Arah Kebijakan Agraria di Indonesia: Tujuan Ideologis dan Konstitusional

3.1.1 Arah Kebijakan Agraria di Indonesia: Tujuan Ideologis dan Konstitusional

alah satu tiang utama dari konstruk hukum agraria di Indonesia adalah dasar atau landasan konstitusional. Hal ini menjadi

penting 18 karena pengelolaan sumber daya agraria merupakan salah satu sumber perekonomian negara. Konsep pengelolaan

sumber daya agraria di Indonesia secara mendasar diatur dalam Pasal

33 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa:

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar‐ besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pasal ini mengandung dua konsep besar dalam pengelolaan sumber daya agraria di Indonesia yaitu: pertama, bahwa semua daratan, perairan dan udara yang meliputi wilayah Indonesia berikut semua kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Kedua, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tersebut dipergunakan sebesar‐besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sesungguhnya telah jelas dari pasal di

18 Penggunaan istilah “sumber daya agraria” dirasakan lebih tepat dalam konteks penelitian ini dari penggunaan istilah tanah semata karena

dalam terkait dengan banyak aspek dan dimensi ketanahan, seperti sumber ‐sumber daya alam yang ada di atas maupun di bawah tanah. Penggunaan istilah sumber daya agraria juga akan digunakan secara bergantian dengan istilah sumber daya alam, tergantung pada konteks pembahasannya.

Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 57 Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 57

Terkait dengan tujuan pengelolaan sumber daya agraria, jika kita telusuri lebih lanjut, kemakmuran rakyat bisa mencakup kemakmuran yang bersumber dari keuntungan ekonomi yang didapatkan dari sumber daya agraria, baik melalui akses untuk mengeksploitasi secara langsung (termasuk asas non diskriminasi dalam pemberian ijin pengelolaan), maupun keuntungan yang didapatkan secara tidak langsung. Misalnya melalui keuntungan yang didapat pemerintah dari pengelolaan sumber daya alam (pajak atau bagi hasil) kemudian digunakan kembali untuk kepentingan rakyat Indonesia secara lebih luas. Namun, kemakmuran rakyat juga bisa berarti keuntungan yang bersumber dari terhindarnya rakyat dari bencara lingkungan yang bisa terjadi akibat over eksploitasi sumber daya alam. Dan terakhir, kemakmuran rakyat bisa berupa keuntungan untuk tetap bisa mempertahankan struktur sosial, budaya dan cara hidup masyarakat (khususnya yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan) sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia.

Dalam Penjelasan Pasal 33 ayat (3) dari dokumen UUD 1945 yang asli disebutkan bahwa:

Dalam Pasal 33 tertjantoem dasar demokrasi ekonomi. Prodoeksi dikerjakan oleh semoea untuk semoea di bawah pimpinan atau penilikan anggota‐anggota masjarakat. Kemakmoeran masjarakatlah jang dioetamakan, boekan kemakmoeran orang seorang. Sebab itoe perekonomian disoesoen sebagai oesaha bersama berdasar atas azas kekeloeargaan. Bangoen peroesahaan jang sesoeai dengan itoe adalah kooperasi.

58 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmoeran bagi semoea orang! Sebab itoe tjabang‐ tjabang prodoeksi jang penting bagi negara dan jang mengoeasai hidoep orang banjak haroes dikoeasai oleh negara. Kalau tidak, tampoek prodoeksi djatoeh ketangan orang seorang jang berkoeasa dan rakjat banjak ditindasinya. Hanya peroesahaan jang tidak mengoeasai hadjat hidoep orang banjak, boleh ada ditangan orang seorang.

Boemi dan air dan kekajaan alam jang terkandung dalam boemi adalah pokok‐pokok kemakmoeran rakyat. Sebab itoe haroes dikoeasai oleh negara dan dipergoenakan oentoek sebesar‐besar kemakmoeran rakjat (Setneg RI, 1998: 706).

Sayangnya dalam Risalah Pembahasan Rancangan UUD 1945 oleh BPUPKI tidak ada penjelasan sedikitpun tentang latar belakang atau risalah rapat yang membahas tentang Pasal 33 ayat (3) ini (Setneg RI, 1998).

Idealnya, hak menguasai negara, sebagaimana diatur dalam Pasal

33 ayat (3) UUD 1945, tidak berarti bahwa semua tanah, air dan semua kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi “milik” negara. Maksud dari pemberian hak ini adalah untuk memberikan amanat kepada negara, sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia, untuk:

(1) Mengatur dan melaksanakan alokasi, penggunaan, persediaan dan pengelolaan, serta pemeliharaan atas tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; (2) Menentukan dan mengatur hubungan‐hubungan hukum antara orang orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya; dan (3) Menentukan dan mengatur hubungan‐hubungan hukum antara rakyat indonesia satu dengan yang lainnya, dan setiap

Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 59 Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 59

Interpretasi ideal lainnya dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini adalah bahwa hak menguasai negara tidak berarti membatasi rakyat Indonesia untuk memiliki sebidang ruang daratan. Namun, seringkali ada pembatasan agar pemilikan tanah oleh perorangan atau kelompok masyarakat tidak bertentangan dengan “kepentingan 19 umum atau kepentingan negara”. Kepentingan mana sering juga dikatakan sebagai “kepentingan pembangunan” yang ukurannya seringkali terus menjadi perdebatan dan terkooptasi berbagai kepentingan sehingga menimbulkan banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya. Lebih lanjut, pelaksanaan konsep ini telah ditandai dengan banyaknya penegasian atas hak masyarakat terhadap keamanan hak kepemilikan mereka, termasuk di antaranya hak masyarakat adat terhadap tanah ulayat mereka.

Konsep dalam Pasal 33 ayat (3) ini kemudian diadopsi secara bulat ‐bulat dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok ‐pokok Agraria atau UUPA (Soetiknjo, 1990: 54). UUPA dirancang untuk menjadi salah satu sumber hukum (basic law) dalam pengelolaan sumber daya atau agraria. Slaats dalam salah satu laporannya untuk World Bank menyebutkan bahwa sesungguhnya UUPA tidak mengatur mekanisme pengelolaan sumber daya alam secara tegas. Sebagai sebuah ”basic law” UUPA pada kenyataannya gagal merumuskan mekanisme pengelolaan sumber daya agraria (alam) dan kegagalan itu bukan hanya terletak pada persoalan implementasi di lapangan tetapi lebih dikarenakan, ”the basic law is conceptually flawed and unworkable, particularly in a market based economy and a rapidly industrializing society” (Slaats, 2004: 3). Berbagai peraturan Undang‐Undang yang dikeluarkan

19 Harsono, ibid, 73.

60 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan 60 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan

pertambangan berjalan dengan mekanismenya sendiri, meninggalkan UUPA sebagai aturan yang lebih banyak hanya sebagai aturan ideal di atas kertas yang sulit diimplementasikan.

Aturan ‐aturan lain di era pemerintahan Presiden Suharto pun dibuat untuk kepentingan sektoral, misalnya UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan‐ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dan aturan perundang ‐undangan lainnya mengenai sumber daya alam di Indonesia. 21 Arah kebijakan pro‐investasi pun dicirikan dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) yang dikeluarkan sebagai satu aturan awal di era pemerintahan Presiden Suharto, yang kemudian dilanjutkan dengan UU sektoral sebagaimana telah disebutkan di atas.

20 Penyebutan kata “Pokok” untuk UU Kehutanan tahun 1967 ini diindikasikan merupakan suatu “alat” bagi rejim berkuasa untuk

menegasikan kekuatan UUPA yang awalnya dijadikan UU paying bagi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Dengan menggunakan kata “Pokok” diharapkan rejim Suharto UU Kehutanan memiliki “kekuatan” yang sama dengan UUPA sehingga bisa mengatur persoalan kehutanan secara sektoral.

21 Untuk lebih lengkapnya mengenai peraturan perundang‐ undangan sektoral di Indonesia mengenai pengelolaan sumber daya alam

bisa dilihat di dalam buku Maria S.W. Sumardjono, dkk (2011) yang memuat hasil kajian kritis atas undang‐undang terkait penataan ruang dan sumber daya alam yang membuktikan sektoralisme pengelolaan sumber daya alam berdasarkan

12 (dua belas) undang‐undang terkait pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 61