Hasil Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis)

4.3. Hasil Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis)

Berdasarkan hasil analisis situasi dan wawancara dengan berbagai pihak/stakeholder maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang terkait dengan pengendalian dan penanganan TB di Kabupaten Kediri, yaitu:

4.3.1 Kemiskinan dan Pendidikan

Hambatan ini seperti yang disampaikan oleh KasiP2ML Kabupaten Kediri, Ibu Nur Munawaroh, M.Kes. sebagai berikut:

“Kita juga belum pernah mengadakan penelitian tentang itu ya, saya kalo menjawab nanti takut keliru, ya (hehehhe), ada dimungkinkan seperti itu,

karena apa, ya pola hidup mereka biasanya kalo miskin ya kurang higienis gitu ya. Termasuk rumah, misalnya rumah lantai dari tanah, kemudian tidak ada jendela dan lain-lain, tidak ada penerangan yang cukup, ada kemungkinan, tapi betul-betul terbukti itu pengaruh ndak, saya gak bisa jawab itu. Kan harus a da penelitian yang bener itu”.

Kepala Puskesmas Badas Kabupaten Kediri, dr Henny juga mengatakan bahwa kemiskinan dan pendidikan menjadi salah satu hambatan dalam penangan kasus TB.

“Memang angkat kemiskinan di sini itu banyak tapi karena juga jumlah peenduduknya juga banyak dibandingkan daerah lain. Kalau menurut data kabupaten angka penerima Jamkesmas banyak itu kalau menggunakan data itu. Tapi kita gag tau karena itukan kriteria BPS, namum Cuma dinilai jumlah memang banyak tapi kalau dirasio dengan jumlah penduduk itu yang belum pernah dilakukan ya. Kalau total penerima jamkesmas kita nomor 2 setelah tarokan. Dibandingkan jumlah penduduk itu belm pernah dilakukan.”

Hambatan ini seperti juga disampaikan oleh Bapak Munawar, tenaga penyuluh dan tenaga TB Puskesmas Plosoklaten Kabupaten Kediri, sebagai berikut:

“Dua-dunya berpengaruh sanitasi terkait dengan kemiskinan dan pendidikan juga. Iya. Polusi secara langsung ndak ngaruh, bagiamanapun yang menyebabkan sakit itu ya kuman TB kalau yang dipabrik itu kan yang masuk kan polusinya itu bukan kuman TB. Tapi ndak secara langsung berpengaruh juga. Dengan kondisi seperti itukan otomatis kesehatannya daya tahan tubuhnya ke paru-paru juga sehingga suatu saat kena kuman TB gampang berproses, kekebalannya kurang, itukan ndak secara langsung tapi batuk rokok itu kan yang sangat terkait dengan saya tahan tubuh, kan pas

tidurnya juga mudah kena “mudah-mudahan (hehehe) selalu jaga kesehatan”. Apalagi yang kerja dianu sering komunikasi, jadi rawan.”

Karena faktor pendidikan pula maka banyak masyarakat yang gengsi, malu, dan tidak percaya dengan pelayanan Puskesmas. Masalah ini seperti yang disampaikan oleh Bapak Munawar, tenaga penyuluh dan tenaga TB Puskesmas Plosoklaten Kabupaten Kediri, sebagai berikut:

“Memang begitu kenyataannya, sebagian masyarakat masih meragukan puskesmas, faktor gengsi, apa, ya kan dia tokoh, tokoh ekonomi atau tokoh apa gitu, puskesmas kan seperti itu, mempengaruhi juga. Status sosial ya, ya. Walaupun tidak semuanya tapi memang ada. Puskesmas murah, atau gratis itu ya kadang-kadang karena tidak paham maka justru disepelekan. Sebagiannya ada yang seperti itu. Justru dokter yang harganya rastusan ribu saja gak sembuh, apalagi yang puskesmas yang harganya murahan, obat apa itu. Ya karena gak paham, dengan bantuan kader-kader itu harapannya yang lebih banyak berkomunikasi dengan

masyarakat daripada petugas.”

Senada dengan Bapak Munawar, Kader TB ‘Aisyiyah Badas Ibu Siti Khotijah juga menemukan hal tersebut dalam kegiatannya. Berikut penuturan Ibu Siti Khotijah:

“Orangnya bilangnya gini. Aku gak jadi periksa karo Mbok Jah, aku weddi, mergo Puskesmas obatnya yo ngono kae, aku ate berobat nanggone swasta wae, mergo aku berobat nanggone swasta sekali minum langsung

penak.”

Secara tersirat, Kepala Puskesmas Badas Kabupaten Kediri, dr Henny juga menyetujui bahwa masyarakat sebagian masih ada yang malu atau gengsi, dengan mengatakan, “Hambatan malu mungkin iya tapi ini sudah lumayan banyak kita layani”.

4.3.2 Kuantitas dan Kualitas SDM Tenaga Kesehatan

Kondisi ini juga disadari sepenuhnya oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri dalam hal ini Kepala Seksi Penanggulangan Penyakit Menular Langsung

(P2ML), Ibu Nur Munawaroh, M.Kes., yang menyatakan bahwa rasio untuk tenaga kesehatan di Kabupeten Kediri memang belum ideal. Adapun penjelasan Ibu Nur Munawaroh, M.Kes. adalah sebagai berikut:

“Rasio untuk tenaga kesehatan, umumnya secara umum di kabupaten kediri itu, kalo saya denger-denger ya, karena saya tidak ikut mengevaluasi itu, kayaknya masih kurang gitu lo ya, utamanya dokter gitu ya, kayaknya gitu. Puskesmas itu, kalo dokter dijadikan kepala puskesmas, katanya sih, katanya aja, mestinya ada dokter kedua, nah itu kan kita banyak yang masih belum punya dokter kedua. Padahal dokter, satu orang dokter misalnya jadi kepala puskesmas gitu kan sibuk dengan kepala puskesmasnya. Sementara dokter keduanya belum ada. Itu yang dirasa di sini kayaknya. Tapi saya tidak ikut

mengevaluasi itu, karena bukan bagian saya”.

Pendapat Ibu Nur Munawaroh, M.Kes. juga disesuai dengan penuturan Bapak Munawar, seorang petugas dan tenaga penyuluh TB di Puskesmas Plosoklaten Kabupaten Kediri. Adapun penjelasan Bapak Munawar adalah sebagai berikut:

“Tenaga medis TB di Puskesmas Plosoklaten ada 1 dokternya sendiri sebagai penanggung jawab, terus ada perawat yang juga untuk program TB, terus Laborat. Laboratpun bukan laborat khusus tetapi untuk semua, termasuk untuk TB. Saya pun gak khusus TB”.

Namun, hal berbeda disampaikan oleh Bappeda Kabupaten Kediri yang menganggap bahwa rasio tenaga kesehatan sudah mencukupi karena telah disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang tersedia. Secara umum pelayanan terhadap pasien TB dirasa sudah cukup baik. Puskesmas telah memiliki sistem atau pola pelayanan yang baku, ada puskesmas yang telah memajang alur pelayanan sehingga dapat dibaca atau dilihat oleh masyarakat atau pasien, misalnya di Puskesmas Plosoklaten. Adapula puskesmas yang telah memiliki pola pelayanan baku atau tertata, namun belum tertulis. Petugas akan memberikan pengarahan atau penjelasan kepada para pasien di awal sehingga mereka akan mengetahui urut- urutan pelayan, dalam hal ini misalnya di Puskesmas Badas.

Akibat kualitas SDM yang belum maksimal maka muncul permasalahan yaitu masih ada dokter (terutama dokter praktek swasta) yang belum paham program DOTS. Permasalahan ini seperti yang disampaikan oleh Bapak Munawar, tenaga penyuluh dan tenaga TB Puskesmas Plosoklaten Kabupaten Kediri, sebagai berikut:

“Diantara kendala dalam penanganan TB yaitu program DOTS tidak semua petugas kesehatan memahami program itu. Bahkan dokter sendiri, dokter-dokter atau kilinik swasta, dan RS pun rumah sakit besar kalau tidak nyambung dengan program DOTS tidak akan kondusif untuk program TB. Contoh begini, ini ada dokter yang sebetulnya ramai prakteknya itu potensial diajak kerjasama tapi dia gak nyambung. Pernah ada pasien dibawa ke puskesmas, termasuk kesalahan saya Puskesmas tidak maksimal, sudah pernah berobat 6 bulan di tempat lain di Jombang sana kok masih terus terasa sakitnya. Akhirnya ke Puskesmas dicek ternyata masih ada kumannya, jadi sesuai program diobati lagi kategori 2 itu sudah pernah diobati tapi gak sembuh atau sudah pernah diobati lebih dari satu bulan itu namanya kategori 2. Itu kalau tidak sembuh itu tidak hanya mengulangi tapi 9 bulan terus 2 bulan yang pertama itu disertai suntik streptomicyn, nah waktu yang dari Jombang tadi saya cek ya mungkin ya karena takut, lo kok malah apa ya istilahnya males isitilah Jawa- nya “awang-awangan”. 9 bulan itu rasanya kayak apa apalagi ditambah suntik 2 bulan selama 2 bulan di awal. Itu akhirnya belum siap, akhirnya berobat ke dokter yang saya maksud tadi, akhirnya di sana dikomentari bahwa itukan obat kuno, itu dulu sudah itu kalau pengobatan kuno itu ya hancur bokongmu. Inikan karena gak nyambung, gak nyambung tenanan. Atau kalau nyambung itu dikomentari, itu betul itu anu diteruskan ditindaklanjuti saja itu lebih murah gratis, nanti di sini mahal, dokter itu seperti itu. Ya yang nyambung-nyambung itu dengan program DOTS itu langsung begitu ditemukan langsung dikirim balik ke Puskesmas. Nah yang seperti itu tu banyak, akhirnya diobati terus diganti

4 bulan. Setelah 4 bulan ternyata gak sembuh juga ya yang dikasi ternyata ya obat-obat yang sama dengan puskesmas. Mestinya setelah 4bulan fisik tidak kuat, dana juga tidak kuat kepuskesmas akhirnya baru menerima. Untuk meyakinkan saya kirim dulu ke rumah sakit ya di rumah sakit kan nyambung akhirnya dijelaskan di sana dijelaskan sama spesialisnya, akhirnya baru nyambung. Akhirnya dirujuka balik ke Puskesmas, akhirnya dia baru percaya dan akhirnya baru dimulai pengobatannya. Sampai akhirnya, sebenarnya rajin tapi akhirnya meninggal juga. Akhirnya diantara kendalanya ceritanya panjang tapi ribet kendalanya tidak semua petugas itu nyambung. Sehingga ada yang dari spesialis 3 bulan ada yang gak kuat dananya.”

Hal ini juga diakui dan disadari oleh Kasi P2ML Kabupaten Kediri, Ibu Nur Munawaroh, M.Kes, seperti yang digambarkan berikut:

“Memang ya, cuman sekarang itu TB itu kan, seperti peresepan dan lain- lain, itu kan tidak harus pakai regimennya/prosedurnya WHO, kalo pun toh pake regimen/prosedur yang lain atau itu istilahnya senada itu kan gak apa-apa, memang kalo dokter-dokter praktek swasta, yang dokter umum biasa itu kita agak susah, tapi kalo dokter spesial rasanya gak ya, jadi mereka misalnya dokter spesial itu memberi resep ini itu ya sudah mestinya sudah sesuai dengan regimen/prosedurnya WHO. Cuman yang “Memang ya, cuman sekarang itu TB itu kan, seperti peresepan dan lain- lain, itu kan tidak harus pakai regimennya/prosedurnya WHO, kalo pun toh pake regimen/prosedur yang lain atau itu istilahnya senada itu kan gak apa-apa, memang kalo dokter-dokter praktek swasta, yang dokter umum biasa itu kita agak susah, tapi kalo dokter spesial rasanya gak ya, jadi mereka misalnya dokter spesial itu memberi resep ini itu ya sudah mestinya sudah sesuai dengan regimen/prosedurnya WHO. Cuman yang

Akibat kualitas SDM yang belum maksimal pula maka sistem pemetaan dan evaluasi penyakit TB belum menyeluruh. Permasalahan ini seperti yang disampaikan oleh Kasi P2ML Kabupaten Kediri, Ibu Nur Munawaroh, M.Kes., sebagai berikut:

”Gak mengidentifikasi dari mana gitu, biasanya puskesmas yang tahu, itu kalo dana eh data di tempat kita kan langsung dari puskesmas ini puskesmas itu, tanpa alamat, ya ada alamatnya sih, tapi itu kan langsung dari puskesmas, yang tau dek Feni, tapi kan gak tau ke panti, kita gak. kalo puskesmas datanya ada malahan. Konon kabarnya sih, dari pesantren, pondok-pondok pesantren, konon kabarnya banyak. Tapi saya ndak bisa memastikan benar ndaknya. Karena data yang ada ditempat kita itu, tidak tidak disendiri- sendirikan. Gitu lo ya. Kalo puskesmas mungkin bisa menjawab itu. Misalnya puskesmas yang punya pesantren itu mojo misalnya. Banyak gak pak yang dari sana, gitu ya.

Lebih lanjut Ibu Nur Munawaroh, M.Kes. menyampaikan sistem evaluasi dalam penanganan TB di Kabupaten Kediri, sebagai berikut:

Jadi gini sebenarnya Tb itu kan selalu kita cari ya dik, sebenarnya yang paling banyak dimana itu kita ga bisa jawab, masalahnya begini itu tergantung dari kinerja petugas juga iya kalau kinerja petugasnya itu bagus kemungkinan mendapatkan banyak dalam artian kalau yg pasiennya sedikit itu belum tentu disitu bahwa tidak ada pasien ada kemungkinan kinerja petugasnya yang kurang baik, ya selama ini yang cakupannya bagus itu pare, nah ini kan, akhirnya kan begini misalnya puskesmas pare itu bagus padahal

1 kecamatan itu kan ada 3 puskesmas Pare, Sidorejo, sama Bendo. Tapi sidorejo kenapa buruk cakupannya padahal ini kan daerahnya kan tidak jauh beda malah pare itu kan daerahnya lebih kota kan gitu ya, kenapa sidorejo buruk nah ini ada kemungkinan kinerjanya tadi, Mojo juga gitu, Mojo itu selalu bagus tapi ngadi tidak begitu”.

4.3.3 Akses Masyarakat terhadap Layanan Kesehatan

Permasalahan ini seperti yang disampaikan oleh Kasi P2ML Kabupaten Kediri, Ibu Nur Munawaroh, M.Kes. sebagai berikut:

“Daerah Semen itu ada yang daerah plosok memang, jadi di tempat kita itu yang punya daerah-daerah rawan itu daerah wilayah puskesmas mojo, wilayah puskesmas Semen, kemudian Tarokan, Grogol itu punya daerah- daerah yang terpencil, kayak terpencil gitu lah. Susah dijangkau. Jadi sepeda

motor aja susah. Itu masih ada daerah Kediri yang seperti itu.”

(Pertanyaan: bagaimana dengan Puskesmas keliling?) “Kalo puskesmas keliling ada mas, tapi kadang-kadang ada yang tidak bisa menjangkau. Jadi petugas bidan, atau petugas lainnya naik motor. Kalo naik motor sudah tidak bisa ya jalan kaki. Saya pernah ke ruamahnya ODHA itu jalan kaki pernah, jadi mobil ditaruk diparkir di puskesmas karena yakin bahwa nanti naiknya mobil ndak bisa akhirnya naiknya pakai motor. Tapi untuk ke rumah ODHA itu harus jalan kaki. Kusta juga pernah seeperti itu.”

(Pertanyaan: kira-kira di sana ada kasus TB?) “Ada mestinya ada. Kusta ada di sana. Saya gak bisa menjawab dengan

pasti karena saya gak ngeliat satu persatu. Yang tau puskesmas mas itu., ya. kalo tanya puskesmas misalnya puskesmas Mojo mestinya tau. Atau misalnya kalo data puskesmas ada di sini, Per ininya ya ada. Coba tannya dek Feni aja, atau sms Dek Feni aja, ada gak yang plosok atau daerah- daerah yang plosok yang terpencil. Tapi mestinya ada, kusta juga ada, HIV juga ada. Cuman kebetulan TB itu saya masih belum pernah kunjungan untuk TB, karena semua sudah saya serahkan ke dek Feni. Terus TB ini anu, apa namanya, TB itu sebenarnya e menangangani pasiennya itu lebih mudah daripada yang kusta atau yang HIV. Karena TB itu kan untuk stigma dan diskriminasinya kan sudah, sudah kayaknya gak masalah. Gitu lo. Tapi kalo kusta dan HIV itu masih perlu, ya, perlu penanganan khusus untuk itu. TB malah orang, meskipun penularannya begitu mudahnya orang kan gak begitu takut, jadi lebih mudah penannganannya. jadi puskesmas, kecuali yang MDR ya. Kecuali orang MDR. MDR memang kita perorang itu kita pantau dari kabupaten. Termasuk HIV juga gitu, orang perorang kita pantau. Kusta karena kasusnya sedikit juga orang perorangnya kita tahu. Tapi kalo untuk TB diserahkan di Puskesmas dan dirujuk ke Rumah Sakit bahan sampai di handle Rumah Sakit Dr SutomoSurabaya. Kita pilih ke Surabaya

karena transportasi lebih mudah daripada ke Malang.”

Namun permasalahan akses atau jarak bukan menjadi hambatan di Badas Kabupaten Kediri, seperti yang disampaikan Ibu dr. Henny Kepala Puskesmas Badas, sebagai berikut:

“Kalau aksesnya ndak yang kesulitan. Kita punya kader posyandu juga, biasanya mereka ke kader posyandu dulu kemudian langsung ke kita”.

4.3.4 Anggaran TB

Dana penanganan TB yang di tingkat Puskesmas sebenarnya sudah tidak menjadi hambatan karena semua bentuk pelayanan TB sudah gratis, ini sesuai dengan pejelasan Bapak Munawar sebagai berikut:

“Gratis, termasuk pemeriksaan-pemeriksaan dahaknya itu. Kalo obat semua melalui dinas kesehatan.. kita sistemnya bon gitu.. kalo puskesmas kan gak ada, terkait anggaran kan mungkin terkait tingkat atas, tapi kita kan ketika

obat habis, bon gitu”.

Hal yang sama juga disampaikan oleh dr. Henny selaku dokter yang bertugas di Puskesmas Badas, beliau menyampaikan sebagai berikut:

“Semua pelayanan TB gratis dan Anggran semuanya dari dinas”

Dari penjelasan Bapak Munawar dan dr. Henny dapat simpulkan bahwa segala bentuk pemeriksaan dan pengobatan yang berkaitan dengan TB tidak dipungut biaya “Gratis” karena semuanya sudah dibiayai oleh Dinas Kesahatan Kabupaten Kediri. Selain dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kediri melalui Dinas Kesehatan, penanggulangan penyakit TB juga mendapatkan pendaan dari Global Fund. Namun dalam hal informasi anggaran pendaan TB secara pasti peneliti mendapatkan kendala sepeti yang disampaikan oleh Ibu Nur Munawaroh, M.Kes sebagai berikut:

“Saya ndak punya, saya punyanya hanya untuk seksi saya dan untuk TB aja, gitu. Berapa persennya dari seluruh, saya gak tahu. Kayaknya sudah dikasi sama dek Feni, saya gak hafal, ya , sudah dikasi sama dek feni, ya itu, saya malah gak hafal saya, yang jelas sudah dikasikan dek feni. Ada, jelas ada. Kita mau beli mikroskop, banyak ini yang uang 4 M itu, kita minta mikroskop dan minta sentrifuge untuk HIV dan mikroskop untuk TB, semua puskesmas sama bapak kepala dinas diminta untuk dikasi. Selama ini cukup (obat). Dari global fund (dana). Terserap. Terserap ya. Cuman ini Pak Kus-

nya kan meninggal ya, jadi kayaknya yang tahun 2014 ini masih belum”.

Dari pernyataan Ibu Nur Munawaroh, M.Kes dapat disimpulkan bahwa terkait pendanaan beliau terlibat dalam mengevaluasi penggunaan anggaran namun tidak hafal persentase anggaran TB dari total ABPD Kabupaten Kediri. Semua dana yang dianggarkan pada tahun sebelumnya sudah terserap semua, termasuk anggaran yang berasal dari Global Fund. Namun hal ini terkecuali anggaran pada tahun 2014 yang masih terkendala karena penaggungjawab Global Fund Provinsi jawa Timur meniggal dunia.

Namun demikian, dana untuk sosialisasi TB dirasa masih kurang cukup, sehingga dapat dikatakan sebagai hambatan, misalnya untuk pembuatan spanduk. Ibu Nur Munawaroh, M.Kes menjelaskan bahwa terkadang dana untuk pembuatan spanduk tidak banyak sehingga pembuatannya hanya beberapa dan penyebarannya tidak merata. Hal ini tercermin dalam penuturannya sebagai berikut:

“Kemudian yang diadakan oleh dinas kesehatan kita pasang di jalan-jalan besar. Karena kita gak selalu banyak dananya. Kalo misalnya hanya bisa membuat 5 ya kita pasang 5, disini, ya di garuda biasanya di Pare itu, atau pertigaan yang bundaran Pare itu, ya di sana, terus daerah Purwoasri, bia sanya di situ, di daerah Ngadiluwih..”

Pengobatan untuk penderita TB di Kabupaten Kediri memang bersifat gratis, sama dengan daerah-daerah lain. Anggaran atau dana yang ada digunakan untuk mengoptimalkan sosialisasi, menyediakan berbagai fasilitas penunjang pengobatan TB, pelatihan-pelatihan dan penyuluhan, dan subsidi bagi kader yang giat mencari atau mendeteksi para penderita. Akibat terbatasnya dana yang dianggarkan maka setiap tahunnya temuan kasus TB paru baru di Kabupaten Kediri maksimal hanya 59% dari yang diperkirakan. Angka temuan untuk TB anak, Tb MDR, dan TB-HIV malah sangat sedikit.

untuk optimalisasi penanggulangan TB yang idealnya diprioritaskan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri, dalam hal ini Bidang Penanggulangan Penyakit Menular Langsung (P2ML) semestinya memberi dampak berupa semakin meningkatnya jumlah kasus TB yang terungkap dan tertangani. Adanya kebijakan bahwa pasien TB digratiskan seluruhnya mendorong masyarakat untuk memeriksakan diri ke Puskesmas apabila mengalami gejala-gejala mirip TB.

Adanya kebijakan

peningkatan

anggaran

4.3.5 Kemitraan Dalam pengendalian TB, Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri terkesan sebagai pemain tunggal. Belum begitu tampak peran lembaga-lembaga lain dalam pemerintahan daerah terkait dengan TB. Sejauh ini belum ada Lembaga Swadaya Masyarakat lokal yang khusus bergerak untuk membantu menangani masalah TB. Beberapa LSM yang ada di Kabupaten Kediri hanya terkait dengan HIV-AIDS. Namun, ada 2 organisasi kemasyarakatan yang aktif membantu penanggulangan TB yaitu Aisyiyah dan LKNU (Lembaga Kesehatan Nahdhatul Ulama). Sayangnya, jangkauan kerja kedua ormas tersebut hanya 8 kecamatan dari 26 kecamatan yang ada (Aisyiyah 4 kecamatan, yaitu Badas, Plosoklaten, Gurah, dan Kandat serta LKNU 4 kecamatan, yaitu Wates, Kras, Ngadiluwih, dan Gampengrejo). Adanya kebijakan pemberian ruang kerja kepada kader TB dari ormas mendorong semakin banyaknya kasus yang terungkap dan meningkatkan 4.3.5 Kemitraan Dalam pengendalian TB, Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri terkesan sebagai pemain tunggal. Belum begitu tampak peran lembaga-lembaga lain dalam pemerintahan daerah terkait dengan TB. Sejauh ini belum ada Lembaga Swadaya Masyarakat lokal yang khusus bergerak untuk membantu menangani masalah TB. Beberapa LSM yang ada di Kabupaten Kediri hanya terkait dengan HIV-AIDS. Namun, ada 2 organisasi kemasyarakatan yang aktif membantu penanggulangan TB yaitu Aisyiyah dan LKNU (Lembaga Kesehatan Nahdhatul Ulama). Sayangnya, jangkauan kerja kedua ormas tersebut hanya 8 kecamatan dari 26 kecamatan yang ada (Aisyiyah 4 kecamatan, yaitu Badas, Plosoklaten, Gurah, dan Kandat serta LKNU 4 kecamatan, yaitu Wates, Kras, Ngadiluwih, dan Gampengrejo). Adanya kebijakan pemberian ruang kerja kepada kader TB dari ormas mendorong semakin banyaknya kasus yang terungkap dan meningkatkan

Uraian tersebut di atas dapat diringkas dalam sebuah diagram alur analisis kausalitas masih tingginya kasus penderita TB di Kabupaten Kediri, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9 berikut.

Gambar 9. Diagram Alur Analisis Kausalitas TB di Kabupaten Kediri

Berbagai uraian analisis akar masalah terkait dengan TB di Kabupaten Kediri di atas dan diagram alur analisis kausalitas TB di Kabupaten Kediri dapat disederhakan dan sekaligus dicari solusi terhadap masalah tersebut, sesuai dengan Tabel 30 berikut ini.

Tabel 30. Hasil Analisis Akar Masalah Terkait dengan TB di Kabupaten Kediri

Akar Masalah 2 dan Alternatif No

Akar Masalah 1 dan Alternatif

Masalah

Solusi Anggaran

Solusi

Akar masalah:

Akar masalah:

Kesehatan /

Dana untuk kesehatan masih 1 Anggaran TB untuk penanggulangan TB

Masih kecilnya dana operasional

tersebar di dinas-dinas yang lain

rendah

(anggaran kesehatan sebagian besar Solusi:

(Dana)

untuk belanja tidak langsung/gaji)  Pemenuhan dana dinas Solusi:

kesehatan yang sesuai dengan  Optimalisasi penyerapan dana

ketentuan UU kesehatan penanggulangan TB disertai

(minimal 10%). pemantauan berjenjang sehingga

 Dana kesehatan tidak disebar ke tepat sasaran dan memberikan

dinas-dinas lain untuk hasil maksimal

mengoptimalkan kinerja,  Pelibatan pihak swasta, lembaga

mengurangi pembengkakan donor, organisasi

anggaran, dan tumpang tindih kemasyarakatan-keagamaan, dan

program. lembaga donor asing.

 Perencanaan anggaran yang  Optimalisasi penggunaan

disesuaikan dengan target Jamkesmas dan Jamkesda

pelayanan kasus ksehatan  Optimalisasi penyerapan dana

(termasuk TB) Bantuan Operasional Kesehatan

dari Pusat dan Provinsi Akar masalah:

Akar masalah: Masih banyaknya masyarakat yang

Belum efektifnya upaya berada di bawah garis kemiskinan

penanggulangan kemiskinan yang Solusi:

dilakukan Pemerintah Daerah  Meningkatkan jumlah masyarakat Solusi: miskin yang menerima

 Tidak sinkronnya data dan Jamkesmas, Jamkesda, dan

standart penetapan jaminan sosial masyarakat

kemiskinan antara BPS lainnya

dengan Pemda, khususnya  Adanya pendampingan terkait

Bappeda, Dinsos, dan Dinkes, sistem sanitasi lingkungan

sehingga tidak ada data pasti pemukiman atau gaya hidup

tentang angka kemiskinan bersih dan sehat

yang berdampak pada  Pelibatan lembaga sosial

kebijakan dan penganggaran kemasyarakatan dan keagamaan

yang dilakukan. dalam upaya penyadaran

 Meningkatkan lapangan masyarakat.

pekerjaan dengan membuka  Pelibatan lembaga-lembaga

lowongan pekerjaan yang pendidikan melalui bakti sosial,

bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan,

2 Kemiskinan turun desa, bedah kampung, dan

KKN optimalisasi peran BLK, pencairan kredit yang mudah, dan adanya stimulus usaha yang sesuai dengan latar belakang masyarakat secara umum.

 Peningkatan kerjasama dengan lembaga donor dalam upaya penanggulangan kemiskian.

 Peningkatan peran lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga keagamaan, dan perguruan tinggi dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

 Adanya kerjasama lintas sektor dan lintas dinas dalam penanggulangan kemiskinan.

 Adanya penyamaan visi dan misi serta standar yang digunakan

Pendidikan

3 Akar masalah: Akar masalah: Pendidikan Angka masyarakat yang tidak

Masyarakat tidak mampu masih rendah sekolah tinggi, sebagian besar

mengakses pendidikan tinggi mengakses pendidikan tinggi

Solusi:

yang tamat PT hanya 4%  Perlunya implementasi wajib Solusi:

belajar 12 tahun  Meningkatkan kerja pendidikan

 Meningkatkan kuantitas dan informal (kejar paket)

kualitas perguruan tinggi  Menyediakan balai-balai

lokal di Kabupaten Kediri pelatihan dan penyuluhan

 Meningkatkan alokasi  Meningkatkan peran organisasi

beasiswa dari APBD ataupun kemasyarakatan dan keagamaan

dari pihak swasta sehingga pengetahuan

 Meningkatkan kerjasama masyarakat bertambah.

dengan universitas terbuka  Meningkatkan kerjasama dengan universitas-universitas di Kediri dan di Jawa Timur.

Akar masalah: Akar masalah: Kesan yang dimunculkan oleh

Masih rendahnya sistem promosi Puskesmas dan tenaga kesehatan

pelayanan prima puskesmas kurang baik dan kurang profesional Solusi: Solusi:

 Optimalisasi sistem promosi Banyak

 Peningkatan performa pelayanan dengan melibatkan tenaga yang masyarakat

Puskesmas dan performa tenaga dimiliki, menggunakan sistem yang Gengsi

kesehatan/ promosi yang handal, modern, dan Tidak

 Pembenahan sistem pelayanan di dan menyeluruh, dan Percaya

Puskesmas untuk menghilangkan melibatkan berbagai tenaga dengan

kesan kumuh, tidak profesional, yang potensial seperti dokter Pelayanan

dan tidak berkelas. puskesmas, petugas puskesmas, Puskesmas.

 Renovasi unit-unit pelayanan kader-kader, ibu-ibu PKK, yang berhubungan langsung

aparat kecamatan dan desa, dengan masyarakat

lembaga pendidikan, dan LSM.  Adanya kebijakan dinas kesehatan untuk mengangkat citra puskesmas

Akar masalah: Akar masalah: Masih banyaknya masyarakat yang

Letak geografis yang jauh dan sulit untuk menjangkau atau

infrastruktur yang belum merata menikmati layanan puskesmas

Solusi:

Solusi:  Peningkatan kuantitas dan  Peningkatan kuantitas dan

kualitas pelayanan kesehatan kualitas Puskesmas Keliling

terutama peningkatan  Adanya program pelayanan

kuantitas puskesmas jemput bola sampai ke pelosok-

pembantu di daerah-daerah

4 Aksessibilitas

pelosok desa rawan.  Optimalisasi peran posyandu

 Pembangunan jalan yang dan polindes

merata di semua daerah  Pelibatan LSM dan kader-kader

Kabupaten Kediri. kesehatan

 Adanya sistem zonasi pelayanan sistem rujukan berdasarkan letak geografis, kemudahan-kesulitan akses, dan potensi kasus.

Kuantitas dan kualitas SDM bidang kesehatan

Akar masalah: Akar masalah: Masih rendahnya rasio pelayanan

Sistem perencanaan peningkatan Rasio

kesehatan atau tidak sesuai dengan rasio pelayanan kesehatan masih 5 pelayanan

target nasional yang ditetapkan belum tertata kesehatan

pemerintah

Solusi:

yang masih Solusi:  Penyusunan rencana kerja rendah

 Pembangunan pusat-pusat pembangunan daerah (RKPD) pelayanan kesehatan yang baru

dengan data yang terbaru, riil sesuai di lapangan, dan

 Peningkatan kerjasama dan dengan analisis yang tajam. pelibatan pelayanan kesehatan

 Adanya sistem analisis SWOT swasta

secara menyeluruh dan jujur  Perekrutan tenaga kesehatan

 Adanya sistem evaluasi secara berkala sesuai kebutuhan

menyeluruh dengan melibatkan bidang-bidang dan dinas yang bersinggungan langsung dengan masalah kesehatan.

Akar masalah: Akar masalah: Tidak terhubung dengan Program

Sosialisasi Program pada RS atau DOTS

klinik Swasta kurang. Solusi:

Solusi:

 Sosialisasi yang intensif dan  Sosialisasi yang intensif dan berkesinambungan dengan dokter

berkesinambungan dengan Masih ada

swasta melalui forum-forum RS/klinik swasta melalui dokter Dinkes, IDI, dan Perguruan

forum-forum formal ataupun (terutama

Tinggi Kesehatan informal. dokter praktek  Pemberian peran dokter swasta  Pemberian peran RS-RS atau swasta) yang

belum paham dalam Strategi Nasional klinik swasta dalam Strategi Penanggulangan TB

Nasional Penanggulangan TB program

DOTS.  Adanya Perda, SOP yang jelas,

 Adanya Perda, SOP yang jelas, dan standar baku yang harus

dan standar baku yang harus ditaati dokter swasta dalam

ditaati RS-RS atau klinik penanganan TB

swasta dalam penanganan TB  Adanya kemitraan antara Dinkes

 Adanya kemitraan antara atau Puskesmas dengan Dokter-

Dinkes atau Puskesmas dengan dokter praktek Swasta

RS atau klinik swasta Akar masalah:

Akar masalah: Tenaga kesehatan belum

Kabupaten Kediri tidak termasuk memahami sepenuhnya tentang

daerah yang mendapatkan mekanisme pencataan kasus TB,

pelatihan

sistem pemetaan, dan sistem

Solusi:

Belum adanya evaluasi kasus secara menyeluruh

 Mengusulkan kepada Dinas pemetaan Solusi: secara

Kesehatan Provinsi dan  Peningkatan kompetensi tenaga

Departemen Kesehatan agar maksimal dan

belum adanya kesehatan dalam pencataan kasus Kabupaten Kediri mendapatkan TB (semua jenis TB), sistem

prioritas seperti 12 daerah sistem

evaluasi pemetaan, dan sistem evaluasi

lainnya.

kasus secara menyeluruh melalui menyeluruh

 Peningkatan kuantitas dan terhadap TB

diklat-diklat, penyuluhan- kualitas kerjasama dengan penyuluhan, atau kursus-kursus.

lembaga-lembaga donor untuk  Pembuatan juklak, panduan, atau

memaksimalkan kinerja dinas buku pegangan yang dapat

kesehatan khususnya terkait menjadi rujukan oleh semua

dengan penanggulangan TB petugas kesehatan Akar masalah:

Akar masalah: Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri

Kemitraan belum terjalin secara masih menjadi pemain tunggal

baik dan pola pelibatan berbagai dalam pemberantasan TB

stakeholder tidak diatur oleh Solusi:

payung hukum/peraturan yang  Peningkatan sosialisasi

jelas

penanggulangan TB.

Solusi:

6 Kemitraan

 Percepatan koordinasi dan  Adanya Perda atau kebijakan pembentukan jejaring

lainnya tentang strategi bersama penanggulangan TB berbasis

(jejaring) pemberantasan TB di multistakeholder di Kabupaten

Kabupaten Kediri yang Kediri.

melibatkan peran  Kampanye TB masalah kita

multistakeholder.  Adanya kepedulian berbagai multistakeholder.  Adanya kepedulian berbagai

dinas terkait, swasta dan

 Dinas Kesehatan harus membuka

masyarakat untuk bersama-

diri seluas-luasnya untuk

sama memerangi TB dengan

memudahkan akses berbagai

atau tanpa diminta (TB harus

pihak yang memiiki kepedulian

dianggap sebagai masalah

dalam penanggulangan TB.

semua pihak sehingga harus

 Evaluasi secara berkala,

ditanggulangi secepat mungkin

menyeluruh, dan sistematis, yang

tanpa harus menunggu adanya

melibatkan semua komponen.

kebijakan)