Lembaga Swadaya Masyarakat

4.1.2 Lembaga Swadaya Masyarakat

Pembentukan, keberadaan dan pergerakan Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO di bidang agraria di tanah, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran‐pemikiran para akademisi dan peneliti dalam studi agraria di Indonesia, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Ada beberapa NGO yang memiliki konsistensi dalam melakukan kajian agraria, maupun mendorong gerakan untuk memperjuangkan keadilan agraria, di antaranya adalah Yayasan Akatiga dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Yayasan Akatiga Bandung berdiri sejak tahun 1991. Dewan Pendiri dan Badan Pengurus padaawal berdirinya adalah mereka‐ mereka yang terlibat dalam “West Java Project”, suatu proyek kerjasama mengenai Rural Non Farm Activities (RNFA) yang melibatkan IPB‐ITB dan ISS The Hague. Pada tahun 1991, Yayasan Akatiga didirikan di Bandung dan mempunyai Dewan Penasihat, yaitu Prof. Sajogjo, Prof. Sediono Tjondronegoro, Lukman Sutrisno, Hasan Purbo, Soetjipto Wirosardjono dan Gunawan Wiradi. Yayasan Akatiga pada saat itu mempunyai tiga kelompok penelitian, yaitu buruh (labour), usaha kecil (smallholders) dan tanah (land). Dalam kelompok penelitian tanah inilah Gunawan Wiradi dan Endang Suhendar terlibat dalam berbagai penelitian pemetaan konflik tanah. Penggunaan “kelompok penelitian tanah” daripada “kelompok penelitian agraria” mencerminkan situasi pada masa

Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 93

Suharto di mana banyak organisasi penelitian menghindarkan penggunaan konsep agraria. Namun, penelitian-penelitian Yayasan Akatiga ini cukup penting dalam kaitannya dengan sejarah perkembangan studi agraria di Indonesia, meskipun dalam konteks khusus PPAN/RA di era pemerintahan SBY, Yayasan Akatiga tidak secara langsung memiliki keterikatan dalam prosesnya.

Dalam kaitan dengan pembahasan mengenai aktor kunci dari proses pengusungan wacana agraria, pembaruan agraria, reforma agraria, keadilan bagi petani, salah satu institusi kunci di Indonesia adalah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). KPA didirikan di Jakarta tanggal 24 September 1994 yang kemudian disahkan pada tanggal 10 Desember 1995 dalam Musyawarah Nasional I KPA di Bandung. KPA merupakan gerakan rakyat yang terbuka dan independen dengan tujuan untuk memperjuangkan terciptanaya sistem agraria yang adil dan menjamin pemerataan pengelolaan sumber agraria bagi petani, nelayan dan masyarakat adat; serta jaminan kesejahteraan bagi rakyat miskin (KPA Website, 2011).

Dalam hal memperjuangkan pembaruan agraria, nama KPA sudah berkibar dalam ranah perjuangan untuk keadilan agraria sejak tahun 1995. Di bawah Ketua Umum KPA pertama yaitu Noer Fauzi Rachman.

gerakan international yaitu International Land Coalition (ILC), peran KPA dalam memperjuangkan nasib petani awalnya lebih diprioritaskan untuk mengadvokasi petani yang menghadapi kon flik agraria. Di akhir masa pemerintahan Orde Baru, yaitu antara 1997-1998, mulailah KPA mensosialisasikan Gerakan untuk Pembaruan Agraria. Pembentukan jaringan organisasi tani dan bergabungnya KPA dalam Koalisi untuk Keadilan Agraria semakin memperkuat peran KPA dalam perjuangan agraria di Indonesia.

Bergabung

dalam

94 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan

Demikian pula ketika pada bulan Desember 1998, setelah Presiden Suharto lengser dari jabatannya, gerakan untuk melakukan Pembaruan Agraria semakin menguat. Hal ini ditandai dengan diadakannya Konferensi Pembaruan Agraria Indonesiatanggal 5 Desember 1998 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang kemudian menghasilkan Deklarasi Pembaruan Agraria 1998. Sejak itu pula, berbagai Musyawarah Nasional, Kongres, hingga Seminar tentang Agraria cukup aktif dilaksanakan. Berbagai konsep, usulan kebijakan (seperti usulan Revisi UUPA, atau usulan untuk memasukkan agenda pembaruan agraria dalam Sidang Umum MPR 1999) dikeluarkan KPA (2000). Hasilnya dapat dikatakan bahwa pengaruh dari dorongan oleh gerakan untuk keadilan agraria ini pula lah yang menjadi salah satu faktor dikeluarkannya TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Agraria.

Sayangnya, paska ditetapkannya TAP MPR tersebut gaung pembaruan 37 agraria seolah menjadi hilang. Hingga kemudian calon

Presiden Susilo Bambang Yudhono, di tahun 2004 menyebutkan rencana untuk melaksanakan Reforma Agraria apabila terpilih menjadi Presiden RI kelima. Pada saat Program ini benar‐benar dijalankan, pernyataaan KPA tentang reforma Agraraia yang terkait dengan 38 PPAN adalah bahwa, “RA didefinisikan sebagai upaya‐ upaya yang dilakukan oleh negara dan masyarakat dalam merubah hubungan –hubungan sosial agraria dan bentuk‐bentuk penguasaan tanah dan sumber‐sumber daya alam kearah keadilan dan pemerataan melalui mekanisme dan sistem politik yang demokratis dan terbuka, bagi sebesar‐besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.” Melalui definisi seperti itu, KPA mengkritisi kebijakan

37 Lihat tulisan Wiradi tahun 2001, berjudul “Reforma Agraria Posta TAP MPR No. IX/2001”.