61 | G.V. Plekhanov

61 | G.V. Plekhanov

kita temukan dalam seni-lukis itu suatu ulangan dari yang telah kita lihat dalam sastra: realisme runtuh karena kekosongan yang dikandungnya: reaksi idealistik menang.

Idealisme subyektif senantiasa berakar pada ide, bahwa tidak ada realitas lain kecuali ego sendiri. Namun diperlukan seluruh individualisme zaman dekadensi burjuis untuk menjadikan gagasan ini tidak saja sebuah ketentuan egoistik yang menentukan hubungan-hubungan antara orang- orang yang masing-masing menyintai dirinya sebagai Tuhan, —burjuasi tidak pernah dikenal memiliki cinta-pada-sesama-manusia yang berlebihan—melainkan juga menjadikannya landasan teoritis dari sebuah estetika baru.

Para pembaca tentu pernah mendengar tentang yang dinamakan kaum Kubis. Dan jika para pembaca memperoleh kesempatan untuk menyaksikan beberapa dari hasil kaum kubis itu, maka aku tidak menanggung kemungkinan dianggap bersalah, jika aku mengatakan, bahwa para pembaca sama-sekali tidak akan menikmati hasil-hasil kubisme itu. Bagaimana pun, bagiku hasil-hasil itu sama-sekali tidak membangkitkan apapun yang mirip/mendekati kenikmatan estetik. Nonsens yang dikubiskan, itulah kata-kata yang segera lahir pada pandangan pekerjaan artistik yang dibuat-buat itu. Tetapi, bagaimana pun, kubisme mempunyai juga alasan-alasannya. Dengan menamakannya nonsens hingga ke derajat ketiga pun tidak akan menjelaskan asal-usulnya.

Tulisan ini, sudah tentu, bukan tempatnya untuk menjelaskan hal itu. Tetapi hingga di sini pun orang dapat menentukan arah di mana asal- usul itu harus dicari. Di hadapanku terdapat sebuah buku yang menarik sekali: Du Cubisme oleh Albert Gleizes dan Jean Metzinger. Kedua pengarang itu adalah pelukis, dan kedua-duanya termasuk dalam aliran kubisme.

Marilah kita mematuhi ketentuan audiatur et altera pars, 68 dan mari kita mendengarkan yang hendak mereka katakan.

Bagaimanakah mereka membenarkan metode-metode kreatif mereka yang membingungkan itu?

Seni dan Kehidupan Sosial | 62

Tiada sesuatu pun yang nyata di luar diri kita, demikian mereka berkata, —…. Kami sama sekali tidak bermaksud menyangsikan adanya obyek- obyek yang bekerja atas panca-indera kita; tetapi kepastian yang masuk akal mungkin hanya dalam hal bayangan-bayangan yang ditimbulkan oleh obyek-obyek itu dalam pikiran kita. 69

Dari sini para pengarang buku itu menyimpulkan, bahwa kita tidak dapat mengetahui bentuk-bentuk yang terdapat pada obyek-obyek itu sendiri. Dan karena bentuk-bentuk itu tidak diketahui, maka mereka beranggapan berhak menggambarkannya menurut kehendak dan sesuka-hati mereka sendiri. Mereka mengemukakan adanya suatu kecualian yang patut dicatat, bahwa mereka berpendapat tidaklah baik membatasi diri mereka, seperti yang telah dilakukan oleh kaum impresionis, pada dunia sensasi. Kami mencari yang hakiki, demikian mereka berkata untuk meyakinkan kita, tetapi kami mencarinya pada kepribadian kita, tidak pada keabadian yang dengan susah-payah dibentuk oleh para ahli matematika dan para filsuf. 70

Dalam argumen-argumen itu, sebagaimana dapat dilihat oleh para pembaca, kita jumpai, pertama-tama, ide yang sudah terkenal, bahwa ego kita adalah satu-satunya realitas. Benar, kita menjumpainya di sini dalam ungkapan yang kurang kaku. Gleizes dan Metzinger menandaskan, bahwa mereka sama-sekali tidak berpikiran untuk meragukan adanya obyek-obyek di sekitar dirinya. Tetapi setelah mengakui adanya dunia luar itu,. para pengarang itu di situ dan pada seketika itu juga menyatakan, bahwa dunia luar itu tidak dapat diketahui. Dan ini berarti, bahwa juga bagi mereka, tidak ada sesuatu pun yang nyata kecuali ego mereka sendiri.

Jika gambaran-gambaran dari obyek-obyek timbul pada kita karena yang tersebut belakangan ini bekerja atas panca-indera eksternal kita, maka tentunya tidak dapat dikatakan, bahwa dunia luar itu tidak dapat diketahui: kita memperoleh pengetahuan atasnya justru karena aksi ini. Gleizes dan Metzinger salah. Argumen mereka tentang bentuk-bentuk- pada-diri-sendiri juga sangat lemah. Mereka tidak dapat dengan serius dikecam atas kesalahan-kesalahan mereka itu: kesalahan-kesalahan yang sama telah dilakukan oleh orang-orang yang jauh lebih ahli dalam filsafat