dan produk hukum yang telah diinventarisasi sebelumnya, juga mempertimbangkan berbagai berbagai aspek seperti filosofis, sosiologis, yuridis, dan teknis.

Penyampaian analisis ini kemudian ditindaklanjuti dengan penyampaian saran dan masukan dari stakeholders terkait dengan kajian yang telah dilakukan oleh tim peneliti. Menurut penulis, tahap ini adalah tahap yang paling penting dalam proses perumusan kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung. Hal ini dikarenakan pada tahap inilah terjadi pertemuan pendapat dari berbagai pihak dengan dasar pemikiran dan kepentingan yang berbeda-beda dan Penyampaian analisis ini kemudian ditindaklanjuti dengan penyampaian saran dan masukan dari stakeholders terkait dengan kajian yang telah dilakukan oleh tim peneliti. Menurut penulis, tahap ini adalah tahap yang paling penting dalam proses perumusan kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung. Hal ini dikarenakan pada tahap inilah terjadi pertemuan pendapat dari berbagai pihak dengan dasar pemikiran dan kepentingan yang berbeda-beda dan

Pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai besaran Harga Air Baku (HAB) ini, khususnya untuk air tanah dalam, didasarkan lebih kepada aspek sosiologis. Pertama, pada saat pembahasan usulan kebijakan kenaikan HAB ini bertepatan dengan kenaikan harga listrik yang memberatkan masyarakat. Kedua, adanya pertimbangan mengenai masih kurangnya kemampuan PDAM untuk menyediakan pasokan air bersih yang cukup bagi seluruh masyarakat Kota Bandung. Selain dua alasan tersebut, ada pula masalah politis di tingkat pimpinan yang urung dijelaskan secara lebih rinci oleh Saptaji selaku perwakilan dari instansi yang berwenang. Karena alasan-alasan inilah, kenaikan HAB untuk air tanah dalam ditetapkan sebesar Rp5.000,00 per meter kubik yang merupakan batas terendah, bukan Rp10.000,00 per meter kubik yang merupakan batas tertinggi yang direkomendasikan oleh tim peneliti.

Jika dirunut dari awal, sebenarnya akar permasalahan utama dari terjadinya krisis air tanah dan penurunan tanah di Kota Bandung adalah tingginya abstraksi air tanah di Kota Bandung. Maka, sesuai dengan prinsip Pajak Air Tanah sebagai salah satu jenis environmental charges, besarnya Pajak Air Tanah yang dikenakan atas pengambilan dan pemanfaatan air tanah harus dirancang sedemikian rupa agar dapat menginternalisasi eksternalitas dan mendorong pihak-pihak yang melakukan abstraksi air tanah dalam jumlah yang tinggi untuk mengurangi konsumsi air tanahnya sampai titik terendah. Senada dengan pendapat

Quevauviller (2008), “environmental taxes and charges can be imposed on users who abstract groundwater as an incentive for reducing water use and thus

pressures on the aquatic ecosystem. The higher the taxes, the lower abstraction is expected to be ” (p.74)

Menurut penulis, penentuan harga air ini sangatlah dilematis. Di satu sisi, pemerintah harus melakukan upaya penyelamatan air tanah di Kota Bandung, salah satu caranya adalah dengan peningkatan fungsi regulerend Pajak Air Tanah.

Pengenaan Pajak Air Tanah di Kota Bandung harus dirancang supaya para pengguna air tanah benar-benar tergerak untuk mempertimbangkan pengurangan tingkat penggunaan air tanah kemudian beralih ke sumber air lainnya, misalnya air PDAM. Di sisi lain, pemerintah tidak boleh mengesampingkan aspek sosiologis dari setiap kebijakan yang dibuat. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, aspek sosiologis dalam kajian akademis untuk kepentingan pembuatan kebijakan publik ini berkaitan dengan bagaimana caranya agar suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat dan disahkan oleh pemerintah tidak tercerabut dari akar-akar sosialnya di masyarakat dan kemudian mengalami penolakan yang terlalu kuat dari masyarakat.

Dalam menentukan environmental charges, terdapat suatu jenis pendekatan yang dapat dipergunakan menurut Baumol dan Oates (1971), dikenal dengan nama “pricing and standard approach”. Pendekatan ini muncul atas dasar pemikiran bahwa tidak ada perkiraan yang pasti mengenai berapa tepatnya kerusakan marginal yang terjadi sehingga besarnya charges yang dibebankan atas perilaku yang menghasilkan eksternalitas negatif bagi lingkungan itu harus diatur pada level dimana tujuan spesifik bagi lingkungan itu dianggap terpenuhi. Jika dikaitkan dengan kenaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung yang naik 1000%, dari Rp500,00 menjadi Rp5.000,00, hal yang perlu ditinjau adalah apakah besar kenaikan tersebut sudah dapat dianggap memenuhi tujuan awal dari pembuatan kebijakan itu sendiri, yakni pelestarian air tanah. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, tim peneliti dari LAPI ITB sebenarnya telah merekomendasikan bahwa range Harga Air Baku yang sesuai untuk dikenakan atas pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Kota Bandung adalah Rp5.000,00 s.d. Rp10.000,00 per meter kubik. Akan tetapi, berdasarkan hasil pembahasan dengan para stakeholders, akhirnya diputuskan bahwa Harga Air Baku untuk air tanah dalam di Kota Bandung adalah Rp5.000,00 per meter kubik yang merupakan titik terendah dari harga yang direkomendasikan oleh tim peneliti. Apabila pemerintah menetapkan Harga Air Baku (HAB) sebesar Rp10.000,00 per meter kubik, ini dapat menjadi sinyal yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam upaya peningkatan fungsi regulerend Pajak Air Tanah sebagai alat untuk mengkonservasi air tanah di Kota Bandung. Kendati kenaikan ini pasti akan Dalam menentukan environmental charges, terdapat suatu jenis pendekatan yang dapat dipergunakan menurut Baumol dan Oates (1971), dikenal dengan nama “pricing and standard approach”. Pendekatan ini muncul atas dasar pemikiran bahwa tidak ada perkiraan yang pasti mengenai berapa tepatnya kerusakan marginal yang terjadi sehingga besarnya charges yang dibebankan atas perilaku yang menghasilkan eksternalitas negatif bagi lingkungan itu harus diatur pada level dimana tujuan spesifik bagi lingkungan itu dianggap terpenuhi. Jika dikaitkan dengan kenaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung yang naik 1000%, dari Rp500,00 menjadi Rp5.000,00, hal yang perlu ditinjau adalah apakah besar kenaikan tersebut sudah dapat dianggap memenuhi tujuan awal dari pembuatan kebijakan itu sendiri, yakni pelestarian air tanah. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, tim peneliti dari LAPI ITB sebenarnya telah merekomendasikan bahwa range Harga Air Baku yang sesuai untuk dikenakan atas pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Kota Bandung adalah Rp5.000,00 s.d. Rp10.000,00 per meter kubik. Akan tetapi, berdasarkan hasil pembahasan dengan para stakeholders, akhirnya diputuskan bahwa Harga Air Baku untuk air tanah dalam di Kota Bandung adalah Rp5.000,00 per meter kubik yang merupakan titik terendah dari harga yang direkomendasikan oleh tim peneliti. Apabila pemerintah menetapkan Harga Air Baku (HAB) sebesar Rp10.000,00 per meter kubik, ini dapat menjadi sinyal yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam upaya peningkatan fungsi regulerend Pajak Air Tanah sebagai alat untuk mengkonservasi air tanah di Kota Bandung. Kendati kenaikan ini pasti akan

Terkait dengan hal ini, secara teoritis, menurut Stone (1988) yang dikutip dari Theodolou dan Kofinis (2004), terdapat lima tipe solusi yang perlu diformulasikan dalam sebuah kebijakan. Lima solusi itu antara lain inducement (langkah kebijakan yang bersifat membujuk atau menekan), rules (pembentukan aturan-aturan dalam bentuk regulasi yang harus ditaati oleh masyarakat), facts (langkah kebijakan berupa penggunaan jalur informasi untuk mempersuasi kelompok sasaran agar mau melakukan suatu tindakan pemecahan masalah), rights (pemberian tugas-tugas pada masyarakat), dan power (penambahan bobot kekuasaan pada pihak-pihak tertentu karena adanya tuntutan). Bentuk inducement dapat diasosiasikan dengan kebijakan kenaikan Harga Air Baku itu sendiri yang merupakan sebuah kebijakan penekan bagi masyarakat, dimana masyarakat di Kota Bandung (dalam hal ini utamanya pelaku usaha di sektor industri dan perhotelan) dipaksa untuk mengurangi konsumsi air tanahnya dengan membuat mereka harus membayar jauh lebih banyak atas konsumsi air tanah karena adanya kenaikan Harga Air Baku. Kemudian, aspek rules dapat dikaitkan dengan pematenan inducement berupa kenaikan Harga Air Baku tersebut ke dalam bentuk Peraturan Walikota Bandung agar dapat dipatuhi dan dikenakan sanksi bagi para pelanggarnya.

Kelemahan terdapat pada aspek facts, dimana Pemerintah Kota Bandung masih belum memiliki cukup fasilitas untuk dapat mempersuasi para pengguna air tanah dalam mengurangi abstraksi air tanah yang dilakukan. Apabila Pemerintah Kota Bandung benar-benar ingin lebih dekat dengan arah tujuan yang ingin dicapai dari kenaikan Harga Air Baku, yakni penurunan tingkat abstraksi air tanah di Kota Bandung, pemberlakuan HAB sebesar Rp10.000,00 per meter kubik sebenarnya akan jauh lebih efektif dibanding dengan tingkat harga Rp5.000,00 per meter kubik. Dengan menerapkan tarif yang sangat tinggi, sudah tentu disparitas tarif antara air tanah dengan sumber air lain seperti air PDAM akan semakin nyata terlihat dan para pengguna air tanah akan mempertimbangkan untuk mengurangi

abstraksi air tanah, kemudian beralih menggunakan air PDAM. Hal yang kemudian harus ditinjau adalah kesiapan PDAM Tirtawening untuk menghadapi peningkatan pelanggan secara tajam yang sangat mungkin terjadi ketika harga air tanah melonjak tinggi. Salah satu pertimbangan yang cukup mendasar mengapa Pemerintah Kota Bandung belum berani untuk menentukan HAB di titik maksimal yang direkomendasikan oleh tim peneliti dari LAPI ITB adalah kesadaran Pemerintah Kota Bandung akan minimnya jangkauan pelayanan PDAM untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Kota Bandung akan air bersih. Sampai saat ini, PDAM Tirtawening Kota Bandung baru dapat mengakomodasi sekitar 40% s.d. 50% kebutuhan air bersih untuk masyarakat, termasuk para pelaku sektor industri dan perhotelan yang notabene membutuhkan pasokan air yang sangat banyak. Dapat diperkirakan PDAM Tirtawening belum mampu untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang melonjak sangat tinggi apabila Harga Air Baku dinaikkan ke titik maksimal. Keadaan ini membuat Pemerintah Kota Bandung dihadapkan pada posisi yang sulit karena di satu sisi tujuan dari kenaikan ini sudah jelas, yakni untuk melakukan upaya konservasi air tanah. Akan tetapi, di sisi lain, kenyataannya Pemerintah Kota Bandung belum dapat menyediakan sumber air alternatif yang dapat digunakan sebagai alat untuk mempersuasi para pengguna air tanah tersebut agar mengurangi tingkat abstraksi air tanah di Kota Bandung. Oleh sebab pertimbangan itu pula, Harga Air Baku ditetapkan pada angka Rp5.000,00 yang merupakan titik terendah harga yang direkomendasikan oleh LAPI ITB, bukan Rp10.000,00 yang merupakan titik tertinggi.

C. Tahap Pelaporan

Tahap yang ketiga adalah tahapan pelaporan. Setelah kajian sudah selesai disusun dengan turut mempertimbangkan pendapat dan masukan dari para stakeholders , naskah akademik yang telah disusun dan menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan kenaikan Harga Air Baku ini pun kemudian dilaporkan kembali kepada stakeholders. Tujuannya agar stakeholders mengetahui dengan jelas apa saja yang terdapat pada kajian dan isi kebijakan itu sendiri. Setelah tahap pelaporan ini selesai, tahap selanjutnya yang harus dilalui adalah tahap penyusunan peraturan walikota.

D. Tahap Penyusunan Peraturan Walikota

Tahap selanjutnya adalah tahap penyusunan peraturan walikota. Pada tahap ini, peraturan walikota yang sudah melewati tahap pembahasan aspek hukum dan legal drafting kembali melalui proses pembahasan (lokakarya ke-5) untuk dapat menjadi peraturan walikota. Setelah itu, barulah di lokakarya ke-6 peraturan walikota difinalisasi untuk kemudian disahkan.

Setelah tercapai kesepakatan mengenai Harga Air Baku (HAB), tahap selanjutnya adalah pembuatan draft peraturan walikota yang dibuat oleh BPLH, berkoordinasi dengan Bagian Hukum dan HAM. Mengenai pembahasan draft usulan peraturan walikota, Saptaji selaku Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah BPLH Kota Bandung menjelaskan bahwa dalam pembahasan tersebut terdapat beberapa bagian yang diubah dari draft peraturan walikota yang telah disusun sebelumnya, sebagaimana diungkapkannya berikut:

“Jadi itu kan dibahas oleh semua pihak yang terlibat, ada bagian-bagian yang diubah lagi. Disesuaikan ayat per ayat, didiskusikan. Tentang kenaikan harga air baku ini ketat sekali waktu itu. Kalau yang lain mah hanya perubahan kalimat, ditambah.. Kalau mengenai format hukum mah itu tugas Bagian Hukum dan HAM, gitu. ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Kendati Harga Air Baku (HAB) ini erat kaitannya dengan fungsi regulerend Pajak Air Tanah dalam usaha konservasi air tanah, Disyanjak selaku instansi yang notabene berhubungan langsung dengan pemungutan pajak di Kota Bandung terkesan kurang berperan dalam proses perumusan kebijakan kenaikan HAB. Hal ini dapat disimpulkan dari petikan wawancara dengan Barli Subarli selaku Koordinator Wilayah (KORWAL) Pajak Air Tanah Kota Bandung berikut:

“Saya sebenarnya kurang jelas ya karena yang lebih banyak menangani ini adalah di pihak BPLH, tapi yang saya lihat sih kan waktu itu Kota Bandung harga air baku masih Rp500 ya, kemudian sayang pada lingkungan, jadi dinaikkan. Sebenernya kalo kebijakan seperti itu sih ya, kan erat kaitannya dengan lingkungan, ini lebih ke ESDM dan BPLH. ESDM Provinsi ya. Kebanyakan kalau kita rapat ‘kan yang ada itu ESDM, BPLH, Disyanjak ngedengerin aja. Saya udah dua kali ikut. ” (Wawancara mendalam dengan Barli Subarli, Koordinator Wilayah (KORWIL) Pajak Air Tanah Dinas Pelayanan Pajak (Disyanjak) Kota Bandung)

Dari petikan wawancara dengan Barli tersebut, hal yang dapat ditangkap adalah sebenarnya pembuatan kebijakan di sektor Pajak Air Tanah di Kota Bandung lebih menekankan peran BPLH Kota Bandung selaku pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap kondisi lingkungan hidup Kota Bandung. Meskipun Pajak Air Tanah adalah lapangan kerja Dinas Pelayanan Pajak (Disyanjak) Kota Bandung, pada kenyataannya kebijakan terkait pelbagai komponen penghitungan Harga Dasar Air (HDA), yang notabene adalah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dalam penghitungan Pajak Air Tanah, lebih diserahkan kepada BPLH Kota Bandung. Disyanjak Kota Bandung lebih berperan dalam proses pemungutan dan administrasi Pajak Air Tanah di Kota Bandung, seperti yang diungkapkan oleh Barli Subarli, bahwa Disyanjak lebih menangani urusan tagihan pajak dan penghitungan pajak, sementara Nilai Perolehan Air (NPA) dimana di dalam penghitungannya juga termasuk komponen Harga Air Baku (HAB) ditentukan oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) dan setiap bulan didistribusikan kepada Disyanjak.

Sementara itu, peran Bagian Hukum dan HAM dalam proses penyusunan peraturan walikota ini adalah sebagai pihak yang berkewajiban mensinkronisasi antara usulan-usulan yang terkandung dalam draft peraturan walikota yang telah disusun oleh SKPD, dengan peraturan-peraturan yang berada di atasnya, seperti Peraturan Daerah, Undang-Undang, dan seterusnya, sebagaimana diutarakan oleh Aris Arifin, S.H., Aparat Bagian Hukum dan HAM Seksi Peraturan Perundang- Undangan Kota Bandung:

“Bagian hukum lebih ke sinkronisasi saja dengan peraturan yang lebih tinggi. Nah, di Perda Pajak Air Tanah, bagaimana amanat yang harus diatur di peraturan walikotanya itu. Nanti kita panggil, darimana dasar ini, kami kajiannya begini, begini, begini. Yaudah, kita tetapkan. Mensinkronkan dengan peraturan di atasnya, apakah ini bisa implementasi. Kita juga nanti jangan sampai ada pasal-pasal yang diimplementasikan susah. Makanya kita 'kan sharing dulu, sharing permasalahannya apa saja di lapangan. ” (Wawancara mendalam dengan Aris Arifin, S.H., Aparat Bagian Hukum dan HAM Seksi Peraturan Perundang-Undangan Kota Bandung)

Dalam meloloskan usulan SKPD untuk dapat ditindaklanjuti menjadi peraturan walikota, terdapat hal-hal yang diperhatikan oleh Bagian Hukum dan

HAM. Pada dasarnya, suatu usulan mengenai peraturan walikota yang diajukan oleh SKPD akan ditindaklanjuti oleh Bagian Hukum dan HAM sepanjang usulan itu sudah matang dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal usulan Perwal Kota Bandung No. 1241 Tahun 2013, semua usulan harus dipastikan sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku, yakni berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai air tanah dan pajak. Usulannya pun sudah matang sehingga Bagian Hukum dan HAM Kota Bandung kemudian melakukan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan lain terkait dengan air tanah dan pajak. Sinkronisasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan aspek yuridis. Pada kegiatan sinkronsisasi ini, Bagian Hukum dan HAM benar-benar mempertimbangkan apakah suatu usulan peraturan walikota tidak melenceng dari peraturan yang berada di atasnya. Selain itu, alasan-alasan atau poin-poin di dalam usulan itu sendiri juga menjadi bahan pertimbangan dan pertanyaan kepada SKPD yang bersangkutan. Lebih lanjut, Aris Arifin mengemukakan sebagai berikut:

“Kalau Bagian Hukum kita 'kan mempertimbangkan nih, aspek yuridis, ini 'kan memang amanat 'kan, jadi emang harus. Filosofisnya dan

sosiologisnya, 'kita juga tanya 'kan, kenapa bisa jadi angkanya segitu, ada perhitungan, nah itu dari BPLH. Karena itu pertimbangan teknis, pertimbangan teknis itu pasti kita tanyakan tapi bukan kapasitas kita untuk mengkaji. ” (Wawancara mendalam dengan Aris Arifin, S.H., Aparat Bagian Hukum dan HAM Seksi Peraturan Perundang-Undangan Kota Bandung)

Setelah proses sinkronisasi selesai, tahap selanjutnya dari proses pembuatan kebijakan ini adalah legal drafting. Legal drafting adalah proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan sesuai dengan tata cara penyusunan suatu produk hukum. Proses ini adalah proses yang menjadi tanggung jawab Bagian Hukum dan HAM Kota Bandung. Setelah proses ini berakhir, maka peraturan walikota dalam hal ini Peraturan Walikota Bandung No. 1241 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penghitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah telah selesai dirumuskan dan dapat dilanjutkan kepada tahap selanjutnya, yaitu pengesahan.

5.2. Kendala dalam Proses Perumusan Kebijakan

Dalam proses perumusan suatu kebijakan, tak jarang terdapat kendala- kendala yang menjadi batu kerikil penghambat perjalanan bagi suatu kebijakan

untuk menuju titik pengesahan. Dalam hal kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) sebagai upaya peningkatan fungsi regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung, terdapat banyak pihak yang terlibat dan masing-masing memiliki pandangannya sendiri mengenai kendala yang dihadapi selama proses perumusan kebijakan. Dari sisi Bagian Hukum dan HAM, misalnya, Aris Arifin mengaku tidak mendapati suatu kendala yang berarti dalam menjalankan proses penyusnan Peraturan Walikota No. 1241 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Bandung No. 107 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penghitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah ini. Menurutnya, memang tidak semua usulan dari SKPD dapat diloloskan untuk dijadikan peraturan walikota. Apabila arah pengaturan yang dijadikan pedoman dalam pembuatan usulan tersebut terkesan tidak jelas dan tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi, Bagian Hukum dan HAM tidak akan meloloskan usulan tersebut dan akan mengembalikannya kepada SKPD bersangkutan. Hal ini dibenarkan Aris melalui pernyataan berikut ini:

“Intinya, kalo produk hukum itu, kadang kita nggak meloloskan usulan dari SKPD. Nggak selalu kita loloskan apabila arah pengaturannya nggak

jelas. Ini arah pengaturannya kemana nih, ada beberapa produk perwal yang diajukan ke kita pengaturannya gak jelas mau diarahkan kemana dan setelah kita teliti ini arahnya tidak sesuai dengan aturan, nah itu kita kembalikan. ” (Wawancara mendalam dengan Aris Arifin, S.H., Aparat Bagian Hukum dan HAM Seksi Peraturan Perundang-Undangan Kota Bandung)

Menurut Aris, tidak ada kesulitan dan kendala yang berarti dalam proses penyusunan peraturan walikota ini sebab kebijakan yang termuat di dalam peraturan walikota ini pada dasarnya adalah amanat dari peraturan daerah yang kedudukannya lebih tinggi daripada peraturan walikota. Kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) yang termuat dalam Peraturan Walikota Bandung No. 1241 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Bandung No. 107 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penghitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah ini sudah memenuhi aspek yuridis dan aspek sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah kesesuaian isi peraturan walikota tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sementara itu, aspek sosiologis, menurut Aris, berkaitan dengan asas penguatan Menurut Aris, tidak ada kesulitan dan kendala yang berarti dalam proses penyusunan peraturan walikota ini sebab kebijakan yang termuat di dalam peraturan walikota ini pada dasarnya adalah amanat dari peraturan daerah yang kedudukannya lebih tinggi daripada peraturan walikota. Kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) yang termuat dalam Peraturan Walikota Bandung No. 1241 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Bandung No. 107 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penghitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah ini sudah memenuhi aspek yuridis dan aspek sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah kesesuaian isi peraturan walikota tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sementara itu, aspek sosiologis, menurut Aris, berkaitan dengan asas penguatan

Kebijakan ini tergolong kebijakan yang kontroversial, terlebih untuk Wajib Pajak air tanah dengan tingkat penggunaan air yang tinggi. Besar kenaikan yang tak main-main, yaitu 1000%, menimbulkan banyak protes yang bermunculan terutama dari pihak pengusaha. Saptaji selaku perwakilan dari pihak BPLH mengungkapkan bahwa pada saat mengadakan rapat pembahasan, BPLH sudah mengundang seluruh stakeholders yang memiliki kaitan dengan kebijakan tersebut, termasuk pula Wajib Pajak. Undangan tersebut memang tidak ditujukan untuk setiap Wajib Pajak Air Tanah di Kota Bandung, namun hanya wadah- wadah perhimpunannya saja, contohnya seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia. Kendala terdapat pada absennya penentu kebijakan dari pihak Wajib Pajak dalam rapat pembahasan tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Saptaji:

“Pada waktu kita membicarakan ini sama mereka, mereka “iya, iya, iya” saja, tapi setelah naik baru timbul gejolak. Gitu. Biasanya para pengusaha itu ketika kita undang, yang datang itu bukan penentu kebijakan. Misalkan perusahaan A, WP A, itu biasanya yang datang bagian HRD, atau apa, tapi bukan penentu kebijakan. Ya dia mah iya iya iya aja, tapi setelah kita tetapkan, nah baru mereka protes. ” (Wawancara dengan Saptaji, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung)

Keterangan dari Saptaji mengenai absennya penentu kebijakan dari pihak Wajib Pajak dibantah oleh Yudhi Permana, Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Jawa Barat. Seperti diketahui, PHRI adalah salah satu organisasi perhimpunan yang melayangkan protes terhadap kebijakan baru mengenai kenaikan Harga Air Baku (HAB) yang naik sebesar 1000% menjadi RP5.000,00 per meter kubik. Menurutnya, kenaikan ini Keterangan dari Saptaji mengenai absennya penentu kebijakan dari pihak Wajib Pajak dibantah oleh Yudhi Permana, Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Jawa Barat. Seperti diketahui, PHRI adalah salah satu organisasi perhimpunan yang melayangkan protes terhadap kebijakan baru mengenai kenaikan Harga Air Baku (HAB) yang naik sebesar 1000% menjadi RP5.000,00 per meter kubik. Menurutnya, kenaikan ini

“Sempat ada undangan sebelumnya, tapi itu sebulan sebelumnya. Saya ingat itu. Kalo nggak diajak banget itu ya nggak juga, ada undangan, tapi itu kesannya seperti formalitas. Kita udah nggak bisa apa-apa, jadi

kenanya ini tuh sosialisasi kenaikan pajak. Bukan… Judulnya harusnya bukan sosialisasi ya, harusnya sharing rencana akan dinaikkannya pajak air tanah. ” (Wawancara mendalam dengan Yudhi Permana, S.T., Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Jawa Barat)

Dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh pihak BPLH dan PHRI tersebut dapat terlihat perbedaan persepsi yang terjadi antara BPLH sebagai salah satu instansi yang berperan dalam membuat kebijakan, dengan PHRI selaku pihak dari Wajib Pajak. Di satu sisi, BPLH selaku instansi yang berwenang merasa bahwa pihaknya telah mengundang semua stakeholders yang memang diperlukan pendapatnya terkait dengan kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB), termasuk pula Wajib Pajak yang sudah barang tentu akan terkena dampak langsung dari diberlakukannya kebijakan tersebut. Akan tetapi, di sisi lain PHRI selaku Wajib Pajak tidak merasa bahwa pihaknya diajak untuk berkomunikasi dan berpendapat mengenai kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) sebesar 1000% yang sangat memberatkan ini. Pihak Wajib Pajak hanya merasa diundang untuk diberitahukan bahwa HAB di Kota Bandung mengalami kenaikan, tanpa bisa mnegeluarkan pendapat atau masukan mengenai kebijakan ini. Hal inilah yang membuat kekagetan dan kontra terjadi ketika kebijakan ini akhirnya resmi diberlakukan mulai bulan April 2014.

. Dalam kajian yang dibuat oleh LAPI ITB, diketahui informasi bahwa proses pembuatan kebijakan ini berlangsung sekitar empat bulan. Kebijakan kenaikan Harga Air Baku (HAB) di Kota Bandung ini diatur di dalam Peraturan Walikota Bandung No. 1241 Tahun 2013 yang disahkan pada tanggal 30

Desember 2013, ini berarti proses pembuatan kebijakan ini masih dalam range tahun 2013. Sementara itu, pengakuan Yudhi Permana, S.T., mengungkapkan bahwa undangan yang dilayangkan oleh BPLH hanya berselang satu bulan sebelum waktu kebijakan kenaikan Harga Air Baku resmi dilaksanakan. Kebijakan kenaikan Harga Air Baku ini mulai dilaksanakan pada bulan April 2014, artinya PHRI selaku Wajib Pajak diundang pada bulan Maret 2014, dimana pada saat itu Peraturan Walikota No. 1241 Tahun 2013 sudah disahkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memang Wajib Pajak tidak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan kenaikan Harga Air Baku di Kota Bandung. Wajib Pajak dalam hal ini hanya dilibatkan dalam proses sosialisasi, dimana BPLH mengundang Wajib Pajak untuk diberikan pengarahan dan informasi mengenai Harga Air Baku untuk air tanah dalam yang mengalami kenaikan sebesar 1000%, dari Rp500,00 menjadi Rp5.000,00 per kubik.

Dengan demikian, kendala yang terjadi dalam proses penyusunan Peraturan Walikota Bandung No. 1241 Tahun 2013 ini jika dilihat dari sudut pandang Wajib Pajak adalah minimnya kesempatan yang diberikan kepada Wajib Pajak untuk ikut serta dalam proses pembuatan kebijakan, padahal Wajib Pajak merasa partisipasi Wajib Pajak juga diperlukan dalam proses pembuatan suatu kebijakan karena merekalah nantinya yang akan mendapat pengaruh langsung dari adanya kebijakan tersebut. Mengenai permasalahan ini, penulis meminta pendapat dari Dr. Tjip Ismail, S.H., MBA., MM., selaku akademisi di bidang perpajakan daerah. Beliau mencontohkan mengenai pembuatan peraturan daerah, bahwa ketika rancangan perda pertama kali dibuat oleh pemerintah daerah, rancangan tersebut disampaikan kepada DPRD. Kemudian, terdapat tahap uji shahih dimana rancangan tersebutdisosialisasikan kepada para stakeholders termasuk kepada para pelaku usaha sebagai Wajib Pajak. Beliau berpendapat bahwa sudah seharusnya pendapat Wajib Pajak dilibatkan dalam proses penyusunan peraturan daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Tjip berikut ini:

“Tentunya harus berpengaruh. Tapi masing-masing kan punya kepentingan. Kabupaten kota punya kepentingan, pengguna air tanah

punya kepentingan. Tentunya harus ada kesetaraan. Ini kan yang pakai air tanah bukan hanya rumah tangga aja, pelaku usaha juga. Gede- gedean. ” (Wawancara mendalam dengan Dr. Tjip Ismail, S.H., MBA.,

MM., selaku akademisi) Melalui pernyataannya tersebut, Tjip mengakui bahwa pendapat Wajib

Pajak memiliki urgensi untuk didengar dan mempengaruhi kebijakan. Akan tetapi, beliau juga tidak menampik bahwa pasti ada perbedaan kepentingan antara pemerintah selaku pembuat kebijakan dan Wajib Pajak selaku pengguna air tanah. Wajib Pajak memiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhannya akan ketersediaan air bersih dalam jumlah yang melimpah dengan harga serendah mungkin , sebaliknya pemerintah memiliki urgensi untuk menekan volume pengambilan dan pemanfaatan air tanah dengan cara menetapkan besaran Harga Air Baku (HAB) setinggi mungkin agar Wajib Pajak tergerak untuk mengurangi pemakaian air tanah seiring dengan semakin tingginya Pajak Air Tanah yang harus mereka bayar atas pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang mereka lakukan.

Namun, berbeda halnya dengan proses pembuatan peraturan daerah yang juga melibatkan suara dari Wajib Pajak, peraturan walikota adalah produk hukum daerah yang sifatnya lebih kepada keputusan sepihak dari pihak eksekutif. Partisipasi dan pendapat Wajib Pajak tidak mutlak ada dalam proses penyusunan sebuah peraturan walikota, meskipun untuk mewujudkan prinsip good governance dalam tata kelola pemerintahan aspirasi Wajib Pajak sebaiknya dilibatkan. Akan tetapi, apabila dalam proses penyusunan Peraturan Walikota Bandung No. 1241 Tahun 2013 ini Pemerintah Kota Bandung tidak melibatkan partisipasi masyarakat, dalam hal ini Wajib Pajak, hal itu bukanlah suatu masalah. Dengan demikian, ketiadaan partisipasi Wajib Pajak yang dikeluhkan Wajib Pajak dan sempat menciptakan kontra di kalangan Wajib Pajak terhadap kebijakan kenaikan Harga Air Baku di Kota Bandung ini bukanlah sebuah kendala yang berarti. Dapat dikatakan, proses perumusan kebijakan kenaikan Harga Air Baku sebagai upaya peningkatan fungsi regulerend Pajak Air Tanah di Kota Bandung berjalan dengan lancar tanpa suatu kendala yang besar dan sulit untuk diatasi.

BAB 6 PENUTUP