Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce Di Tinjau Dari Hukum Perikatan

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : Apriyanti NIM : 1110048000003

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

i

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE DI TINJAU DARI HUKUM PERIKATAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : Apriyanti NIM: 1110048000003

Pembimbing I

Dra. Hafni Muchtar, SH. MH. MM

Pembimbing II

Drs. R. Prastowo Sidhi, SH. MH

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

(4)

(5)

iv

Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/ 2014 M. xi + 73 halaman + hal lampiran. Penelitian ini menganalisis perlindungan hukum yang didapatkan oleh konsumen dalam melakukan sebuah transaski dimedia elektronik.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum, dan secara praktis maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan untuk menganalisis perlindungan hukum yang timbul dalam transaksi elektronik serta mengenai keabsahan kontrak elektronik. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-udangan, literatur, pendapat ahli, makalah-makalah. Penulis menganalisis bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaki elektronik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”, dalam transaksi yang biasanya menggunakan paper based economy, akan tetapi dalam transaksi E-Commerce

berubah menjadi digital electronic economy perlunya penangan khusus dalam kacamata hukum itu sendiri. Peninjauan transaksi E-Commerce yang dilihat dari kacamata hukum perikatan khusunya yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320 kiranya berbasis pada kekuatan hukum yang dimilki oleh konsumen dalam melakukan transaksi. Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dan daripada hak-hak konsumen untuk mendapatkan perlindungan hukum dan sudah dapat menjadi awal yang baik bagi kepastian hukum untuk konsumen.

Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Transaksi Elektronik,

Tinjauan Hukum Perikatan

Pembimbing : Dra. Hafni Muchtar, SH. MH. MM

Drs. R. Prastowo Sidhi, SH. MH


(6)

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji dan Syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI

E-COMMERCE DI TINJAU DARI HUKUM PERIKATAN”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dr. H. JM Muslimin, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vi

3. Dra. Hafni Muchtar, SH. MH. MM dan Drs. R. Prastowo Sidhi, SH. MH Selaku dosen Pembimbing yang telah bersedia memberikan saran, kritik, bantuan, dan arahan selama penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas waktu dan pikiran yang telah diberikan. Semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. 5. Kepada staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Staff Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Alm. H. Ahmad Firdaus dan Ibunda Hj. Titin, yang selalu mengirimkan doa dan mencurahkan kasih sayangnya, serta Kakaku Iwan Firdaus Ilyas, Dewi Firdaus, Firmansyah, Jamhuri serta Adikku Rizki Apriyanda yang memberikan semangat dan kebersamaan ketika di rumah untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Riviantha Putra, terima kasih atas semangat, dukungan dan waktu kepada penulis yang tiada hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(8)

vii

8. Kawan-kawan ilmu hukum Atiek Af’idata, Ayyida Sabila, Nourma Andriani Utami, Defi Satiatika, Ajeng Kumalasari, Nurfika, Liza Trikusuma, Siti Annisa Saridah, Naziatunisa, Hopsah Farahdini. Yasicha Nedipraha Aprilizega, Endah sulastri, Ainul arifatul, Cantika, Kendri, Teman-teman AMPUH, BUSINESS LAW COMMUNITY, dan MOOD COURT COMMUNITY Serta teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum 2010 UIN Syarif Hidayatullah yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasih atas bantuan, motivasi, dan kesan-kesannya selama penulis menimba ilmu.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karuni-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amin).

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih dan maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian dan terimakasih.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Jakarta, 7 Mei 2014


(9)

viii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Identifikasi Masalah ………8

C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ..8

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ..9

E. Tinjauan Pustaka .10 F. Metode Penelitian .11 G. Sistematika Penulisan .14 BAB II HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Perlindungan Hukum………16

1. Pengertian Perlindungan Hukum...16

B. Perlindungan Konsumen………...18

1. Pengertian Perlindungan Konsumen………...18


(10)

ix

1. Undang-Udang dasar dan ketetapan MPR………..20

2. Hukum Konsumen Dalam Hukum Perdata………..21

3. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik……….23

D. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha………...23

E. Prinsip-Prinsip Umum Perlindungan Konsumen ………...25

F. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Perikatan……….26

1. Pengertian Perikatan………..26

2. Pengertian Jual-beli………....27

3. Saat Teradinya Jual-beli……….28

BAB III LEGLITAS TRANSAKSI E-COMMERCE DI TINJAU DARI HUKUM PERIKATAN A. Tinjauan Umum Transaksi E-Commerce……….32

B. Pengertian E-Commerce………..34

C. E-CommerceDalam Presfektif Hukum Kontrak……….37

D. Leglitas Transaksi E-Commerce Di Tinjau Dari Hukum Perikatan………,39

E. Pembuktian Hukum Terhadap Data Elektronik………44

F. Jenis-jeni Transaksi Electronic Commerce (E-Commerce)………......46

1. Bisnis ke Bisnis (Business to Business)………...46

2. Bisnis ke konsumen (Business to consumer)...48

G. Pihak-pihak Dalam Transaksi Electronic Commerce (E-Commerce)…………...49

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KOMSUMEN SERTA


(11)

x

B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce……….62

1. Pengertian Sengketa Konsumen ……….62

2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis Internet Dalam

Perlindungan Konsumen……….64

3. Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa ……….65 4. Penerapan Arbitrase Online sebagai ODR dalam Penyelesaian Sengketa…..67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………73

B. Saran………..74


(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik 3. Perarutan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Transaksi Elektronik


(13)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat menimbulkan adanya suatu gaya baru dalam sistem perdagangan. Beberapa tahun terakhir perdagangan melalui media internet semakin marak terjadi di Indonesia. Bahkan jual beli di media internet menggunakan facebook atau handphone sebagai alat pemasarannya. Dengan perdagangan lewat internet ini berkembang pula sistem bisnis virtual, seperti virtual store dan virtual company di mana pelaku bisnis menjalankan bisnis dan perdagangannya melalui media internet dan tidak lagi mengandalkan bisnis perusahaan konvensional yang nyata.

Dengan adanya fenomena yang demikian ini, yakni semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha, maka perlindungan hukum terhadap konsumen dipandang sangat penting keberadaanya. Sebab dalam rangka mengejar produktifitas dan efisiensi tersebut, pada akhirnya baik secara langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang menanggung dampaknya1.

1

Sri Redjeki Hartono, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Pada Era Perdagangan Bebas, Dalam Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung : Mandar Maju, 2000), h. 33.


(14)

2

Dampak negatif terjadi pula akibat pengaruh penggunaan media internet dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Melalui media intenet beberapa jenis tindak pidana semakin mudah dilakukan2. Kemunculan perdagangan melalui internet ini, membawa implikasi baru yang berbeda. Bagi kepentingan ekonomi kehadiran teknologi komputer dan internet telah mendorong kepada tindakan efisiensi yang sesungguhnya, sedangkan bagi dunia hukum, kemajuan teknologi komputer dan internet ini telah membawa implikasi pada munculnya fenomena hukum yang baru. Sehingga memunculkan persoalan-persoalan hukum yang baru.

Perdagangan seperti ini tidak lagi merupakan paper based economy, akan tetapi berubah menjadi digital electronic economy. Pemakaian benda tidak berwujud semakin tumbuh dan mungkin secara relatif akan mengalahkan penggunaan benda yang berwujud3. Terdapat beberapa kasus yang terjadi dalam tranasaksi elektronik tersebut, sebuah contoh kasus yang dialami mahasiswi Bandung yang hendak melakukan jual beli dengan pihak penyedia jasa di salah satu situs belanja online yaitu Kaskus.com, di mana dari pihak pembeli sudah melakukan negosiasi dalam melakukan pembayaran dengan pelaku usaha yang memposting barang dagangannya disalah satu situs belanja online tersebut. Setelah keduanya sepakat dengan perjanjian yang mereka adakan maka timbul hak dan kewajiban yang diterima oleh

2

Cbybercrime adalah kejahatan dengan internet sebagai alat bantunya atau kejahatan di dunia maya, contohnya perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain menggunakan kartu kredit atau pembayaran elektronik lainnya milik orang lain dalam transaksi elektronik.

3

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: PT. Gravindo Persada, 2000), h.29.


(15)

masing pihak, namun dilain pihak telah terjadi wanprestasi di mana pelaku usaha tidak melakukan kewajibannya dalam perjanjian yang telah diadakan kepada pihak konsumen, dan dalam hal ini apabila konsumen telah mendapatkan sebuah tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pelaku usaha maka bagaimana kekuatan hukum yang timbul dalam perjanjian yang diadaakan oleh kedua belah pihak, agar dari pihak konsumen dapat memiliki rasa aman dari kontrak elektronik yang diakan kepada pihak pelaku usaha tersebut.

Dengan masuknya media internet dalam dunia perdagangan/bisnis, banyak hal-hal mengalami perubahan, seperti kedekatan para pihak dalam bertransaksi menjadi semakin renggang, karena masing-masing pihak praktis tidak mengenal secara dekat satu sama lain (pengenalan hanya diketahui melalui media komputer), ketidakjelasan mengenai barang yang ditawarkan, terlebih apabila barang yang ditawarkan membutuhkan pengenalan secara fisik (seperti parfum dan obat-obatan), kepastian bahwa barang yang dikirim sesuai dengan barang dipesan, padahal kita ketahui bahwa hubungan yang timbul antara konsumen dengan pelaku usaha senantiasa dimaksudkan agar kedua belah pihak menikmati keuntungan.

Kondisi inilah yang seringkali timbul dalam setiap transaksi dengan mempergunakan internet. Sebaliknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang sekarang berlaku di Indonesia masih berbasis pada sesuatu yang sifatnya fisik belum kepada virtual/maya. Transaksi perdangan melalui media elektronik atau lazim disebut Electronic Commerce menyisakan berbagai permasalahan yang belum ada pengaturannya. Electronic Commerce terbentuk dari berbagai sub sistem yang


(16)

4

tersusun secara sistematis, dan masing-masing sub sistem tersebut memiliki permasalahnya masing-masing.

Ketika seseorang hendak melakukan suatu transaksi, misalnya saja pembeliaan barang, maka para pihak sudah mulai dihadapkan pada berbagai masalah hukum seperti keabsahan dokumen yang dibuat, tandatangan digital yang dibuat saat seorang tersebut meyatakan sepakat untuk betransaksi, kekuatan mengikat dari kontrak tersebut dan pembayaran transaksi. Dalam oprasionalnya, E-Commerce ini dapat berbentuk Business to Business atau Business to Consummers. Salah satu isu yang curcial dalam E-Commerce adalah menyangkut keamanan dalam mekanisme pembayaran (payment mechanism) dan jaminan keamanan dalam bertransaksi (security risk), seperti informasi mengenai transfer data kartu kredit dan identitas pribadi konsumen, dalam hal ini ada dua masalah utaman yaitu pertama,

indetification integrity yang menyangkut indetitas sipengirim yang dikutakan lewat

digital signature, kedua, message integrity yang meyangkut apakah pesan yang dikirimkan oleh si pengirim benar-benar diterima oleh penerima yang dikehendaki (intended recipant).

Dalam pelaksanaannya, E-Commerce ini mengalami permasalahan khusunya yang berkaitan dengan kontrak, perlindungan konsumen, pajak, yuridiksi dan digital signature4. Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

4

Didik M. Arief dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung : Refika Aditama, 2005) , h.133-135.


(17)

Elektronik. Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini diatur mengenai transaksi elektronik di mana salah satunya adalah kegiatan mengenai jual beli dalam media internet ini.

Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

ini yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah “perbuatan hukum yang

dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media

elektronik lainnya”. Sesuai dengan pengertian di atas, maka kegiatan jual beli yang dilakukan melalui komputer ataupun handphone dapat dikategorikan sebagai suatu transaksi elektronik. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar. Kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi : “Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan

syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan” di antaranya:

1. Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;

2. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa5.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang

5Hukum Online, “ Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Belanja Online”,

artikel diakses pada tanggal 21 okober 2013 dari

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50bf69280b1ee/perlindungan-hukum-bagi konsumen belanja-online.


(18)

6

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”6

.

Selain upaya dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam melindungi konsumen terhadap transaksi jual beli dalam media internet dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) juga mengatur mengenai sebuah perbuatan yang dilanggar bagi para pelaku usaha. Pada dasarnya penipuan secara jual beli di internet ini tidak jauh berbeda dengan penipuan secara konvensional. Yang membedakan hanyalah sarana perbuatannya, dalam penipuan secara internet, penipuan tersebut menggunakan sarana elektronik. Karena itu, penipuan secara internet dapat dikenakan Pasal 378 KUHPidana. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga telah mengatur bentuk penipuan dalam media internet ini. Dalam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”.

Adapun perbuatan optimum yang dianggap mengandung sifat ketidakadilan dan berdasarkan sifanya, yang patut dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang adalah mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Perbuatan tersebut, dapat mengandung unsur delik penuh bilamana dianggap terlaksana penuh dengan perbuatan yang dilarang Undang-undang yakni

6

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2011), h.1.


(19)

menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, dan menimbulkan akibat kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Dengan demikian, delik ini termasuk delik materiil atau delik dengan perumusan materiil, yakni delik yang baru dianggap terlaksana penuh bahwa unsur kerugian konsumen dalam transaksi dengan elektronik harus dibuktikan terlebih dahulu7.

Dalam beberapa literatur di atas yang sedikit mejelaskan bagaimana fenomena yang sekarang ini sedang terjadi, dalam transaksi yang dilakukan di dalam media internet ini juga meninggalkan masalah mengenai keabsahan sebuah kontrak elektronik dalam transaksi jual beli dalam media internet ini, apabila dilihat dalam hukum perikatan8.

Transaksi jual beli melalui media internet, biasanya akan didahului oleh penawaran jual, penawaran beli dan penerimaan jual atau penerimaan beli. Sebelum itu mungkin terjadi penawaran secara elektronik, misalnya melalui website situs di internet atau melalui posting di mailing list dan newsgroup atau melalui undangan untuk para customer melalui model business to customer 9, yang dalam hal tersebut antar pihak pelaku usaha dan konsumen hanya dapat berkomunikasi melalui media intenet dan tidak melakukan tatap muka dalam melakukan sebuah kesepakatan, dan disini timbul pertanyaan apakah hanya dengan kata sepakat dan tidak dengan

7

Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, Studi kasus : Prita Mulyasari, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2009), h. 99-100.

8

K. Muljadi dan G. Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.18.

9

Ahmad Mujahid Ramli, Cyber Law dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2004), h. 97.


(20)

8

perjanjian tertulis sebuah kepakatan dapat terlaksana jika dilihat perkembangan jaman yang sudah sangat maju dengan adanya teknologi tersebut yang tidak lagi merupakan

paper basedeconomy, akan tetapi berubah menjadi digital electronic economy. Bedasarkan latar belakang belakang masalah tersebut di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul :

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-commerce Di Tinjau Dari Hukum Perikatan”.

B . Identifikasi Masalah

1. Bagaimana peranan pemerintah dalam mengedukasi masyarakatnya untuk lebih mengutamakan unsur kehati-hatian dalam melakukan sebuah transasksi dalam media elektronik.

2. Bagaimana keamanan yang didapatkan oleh konsumen dalam melakukan transaksi dimedia internet.

3. Perlindungan yang seperti apa yang akan didapatkan oleh konsumen dalam melakukan transaksi dimedia internet.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam hal-hal yang telah dipaparkan oleh penulis di dalam latar belakang masalah, maka penulis hanya membahas mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi E-Commerce ditinjau dari hukum perikatan.


(21)

Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah yang telah dijelaskan oleh penulis di atas, maka dapat diambil kesimpulan permasalahan yang sekarang telah menjadi aktifitas yang sering kita jumpai di kalangan masyarakat global ini yaitu transaksi yang di lakukan dengan menggunakan media intenet, namum masyarakat harus mengetahui mengenai keabsahan sebuah kontrak elektonik dalam transaksi jual beli di media internet agar tercipta sebuah perlindungan hukum terhadap konsumen dalam bertransaksi melalui media internet tersebut. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menyajikan pertanyaan penilitian sebagai berikut :

a. Bagaimana legalitas transaksi elektronik yang ditinjau dari hukum perikatan?

b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam bertransaksi melalui media internet?

c. Apa saja bentuk penyelesaian sengketa konsumen dalam transaksi pada media internet?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana keabsahan sebuah kontrak elektronik dalam melakukan sebuah transaksi jual di media internet.

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen dalam bertransaksi melalui media internet.


(22)

10

c. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa konsumen dalam transaksi jual beli pada media internet.

2. Manfaat Penelitian

a. Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam hal perlindungan hukum terhadap konsumen.

b. Bagi akademisi, sebagai tambahan referensi guna mempermudah bagi pihak yang berkepentingan yang ingin melakukan penelitian dengan objek yang sama.

c. Bagi pembaca, agar para pembaca dapat memahami bagaimana keabsahan sebuah kontran elektronik dalam transaksi jual beli di media intrenet dan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi jual beli di media internet serta bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa konsumen dalam bertransaksi memalui media internet.

E. Kajian Terdahulu

Dalam menjaga keaslian judul penulis ajukan dalam skripsi ini perlu kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan pertimbangan. Antara lain :

1. Tesis yang berjudul “PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI PERDAGANGAN SECARA ELEKTRONIK” karya Ahmad Syafiq, program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponogoro Semarang 2003 dalam tesis tersebut membahas mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen dan membahas mengenai cara dan macam-macam melakukan transaksi jual beli


(23)

dalam media elektronik dan tidak menjelaskan bagaimana hukum perikatan yang ada di Indonesia berperan dalam transaksi dalam media elektronik tersebut.

2. Buku yang berjudul HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN karya Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, di dalam buku tersebut mejelaskan bagaimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai perlindungan konsumen serta perlaku usaha, buku tersebut juga menjelaskan hak dan kewajiban bagi pelaku usaha dan konsumen serta badan-badan penyelesaian konsumen, secara tidak langsung buku tersebut berhubungan dengan judul skripsi yang diangkat penulis, akan tetapi buku tersebut tidak membahas mengenai kontrak dalam melakukan transaksi jual beli.

F. Metode Penelitian

Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya sesuatu yang

dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya “pengetahuan yang benar”, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat

dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu10. Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah peneliatian yuridis normatif, penelitian hukum yuridis

10

Bambang Sunggono, Metode Peneitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h.27-28.


(24)

12

normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma11.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis yang berbentuk studi deskriptif analisis, yakni dengan cara penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasarkan pada data-data yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian di ambil sebuah kesimpulan.

Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berusaha mengkombinasikan pendekatan normatif dan empiris12. Dengan penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif, penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat.

2. Teknik pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini, dengan menggunakan cara penelitian kepustakaan (Library research), yaitu suatu metode pengumpulan dengan cara membaca atau merangkai buku-buku peraturan perundang-undangan dan sumber kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan

11

Fahmi M. Ahmadi. Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h.31.

12


(25)

objek penelitian. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder, dengan melakukan pengkajian terhadap:

a. Bahan hukum primer : Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). b. Bahan hukum sekunder : merupakan bahan-bahan yang erat kaitannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu serta menganalisis. Misalnya RUU, jurnal hukum, buku-buku para sarjana, hasil penelitian, makalah hukum, dan sebagainya.

c. Bahan hukum tersier : bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya koran, majalah, kliping, dan sebagainya.

3. Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis normatif kualitatif. Yaitu dengan menganalisis ketentuan dalam perundang-undangan serta buku-buku yang berkaitan secara komprehensip. 4. Teknik Penarikan Kesimpulan

Dalam penelitian ini menggunakan metode deduktif, yakni proses penalaran yang berawal dari hal yang umum untuk menentukan hal yang khusus sehingga mencapai suatu kesimpulan.


(26)

14

Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 201213.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah skripsi yang

berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-commerce

Di Tinjau Dari Hukum Perikatan” dirasa perlu untuk menguraikan terlebih dahulu sistematika penulisan sebagai gambaran singkat skripsi, yaitu sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari (a) latar belakang masalah, dan perumusan masalah, (c) tujuan dan manfaat penelitian, (d) kajian terdahulu, (e) metode penelitian, (f) sistematika penulisan.

Bab II : Bab ini menjelaskan tentang (a) Perlindungan Hukum, (b)Macam-macam Perlindungan Hukukm, (c) Perlindungan Hukum Konsumen, (d) Sumber-sumber Hukum Konsumen, (e) Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha, (f) Prinsip-prinsip Umum Perlindungan Konsumen, (g) Prinsip Tanggung Jawab Pelaku Usaha, (h) Tinjauan Umum Hukum Perikatan.

Bab III : Bab ini menjelaskan tentang Legalitas Transaksi E-Commerce Di Tinjau Dari Hukum Perikatan (a) Tinjauan Umum Transaki E-Commerce, (b) Pengertian Transaksi E-Commerce, (c) ECommerce Dalam Perspektif

13

TIM Penyusun FSH, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), 2012.


(27)

Hukum Kontrak, (d) Legalitas Transaksi E-Commerce Di Tinjau Dari Hukum Perikatan, (e) Pembuktian Hukum Terhadap Data Elektronik, (f) Jenis-jenis transaksi E-Commerce, (g) Pihak-pihak Yang Terkait Dalam Transaksi E-Commerce

Bab IV : Pada bab ini penulis memberikan tema “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Elektronik” yang terdiri dari dua pembahsan (a) Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce serta cara, (c) penyelesaian sengketa konsumen dalam bertransaksi melalui media internet.


(28)

16 BAB II

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Perlindungan Hukum

a. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum bila dijelaskan harafiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Sebelum kita mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.

Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan keberadaan hukum. Oleh karena hukum sejatinya harus memberikan perlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Setiap aparat penegak hukum jelas wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan perlindungan terhadap setiap hubungan hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum itu sendiri.

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada


(29)

subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

Menurut Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni: Pertama: Perlindungan Hukum Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Kedua: Perlindungan Hukum Represif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.

Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila1.

Dalam Al-Quran perlindungan hukum tersirat dalam surat (Al-Maidah Ayat: 32)

ْنم

لْجأ

كلٰ

انْبتك

ٰىلع

ْوأ سْفّ رْيغب اًسْفّ لتق ْنم هَّأ ليئارْسإ

ينب

امَّأكف اهايْحأ ْنمو اًعيمج ساَّلا لتق امَّأكف ضْرأْلا يف داسف

ايْحأ

ساَنلا

اًعيمج

ۚ

ْ قل

ْم ْتءاج

انلسر

تانِيبْلاب

َمث

َّإ

اًريثك

ْم ْن

م

ْعب

كلٰ

يف

ضْرأْلا

ّ فرْسمل

1Status Hukum. “ Perlindungan Hukum Represif”, a

rtikel diakses pada 29 Januari 2014 dari http://statushukum.com/tag/perlindungan-hukum-represif .


(30)

18

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui

batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia kata perlindungan berarti tempat berlindung atau merupakan perbuatan (hal) melindungi, misalnya memberikan perlindungan kepada orang yang lemah2.

B. Perlindungan Konsumen

a. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen itu sendiri menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen”. Az. Nasution menyebutkan pengertian hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk

2

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan IX, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h.600.


(31)

(barang/jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen bertujuan :

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak – haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha menegnai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen3.

Menurut Johanes Gunawan, perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dan/atau pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase)4.

C. Sumber-sumber Hukum Konsumen

Disamping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen

“ditemukan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebelumnya telah diuraikan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku setahun sejak disahkannya (tanggal 20 April 2000). Dengan demikian dan ditambah

3

Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT. Raja Grafindo,2011), h. 1-22.

4

Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, h. 3.


(32)

20

dengan ketentuan Pasal 64 (ketentuan peralihan) undang-undang ini, berarti untuk

“membela” kepentingan konsumen. Sekalipun peraturan perudang-undagan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa diantaranya akan diuraikan sebagai berikut.

a. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR

Hukum konsumen, terutama Hukum Perlindungan Kosumen mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, pembukaan alinea keempat

yang berbunyi : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”. Umumnya, sampai saat ini orang bertumpu pada kata “segenap bangsa” sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa). Akan tetapi, di

samping itu, dari kata “melindungi” menurut AZ.Nasution di dalamnya terkandung

pula asas perlindungan hukum pada segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap bangsa tanpa kecuali.

Landasan hukum lainya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan tersebut berbunyi “Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang tergantung atau digantung oleh pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta ataupun tidak, untuk melindungi dan atau mecegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang layak


(33)

apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak bagi warga negara dan hak semua orang. Ia merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh.

b. Hukum Konsumen Dalam Hukum Perdata

Dengan hukum perdata dimaksudkan hukum perdata dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-udangan lainnya. Kesemuanya itu baik dalam hukum tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).

Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Di samping itu, tentu saja juga kaidah-kaidah hukum perdata adat, yang tidak tertulis tetapi ditunjuk oleh pengadilan dalam perkara-perkara tertentu. Patut kiranya diperhatikan kenyataan yang ada dalam pemberlakuan berbagai kaidah hukum perdata tersebut.

Bebarapa putusan pengadilan tentang masalah kepertdataan berkaitan dengan konsumen masih terlihat. Adapun hubungan-hubungan atau masalah antara dan konsumen dari berbagai negara yang berbeda, atau tidak bersamaan hukum yang berlaku bagi mereka, dapat diberlakukan Hukum Internasional dan asas-asas hukum Internasional, khususnya Hukum Perdata Internasioal, memuat pula berbagai ketentuan hukum perdata bagi konsumen.

Akan tetapi disamping itu, dalam berbagai peraturan perudang-undangan lain, tampaknya termuat pula kaidah-kaidah hukum yang mempengaruhi dan/atau termasuk dalam bidang hukum perdata. Antara lain tentang siapa yang dimaksudkan sebagai subjek hukum dalam suatu hubungan hukum konsumen, hak-hak dan


(34)

22

kewajiban masing-masing, serta tata cara penyelesaian masalah yang terjadi dalam sengketa antara konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan bersangkutan.

Beberapa diantara (yang terbaru) adalah Undang-Undang tentang Metrologi Legal (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981), Undang-Undnag tentang Lingkungan Hidup (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982), Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentauan Pokok Pers (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982), Undang-Undang Penindustrian (Undang-Undang No 5 Tahun 1984), Undang-Undang tentang Rumah Susun (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985), Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Undang Nomor 14 Tahun 1992), Undang tentang Kesehatan (Undang Nomor 23 Tahun 1992), Undang-Undang tentang Pangan (Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996), dan terakhir Undang-Undang Perlindungan Kosumen (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999; Lembaran Negara Tahun 1999 No.42).

Jadi kalau dirangrum keseluruhnyan, dan terlihat bahwa kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan kosumennya masing-masing terlihat termuat dalam :

- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terutaman dalma buku kedua, ketiga, dan keempat;

- Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Buku kesatu dan buku kedua; - Berbagai peraturan perundang-undangan lalu yang memuat kaidah-kaidah


(35)

dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen5.

c. Hukum Konsumen Dalam Hukum Publik

Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan perorangan. Termasuk hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum kosumen dan/atau hukum perilndungan konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara perdata dan/atau hukum acra pidana dan humum internasional khusunya hukum perdata Indtenasional.

Jadi, segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua cabang-cabang hukum publik itu sepanjamg berkaitan dengan hubungan hukum kosumen dan/atau masalahnya dengan penyedia barang dan atau penyelenggara jasa, dapat pula diberlakukan. Dalam kaitan ini anatara lain ketentuan perizinan usaha, ketentuan-ketentuan pidana tertentu, ketentuan-ketentuan-ketentuan-ketentuan hukum acara dan berbagai konvensi dan/atau ketentuan hukum perdata Internsioal.

Di antara kesemua hukum publik tersebut, tampaknya hukum administrasi negara, selanjutnya disebut hukum administrasi, hukum pidana, hukum internasional khususnya hukum perdata internasional dan hukum acara perdata serta hukum acara pidana paling banyak pengaruhnya dalam pembentukan hukum konsumen.

D. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

5

Celina Tri Siwi Krstiayanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 40-62.


(36)

24

Istilah konsumen berasal dari bahasa Belanda : Konsument. Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah : “Pemakai akhir dari benda dan jasa (Uiteindelijke Gebruiker van Goerderen en Diensten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernamer)6. Menurut Az. Nasution, pengertian konsumen

adalah “Setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau

jasa untuk suatu kegunaan tertentu”7

. Definisi lain tentang pengertian konsumen dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, yaitu “pemakai terakhir dari benda

dan jasa yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha”.

Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (koper). Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak diperdagangkan”.

Di dalam penjelasan Pasal 1 angka (2), disebutkan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian

6

Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku ( Standar ),dalam BPHN,Simposium Aspek – Aspek Hukum Perlindungan Konsumen,(Bandung :Binacipta,1986), h. 57.

7


(37)

dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang – undang ini adalah konsumen akhir.

Pengertian umum pelaku usaha adalah orang atau badan hukum yang menghasilkan barang – barang dan/atau jasa dengan memproduksi barang dan/atau jasa tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau konsumen dengan mencari keuntungan dari barang – barang dan/atau jasa tersebut. Menurut Pasal 1 angka (3) Undang – Undang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud pelaku usaha adalah

“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai

bidang ekonomi”.

Sedangkan menurut penjelasan Pasal 1 angka (3) Undang – Undang Perlindungan Konsumen, yang termasuk dalam pelaku usaha adalah “pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain – lain.

E. Prinsip-Prinsip Umum Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Kosumen pada dasarnya banyak mengatur mengenai pelaku usaha dan lebih mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak konsumen sebagai hak-hak dasarnya untuk mencapai keadilan, yang diharapkan untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen yang pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandiriian


(38)

26

konsumen untuk melindungi dirinya, di lain pihak akan menumbuhkan pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima prinsip yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai berikut:

a. Prinsip manfaat

Prinsip ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Prinsip keadilan

Prinsip ini dilakukan agar partisipasi seluruh masyarakat dapat diwijudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Prinsip keseimbangan

Prinsip ini dimaksudkan untuk memberikan kesimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil maupun spiritual.

d. Prinsip keamanan dan keselamatan konsumen

Prinsip ini dimaksudkan untuk memeberikan jaminan atas keamanan dana keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakan.

e. Prinsip kepastian hukum

Prinsip ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, di mana negara dalam hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.

F. Hukum Perikatan a. Pengertian Perikatan

Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda yaitu


(39)

Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang/pihak yang satu terhadap orang/pihak yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang.

Jika dirumusakan perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property); dalam bidang hukum keluarga (family law); dalam bidang hukum pribadi (personal law). Perikatan yang meliputi beberapa bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.

Perikatan yang terdapat dalam bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya seperti dalam bidang hukum harta kekayaan, modalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa hutang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain dan sebaginya8.

b. Pengertian Jual Beli

Jual-beli (menurut B.W) adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk menbayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

8


(40)

28

Perkataan jual-beli menunjukan bahawa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan pembeli. Istilah yang mencakup

dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris jual beli

hanya disebut dengan “sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari

sudutnya si pembeli), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut hanya dengan

vante” yang juga berarti “penjualan”, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya

perkataan “kauf” yang berati “pembelian”.

Barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian adlaah sah memuat hukum misalnya jual beli mengenai pertanahan yang akan diperoleh pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu.

jual beli yang dilakukan dengan percobaan atau mengenai barang-barang yang bisanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat dengan suatu syarat tangguh (Pasal 1463 B.W.).

c. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli

Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanian jual beli adalah barang dan harga.


(41)

perjanian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai

barang dan harga. Begitu kedua belah pihak sudah setuju dengan barang dan harga, maka melahirkan perjanjian jual beli yang sah.

Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 yang

berbunyi: “ Jual beli dianggap sudah terjadi abtara kedua belah pihak seketika setelah

mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu diserahkan

maupun belum dibayar”. Konsensualisme bersal dari perkataan “konsensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sekapat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan misalnya setuju dengan bersama-sama menaruh tanda tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah meneyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan itu.

Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari B.W. menganut asas konsensualisme. Artinya ialah hukum perjanjian dari B.W. itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian

itu (dan dengan demikian “perikatan” yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan

pada saat atau detik tercapainya konsensualisme sebagaimana dimaksudkan di atas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik


(42)

30

lain yang kemudian atau yang sebelumnya. Asas tersebut kita simpulkan dari Pasal 1320, yaitu Pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya perjanjian dan tidak

dari pasal 1338 (1) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada “semua perjanjian yang dibuat

secara sah”, yang dimaksud dengan perjanjian yang sah terdapat dalan Pasal 1320

yang menyebutkan satu persatu mengenai syarat sahnya perjanjian. Syarat-sayartnya adalah : 1. sepakat, 2. kecakapan, 3. hal tertentu dan 4. causa (sebab, isi) yang halal.

Dengan hanya disebutkannya “sepakat” saja tanpa dituntutnya sesuatu bentuk cara

(formalitas) apapun, seperti tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat kita simpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Adanya yang dinamakan perjanjian-perjanjian “formal” atau pula yang dinamakan perjanjian-perjanjian “riil” itu merupakan kecualian. Perjanjian formal adalah misalnya perjanjian “perdamaian” yang menurut Pasal 1851 (2) B.W. harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah, sedangkan perjanjian riil adalah misalnya perjanjian “pinjam-pakai” yang menurut Pasal 1740 baru tercapai

dengan diserahkannya barang yang manjadi objeknya atau perjanjian “penitipan”


(43)

Untuk perjanian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu diperlakukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata (riil).

Asas konsensualisme yang terkandung dalam Pasal 1320 B.W. (kalau dikehendaki : Pasal 1320 dihubungkan dengan Pasal 1338 ayat 1), tampak jelas pula dari perumusan-perumusan berbagai macam perjanjian. Kalau kita ambil; perjanjian yang utama, yaitu jual-beli, maka konsensualisme itu menonjol sekali dari

perumusannya dalam Pasal 1458 B.W. yang berbunyi : “Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan,


(44)

32 BAB III

LEGALITAS TRANSAKSI E-COMMERCE DI TINJAU DARI HUKUM PERIKATAN

A. Tinjaun Umum Transaksi E-Commerce

Transaksi yang dilakukan secara Elektronis pada dasarnya adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara Elektronis dengan memadukan jaringan sistem Elektronis oleh keberadaan jaringan komputer gobal atau internet.

Hubungan hukum merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (subjek hukum) yang mempunyai akibat hukum (menimbulkan hak dan kewajiban) dan diatur oleh hukum. Dalam hal ini hak merupakan kewenangan atau peranan yang ada pada seseorang (pemengangnya) untuk berbuat atas sesuatu yang menjadi obyek dari haknya itu terhadap orang lain. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh sesorang untuk memperoleh haknya atau karena telah mendapatkan haknya dalam suatu hubungan hukum. Obyek hukum adalah sesuatu yang berguna, bernilai, berharga bagi subyek hukum dan dapat digunakan sebagai pokok hubungan hukum. Sedangkan subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajibannya atau memiliki kewenangan hukum.

Dalam lingkup privat, hubungan hukum tersebut akan mencakup hubungan atar individu, sedangkan lingkup publik, hubungan hukum tersebut akan mencakup hubungan antar warga negara dengan pemerintah maupun hubungan antar sesama


(45)

anggota masyarakat yang tidak dimaksudkan untuk tujuan perniagaan, yang antara lain berupa pelayanan publik dan transaksi informasi antar organisasi pemerintah sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundangan-undangan, seperti Inpres Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan Strategi Nasional Pengembangan e-goverment.

Dalam kegiatan perniagaan, transaksi memilki peranan yang sangat penting. Pada umumnya makna transaksi seringkali direduksi sebagai perjanjian jual beli antara pihak yang bersepakat untuk itu, padahal dalam perspektif yuridis, terminologi transaksi tersebut pada dasarnya ialah keberadaan suatu perikatan maupun hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Makna yuridis transaksi pada dasarnya lebih ditekankan pada aspek materiil dari hukumnya secara formil. Oleh karena itu keberadaan ketentuan hukum mengenai perikatan tetap mengikat walaupun terjadi perubahan media maupun perubahan tata cara bertransaksi. Hal ini tentu saja terdapat pengecualian dalam konteks hubungan hukum yang menyangkut benda tidak bergerak, sebab dalam konteks tersebut perbuatannya sudah ditentukan oleh hukum, yaitu harus dilakukan secara “terang” dan “tunai”.

Dalam lingkup keperdataan khususnya aspek perikatan, transaksi tersebut akan merujuk keperdataan khususnya aspek perikatan, makna transaksi hukum secara Elektronik itu sendiri akan mencakup jual beli, lisensi, asuransi, lelang dan perikatan-perikatan lain yang lahir sesuai dengan perkembangan mekanisme perdagangan di masyarakat. Dalam lingkup publik, maka hubungan hukum tersebut akan mencakup


(46)

34

hubungan antara warga negara dengan pemerintah maupun hubungan antara sesama anggota masyarakat yang tidak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan perniagaan.

Hubungan hukum kontrak Elekrtonik timbul sebagai perwujudan dari kebebasan berkontrak, yang dikenal dalam KUHPerdata. Asas ini disebut pula dengan freedom of contract atau laissez faire. Dalam Pasal 1338 KUHPerdata

dinyakatan “semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku halnya undang-undang

bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak disebut dengan “sistem terbuka”, karena siapa saja dapat melakukan perjanjian dan apa saja dapat dibuat dalam perjanjian itu.

Dengan sederhana perjanjian mempunyai kekuatan mengikat sama dengan undang-undang, bagi mereka yang membuat perjanjian. Pengertian berlaku bagi pihak yang melakukan perjanjian, mempunyai konsekuensi bahwa hanya kepada pihak yang ikut melakukan perjanjian itulah yang berlaku perjanjian tersebut. Dengan demikian pihak ketiga atau pihak luar tidak dapat menuntut suatu hak berdasarkan perjanjian yang dilakukan pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.

B. Pengertian E-Commerce

Electronik Commerce atau disingkat E-Commerce adalah kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufacturers), service provider,

dan perdagangan perantara (intermediaries) dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer (computer networks), yaitu E-Commerce sudah meliputi seluruh spektrum kegiatan komersial. Onno w. Purbo dan Aang Arif Wahyudi mencoba


(47)

menggambarkan E-Commerce sebagai suatu cakupan yang luas mengenai teknologi, proses dan praktik yang dapat melakukan transaksi bisnis tanpa menggunakan kertas sebagai sarana mekanisme transaksi . Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui e-mail atau bisa melalui World Wibe Web1.

Sementara itu, Kamlesh K. Bajaj dan Debjani Nag pengarang buku E-commerce The Cutting Edge of Business (1999:12) menyatakan bahwa E-commerce

adalah pertukaran informasi bisnis tanpa menggunakan kertas (the paperless exchange of business information), melaikan melalui EDI (Electronic Data Exchange) E-mail, EBB (Elektronik Bulletin Board) Electronic Fund Transfer dan teknologi-teknologi lainnya yang menggunakan jasa jaringan (net).

Di samping definisi di atas, Bajaj dan Debjani mempertegas pendapatnya dengan merujuk kepada definsi yang dibuat oleh UNCITRAL yang menyatakan, bahwa secara singkat E-commerce didefinisikan sebagai “setiap aktivitas

perdagangan yang dilaksanakan dengan cara melakukan pertukaran informasi yang diberikan, dan diterima atau disimpan melalui jasa elektronik, optik atau alat serupa lainnya termasuk, tetapi tidak terbatas pada EDI, e-mail, telegram, telex atau

telekopi” (Pasal 1 dan 2 UNICITRAL, Modal Law).

Menurut WTO E-Commerce adalah suatu proses meliputi produksi, ditribusi, pemasaran, penjualan dan pengiriman barang serta jasa melalui Elektronis.

1

Onno w.Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenal e-Commerce (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2001), h.1-2.


(48)

36

Sedangkan menurut para akademisi yang mendefinisikan E-Commerce seperti menurut Ding E-Commerce adalah transaksi komersial antara penjual dan pembeli atau pihak-pihak lainnya dalam hubungan kontrak yang menggunakan media elektronik atau digital yang dalam prosesnya tidak diperlukan temu muka dan transaksi dilakukan secara lintas batas. Menurut Kalakita dan Whinston mendefinisikan E-Commerce dalam beberapa definsi di antara adalah sebagai berikut:

a. E-Commerce adalah aktivitas pengiriman komunikasu dan informasi, produk-produk atau jasa, atau pembayaran yang dilakukan melalui telepon, jaringan-jaringan komputer atau sarana-sarana Elektronis lainya. b. Proses bisnis dengan mengaplikasikan teknologi untuk melakukan

transaksi-transaksi bisnis atau alur kerja.

c. Sarana yang memungkinkan perusahaan-perusahaan, konsumen-konsumen dan menajamen perusahaan untuk menurunkan biaya-biaya pelayanan.

d. Sarana yang memungkinkan dilakukannya penjual dan pembelian produk dan infomasi melalui internet dan layanan-layanan online lainya.

E-commerce merupakan bidang yang multidisipliner (multidiciplinary) yang mencankup bidang-bidang teknik seperti jaringan data telekomunikasi, pengamanan, penyimpanan, dan pengambilan data (retrieval) dari multi media, bidang-bidang bisnis seperti pemasaran (marketing), pembelian dan penjualan ( Procurement and purchasing), penagihan dan pembayaran (billing and payment), manajemen jaringan ditribusi (supply chain management), dan aspek-aspek hukum seperti information privacy, hak milik intelektual (intelectual property), perpajakan (taxation), pembuatan perjanjian, dan penyelesaian hukum lainnya. Jadi secara singkat dapat dideskripsikan, bahwa E-commerce adalah suatu bentuk bisnis modern melalui sarana internet, karenanya E-commerce dapat dikatakan sebagai perdagangan di internet.


(49)

For Electronic Commerce secara sederhana mendefinisikan E-Commerce

sebagai mekanisme bisnis secara elektronis. CommerceNet, sebuah konsorsium industri memberikan definisi lengkap yaitu penggunaan jaringan komputer sebagai sarana penciptaan relasi bisnis. Tidak puas dengan definisi tersebut Commerce Net menambahkan bahwa di dalam E-Commerce terjadi proses pembelian dan penjualan jasa atau produk antara dua belah pihak melalui internet atau pertukaran dan distribusi informasi antar dua pihak dalam satu perusahaan dengan menggunakan internet. Sementara itu Amir Hatman dalam bukunya Net Ready : Strategies for Success in the E-Conomy secara lebih terperinci lagi mendefinisikan E-Commerce

sebagai suatu mekanisme bisnis secara elektronis yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis berbasis individu dengan menggunakan internet sebagai medium pertukaran barang atau jasa baik antara dua institusi (Business to business) maupun antar institusi dan konsumen langsung (Business to Consumer2). Jadi kesimpulanya

E-Commerce adalah suatu transaksi komersial memelalui jaringan komunikasi yang dapat berupa fax, e-mail¸ telegram¸ EDI (Electronic Data Interchange), dan sarana Elektronis lainnya meliputi kegiatan tukar menukar infomasi, iklan, pemasaran, kontrak dan kegiatan perbankan melalui internet.

C. ECommerce Dalam Perspektif Hukum Kontrak

2

Richardus Eko Indrajit, E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis Di Dunia Maya, (Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2001), h.3.


(50)

38

Sekalipun kontrak Elektronik merupakan suatu fenomena baru, tetapi semua negara menerapkan pengaturan hukum kontrak yang telah ada dengan menerapkan asas‐asas universal tentang pembuatan suatu perjanjian seperti asas konsensual, asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik dan syarat sahnya perjanjian. Kontrak Elektronis termasuk dalam kategori kontrak tidak bernama yaitu perjanjian‐perjanjian yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapi terdapat dalam masyarakat akan tetapi lahirnya perjanjian tersebut tetap berdasarkan pada kesepakatan atau party otonomi dan berlaku Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang sahnya suatu perjanjian. Demikian juga tentang syarat sahnya perjanjian ElektroniK tetap berlaku Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mencerminkan asas konsensualisme.

Di dalam kontrak Elektronis kesepakatan merupakan suatu hal yang sangat penting, hal ini disebabkan karena para pihak tidak bertemu secara langsung sehingga diperlukan suatu pengaturan tentang kapan kesepakatan tersebut terjadi. Di Indonesia, untuk menentukan adanya kesepakatan maka dapat digunakan beberapa teori yaitu:

a. Teori kehendak yang mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan

b. Teori pengiriman yang menyatakan kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran

c. Teori pengetahuan yang menyatakan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima

d. Teori kepercayaan mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarakan.


(51)

Perjanjian atau kontrak melalui Elektronis juga diatur di dalam Undang‐ Undang No.11 , tahun 2008 tentang informasi dan transaksi Elektronis antara lain di dalam bab penjelasan yang memberi definisi kontrak Elektronis yaitu perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem Elektronis. Selanjutnya Pasal 18 menyatakan bahwa transaksi Elektronis yang dituangkan ke dalam kontrak Elektronis mengikat para pihak. Dengan berlakunya Undang‐Undang Informasi Transaksi Elektronik tersebut maka kedudukan kontrak Elektronis menjadi semakin jelas yaitu sama dengan kontrak biasa.

D. Legalitas Transaksi E-Commerce Di Tinjau Dari Hukum Perikatan

Perjanjian yang dinyatakan sah adalah suatu perjanjian yang memenuhi empat syarat yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

1. Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya

Suatu kesepakatan selalui diawali dengan adanya suatu penawaran oleh suatu pihak dan dilanjutkan dengan adanya tanggapan berupa penerimaan oleh pihak lain. Jika penawaran tersebut tidak ditanggapai ayai direspon oleh pihak lain maka dengan demikian tidak aka nada kesepakatan. Karena itu diperlukan dua pihak intuk melahirkan suatu kesepakatan.

Pada perjanjian jual beli secara langsung, kesepakatam depat dengan mudah diketahui. Sebab kesepakatan dapat langsung diberikan secara lisan maupun tulisan. Tetapi dalam perjanjian tersbut tidak diberikan secara langsung melainkan melalui


(52)

40

media elektronik dalam hal ini adalah internet. Dalam transaski E-Commerce, pihak yang memberikan penwaran adalah pihak penjual yang dalam hal ini menawrkan barang-barang daganganya melalui website yabg dirancang agar menarik untuk disinggahi. Semua pihak pengguna internet (netter) dapat dengan bebas masuk untuk melihat took virtual tersebut atau untuk membeli barang yang mereka butuhkan atau minati.

Jika memang pembali tertarik untuk membeli suatu barang maka ia hanya perlu mengklik baramg yang sesuai dengan keinginanya. Biasanya setelah pesanan tersebut sampai di tempat penjual maka penjual akan mengirim e-mail atau melalui telepon untuk mengkonfirmasi pesanan tersebut kepada konsumen.

2. Kecapakan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Pada dasarnya semua orang adalah cakap untuk membuat sepekatan, kecuali jika ia oleh undang dinyatakan tidak cakap. Yang tak cakap menurut undang-undang adalah mereka yang belum dewasa (genap berusia 21 tahun atau mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah) dan mereka yang dibawah pengampuan (gila, dungu, mata gelap, lemah akal dan pemboros). Dalam transaski E-Commrce

sangat sulit menentukan sesorang yang melakukan transaski telah dewasa atau tidak berada di bawah pengampuab, karean ptoses penwaran dan peneriamaan tidak secara langsung dilakukan tetapi hanya melalui media virtual yang rawan penipuan. Jika


(53)

ternyata yang melakukan transaksi adalah orang yang tidak cakap maka pihak yang dirugikan dapat menuntut agar perjanjian dibatalkan.

3. Sesuatu hal tertentu

Hal tertentu menurut undang-undang adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, undang-undang tidak mengharuskan barang tersebut sudah ada atau belum di tangan debitur pada saat perjanian dibuat dan jumlahnya juga tidak perlu disebutkan asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Ada barang tertentu yang tidak boleh diperjualbelikan dalam transaksi E-Commerce , seperti misalnya memperjualbelikan hewan. Kemudain ada kendala juga dalam melakukan jual beli melalui E-Commerce. Ada barang-brang yang tidak dapat dijual beli melalui kesepakatan on-line , seperti jual beli tanah yang mensyaratkan jual beli tanah harus dituangkan dalam akta yaitu akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.

4. Sesuatu Sebab yang Halal

Sebab yang halal adalah isi dari perjanjian dan bukan sebab para pihak mengadakan perjanjian. Isi perjanjian tersebut haruslah sesaui dengan undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik dan ketertiban umum.


(54)

42

Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. Dalam transaksi E-Commerce, tidak ada proses tawar menawar seperti pada transaksi jual beli di pasar secara langsung. Barang dan harga yang ditawarkan terbatas dan telah ditentukan oleh penjual. Jika pembeli tidak setuju atau tidak sepakat maka pembeli bebas untuk tidak meneruskan teransaksi. Selanjutnya, pembeli dapat mencari website atau took lainnya yang lebih sesuai dengan keinginannya. Kesepakatan dihasilkan dalam transaksi E-Commerce

jika pembeli menyepakati barang dan harga yang ditawarkan oleh penjual (merchant)3

Dalam hal tidak dipenuhinya unsur pertama dan unsur kedua maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Adapun apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga dan unsur keempat, maka kontrak tersebut batal demi hukum. Mengenai barang-barang yang dapat dijakina objek dari suatu persetujuan, maka Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan keharusan, bahwa barang tersebut harus diperdagangkan dan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa barang tersebut dapat ditentukan jenisnya ataupun dihitung.

6. Isi suatu perjanjian

3

Endom Makarim, Komliasi Hukum Telematika, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perdasa), h. 234-237.


(55)

Suatu persetujuan tidak hanya mengingat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau Undang (Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetjuan, walaupun tidak dengan tegas dimaksudkan di dalamnya (Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

7. Ingkar janji dan ganti rugi

Seorang debitur harus dihukum untuk mengganti biaya kerugian dan bunga, apabila ia tidak dapat membutikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan tersebut disebabkan oleh suatu yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya walaupun tidak ada iktikad buruk kepadanya (Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Penggantian biaya kerugian dan bunga, karena tidak dipenuhinya perikatan mulai diwajibakan, apabila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan (Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Tidak ada penggantian biaya kerugian dan bukan, apabila karena keadaan memaksa atau kerena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan terlang baginya (Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(56)

44

E. Pembuktian Hukum Terhadap Data Elektronik

Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik adalah hal yang berkaitan dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik. Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik, dituangkan dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan bahwa

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah” (Pasal 5 ayat 1), “Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”( Pasal 5 ayat 2)

Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik yang

menyebutkan bahwa “Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik

berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang

digunakannya”. Secara umum dikatakan bahwa bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan Tanda Tangan Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Namun pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan seperti yang telah ditentukan.


(57)

Pasal 5 ayat 1 samapi dengan ayat 3, secara tegas menyebutkan: Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Namun dalam ayat (4) ada pengecualian yang menyebutkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tidak berlaku untuk: (a). surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan (b). surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 11 menyebutkan, Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a). data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan; (b). data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan; (c). segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; (d). segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; (e). terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan (f). terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.


(1)

- 24 - Pasal 64

Cukup jelas. Pasal 65

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Terhadap Sertifikat Keandalan yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan asing yang tidak terdaftar, tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Pasal 66 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Contoh “status dan kompetensi subjek hukum” adalah kedudukan Pelaku Usaha sebagai produsen, pemasok, atau penyelenggara maupun perantara.

Huruf c

Cukup jelas. Huruf d

Cukup jelas. Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68 . . . DISTRIBUSI II


(2)

- 25 - Pasal 68

Ayat (1) Huruf a

Pengamanan terhadap identitas (identity seal) merupakan Sertifikat Keandalan yang jaminan keandalannya sebatas pengamanan bahwa identitas Pelaku Usaha adalah benar. Validasi yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan hanya terhadap identitas Pelaku Usaha yang paling sedikit memuat nama subjek hukum, status subjek hukum, alamat atau kedudukan, nomor telepon, alamat email, izin usaha, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Lembaga Sertifikasi Keandalan yang menerbitkan Sertifikat Keandalan ini memberikan kepastian penelusuran bahwa identitas Pelaku Usaha adalah benar.

Huruf b

Pengamanan terhadap pertukaran data (security seal) merupakan Sertifikat Keandalan yang jaminan keandalannya memberikan kepastian bahwa proses penyampaian atau pertukaran data melalui website Pelaku Usaha dilindungi keamanannya dengan menggunakan teknologi pengamanan proses pertukaran data (contoh: protokol SSL/secure socket layer).

Sertifikat Keandalan ini menjamin bahwa terdapat sistem pengamanan dalam proses pertukaran data yang telah teruji.

Huruf c

Pengamanan terhadap kerawanan (vulnerability seal) merupakan Sertifikat Keandalan yang jaminan keandalannya adalah memberikan kepastian bahwa terdapat sistem manajemen keamanan informasi yang diterapkan oleh Pelaku Usaha dengan mengacu pada standar pengamanan Sistem Elektronik tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf d

Pemeringkatan konsumen (consumer rating seal) merupakan Sertifikat Keandalan yang jaminan keandalannya memberikan peringkat tertentu bahwa berdasarkan penilaian subjektif kepuasan konsumen terhadap layanan Transaksi Elektronik yang diselenggarakan Pelaku Usaha telah memberikan kepuasan konsumen.


(3)

- 26 -

Sertifikat ini memberikan jaminan bahwa Pelaku Usaha telah mendapatkan pengakuan kepuasan konsumen berdasarkan pengalaman yang nyata dari konsumen meliputi proses pratransaksi, transaksi, dan pasca transaksi.

Huruf e

Pengamanan terhadap kerahasiaan Data Pribadi (privacy seal) merupakan Sertifikat Keandalan yang jaminan keandalannya adalah memberikan kepastian bahwa Data Pribadi konsumen dilindungi kerahasiaannya sebagaimana mestinya.

Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 69

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “profesi” adalah keahlian tertentu yang dimiliki oleh seseorang yang diakui atau disahkan oleh pemerintah.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Peraturan Menteri memuat antara lain, pendaftaran dan persyaratan untuk ditetapkan sebagai profesi dalam lingkup Teknologi Informasi yang dapat turut serta dalam pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan.

Pasal 70

Cukup jelas. Pasal 71

Cukup jelas. Pasal 72

Cukup jelas.


(4)

- 27 - Pasal 73

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “Nama Domain tingkat tinggi generik” adalah Nama Domain tingkat tinggi yang terdiri atas tiga atau lebih karakter dalam hierarki sistem penamaan domain selain domain tingkat tinggi Negara

(country code Top Level Domain). Contoh .nusantara atau

.java.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “Nama Domain tingkat tinggi Indonesia” adalah domain tingkat tinggi dalam hierarki sistem penamaan domain yang menunjukkan kode Indonesia (.id) sesuai daftar kode negara dalam ISO 3166-1 yang dikeluarkan oleh Internet Assigned Numbers Authority

(IANA). Huruf c

Contoh Nama Domain Indonesia tingkat kedua adalah co.id, go.id, ac.id, or.id, atau mil.id.

Huruf d

Contoh Nama Domain Indonesia tingkat turunan adalah kominfo.go.id.

Ayat (3) Huruf a

Termasuk dalam lingkup pengertian Registri Nama Domain ialah fungsi dan peran ccTLD manager.

Huruf b

Cukup jelas. Pasal 74

Cukup jelas. Pasal 75

Cukup jelas. Pasal 76

Cukup jelas.


(5)

- 28 - Pasal 77

Cukup jelas. Pasal 78

Cukup jelas. Pasal 79

Cukup jelas. Pasal 80

Cukup jelas. Pasal 81

Cukup jelas. Pasal 82

Cukup jelas. Pasal 83

Cukup jelas. Pasal 84

Ayat (1)

Pengenaan sanksi dalam ketentuan ini hanya ditujukan bagi pihak yang melakukan pelanggaran administratif, sedangkan mengenai pelanggaran yang bersifat moral atau keperdataan tidak dikenakan sanksi administratif.

Ayat (2) Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Penghentian sementara dalam ketentuan ini berupa penghentian sebagian atau seluruh komponen atau layanan pada Sistem Elektronik yang bersangkutan untuk jangka waktu tertentu.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.


(6)

- 29 - Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas. Pasal 85

Cukup jelas. Pasal 86

Cukup jelas. Pasal 87

Cukup jelas. Pasal 88

Cukup jelas. Pasal 89

Cukup jelas. Pasal 90

Cukup jelas.