Sejarah dan Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen

Perkembangan Hukum Konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan perlindungan konsumen pada abad ke-19, terutama ditandai dengan munculnya gerakan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat. Hukum perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI pada bulan mei 1973 yang diketuai oleh Lasmidjah Hardi. 11 Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen seperti YLKI dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan kepada masyarakat atau konsumen. 12 YLKI merupakan salah satu lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat LPKSM yang bisa dikatakan sebagai pelopor gerakan perlindungan konsumen pertama di tanah air. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk membantu konsumen agar hak-haknya bisa terlindungi. Disamping itu, tujuan 11 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006, hal. 49. 12 N.H.T. Siahaan, op.cit, h. 9. Universitas Sumatera Utara YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga bisa melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya. 13

B. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

Sebagai salah satu LPKSM, YLKI masih terus berkembang hingga kini dan tetap menjadi pelopor gerakan perlindungan konsumen. Upaya untuk mewujudkan sebuah undang-undang tentang perlindungan konsumen dilakukan selama bertahun-tahun. Pada masa Orde Baru, pemerintah dan DPR tidak memiliki keinginan yang besar untuk mewujudkannya karena terbukti pengesahan rancangan undang-undang tentang Perlindungan Konsumen selalu ditunda. Baru kemudian pada era reformasi, keinginan terwujudnya undang-undang perlindungan konsumen bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan BJ Habibie, tepatnya pada tanggal 20 april 1999, RUU Perlindungan Konsumen secara resmi disahkan sebagai UU Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999.

1. Pengertian Konsumen

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen 9 UUPK. Pasal 1 Angka 2 Undang- Undang Perlindungan Konsumen menyatakan, konsumen adalah “setiap orang pemakai barangjasa yng tersedi dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri 13 http:id.wikipedia.orgwikiYayasan_Lembaga_Konsumen_Indonesia, bahan diakses tanggal 10 mei 2010. Universitas Sumatera Utara sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan”. Sebelum muncul Undang-Udang Perlindungan Konsumen yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000, praktis hanya sedikit .pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia Di antara ketentuan normatif itu terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan :Persaingan Usaha Tidak Sehat diberlakukan 5 Maret 2000 satu tahun setelah diundangkan. Undang-Undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen , yaitu “setiap pemakai atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain”. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 14 Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Istilah lain yang adak dekat dengan konsumen adalah ”pembeli” koper. Istilah ini dapat dijumpai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli. Pakar masalah hukum konsumen di Belanda, Hondius sebagaimana dikutip oleh Tim FH UI dan Depdagri disimpulkan bahwa, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai, pemakai produksi terakhir dari benda dan atau jasa uinteindelijk gebruiker van goederen en diesten. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir konsumen antara dari konsumen pemakai terakhir. 14 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Yakarta 2000 hal 1-2 Universitas Sumatera Utara Masalahnya, apakah pengertian konsumen hanya menyangkut orang atau termasuk bukan orang? Di Perancis, berdasrkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai, “The person who obstains goods and service for personal or family purpose”. 15 Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat dalam Magnusson-Moss Warranty, Federal Trade Commision act 1975 mengartikan konsumen persis sama dengan ketentuan di Perancis. Demikian pula dengan rumusan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda NBW Buku VI pasal 236 : walaupun terkesan lebih umum karena dimuat dalam bab tentang syarat-syarat umum perjanjian, yang dikandung tetap kurang lebih sama. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu, konsumen dinayatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau perusahaan. Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu 1 konsumen hanya orang, dan 2 barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya. Sekalipun demikian, maka kata “memperoleh” to obtain masih kabur, apakah maknanya hanya melalui hubungan jual beli atau lebih luas dari pada itu ? 16 Di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu orang, tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi lebih atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik disini, konsumen tidak harus terkait dalam hubungan jual beli sehingga dengan 15 Tim FH UI Depdagri, Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta 1992 hal 57 16 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1995 hal 72 Universitas Sumatera Utara sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. 17 Consumer Protection Act of 1986, Nomor 68 dari Negara India menyatakan Konsumen adalah setiap orang pembeli atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya tetap tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial. 18 Di Australia, ketentuannya ternyata jauh lebih moderat. Dalam Trade Practises act 1974, yang sudah berkali-kali diubah konsumen diartikan sebagai : seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harganya tidak melewati 40.000 dollar Australia. Artinya, sejauh tidak melewati jumlah uang diatas, tujuan pembelian barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah uangnya sudah melewati 40.000 dollar, keperluannya harus khusus. 19

2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Rumusan-rumusan berbagai ketentuan itu menunjukan sangat beragamnya pengertian konsumen. Masing-masing ketentuan memiliki kelebihan dan kekurangan. Istilah Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen sudah sangat sering terdengar. Namun belum ada yang jelas, apa saja yang termasuk di dalam cabang Hukum Konsumen dan atau Hukum Perlindungan Konsumen. Sekalipun demikian, hampir semua orang sudah menyebutkan tentang Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen. Kemungkinan besar 17 Tim FH UI Depdagri, op.cit, hal 58 18 Az. Nasution, op.cit 19 R.Steinwall L.Layton, Annoated Trade Practise Act 1974, Sydney :Butterworths,1996 hal 35 Universitas Sumatera Utara meningkatnya kebutuhan masyarakat akan perlindungan konsumen terdapat dampak negative hubungan penyediaan barang atau jasa kebutuhan konsumen oleh pengusaha dan penggunaannya oleh konsumen merupakan salah satu penyebab. Tentu saja tidak dapat dihindarkan juga pengaruh global perkembangan kehidupan anatar bangsa pada umumnya dan kehidupan ssosial-ekonomi-hukum pada khususnya. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat ,yang melindungi kepentingan konsumen. Secara universal, berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya bersaingdaya tawar. Kedudukan konsumen ini, baik yang tergabung dalam suatu organisasi apalagi secara individu, tidak seimbang dibandingkan dengan kedudukan pengusaha. Oleh sebab itu, untuk menyeimbangkan kedudukan tersebut, dibutuhkan perlindungan pada konsumen. Adapun Hukum Konsumen diartikan sebagai “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain, berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup’. 20 20 Az. Nasution, Konsumen, op.cit hal 64-65 Sejalan dengan batasan Hukum Konsumen, maka Hukum Perlindungan Konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah Universitas Sumatera Utara hukum yang mengatur melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen”. 21 Hukum Konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan social, ekonomi, daya asing maupun tingkat pendidikan. Az. Nasution mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konssumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen. Dari dua batasan tersebut di atas, hendaknya tidak dilupakan bahwa peran regulasi sendiri self regulation dikalangan pengusaha dan profesi, juga mempunyai pengaruh pada konsumen dan perlindungan konsumen seperti termuat dalam bentuk kode etik, kode praktek, kode pemasaran dan sebagainya. 22 “Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli : 1 karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli. 2 mengenai jenis Adapun yamg masih belum jelas dari pernyataan Az. Nasution berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang senantiasa bersifat mengatur. Apakah kaidah yang bersifat memaksa, tapi memberikan perlindungan kepada konsumen tidak termasuk dalam hukum perlindungan konsumen? Untuk jelasnya dapat dilihat ketentuannya dalam pasal 383 KUHP berikut ini : 21 Ibid, hal 66 22 Az. Nasution, loc.cit Universitas Sumatera Utara keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat”. Seharusnya ketentuan memaksa dalam Pasal 383 KUHP itu juga memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam wilayah hukum perlindungan konsumen. Artinya, persoalan ini bukan terletak pada kaidah yang harus “mengatur” atau “memaksa”. Dengan demikian seyogianya dikatakan hukum, konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen didalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita mengartikan “hukum” termasuk juga hukum diartikan sebagai asas dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak- hak konsumen terhadap gangguan pihak lain.

C. Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Undang-undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999 merupakan dasar hukum utama bagi perlindungan konsumen di Indonesia. disamping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga memberikan perlindungan keamanan, keselamatan atau kesehatan konsumen yakni : 23 23 Erman Rajagukguk et al, Hukum perlindungan Konsumen , CV. Mandar Maju, Bandung, 2000,hal. 8. Universitas Sumatera Utara 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP Pasal 202, 203, 204, 205, 205, 263, 364, 266, 382 bis, 383, 388 dsb. Pasal-pasal tersebut mengatur pemidanaan dari perbuatan-perbuatan : a. Memasukkan bahan berbahaya ke dalam sumber air minum umum. b. Menjual, menawarkan, menerimakan atau membagikan barang yang dapat membahayakan jiwa atau kesehatan orang. c. Memalsukan surat. d. Melakukan perjanjian curang. e. Melakukan penipuan terhadap pembeli. f. Menjual, menawarkan atau menyerahkan makanan, minuman dan obatobatan palsu. 2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1473-1512 dan pasal 1320-1338. dimana pasal-pasal tersebut mengatur perbuatan yang berkaitan dengan perlindungan kepada pembeli dan perlindungan kepada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian. 3. Ordonasi bahan-bahan berbahaya tahun 1949 Ordonansi yang menentukan larangan untuk setiap pemasukan pembuatan, pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan dan pemakaian bahan berbahaya yang bersifat racun atau berposisi racun terhadap kesehatan manusia. 4. Undang-undang tentang obat keras tahun 1949 Undang-undang ini memberikan kewenangan pengawasan oleh pmerintah terhadap pemasukan, pengeluaran, pengangkutan bahan-bahan obat keras yang akan diproduksi atau diedarkan. Universitas Sumatera Utara 5. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan. undang-undang ini memberikan kewenangan pengawasan pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. undang-undang ini merupakan landasan untuk mengatur hal-hal seperti pengawasan produksi obat, pendaftaran makanan, minuman dan obat, penandaan, cara berproduksi yang baik dan lain sebagainya. sebagai pengganti dari berbagai undang-undang yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan manusia. 6. Undang-undang No. 10 tahun 1961 tentang barang undang-undang ini merupakan landasan untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan standar barang. salah satu pelaksanaan dari undang-undang ini adalah terbitnya peraturan pemerintah tentang standar nasional Indonesia SNI. 7. Undang-undang No. 2 tahun 1981 tentang metrologi legal undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengelola standar-standar satuan, pelaksanaan tera dan tera ulang terhadap setiap alat ukur, takar, timbangan dan perlengkapannya, termasuk kegiatan pengawasan, penyidikan serta pengenaan sanksi terhadap pihak-pihak yang di dalam melakukan setiap transaksi menggunakan satuan alat ukur yang tidak benar. 8. Undang-undang No. 22 tahun 1954 tentang undian undang-undang ini ditetapkan untuk mengatur kegiatan undian, dan karena bersifat umum, maka untuk melindungi kepentingan umum tersebut perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga terjaminnya setiap janji pengelola kepada peserta undian. Universitas Sumatera Utara 9. Peraturan Perundang-undangan yang maksudnya memberikan perlindungan dan dalam bentuk keputusan atau peraturan menteri, dapat ditemui dalam bidang kesehatan seperti produk dan pendaftaran makanan dan minuman, wajib daftar makanan, makanan daluwarsa, bahan tambahan makanan, penandaan, label dsb. di bidang industri, umumnya ketentuan yang berkaitan dengan standar barang dan di bidang perdagangan yang berkaitan dengan pengukuran, periklanan dsb. dibidang jasa dapat dijumpai dalam peraturan yang berkaitan dengan transportasi. Dari berbagai contoh peraturan perundang-undangan yang dikemukakan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dapat dilihat dari 2 dua aspek, yaitu : 1. Perlindungan tersebut berlaku untuk semua pihak baik yang berposisi sebagai konsumen maupun pengusaha sebagai pengelola produksi barang atau jasa atau instansi apapun. 2. Perlindungan tersebut semata-mata dikaitkan dengan masalah kesehatan manusia atau kenyamanan yang dibutuhkan oleh setiap manusia

D. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Prof. hans. W. Mickklitz,