59 | G.V. Plekhanov emosi, dan belum juga pikiran. Seorang seniman yang membatasi

59 | G.V. Plekhanov emosi, dan belum juga pikiran. Seorang seniman yang membatasi

perhatiannya pada dunia sensasi-sensasi tidak menghiraukan emosi dan pikiran. Ia mungkin sekali melukiskan sebuah pemandangan alam dengan indahnya. Dan kaum impresionis, dalam kenyataan, telah melukiskan banyak pemandangan-pemandangan alam yang indah-indah. Namun, pemandangan alam bukanlah seni-lukis seluruhnya. 66

Baiklah kita sebutkan Santap-Malam Terakhir dari Leonardo da Vinci dan bertanya, apakah cahaya merupakan tokoh dramatikal (dramatis persona) utama dalam fresko termashur itu? Kita mengetahui bahwa subjek lukisan itu ialah saat dramatik yang dahsyat dari hubungan Jesus dengan murid-muridnya, tatkala Jesus berkata pada mereka: Salah- seorang dari kalian akan mengkhianati diriku. Tugas Leonardo da Vinci ialah melukiskan suasana pikiran Jesus sendiri, yang teramat disedihkan oleh penemuannya itu, dan suasana pikiran para muridnya, yang tidak dapat membayangkan bahwa terdapat seorang pengkhianat di antara mereka yang kecil jumlahnya itu. Seandainya sang seniman beranggapan bahwa dramatis persona utama dalam sebuah lukisan adalah cahaya, maka ia tidak akan sampai pada pikiran untuk melukiskan drama itu. Dan seandainya ia toh melukis fresko itu, ia tidak akan sampai pada pikiran untuk menggambarkan lakon itu. Dan seandainya ia melukis juga fresko itu, maka perhatian artistiknya yang paling utama sudah tentu tidak akan dipusatkan pada yang sedang terjadi di dalam hati- sanubari Jesus dan para muridnya, melainkan akan dipusatkan pada yang terjadi pada dinding-dinding ruangan di mana mereka itu berkumpul, pada meja di mana mereka duduk mengitarinya, dan pada kulit-kulit mereka sendiri—yaitu, pada berbagai efek pencahayaan. Jika begitu, kita tidak akan mendapatkan suatu drama spiritual yang dahsyat, tetapi hanya suatu rangkaian bidang-bidang cahaya yang dilukis dengan sangat baik: misalnya, satu pada salah-satu dinding ruangan, satu lagi pada taplak meja, yang ketiga pada hidung Judas yang bengkok, yang keempat pada pipi _Jesus_ dan begitu seterusnya. Tetapi karena demikian halnya, maka kesan yang dibangkitkan oleh fresko itu akan jauh lebih lemah dan makna khusus dari karya Leonardo da Vinci akan jauh berkurang.

Beberapa kritikus Perancis telah membandingkan impresionisme dengan realisme di dalam sastra. Dan memang ada dasar tertentu bagi

Seni dan Kehidupan Sosial | 60

perbandingan ini. Tetapi seandainya kaum impresionis adalah pelukis- pelukis realis, maka harus diakui, bahwa realisme mereka dangkal sekali jika ia tidak lebih mendalam daripada sekam permukaan-nya. Dan tatkala realisme ini mencapai kedudukan yang kuat di dalam seni modern — yang memang terjadi— maka para seniman yang dilatih di bawah pengaruhnya hanya mempunyai salah-satu dari dua alternatif ini: atau mengerahkan akal mereka atas sekam permukaannya dan menemukan efek-efek cahaya yang lebih mempesona dan yang lebih dibuat-buat; atau berusaha menembus ke bawah sekam permukaan-nya, setelah menyadari kesalahan kaum impresionis dan setelah memahami, bahwa dramatis persona dalam sebuah lukisan bukan cahaya, melainkan adalah manusia dan pengalaman-pengalaman emosionalnya yang sangat beragam itu. Dan memang dapat kita jumpai kedua aliran ini dalam seni modern. Pemusatan perhatian pada selaput sekam permukaannya telah menghasilkan lukisan-lukisan pradoksal di hadapan mana bahkan para kritikus yang paling memanjakan, mengangkat bahu mereka dalam keheran-heranan dan mengakui bahwa seni-lukis modern sedang melalui suatu krisis keburukan, 67 Pengakuan, di lain pihak, bahwa tidaklah mungkin untuk berhenti pada sekam permukaan-nya saja, mengharuskan para seniman untuk mencari bobot/muatan ide, artinya, memuja yang baru saja telah mereka bakar. Namun, memasukkan bobot gagasan pada sesuatu karya tidak semudah tampaknya. Ide bukan sesuatu yang ada secara berdiri sendiri dari dunia nyata. Banyaknya gagasan-gagasan seseorang ditentukan dan diperkaya oleh hubungan-hubungannya dengan dunia kenyataan itu. Dan orang yang hubungan-hubungannya dengan dunia itu adalah sedemikian rupa sehingga ia menganggap egonya adalah satu-satunya realitas, mau-tak-mau menjadi seorang yang sama-sekali miskin dalam hal cita-cita. Bukan saja ia tidak bercita-cita, tetapi—dan ini merupakan masalah utamanya—ia tidak berada dalam keadaan untuk melahirkan gagasan-gagasan apapun. Dan seperti halnya dengan orang yang di waktu tidak mempunyai roti terpaksa makan rumput, begitulah di waktu mereka tidak memiliki gagasan-gagasan yang jelas, mereka memuaskan diri dengan sebutan-sebutan ide secara samar-samar, dengan surogat-surogat yang dipinjam dari mistisisme, simbolisme dan isme- isme sejenis, yang karakteristik bagi masa dekadensi. Dengan singkat,