Susilo Bambang Yudhoyono dan Joyo Winoto

4.1.3 Susilo Bambang Yudhoyono dan Joyo Winoto

Cukup jelas bahwa peran kedua tokoh ini, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden RI 2004‐2009; 2009‐2014) dan Joyo Winoto (Kepala BPN RI 2006‐sekarang) sangat signifikan dalam pencanangan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)/RA. Bukan dalam artian mengecilkan peran pengambil kebijakan sebelumnya, namun dalam konteks Reforma Agraria, selain di era pemerintahan Presiden Soekarno; baru di era SBY ini secara eksplisit menyatakan komitmen politik untuk melaksanakan Reforma Agraria di Indonesia. Sebelum mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia, karir Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disebut Yudhoyono atau SBY) adalah sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) dalam Kabinet Gotong‐Royong di masa Presiden Megawati Soekarnoputri (2001‐2004). Bersamaan dengan masa jabatannya sebagai Menko Polkam tersebut Yudhoyono menempuh jenjang pendidikan doktoral pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian di Institut Pertanian Bogor (IPB). Inilah awal mula persentuhan Yudhoyono dengan para scholar IPB. Proses kuliah, diskusi, dan pergumulan diskursus pengetahuan yang terjalin dan berlangsung secara intensif kemudian mendorong

96 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan 96 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan

Pada tahun 2003, Yudhoyono meluncurkan buku yang berjudul “Revitalisasi Ekonomi Indonesia: Bisnis, Politik, dan Good Governance” yang diterbitkan oleh Brighten Institute. Menurut Yudhoyono (2003) keyakinan untuk mencapai kemakmuran bersama sebagai keniscayaan mengharuskan lahirnya suatu kesadaran kolektif bahwa pemikiran, kerja, kemauan, semangat, dan kehendak rakyat untuk keluar dari krisis dan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik sebagai suatu keharusan, sebagai suatu nilai, dan sekaligus sebagai suatu state of mind(Yudhoyono, 2003: 62). Kerangka ini kemudian mengejawantah dalam arena dan diskursus kajian kebijakan yang dilakukan oleh lembaga “think tank” yang banyak memberi masukan bagi Susilo bambang Yudhoyono kala itu, yaitu Brighten Institute.

11 Maret 2004 Yudhoyono mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam. Hal ini berkaitan dengan pencalonannya sebagai calon presiden RI periode 2004‐2009 dengan menggandeng Jusuf Kalla sebagai wakil presidennya. Pada tahun yang sama Yudhoyono memperoleh gelar Doktor dalam Bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Pencapaiannya dalam bidang akademik ini semakin mengukuhkan kapasitas Yudhoyono sebagai seorang intelektual birokratik.

Pada

Setelah mundur dari kursi kabinet dan mencapai pendidikan akademik tertinggi, maka selanjutnya Yudhoyono memfokuskan diri untuk pemenangan kursi presiden. Salah satu syarat bagi calon presiden adalah membuat dokumen visi, misi, dan program untuk membangun Indonesia kedepan. Proses pembuatan dokumen ini menjadi bagian terpenting karena berkaitan dengan kebijakan, program, dan strategi apa yang hendak ditawarkan pemimpin negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Dalam momentum inilah

Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 97

Yudhoyono dikawal dengan baik oleh para scholar dari perguruan tinggi, terutama kalangan scholar yang tergabung di Brighten Institute. Sehingga buku putih “Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera” yang dibuat pasangan SBY‐JKkemudian diterbitkan secara terbatas,di mana proses penyiapan dan penggodokan materinya dilakukan bersama‐sama dengan para scholar Brighten Institute.

Brighten Institute: Pembentukan dan Posisi Strategis di Awal Pemerintahan SBY

Pada tahun 2002, Yudhoyono dan para scholar IPB mendirikan the Bogor House of Enlightenment Institute atau yang lebih dikenal dengan sebutan Brighten Institute. Joyo Winoto, karena latar belakangnya sebagai scholar IPB dan staf ahli perencana kebijakan di Bappenas, menduduki posisi sebagai Direktur Pertama Brighten Institute sedangkan Yudhoyono sendiri bertindak selaku Ketua Dewan Pembina.

Pendirian Brighten Institute didorong atas dasar pemikiran kritis terhadap praksis pembangunan nasional selama empat dekade terakhir ini yang dipandang sangat dominan dicirikan oleh dua kelemahan struktural yang membutuhkan pemikiran mendasar untuk mengubah atau mereorientasikannya. Kedua kelemahan tersebut terletak pada pemaknaan pembangunan dan pada proses penyelenggaraan 39 pembangunan.

Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Brighten Institute merupakan salah satu lembaga yang berperan penting dalam mempersiapkan berbagai strategi dan kebijakan Yudhoyono pasa

39 Website Brighten Institute <http://www.brighten.or.id> diakses tanggal 21 Mei 2011.

98 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan 98 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan

khusus 41 berkontribusi dalam riset dan strategi yang menggodok blueprint 42 ekonomi dan pembangunan Indonesia ke depan. Dalam hal ini peran Brighten Institute pulalah yang mengejawantahkan kebijakan dan program yang mendorong pelaksanaan reforma agraria. 43

Kemenangan SBY‐JK dalam Pilpres 2004 dapat dikatakan sebagai momentum baru diangkatnya reforma agraria ke aras negara. Inilah fase revitalisasi reforma agraria setelah di‐peti es‐kan selama pasca era Presiden Suharto. Di dalam buku visi, misi, dan program pemerintahan SBY‐JK pada BAB Agenda dan Program Pembangunan Nasional 2004‐2009 dibahas menganai Agenda dan Program Ekonomi dan Kesejahteraan, yang didalamnya menyiratkan komitmen SBY‐JK untuk menjalankan agenda reforma agraria sebagai bagian dari “Perbaikan dan Penciptaan Kesempatan Kerja” dan “Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan”.

Pada medio 2005 Presiden Yudhoyono menunjuk Joyo Winoto sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN‐RI). Pengangkatan Joyo Winoto ini dipandang

40 Majalah Gatra Online, 2005, <http://wap.gatra.com/versi_ cetak. php?id=137874>; dan Majalah TEMPO Online, <http://majalah. tempo

interaktif.com/id/arsip/2005/01/31/LU/mbm.20050131.LU103495.id.html> diakses tanggal 26 Oktober 2011.

41 Tempo Interaktif, <http://majalah.tempointeraktif.com/id/ arsip/ 2004/03/15/NAS/mbm.20040315.NAS89791.id.html>; dan Bataviase Online,

<http://bataviase.co.id/node/206355>diakses tanggal 26 Oktober 2011.

42 CBN Online, <http://ip52‐214.cbn.net.id/id/arsip/2004/ 03/08/LU/ mbm.20040308. LU89740.id.html>diakses tanggal 26 Oktober 2011

43 Lihat buku putih SBY‐JK, butir 9 tentang kebijakan dan butir 6 tentang program. SBY‐JK. 2004. Membangun Indonesia yang aman, adil,

dan Sejahtera: Visi, Misi, dan Program.

Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 99 Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 99

Menurut Joyo Winoto diletakkannya komitmen reforma agraria di bawah agenda dan program ekonomi dan kesejahteraan didasari oleh keyakinan bahwa melalui pelaksanaan reforma agraria maka kebijakan pertanahan akan dapat berkontribusi secara nyata pada perwujudan keadilan sosial, penciptaan lapangan kerja, serta pengentasan kemiskinan. Melalui reforma agraria juga dapat dijamin kontribusi pertanahan pada proses revitalisasi pertanian, revitalisasi pedesaan serta pada proses pemenuhan hak‐hak dasar rakyat (Winoto 2005).

Lebih lanjut Joyo Winoto memandang bahwa ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin meningkat di atas dan pengaruhnya terhadap angka kemiskinan dan pengangguran yang meluas di daerah pedesaan tidak terlepas dari faktor kebijakan pertanahan tiga dekade terakhir ini, yang diorientasikan untuk mendukung kebijakan makro ekonomi nasional yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi semata. Kebijakan pertanahan bukannya didasarkan atas penataan aset produksi terlebih dahulu, akan tetapi langsung diarahkan kepada upaya peningkatan produktivitas. Akibat orientasi pembangunan semacam ini, maka rakyat kecil pun semakin terpinggirkan, misalnya petani yang tadinya memiliki tanah berubah menjadi petani penggarap dan akhirnya menjadi buruh tani. Selain itu, ia juga telah melahirkan berbagai persoalan keagrariaan mendasar yang mewujud dalam bentuk kerusakan

44 Dengan diangkatnya Joyo Winoto menjadi Kepala BPN maka posisi Direktur Brighten diisi oleh Harianto. Sementara Joyo Winoto sendiri

di lembaga tersebut menjadi Direktur Senior. 100 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan di lembaga tersebut menjadi Direktur Senior. 100 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan

BPN RI di bawah kepemimpinan Joyo Winoto mengalami perombakan total dan drastis, dimulai dari visi‐misi BPN, managemen organisasi BPN hingga personalia BPN sebagai lembaga negara yang bersifat vertikal. Joyo Winoto juga mengangkat agenda reforma agraria dari arena gerakan sosial dan dari TAP MPR RI No. IX/2001 menjadi kerangka kebijakan BPN (Fauzi 2010:14). Joyo Winoto telah mengangkat reforma agraria sebagai mandat politik, konstitusi dan hukum dalam rangka mewujudkan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (Landreform by grace). 45 Secara formal, pada 11 April 2006 keluarnya Peraturan Presiden RI No. 10 Tahun 2006 tentang BPN telah menegaskan mandat BPN sebagai lembaga negara yang menjalankan reforma agraria.

Dengan demikian era Presiden Yudhoyono dan Joyo Winoto sebagai Kepala BPN telah mengukuhkan lahirnya kembali momentum reforma agraria di Indonesia. Revitalisasi reforma agraria di Indonesia ini juga di dorong oleh momentum kebangkitan kembali reforma agraria di kancah global, baik dalam arena studi, kebijakan, maupun gerakan sosial. Namun tentunya semakin menarik untuk dievaluasi apakah momentum ini telah dipergunakan dengan semestinya untuk mengubah kondisi agraria di Indonesia yang sangat timpang dan penuh dengan konflik?

Belajar dari pengalaman kegagalan reforma agraria di Indonesia pada era 1960‐an, salah satu penyebabnya menurut McAuslan (dalam Wiradi 2006) adalah karena hambatan ilmiah. Hal ini dikarenakan jumlah ilmuwan agraria di Indonesia masih amat

45 BPN RI. 2007. Reforma agraria: mandat politik, konstitusi dan hukum dalam rangka mewujudkan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan

rakyat.

Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 101 Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 101

Pertimbangan kebutuhan akan ilmuwan agraria ini pulalah yang mendorong Joyo Winoto untuk turut pula mencetak para birokrat ilmuwan melalui lembaga kedinasan yang dimiliki BPN RI yakni Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN). Pengelolaan pengetahuan keagrariaan yang dijalankan oleh STPN telah membentuk (Soetarto 2010b): (1) jaringan Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria; (2) Associate Scholar multikompetensi; (3) riset serta publikasi kolaboratif; (4) jaringan Cross‐Border Consortium for Agrarian Transition Studies (CBCATS) antara STPN dengan IPB, University of Philippines, Atheneo de Cagayan, Samdhana Institute dan Sajogyo Institute.