Hasil Analisis Stakeholders dan Analisis Kesenjangan Kapasitas

4.4. Hasil Analisis Stakeholders dan Analisis Kesenjangan Kapasitas

Kompleksitas permasalahan TB di Kabupaten Kediri memerlukan penanganan yang terpadu, semua stakeholders yang terkait dengan bidang kesehatan perlu bekerja bersama-sama, saling bantu membantu, bersinergi dan berkomunikasi lintas deparrtemen sesuai dengan tupoksi masing-masing, sehingga dapat menangani permasalahan TB di Kabupaten kediri secara holistik dan terintegrasi.

Analisis Stakeholders merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui institusi yang berperan dan besarnya peranan institusi pada suatu program yang dikembangkan (Bryson, 2003). Pada Analisis Situasi ini analisis stakeholders digunakan untuk mengetahui kepentingan dan peranan masing-masing pemangku kepentingan dan wewenang mereka dalam penanggulangan penyakit TB di Kabupaten Kediri. Keberhasilan penanganan penyakit TB di Kabupaten Kediri sangat tergantung dengan banyak fihak dan juga bergantung pada pemahaman institusi, minat, dan hubungan antar institusi yang ada di Kabupaten Kediri.

Peran masing-masing stakeholder dalam pemberantasan TB akan diuraikan secara komperehensif satu persatu-persatu, sebagai berikut.

4.4.1 Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri

Indonesia Nomor 565/MENKES/PER/III/2011 Tentang Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011-2014 Pasal 5 menegaskan bahwa dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah kabupaten/kota memiliki berbagai peran, yaitu a) perencanaan di tingkat kabupaten/kota; b) mendorong ketersediaan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia; c). membantu pengadaan dan distribusi obat, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya yang diperlukan; d). koordinasi dan kemitraan kegiatan pengendalian tuberkulosis dengan institusi terkait; e). monitoring, evaluasi, dan bimbingan teknis kegiatan pengendalian tuberkulosis; f). koordinasi dan kemitraan kegiatan pengendalian tuberkulosis

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik Republik

Selanjutnya dalam buku panduan Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011-2014 (Ditjen PP & PL, 2011a) ditegaskan komitmen pemerintah daerah bahwa dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah daerah. Alokasi APBD untuk pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan tingginya pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Pembiayaan program TB saat ini masih mengandalkan pendanaan dari donor internasional dan alokasi pendanaan pemerintah pusat untuk pengadaan obat. Alokasi anggaran pengadaan obat ini menurun dalam beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan stock-out. Rendahnya komitmen politis untuk pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB. Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah.

Khusus di Kabupaten Kediri, Dinas Kesehatan setempat telah memiliki komitmen dalam pengendalian atau pemberantasan TB meskipun tentu harus ditingkatkan. Dinas Kesehatan, khususnya Bidang Penanggulangan Penyakit Menular Langsung telah berupaya melakukan 1) perencanaan, 2) melakukan pengadaan dan distribusi obat, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya yang diperlukan, 3) monitoring, evaluasi, dan bimbingan teknis kegiatan pengendalian tuberkulosis; dan 4) pencatatan dan pelaporan. Upaya tersebut secara jelas akan kita temukan setelah mempelajari Profil Kesehatan Kabupaten Kediri yang diterbitkan setiap tahun (dalam hal ini minimal dapat dilihat tahun 2011, 2012, dan 2013).

Namun demikian, dalam pengendalian TB Dinas Kesehatan terkesan sebagai pemain tunggal. Belum tampak sama sekali peran lembaga-lembaga lain dalam pemerintahan daerah terkait dengan TB. Oleh karena itu, koordinasi dan kemitraan kegiatan pengendalian tuberkulosis dengan institusi terkait sangat mendesak dan perlu segera dilakukan. Idealnya, institusi pemerintah daerah yang seharusnya memiliki peran besar dan ikut andil dalam pengendalian TB adalah Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kediri, dan SKPD lain yang terkait. Koordinasi dan kemitraan harus diintensifkan Namun demikian, dalam pengendalian TB Dinas Kesehatan terkesan sebagai pemain tunggal. Belum tampak sama sekali peran lembaga-lembaga lain dalam pemerintahan daerah terkait dengan TB. Oleh karena itu, koordinasi dan kemitraan kegiatan pengendalian tuberkulosis dengan institusi terkait sangat mendesak dan perlu segera dilakukan. Idealnya, institusi pemerintah daerah yang seharusnya memiliki peran besar dan ikut andil dalam pengendalian TB adalah Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kediri, dan SKPD lain yang terkait. Koordinasi dan kemitraan harus diintensifkan

Koordinasi dan kemitraan juga harus dimaksimalkan dengan organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, LSM, dan dunia usaha. Selama ini Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri telah menjalin kemitraan dengan Lembaga Kesehatan Nahdhatul Ulama (Program CEPAT), dan ‘Aisyah-Muhammadiyah (Program TB Care). Capaian masih minimal, mengingat luas daerah jangkauan masih terbatas dan waktu kegiatan masih relatif baru. Dua ormas tersebut menggunakan dana yang berasal dari lembaga donor. Mengingat dana yang ada hanya bersifat stimulant, maka perlu komitmen lebih dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri terkait dengan dana. Anggaran harus ditingkatkan dan dimaksimalkan.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri masih perlu meningkatkan upaya mendorong ketersediaan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Sumberdaya manusia yang terkait dengan pengendalian TB di Kabupaten Kediri masih sangat terbatas, baik dalam kualitas maupun kuantitas. Kesenjangan kualitas dan kuantitas SDM di Kabupaten tersebut masih sangat lebar sehingga memerlukan investasi yang cukup besar untuk memenuhi persyaratan ketenagaannya. Oleh karena itu, perlu segera mengambil berbagai kebijakan dan langkah-langkah strategis yang cepat dan tepat. Inilah sebenarnya titik yang menegaskan mengapa kemitraan dan kesamaan persepsi dengan dinas lain khususnya Bappeda Kabupaten Kediri menjadi sangat perlu dan penting.

4.4.2 Bappeda

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) sebagai pihak yang merencanakan berbagai kebijakan pembangunan, perencanaan alokasi anggaran, dan berbagai kebijakan lain memiliki peran strategis dalam upaya pengendalian atau pemberantasan TB di Kabupaten Kediri. Perencanaan dan penetapan alokasi anggaran yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan pengendalian TB akan meningkatkan upaya cakupan penanganan penderita TB sekaligus pemberantasan TB di Kabupaten Kediri. BAPPEDA perlu berkoordinasi secara intens dengan dinas terkait khususnya Dinas Kesehatan terkait dengan program yang akan dilaksanakan dan anggaran yang direncanakan sehingga target yang dicanangkan akan tercapai dengan maksimal. Sejauh ini BAPPEDA sudah memiliki kepedulian atau perhatian terhadap penyakit TB, namun demikian melihat Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) sebagai pihak yang merencanakan berbagai kebijakan pembangunan, perencanaan alokasi anggaran, dan berbagai kebijakan lain memiliki peran strategis dalam upaya pengendalian atau pemberantasan TB di Kabupaten Kediri. Perencanaan dan penetapan alokasi anggaran yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan pengendalian TB akan meningkatkan upaya cakupan penanganan penderita TB sekaligus pemberantasan TB di Kabupaten Kediri. BAPPEDA perlu berkoordinasi secara intens dengan dinas terkait khususnya Dinas Kesehatan terkait dengan program yang akan dilaksanakan dan anggaran yang direncanakan sehingga target yang dicanangkan akan tercapai dengan maksimal. Sejauh ini BAPPEDA sudah memiliki kepedulian atau perhatian terhadap penyakit TB, namun demikian melihat

4.4.3 Dokter Praktik Swasta, RS Swasta, dan Balai Pengobatan Swasta.

Harus diapresiasi bahwa saat ini telah banyak dokter swasta, RS swasta, dan balai pengobatan swasta di Kabupaten Kediri yang telah memberikan layanan DOTS. Program ini sangat bagus karena dapat bersinergi mendukung program kerjasama pengendalian TB. Kedepannya dokter swasta, RS swasta, dan balai pengobatan swasta harus lebih banyak yang terlibat. Saat yang menjadi kendala atau hambatan utama adalah masih banyaknya dokter praktik swasta yang tidak mengerti dan tidak menjalankan DOTS, sehingga menghambat upaya pengendalian TB. Kedepannya para dokter praktek swasta harus bersinergi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri. Dokter yang mendapatkan suspek TB di tempat prakteknya dapat mencatat identitas pasien secara lengkap kemudian melaporkan kepada petugas TB puskesmas. Setelah itu petugas TB dapat menghubungi kader TB di desa untuk melakukan pelacakan. Keberadaan kader diharapkan dapat melakukan pendekatan yang lebih baik kemudian memberikan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kepada suspek tentang pentingnya periksa dahak dengan segera.

Kondisi dokter swasta di Kabupaten Kediri umumnya hampir sama dengan temuan Riset Kesehatan Dasar tahun 2011 yang menunjukkan bahwa hampir 30% penderita TB pernah memeriksakan diri ke praktisi swasta. Namun begitu, kontribusi temuan kasus TB dari praktisi swasta hampir tidak tercatat dan terlaporkan. Ada kemungkinan hasil temuan Survei pengetahuan, sikap dan perilaku dokter praktik swasta dalam tata laksana TB di 12 kota di Indonesia (Depkes-UGM-The Global Fund) juga tercermin di Kabupaten Kediri. Hasil temuan tersebut diantaranya adalah 1) Banyak dokter praktik swasta yang belum terpapar terhadap ISTC/DOTS dan skoring chart TB anak, 2) Dokter praktik swasta cenderung meresepkan obat lepas. Beberapa meresepkan OAT lini ke-2 untuk kasus TB baru, 3) Dokter praktik swasta cenderung tidak menunjuk PMO dalam pengobatan, dan 4) Dokter praktik swasta cenderung tidak melaporkan pasien TB ke dinas kesehatan.

Pencapaian target cakupan penanganan TB di Kabupaten Kediri masih belum sesuai yang diharapkan. Hal tersebut merupakan tantangan yang menjadi Pencapaian target cakupan penanganan TB di Kabupaten Kediri masih belum sesuai yang diharapkan. Hal tersebut merupakan tantangan yang menjadi

4.4.4 Organisasi Profesi Bidang Kesehatan (IDI dan PPNI)

Begitu pentingnya perawatan pasien Tuberkulosis (TB) agar bisa menekan beban Indonesia terhadap kesehatan global. Tak heran, ke depan penguatan peran dokter diperlukan agar pasien TB mendapat perawatan kesehatan terbaik. Untuk pendekatan ini maka Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi leading sektor. Dengan demikian, program Nasional Pengendalian TB harus bekerjasama dengan organisasi profesi, salah satunya adalah IDI dan PPNI.

Peran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam memberantas TB di Indonesia memang sangat vital. WHO telah merekomendasikan Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang cost efektif untuk mengendalikan TB sejak tahun 1995. Pelaksanaan strategi DOTS memegang peran dalam pengendalian TB selama lebih dari satu dekade, dan sampai saat ini tetap menjadi komponen utama dalam strategi pengendalian TB yang terus diperluas untuk mencapai akses universal, komponen utama pengendalian TB yang penting adalah pengelolaan kasus kekebalan obat anti TB, TB HIV, penguatan sistem kesehatan, keterlibatan seluruh penyedia layanan kesehatan dan masyarakat, serta promosi penelitian

Target tahun 2035, Angka kematian turun 75%, Angka Insidens turun 50%, dan Tidak ada keluarga yang mengalami masalah ekonomi karena TB. Walaupun sudah banyak keberhasilan yang dicapai dalam beberapa tahun ini masih menghadapi masalah-masalah: Masih banyak dokter yang belum memahami strategi DOTS, Masih sedikit dokter yang telah terpapar ISTC, Jumlah dokter Target tahun 2035, Angka kematian turun 75%, Angka Insidens turun 50%, dan Tidak ada keluarga yang mengalami masalah ekonomi karena TB. Walaupun sudah banyak keberhasilan yang dicapai dalam beberapa tahun ini masih menghadapi masalah-masalah: Masih banyak dokter yang belum memahami strategi DOTS, Masih sedikit dokter yang telah terpapar ISTC, Jumlah dokter

Untuk mencapai target tersebut di atas PB IDI membuat terobosan dengan mengeluarkan kebijakan tentang sertifikasi bagi dokter yang menatalaksana pasien TB. Dokter yang menangani pasien TB harus mengikuti Standar Pelayanan Kedokteran TB yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan RI dan mendapat sertifikasi yang dikeluarkan oleh PB IDI. Untuk mendapatkan sertifikasi, Dokter Layanan Primer harus mengikuti pelatihan TB yang difasilitasi oleh IDI serta menjadi bagian dari jejaring TB diwilayah kerjanya. PB IDI dan jajarannya akan memonitor pelaksanaan sertifikasi.

Program Sertifikasi diselenggarakan atas kerjasama IDI dan Kementrian Kesehatan RI dan jajarannya masing-masing. Sasaran program sertifikasi ini adalah, Dokter praktik mandiri, Berpraktik mandiri atau diklinik, Sudah mendapat pelatihan TB yang diselenggarakan oleh IDI atau Kemenkes RI dan jajarannya dalam 5(lima) tahun terakhir dan dibuktikan dengan penilaian pemahaman DOTS dan ISTC. Menatalaksana pasien TB dengan jumlah yang disepakati oleh masing- masing IDI Cabang dalam 6 (enam) bulan. Menjadi bagian dari jejaring eksternal TB diwilayahnya

Pelaksanaan Sertifikasi, yaitu dokter yang telah mengikuti pelatihan TB akan dimonitor kinerjanya dalam melayani pasien TB selama 6(enam), bila telah memenuhi persyaratan akan mendapat sertifikat sertifikasi TB, Logo dan Reward/Ganjar dalam bentuk SKP. Persyaratan untuk mendapat sertifikat sertifikasi TB adalah : pertama, menatalaksana pasien TB sesuai standard dengan jumlah yang ditentukan oleh masing-masing IDI Cabang, Kedua menjadi bagian dari jejaring TB diwilayahnya dan Ketiga, minimal 80% diagnosa TB ditegakkan dengan pemeriksaan sputum, Keempat, melakukan pencatatan sesuai program Nasional.

IDI telah mengeluarkan 4 buah buku , Modul Pelatihan International Standards for Tuberculosis Care (ISTC), Buku Baku ISTC, Modul Pelatihan TB bagi Dokter Praktik Swasta (DPS) dan Panduan Tata Laksana Tuberkulosis. IDI dan Pemerintah dalam hal ini Kemenkes RI telah banyak bekerja sama dalam pengendalian TB, yaitu salah satunya Ikut berpartisipasi aktif dalam Program

Pengendalian TB secara umum, khususnya dalam hal : Mensosialisasikan ISTC, Memberikan pemahaman tentang DOTS kepada anggotanya. Dan Mendorong anggotanya agar menatalaksana pasien TB sesuai standard, dengan harapan semua penderita TB dapat ditemukan dan disembuhkan sehingga angka TB MDR dapat ditekan sekecil mungkin.

Selain dokter atau IDI, berbagai penelitian menunjukkan sangat pentingnya peran perawat dalam pengendalian TB. Merekalah yang terlibat langsung dan menjadi faktor utama dalam pelayanan kesehatan sehingga mempengaruhi meningkatkan kepatuhan berobat penderita TB. Menurut Zuliana (2009) penyuluhan kesehatan, kunjungan rumah, mutu obat dan jarak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita TB.

PPNI yang menjadi wadah para perawat dapat berupaya meningkatkan kualitas tenaga perawat di Kabupaten Kediri. Para perawat yang berperan sebagai petugas harus memiliki pemahaman yang sama dan tepat sehingga mampu menjelaskan tanda dan gejala TB, pemeriksaan TB di puskesmas, lama pengobatan dan efek samping dari obat TB yang diberikan pada pasien TB. Petugas TB harus menjelaskan bahwa seorang pasien TB harus memiliki seorang pengawas menelan obat (PMO) dengan syarat orang yang disegani dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan pengobatan pasien TB. Petugas harus menyadari sepenuhnya bahwa kepatuhan penderita TB untuk berobat dipengaruhi oleh sikap dan motivasi yang diberikan oleh petugas TB. Petugas harus menjelaskan obat anti tuberkulosis selalu tersedia di puskesmas dan sangat mudah didapatkan oleh pasien TB yang berobat diwilayah kerja puskesmas, sehingga masyarakat tidak perlu ragu untuk datang ke puskesmas terdekat. Petugas harus menjelaskan bahwa obat anti tuberkulosis memiliki efek samping , sehingga masyarakat lebih siap dan paham. Peran strategis perawat/petugas ini sudah tampak secara nyata di Kabupaten Kediri sehingga harus selalu dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan. Pengetahuan perawat/petugas harus selalu di-update dan peng-update-an tersebut dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan oleh PPNI.

4.4.5 Dinas Pendidikan dan Lembaga Pendidikan

Dalam melakukan program penanggulangan TB di suatu wilayah perlu adanya kerjasama yang baik dengan berbagai sektor yang terkait. Salah satunya adalah kerjasama (mitra) Dinas Kesehatan dengan sektor pendidikan, yang dalam Dalam melakukan program penanggulangan TB di suatu wilayah perlu adanya kerjasama yang baik dengan berbagai sektor yang terkait. Salah satunya adalah kerjasama (mitra) Dinas Kesehatan dengan sektor pendidikan, yang dalam

4.4.6 DPRD

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penyelenggara Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah dan DPRD. DPRD merupakan lembaga perwakilan yang berkedudukan di daerah dan sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. DPRD memiliki fungsi Peraturan Daerah, anggaran, dan pengawasan. Alat kelengkapan DPRD terdiri atas pimpinan, komisi, panitia musyawarah, panitia anggaran, badan kehormatan, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan.

Dalam konteks Peraturan Daerah, DPRD berkesempatan untuk membuka ruang komunikasi dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Tanggapan kritis yang diberikan oleh para konstituen akan memperkaya alternatif-alternatif putusan yang dibuat sehingga bagi publik keputusan itu merupakan artikulasi dari kepentingan mereka. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam melaksanakan tugasnya mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan rumusan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak dan kewajiban tersebut yaitu agar dapat mengemban tugasnya sebagai wakil rakyat, penyambung pikiran dan semangat rakyat yang diwakilinya. DPRD merupakan tempat masyarakat untuk menumpahkan harapan dan mimpimimpinya secara langsung atau tidak langsung kepada wakilnya. Sehingga di dalam menjalankan pemerintahan anggota DPRD mempunyai suatu hak dan kewajibannya dalam menjalankan tugas.

Idealnya DPRD secara periodik (misalnya setiap 3-4 bulan sekali) mengadakan penjaringan aspirasi masyarakat atau bertemu dengan konstituen di daerah pemilihannya. Aspirasi masyarakat ini secara moral menjadi landasan para anggota DPRD untuk membuat ketetapan-ketetapan program pembangunan daerah, menyusun dan menetapkan Perda, dan memberikan saran/masukan kepada dinas terkait dan pemerintah daerah Kabupaten Kediri. Namun demikian, sampai saat ini terkesan lebih banyak anggota DPRD yang belum bisa menganalisis informasi yang didapat dari masyarakat dan membedakan secara jelas antara daftar keinginan dan daftar kebutuhan masyarakat. Terkait dengan TB, apabila hal ini tidak dipahami sepenuhnya oleh para anggota DPRD maka mereka akan cenderung tidak memperjuangkan aspirasi terkait dengan penanggulangan TB atau bisa jadi akan meneruskan dan memperjuangkan keinginan masyarakat ini dan diwujudkan dalam program pembangunan tanpa melakukan koreksi ataupun justifikasi yang lebih rasional dan realistis. Sejauh ini di Kabupaten Kediri, advokasi atau sosialisasi program penanggulangan TB dan pelayanan kesehatan kepada para wakil rakyat pada umumnya sangat kurang.

Mengingat masalah TB terkait erat dengan kemiskinan para anggota DPRD selalu melakukan pengawasan terhadap penggunaan APBD untuk penanggulangan kemiskinan. Kemudian mengawasi peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah dan Perda, mengawasi kebijakan Pemerintahan Daerah dan kerja sama Internasional di daerah. Para anggota DPRD harus selalu menyalurkan aspirasi masyarakat tentang kesejahteraan masyarakat di depan forum rapat dan setiap rapat anggota DPRD selalu menyalurkan aspirasi masyarakat. Kemudian DPRD perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi kemiskinan di Kabupaten Kediri dan kebijakan yang dirumuskan anggota DPRD haruslah berpihak kepada masyarakat agar tercipta masyarakat yang lebih sejahtera.

4.4.7 Organisasi Keagamaan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Peran organisasi keagamaan sangat penting dalam penanggulangan TB di Kabupaten Kediri. Sejauh ini hanya ada dua organisasi keagamaan yang intens dalam upaya penanggulangan TB dan telah bermitra dengan Dinas Kesehatan

Kabupaten Kediri yaitu ‘Aisyiyah (TB Care) dan Lembaga Kesehatan NU (Program CEPAT). Kerja kedua lembaga tersebut masih relatif baru, dan

cakupan/jangkauan masih terbatas. Ormas memliki potensi yang sangat besar cakupan/jangkauan masih terbatas. Ormas memliki potensi yang sangat besar

Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam pelayanan kesehatan masyarakat secara umum masih dikatakan kurang di Kabupaten Kediri. Di Kabupaten Kediri bahkan belum ada LSM lokal (baik lokal dalam skala Kabupaten, Provinsi, dan Nasional) dan hanya ada LSM asing yang terlibat dalam upaya pembangunan kesehatan termasuk penanggulangan TB yaitu Global Fund. Hal yang menjadi ancaman dalam penanggulangan TB ke depannya adalah program Global Fund hanya bersifat stimulus dan akan segera berakhir. Kedepannya mendesak sekali berdirinya LSM terkait TB. Hal yang perlu menjadi catatan penting terkait dengan LSM Lokal maupun asing adalah seperti menurut Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Bappenas bahwa keberadaan LSM lokal di daerah tertentu dipersepsikan sebagai lembaga yang justru merugikan oleh karena kegiatannya lebih mengutamakan protes dalam wujud demonstrasi Di daerah-daerah lain terutama di daerah konfik, LSM asing sering dipersepsikan bersifat diskriminatif. LSM asing, dalam hal ini sering dengan caranya sendiri memilih daerah untuk bantuan pelayanan kesehatan dilaksanakan di daerah/komunitas tertentu meskipun sesungguhnya bukan merupakan daerah prioritas. Dengan demikian, bantuan kesehatan yang diberikan justru sering menimbulkan masalah baru dan menjadi sumber konflik baru yang dapat merugikan pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. LSM juga perlu menjalin kerjasama yang harmonis dengan lembaga- lembaga lain yang sevisi khususnya dengan Dinas Kesehatan sehingga program yang dilaksanakan dapat sejalan.

4.4.8 Posyandu dan PKK

Kegiatan posyandu yang dilakukan di maing-masing wilayah yang lebih sempit merupakan pelaksana program penanggulangan TB yang terdepan di masyarakat. Setiap desa memiliki kader posyandu yang berfungsi mensosialisasikan dan melaksanakan program pendeteksian TB dan pendampingan penderita TB (pemeriksaan dan pengobatan). Organisasi PKK dapat digunakan sebagai wadah para ibu untuk saling bertukar pengetahuan dan pengalaman Kegiatan posyandu yang dilakukan di maing-masing wilayah yang lebih sempit merupakan pelaksana program penanggulangan TB yang terdepan di masyarakat. Setiap desa memiliki kader posyandu yang berfungsi mensosialisasikan dan melaksanakan program pendeteksian TB dan pendampingan penderita TB (pemeriksaan dan pengobatan). Organisasi PKK dapat digunakan sebagai wadah para ibu untuk saling bertukar pengetahuan dan pengalaman

4.4.9 Keluarga dan Masyarakat

Keluarga dijadikan sebagai unit pelayanan karena masalah kesehatan keluarga saling berkaitan dan saling mempengaruhi antara sesama anggota keluarga dan akan mempengaruhi pula keluarga-keluarga yang ada di sekitarnya atau masyarakatnya atau dalam konteks yang luas berpengaruh terhadap negara. Peran keluarga dan masyarakat dalam pencegahan penularan dan pengendalian penyakit TB sangat vital. Keluarga dan masyarakat dapat dilakukan dengan peningkatan kesehatan (health promotion) yaitu pola hidup bersih dan sehat, perlindungan khusus terhadap penyakit tuberkulosis (specific protection) dengan memberikan Imunisasi BCG, penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (early diagnosis and prompt treatment), dapat mengenali tanda dan gejala penyakit TB dan pencarian pengobatan ke sarana pelayanan kesehatan yang tepat, pembatasan kecacatan (disability limitation), dan pemulihan kesehatan (rehabilitation), peningkatan gizi keluarga melalui makanan gizi seimbang. Puskesmas dapat bersinergi dengan keluarga dan masyarakat sekitar untuk mensosialisasikan promosi kesehatan (health promotion), peningkatan Gizi keluarga dalam pemulihan kesehatan (rehabilitation), serta jejaring bayi baru lahir yang harus mendapatkan imunisasi BCG (general and specific protection) kepada masyarakat. Keluarga dan masyarakat agar mengetahui tanda dan gejala (early diagnosis and prompt treatment), serta pencarian pengobatan yang tepat dan cepat. Sejauh ini peran keluarga dan masyarakat secara umum sudah mulai terlihat di Kabupaten Kediri namun belum maksimal, sehingga ke depannya harus ditingkatkan.

Matriks ini dapat dilihat pada Gambar 10 berikut.

KUADRAN I (SUBJECT) KUADRAN II (MITRA, AGEN PERUBAH / PLAYER)

Rumah Sakit/Puskesmas

Bappeda

Organisasi Keagamaan

Dinkes

LSM Rumah Sakit/Puskesmas Organisasi Profesi (IDI & PPNI)

Organisasi Keagamaan Keluarga & Masyarakat

Organisasi Profesi (IDI & PPNI) Diknas

KUADRAN III (CROWD) KUADRAN IV (CONTEST SETTER)

LSM

DPRD

Keluarga & Masyarakat Diknas

Gambar 10. Hasil Analisis Stakeholders TB di Kabupaten Kediri

Analisis ini dimulai dengan mengelompokkan stakeholders pada matriks dua kali dua menurut kewenangan (power) dan interest (minat) yang dapat mempengaruhi penanganan penyakit TB di Kabupaten Kediri. Kepentingan stakeholders dapat dilihat dari tupoksi masing-masing instansi, sedangkan kewenangan (power) merupakan kemampuan mempengaruhi atau membuat kebijakan instansi yang berkaitan dengan pemberantasan penyakit TB di kabupaten Kediri.

Pada kuadran I, terdapat Subject yang merupakan orang atau instansi yang mempunyai minat besar, namun kewenangannya kecil. Pada posisi ini dapat di kristalisasi bahwa instansi ini mempunyai keseriusan dalam penganan permasalahan TB di kabupaten Kediri dengan lebih baik, walaupun kekuasaan yang dipunyai instansi tersebut kecil atau bahkan tidak ada.

Kuadran II, pada kuadran ini disebut dengan Players, dimana mereka mempunyai minat dan wewenang yang besar. Players ini mempunyai peranan yang cukup besar, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pelaksanaan program.

Kuadran III, pada kuadran ini sering dikenal dengan Crowd dimana kelompok institusi lembaga pada kuadran ini mempunyai minat dan wewenang yang kecilpada pelaksanaan program. Pada kuadran ini juga dimasukkan stakeholders masyarakat. Masyarakat yang dimasukkan pada kuadran crowd adalah masyarakat yang mempunyai minat yang kecil terhadap pemberantasan penyakit TB di Kabupaten Kediri.

Kuadran IV, dikenal dengan Contest setter dimana orang/intitusi yang termasuk kedalam kelompok ini walaupun mempunyai wewenang yang besar, tetapi mempunyai minat yang kecil terhadap keberhasilan program pemberantasan TB di Kabupaten Kediri. Contest setter pada program pemberantasan TB dapat diartikan sebagai perencana makro dari pembangunan, yang karena cakupan kerjanya yang sangat luas, maka dianggap minatnya kecil terhadap pemberantasan TB. Contest setter mempunyai wewenang yang besar dalam pengesahan program- program dari instansi terkait, termasuk pemberian anggaran program yang akan dilaksanakan.

Permasalahan kesehatan di Kabupaten Kediri telah diarahkan dengan baik untuk menunjang derajat kesehatan masyarakat, kualitas sumberdaya manusia serta mendukung kualitas kehidupan masyarakat, namun dikarenakan kompleksitas permasalahan TB, penanganan penyakit ini memerlukan kerja yang terpadu interdepartemental terutama untuk mengatasi tingginya angka penyakit infeksi, permasalahan kesehatan yang terkait dengan emerging, re-emerging dan new emerging diseases, kekeliruan dalam berperilaku hidup sehat, dan angka kemiskinan di Kab Kediri.

Dengan sinergitas antar dinas/SKPD yang ada di Kabupaten Kediri diharapkan dapat:

1. Meningkatkan kebersamaan, koordinasi dan komunikasi masing masing stakeholders terkait dengan pemberantasan TB

2. Peningkatan kapasitas kemampuan penanggulangan antar dinas/SKPD Keberadaan struktural pada kabupaten kediri dengan visi, misi dan kebijakan yang diturunkan dari visi dan misi Kabupaten sangat mendukung sinergitas antar departemen. Sehubungan dengan itu, terkait dengan TB Dinas Kesehatan harus membangun sistem kemitraan (Mitra TB). Mitra TB adalah setiap orang atau kelompok yang memiliki kepedulian, kemauan, kemampuan dan komitmen yang tinggi untuk memberikan dukungan serta kontribusi pada 2. Peningkatan kapasitas kemampuan penanggulangan antar dinas/SKPD Keberadaan struktural pada kabupaten kediri dengan visi, misi dan kebijakan yang diturunkan dari visi dan misi Kabupaten sangat mendukung sinergitas antar departemen. Sehubungan dengan itu, terkait dengan TB Dinas Kesehatan harus membangun sistem kemitraan (Mitra TB). Mitra TB adalah setiap orang atau kelompok yang memiliki kepedulian, kemauan, kemampuan dan komitmen yang tinggi untuk memberikan dukungan serta kontribusi pada

Beberapa langkah yang diperlukan dalam melaksanakan program pemberantasan TB yang holistik dan terintegrasi pada kabupaten Kediri adalah sebagai berikut:

1. Penjajagan Stakeholders Untuk melaksanakan program pemberantasan TB secara terpadu, diperlukan penjajagan dengan Stakeholders potensial untuk menyelesaikan masalah TB yang dihadapi. Pada prosers penjajagan ini memerlukan identifikasi yang akurat pada departemen, lembaga, LSM yang terkait dengan pengembangan kesehatan pada umumnya di kabupaten Kediri. Pada proses identifikasi ini akan mensarikan departemen, lembaga, kelompok dan bahkan individu yang akan menggambarkan jejaring (network) komunikasi yang terdapat di Kabupaten Kediri. Jejaring yang sudah ada merupakan simpul utama untuk membuat jejaring baru yang terkoordinasi oleh pemerintah Kabupaten Kediri. Beberapa fungsi jejaring terkoordinasi adalah sebagai berikut:

a. Pemerintah Daerah mempunyai fungsi untuk mengarahkan dan membuat Garis Garis besar pembangungan kesehatan di Kabupaten Kediri. Garis besar pembangunan kesehatan ini diturunkan dari visi, misi, kebijakan, arah dan sasaran pembangunan Daerah Kabupaten Kediri.

b. Departemen terkait Pemda yang menangani bidang kesehatan, mulai dari BAPPEDA, Dinkes, Diknas, BKKBN, Dinsos, dan lain-lain, yang dapat membuat program terintegrasi terkait dengan penanganan TB di Kabupaten Kediri.

c. Masyarakat Umum, seperti Ikatan Dokter Indonesia, ikatan perawat, rumah sakit swasta dan negeri, lembaga kesehatan lain, LSM, media massa, organisasi kemasyaraktan, dsb yang berperan sebagai stakeholders pemberantasan TB.

2. Penyamaan persepsi Semua stakeholders yang telah teridentifikasi perlu dipertemukan dan mendapatkan sosialisasi program pemberantasan TB. Pertemuan ini menjadi hal yang urgen agar terdapat persamaan persepsi dan penyatuan langkah pelaksanaan program yang dibuat.