Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Elektronik (E-Commerce)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Abdul Wahid dan Mohhamad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (cyber crime), Refika Aditama, Malang.

Badrulzaman, Mariam Barus, 1994, Aneka Hukum Bisnis, cet kesatu, Bandung. Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom, 2005, Cyber Law : aspek hukum teknologi informasi, Refika Aditama, Bandung.

F.Lawrence Street & Mark P. Grant, 1999, Law of The Internet, Edition (Mathew Bender & Company, INC

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kian, Catherine Tay Swee Kian, 2001, E-Commerce Law (What You Need To Know), Singapore: Times Books Internation.

Makarim, Edmon, 2005, Pengantar Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nasution, Az, 1995, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi, 2000, Mengenal E-Commerce, PT Elex Media Komputindo.


(2)

Poerwadarminta, W.J.S, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai pustaka, Jakarta.

Putra, Ida Bagus Wyasa, 2000, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung.

Rajaguguj, Erman, 2000, Hukum perlindungan Konsumen , CV. Mandar Maju, Bandung.

Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Yogyakarta.

Sanusi, M. Arsyad, 2001, E-Commerce Hukum dan Solusinya, PT. Mizan Grafika Sarana, Bandung.

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Bandung.

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Yogyakarta.

Sanusi, M. Arsyad, 2007, E- commerce : hukum dan solusinya, PT Mizan Grafika Sarana, Jakarta.

Sanusi, M.Arsyad, 2001, E-Commerce Hukum dan Solusinya, cet kesatu, PT. Mizan Grafika Sarana, Bandung.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(3)

Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

SITUS INTERNET:

html#post2063158


(4)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE)

A. Sejarah dan Perkembangan Transaksi Elektronik

Perdagangan merupakan transaksi jual beli barang yang dilakukan antara penjual dan pembeli di suatu tempat. Transaksi perdagangan dapat timbul jika terjadi pertemuan antara penawaran dan permintaan terhadap barang yang dikehendaki. Perdagangan sering dikaitkan dengan berlangsungnya transaksi yang terjadi sebagai akibat munculnya problem kelangkaan barang. Perdagangan juga merupakan kegiatan spesifik, karena di dalamnya melibatkan rangkaian kegiatan produksi dan distribusi barang. Kegiatan perdagangan bukan merupakan sesuatu yang baru, sebab kegiatan ini sudah ada sejak zaman prasejarah.

Menurut sejarah, internet pertama kali muncul pada tahun 1969 di amerika serikat, dimana dibentuk suatu jaringan computer di University of California di Los Angeles, university of California di Santa Barbara, University of Utah dan Institut Penelitian Stanford.26 Proyek yang didanai oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat dengan nama Advanches Researches Project Agence (ARPA), ARPA atau ARPANET ini didesain untuk mengadakan sistem desentralisasi internet.27

26

Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.267.

27 Ibid

Lalusekitar tahun 1980, Yayasan Nasional Ilmu Pengetahuan (National Scince Foundation) memperluas ARPANET untuk menghubungkan computer


(5)

seluruh dunia. Internet, termasuk electronic mail (E-mail) yang berkembang sampai tahun 1994, pada saat mana ilmu pengetahuan memperkenalkan World Wide Web (WWW). Seterusnya internet mengalami perkembangan dan penggunaannya meluas ke kegiatan bisnis, industri, dan rumah tangga di seluruh dunia.Perkembangan dan kemajuan internet telah mendorong kemajuan di bidang teknologi informasi. Penggunaan internet yang semakin luas dalam kegiatan bisnis, industri dan rumah tangga telah mengubah pandangan manusia. Dimana kegiatan-kegiatan diatas pada awalnya dimonopoli oleh kegiatan fisik kini bergeser menjadi kegiatan di dunia maya (Cyber world) yang tidak memerlukan kegiatan fisik. Ditengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global communication network) dengan semakin populernya internet, seakan telah membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan batas negara berikut kedaulatan dan tatanan masyarakatnya, begitu juga perkembangan teknologi dan informasi di Indonesia, maka transaksi jual beli barang pun yang pada awalnya bersifat konvensional perlahan-lahan beralih menjadi transaksi jual beli barang secara elaktronik yang menggunakan media internet yang dikenal dengan e-commerce atau kontrak dagang elektronik.

Di Indonesia, fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculmya situs http:// http://www.sanur.com/ sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 tersebut mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997- 1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit terabaikan karena krisis ekonomi namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi fenomena yang menarik


(6)

perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi.

E-commerce dapat dipahami sebagai kegiatan transaksi perdagangan baik barang dan jasa melalui media elektronik yang memberikan kemudahan didalam kegiatan bertransaksi konsumen di internet. Keunggulan e-commerce terletak pada efisiensi dan kemudahannya, membahas tentang hukum e-commerce maka tidak akan lepas dari hukum internet (cyber law). Internet adalah dunia virtual/dunia maya yang memiliki komunitas yang sangat khas, yaitu tentang bagaimana aplikasi teknologi komputer yang berlangsung secara online pada saat si pengguna internet menekan atau telah terkoneksi dengan jaringan yang ada. Maka dalam konteks ini pula maka aspek hukum yang melekat dari mekanisme e-commerce

adalah berinteraksi dengan aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak yang melakukan transaksi melalui sistem e-commerce.28

B. Pengertian Transaksi Elektronik

Istilah Electronic Commerce belum memiliki istilah yang baku. Terdapat beberapa istilah yang dikenal pada umumnya seperti E-Commerce, WEB Contract, dan Kontrak Dagang Elektronik. Namun dalam tulisan ini, istilah yang digunakan adalah e-commerce.

E-commerce merupakan bagian dari Electronic Bussines (bisnis yang dilakukan melalui media elektronik). Kalangan bisnis memberikan definisi

28

Michael S.H. Neng, Understansing Electronic Commerce From A Historitical Perspective, http://www.oecd.org/dsti/sti/it/infosoc/, bahan diakses tanggal 3 Februari 2008


(7)

tentang e-commerce sebagai segala bentuk perniagaan / perdagangan barang atau jasa dengan menggunakan media elektronik. Media elektronik disini tidak terbatas pada internet saja, namun karena penggunaan internet dewasa ini amat populer maka focus pembahasan pada skripsi ini adalah e-commerce pada media internet.

Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi yang mengutip pendapat David Baum29

Menurut Julian Ding sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman memberikan definisi sebagai berikut :

menyebutkan bahwa “e-commerce is a dynamic sets of technologies,

application, and bussines procces that link enterprises, consumers and communities through electronic transaction and the electronic exchange of goods,

services and information”. bahwa e-commerce adalah suatu set dinamis teknologi, aplikasi, dan kegiatan bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen, dan komunitas melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, servis dan informasi.

30

Electronic Commerc, or E-Commerce as it is also knomn is a commercial transactions between a vendor and phurchaser or parties in similar contractual relationships for the supply of goods, services or the acquisition of “right”. This commercial transaction is executedor entered into in an electronic medium (or digital medium)when the physical presence of the parties is not required. And the medium exits in a public network or system as opposed to a private network (Closed System). The public network or system must be considered an open

29

Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi, Mengenal E-Commerce, PT Elex Media Komputindo, 2000, Jakarta, hal. 2.

30


(8)

system (e.g the internet or the world wide web), the transactions are concluded regardless of national boundaries or local requirements”.

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :

“Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan dengan media electronic (digital medium) di mana para pihak tidak hadir secara fisik dan medium ini terdapat dalam jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau world wide web. Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional”.

Wikipedia memberikan definisi E-commerce sebagai berikut :31

1. “e-commerce can be defined as commercial activities conducted through an exchange of information generated, stored, or communicated by electronical, optical or analogues means, including EDI, E-mail, and so forth

Terjemahan bebasnya sebagai berikut :

e-commerce dapat didefinisikan sebagai aktifitas komersial melalui pertukaran informasi yang dihasilkan, disimpan atau dikomunikasikan oleh alat elektronik, optik atau analog, termasuk EDI, E-mail, dan lainlain.

2. “e-commerce is performing business transaction with the aid of evolving computing tools and paper-less communication links (electronic messaging technologies)”.

Terjemahan bebasnya sebagai berikut :

31


(9)

e-commerce adalah alat untuk mendukung kegiatan transaksi bisnis dengan perkembangan komputansi dan tidak menggunakan kertas.

3. “electronic Commerce may be defined as the entire set of process that support commercial activities on a network and involve information analysis”.

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :

e-commerce dapat didefinisikan sebagai suatu set dari keseluruhan proses yang mendukung kegiatan komersial dalam jaringan dan mengembangkan analisa informasi.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dari E-commerce, yakni:32

1. Adanya kontrak dagang,

2. Kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik, 3. Transaksi bersifat paper less,

4. Kehadiran fisik dari para pihak tidak diperlukan, 5. Kontrak itu terjadi dalam jaringan publik,

6. Sistem terbuka, yaitu dengan internet atau WWW (World Wide Web) 7. Kontrak itu terlepas dari batas yurisdiksi nasional.

8. Mempunyai nilai ekonomis.

E-commerce pada dasarnya adalah kegiatan perdagangan yang menggunakan media elektronik. Kedudukan e-commerce dalam hukum Indonesia terletak dalam bidang hukum perdata sebagai subsistem dari hukum perjanjian,

32


(10)

maka e-commerce memiliki asas-asas yang sama dengan hukum perjanjian pada umumnya seperti :33

1. Asas kebebasan berkontrak 2. Asas konsensual

3. Asas itikad baik 4. Asas keseimbangan 5. Asas kepatutan 6. Asas kebiasaan 7. Asas ganti rugi

8. Asas keadaan memaksa 9. Asas kepastian hukum, dll.

Karena berlakunya asas-asas hukum perjanjian dalam e-commerce, maka ketentuan tentang perikatan tetap berlaku, sehingga berlaku pula Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yakni :

1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya ; 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

C. Mekanisme dan Karakteristik E-Commerce

Transaksi e-commerce antara pihak e-merchant (pihak yang menawarkan barang atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang

33


(11)

atau jasa melalui internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada umumnya berlangsung secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan dokumen elektronik (digital document).34

Kontrak online dalam e-commerce menurut Santiago Cavanillas dan A. Martines Nadal, seperti yang dikutip oleh Arsyad Sanusi memiliki banyak tipe dan variasi berdasarkan sarana yang digunakan untuk membuat kontrak, yaitu:

35 1. Kontrak melalui chatting dan video conference

Chatting dan video conference adalah alat komunikasi yang disediakan oleh internet yang biasa digunakan untuk dialog interaktif secara langsung. Dengan chatting seseorang dapat berkomunikasi secara langsung dengan orang lain seperti layaknya telepon, hanya saja komunikasi lewat chatting ini adalah tulisan atau pernyataan yang terbaca pada komputer masing-masing. Sesuai dengan namanya, video conference adalah alat untuk berbicara dengan beberapa pihak dengan melihat gambar dan mendengar suara secara langsung pihak yang dihubungi dengan alat ini. Dengan demikian melakukan kontrak dengan menggunakan jasa chatting dan video conference ini dapat dilakukan secara langsung antara beberapa pihak dengan menggunakan sarana komputer.

2. Kontrak melalui e-mail

E-mail adalah salah satu kontrak online yang sangat populer karena pengguna e-mail saat ini amat banyak dan mendunia dengan biaya yang sangat murah dan waktu yang efisien. Untuk memperoleh alamat e-mail dapat dilakukan 34

Nofie Iman, Mengenal E-Commerce

35 Ibid.


(12)

dengan cara mendaftarkan diri kepada penyedia layanan e-mail gratis atau dengan mendaftarkan diri sebagai subscriber pada server atau ISP tertentu. Kontrak e-mail dapat berupa penawaran yang dikirimkan kepada seseorang atau kepada banyak orang yang tergabung dalam sebuah mailing list, serta penerimaan dan pemberitahuan penerimaan yang seluruhnya dikirimkan melalui e-mail. Di samping itu kontrak e-mail dapat dilakukan dengan penawaran barangnya diberikan melalui situs web yang memposting penawarannya, sedangkan penerimaannya dilakukan melalui e-mail.

3. Kontrak melalui web

Kontrak melalui web terjadi dimana pihak e-merchant memiliki deskripsi produk atau jasa dalam suatu halaman web dan dalam halaman web tersebut terdapat form pemesanan, sehingga e-customer dapat mengisi formulir tersebut secara langsung apabila barang atau jasa yang ditawarkan hendak dibeli oleh e-customer.

Secara umum tahapan mekanisme transaksi e-commerce dapat diurutkan sebagai berikut:36

a. E-customer dan e-merchant bertemu dalam dunia maya melalui server yang disewa dari Internet Server Provider (ISP) oleh e-merchant.

b. Transaksi melalui e-commerce disertai term of use dan sales term condition atau klausula standar, yang pada umumnya e-merchant telah meletakkan klausula kesepakatan pada website-nya, sedangkan e-customer jika berminat tinggal memilih tombol accept atau menerima.

36


(13)

c. Penerimaan e-customer melalui mekanisme “klik” tersebut sebagai perwujudan dari kesepakatan yang tentunya mengikat pihak e-merchant.

d. Pada saat kedua belah pihak mencapai kesepakatan, kemudian diikuti dengan proses pembayaran, yang melibatkan dua bank perantara dari masing-masing pihak yaitu acquiring merchant bank dan issuing customer bank. Prosedurnya

e-customer memerintahkan kepada issuing customer bank untuk dan atas nama e-customer melakukan sejumlah pembayaran atas harga barang kepada

acquiring merchant bank yang ditujukan kepada e-merchant.

e. Setelah proses pembayaran selesai kemudian diikuti dengan proses pemenuhan prestasi oleh pihak e-merchant berupa pengiriman barang sesuai dengan kesepakatan mengenai saat penyerahan dan spesifikasi barang.

Berbeda dengan transaksi perdagangan pada umumnya, e-commerce

memiliki beberapa karakteristik yakni :37 a. Transaksi tanpa batas

Sebelum era internet, batas-batas geografi menjadi penghalang suatu perusahaan atau individu yang ingin go-internasional. Sehingga hanya perusahaan atau individu yang memiliki modal besar yang dapat memasarkan produknya ke luar negeri. Dewasa ini dengan adanya internet, perusahaan kecil atau menengah dapat memasarkan barangnya ke luar negeri dengan hanya membuat website atau memajang iklan-iklannya di internet tanpa batas waktu (24 jam), maka pelanggan dari seluruh dunia dapat mengaksesnya dan melakukan transaksi secara online. b. Transaksi bersifat anonym

37


(14)

Para penjual dan pembeli dalam transaksi e-commere tidak harus bertemu muka secara langsung satu sama lainnya. Bahkan penjual tidak memerlukan nama pembeli, selama pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia layanan yang ditentukan, biasanya pembayaran dilakukan dengan menggunakan kartu kredit atau transfer via bank.

c. Produk yang diperdagangkan

Produk yang diperdagangkan melalui internet berupa produk digital maupun non digital, barang berwujud maupun tak berwujud, dan barang bergerak.

D. Ruang Lingkup dan Dasar Hukum E-Commerce

Perkembangan dunia bisnis dewasa ini dalam perkembangan perdagangan tidak lagi membutuhkan pertemuan secara langsung antara para pelaku bisnis. Kemajuan teknologi memungkinkan para pelaku bisnis melakukan hubungan hubungan bisnis melalui internet baik itu kegiatan penawaran maupun pembelian. Ruang lingkup e-commerce meliput i 3 sisi yakni :38

1. Business to Business (B2B)

Merupakan sistem komunikasi bisnis antar pelaku bisnis atau dengan kata lain secara elektronik antar perusahaan yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas atau volume produk yang besar. Aktivitas e-commerce dalam ruang lingkup ini ditujukan untuk menunjang kegiatan para pelaku bisnis itu sendiri. Karakteristik yang umum dalam lingkup B2B adalah :

38

Abdul Halim Barkatullah, Bisnis E-Commerce (studi sistem keamanan dan hukum di Indonesia), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 18.


(15)

a. Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama. Pertukaran informasi berlangsung diantara mereka dan karena sudah sangat mengenal, maka pertukaran informasi dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan;

b. Pertukaran yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkala format data yang telah telah disepakati. Jadi service yang digunakan antara kedua sistem tersebut sama dan menggunakan standar yang sama pula;

c. Salah satu pelaku tidak harus menunggu partners mereka lainnya untuk mengirimkan data;

2. Business to Consumer (B2C)

Business to Consumer dalam e-commerce merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu contohnya “internet mall”. Konsumen pada lingkup ini merupakan konsumen akhir yang merupakan pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Permasalahan perlindungan konsumen terdapat dalam lingkup ini, karena produk yang diperjualbelikan adalah produk barang dan jasa baik dalam bentuk berwujud maupun dalam bentuk elektronik atau digital yang telah siap untuk dikonsumsi. Perkembangan lingkup B2C ini membawa keuntungan tidak saja pada pelaku usaha namun juga kepada pihak konsumen.

Karakteristik dari lingkup B2C ini adalah :


(16)

b. Service yang diberikan bersifat umum sehingga mekanisme dapat digunakan oleh banyak orang;

Service yang diberikan adalah berdasarkan permintaan konsumen; 3. Consumer to Consumer (C2C)

Consumer to Consumer merupakan transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan antar konsumen untuk memnuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu pula, lingkup C2C ini bersifat lebih mengkhusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi. Internet telah dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi tentang produk baik mengenai harga, kualitas dan pelayanan. Selain itu customer juga dapat membentuk komunitas pengguna/penggemar produk tersebut. Ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk atau pelayanan, dengan cepat dapat tersebar kepada konsumen lain melalui komunitas yang dibentuk, hal ini membawa dampak positip bagi konsumen karena dapat menaikkan posisi tawar konsumen terhadap pelaku usaha. Sehingga pelaku usaha dituntut untuk memberikan pelayanan yang lebih baik bagi konsumennya.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11 tahun 2008 merupakan dasar hukum utama bagi e-commerce di Indonesia. UU ITE ini disahkan pada tanggal 21 april 2008 dan mulai berlaku pada saat diundangkan (Pasal 54 ayat 1). Arti penting dari UU ITE ini bagi transaksi e-commerce adalah :


(17)

a. Pengakuan transaksi, informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin.

b. Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan sanksi pidananya.

c. UU ITE berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia. Sehingga jangkauan UU ini tidak hanya bersifat lokal saja tetapi juga internasional.

Selain UU ITE, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang dapat menunjang perlindungan konsumen dalam e-commerce, peraturan tersebut adalah:

1. Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen 2. Undang-undang nomor 12 tahun 2002 tentang hak cipta,

3. Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang paten, 4. Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek, 5. Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran,

6. Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan jo. Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992.


(18)

BAB IV

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE)

A. Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

Konsumen dalam e-commerce memiliki resiko yang lebih besar dari pada penjual atau merchant-nya. Atau dengan kata lain hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce lebih rentan untuk dilanggar. Hal ini disebabkan karena karakteristik dari e-commerce sendiri, yakni dalam e-commerce tidak terjadi pertemuan secara fisik antara konsumen dengan penjualnya yang kemudian dapat menimbulkan berbagai permasalahan.

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa e-commerce menimbulkan berbagai permasalahan, maka dalam pembahasan berikut akan dijabarkan berbagai permasalahan yang penting seputar e-commerce dan pengaturan permasalahan tersebut menurut UUPK, UU ITE dan juga KUH Perdata. Permasalahan tersebut sebagai berikut :

1. Privasi

Privasi adalah claim of individuals, groups, or institution to determine for themselves when, how, and what extent information about them is communicated to others.39

39

Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.159.


(19)

privasi merupakan konsep yang lebih luas dari sekedar kerahasiaan yang meliputi hak untuk bebas dari gangguan, hak untuk tetap mandiri, hak untuk dibiarkan sendiri, hak untuk mengontrol peredaran dari informasi tentang seseorang dan dalam hal apa saja informasi tersebut harus diperoleh dan digunakan.40 Pada umumnya ada tiga aspek dari privasi, yaitu:41

a. privasi mengenai pribadi seseorang; b. privasi dari data seseorang; dan

c. privasi atas komunikasi seseorang.

Permasalahan yang muncul dalam e-commerce adalah pelanggaran terhadap privasi dari data tentang seseorang atau dengan kata lain disebut “data pribadi”, pelanggaran ini biasanya dalam bentuk penyalahgunaan informasi-informasi yang dikumpulkan atas anggota-anggota suatu organisasi/lembaga atau atas pelanggan-pelanggan dari suatu perusahaan.

Pengumpulan data pribadi konsumen dalam transaksi e-commerce dilakukan melalui media-media berikut :

a. Cookies

Cookies adalah suatu aplikasi kecil yang ditempatkan dalam hard drive

seseorang ketika mengunjungi suatu website/situs, cookies ini dapat mengumpulkan informasi mengenai nomor kartu kredit, situs-situs yang dikunjungi, alamat e-mail, minat maupun pola belanja. Informasi tersebut digunakan untuk melacak kunjungankunjungan ke suatu situs serta untuk mengetahui apa yang disukai atau tidak disukai oleh seorang pengunjung tentang

40

Ibid, hal.162. 41


(20)

situs tersebut. Apabila informasi-informasi yang dikumpulkan oleh cookies

digabungkan, maka akan dapat mengidentifikasi seorang individu secara spesifik. b. Pendaftaran Online (Online Registration)

Kebanyakan situs-situs yang melakukan penjualan barang/jasa mengharuskan pengunjung/konsumen melakukan registrasi terlebih dahulu sebelum dapat melakukan transaksi jual beli atau memanfaatkan fitur lengkap dari suatu situs.42

42

Contoh situs yang mengharuskan registrasi adalah bhineka.com, ebay.com, amazon.com.

Form registrasi dari suatu situs mewajibkan pengunjung untuk mengisi informasi-informasi pribadi seperti nama, alamat e-mail, alamat dan kota tempat tinggal, user name dan password, jenis kelamin, tanggal lahir, penghasilan, pekerjaan. Bahkan ada beberapa situs yang mewajibkan konsumen untuk memasukkan nomor kartu kreditnya. Jika hal-hal diatas tidak dilengkapi, maka konsekuensinya adalah pengunjung/konsumen tidak dapat menikmati fitur lengkap dari suatu situs atau konsumen tidak dapat melakukan transaksi jual beli. Permasalahannya adalah, konsumen tidak mengetahui penggunaan dari data pribadinya, terlebih lagi terhadap informasi-informasi sensitif seperti nama, alamat dan nomor kartu kredit yang apabila disalahgunakan dapat membahayakan dan merugikan pemilik informasi tersebut.

UU ITE sudah memberikan perlindungan terhadap data pribadi seseorang, hal ini diatur dalam pasal 26. Dalam ayat 1 disebutkan bahwa:

kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan”.


(21)

Cakupan dari pengertian data pribadi yang dianut oleh Pasal 26 ayat 1 dapat ditemui dalam penjelasannya, yakni :

a) Hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.

b) Hak untuk berkomunkasi dengan orang lain tanpa tindakan mematamatai. c) Hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data

seseorang.

Perlindungan hukum terhadap data pribadi oleh Pasal 26 UU ITE sudah cukup memadai, selain karena cakupan pengertian data pribadi yang dianut cukup luas, juga memberikan hak mengajukan gugatan kepada orang yang dirugikan atas penggunaan data pribadi orang yang bersangkutan (UU ITE Pasal 26 ayat 2). 2. Klausula Baku

Dalam dunia usaha, terdapat klausula baku / perjanjian baku yang menempatkan posisi tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang merugikan salah satu pihak yang dalam hal ini konsumen. UUPK tidak merumuskan pengertian perjanjian baku tapi menggunakan istilah klausula baku yang menurut Pasal 1 ayat (10) UUPK dirumuskan sebagai berikut :

Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen


(22)

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani menyatakan;43

Dalam e-commerce, penggunaan klausula baku adalah hal yang mutlak. Karena dalam e-commerce para pihak tidak berinteraksi secara langsung melainkan berinteraksi menggunakan media elektronik, salah satunya adalah internet. Saat konsumen hendak membeli suatu barang pada suatu website, maka penjual/merchant akan menyodorkan suatu perjanjian (term and condition) yang berisikan mengenai persyaratan-persyaratan seperti layaknya perjanjian jual beli pada umumnya. Perjanjian (term and condition) inilah yang dapat dikategorikan sebagai klausula baku, karena isi dari perjanjian tersebut ditetapkan secara sepihak “UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/ atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/ atau klausul baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1), serta tidak “berbentuk” sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (2) UUPK tersebut”.

Tujuan penggunaan klausula baku dalam kegiatan bisnis sebenarnya adalah untuk menghemat waktu dalam setiap kegiatan jual beli, amat tidak efisien apabila setiap terjadi transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli mereka membicarakan mengenai isi kontrak jual beli. Oleh karena itu dalam suatu kontrak standard dicantumkan klausul-klausul yang umumnya digunakan dalam kontrak jual beli.

43

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal. 57.


(23)

oleh penjual/merchant. Disini pihak konsumen tidak bisa memprotes isi dari pada perjanjian, karena dalam website yang menampilkan perjanjian tersebut tidak mempunyai opsi (pilihan) untuk merubah perjanjian. Disini konsumen hanya mempunyai dua pilihan yakni menerima atau membatalkan pesanan.

Dalam UUPK penggunaan klausula baku pada prinsipnya tidak dilarang, namun yang perlu dikhawatirkan adalah pencantuman klausula eksonerasi (exemptionclause) dalam perjanjian tersebut. Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual).44

1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :

UUPK sendiri memberikan persyaratan mengenai pencantuman klausula baku yang diatur dalam pasal 18 UUPK, yakni sebagai berikut :

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.

44


(24)

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi manfaat harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.


(25)

4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.

Walaupun UUPK secara jelas mengatur mengenai tata cara pembuatan klausula baku, namun dalam praktek masih terjadi penyimpangan terlebih lagi dalam e-commerce dimana segala kegiatan transaksi dilakukan dengan proses “klik” tanpa adanya proses tawar-menawar. Klausula eksenorasi dalam e-commerce banyak terdapat dalam hal :

a. Pilihan hukum (choice of law)

Klausula mengenai pilihan hukum pada umumnya terjadi pada e-commerce yang bersifat lintas batas Negara. Pilihan hukum menyangkut hukum negara mana yang akan digunakan bila terjadi sengketa, dalam hal ini sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang berkedudukan di luar negeri.

UUPK memiliki kelemahan, yakni tidak dapat menjangkau pelaku usaha yang berkedudukan di luar negeri. Hal ini terlihat dalam rumusan Pasal 1 butir 3 UUPK yang menyatakan :

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Berdasarkan pengertian pelaku usaha di atas maka ruang lingkup dari UUPK hanyalah pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia. UU ITE sudah mengatur perihal mengenai pilihan hukum yakni


(26)

dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (2) dimana disebutkan bahwa para pihak mempunyai kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya, namun UU ITE tidak mengatur perihal mengenai klausula baku sebagaimana diatur oleh UUPK, sehingga mau tidak mau konsumen tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh pelaku usaha.

Contoh penggunaan klausul baku tentang pilihan hukum terdapat dalam EULA (End User License Agreement) yang dikeluarkan oleh amazon.com yang berbunyi “bahwa segala transaksi yang terjadi dengan amazon.com berlaku the laws of state of Washington.”45

Walaupun Pasal 18 ayat 2 UU ITE mempunyai kelemahan sebagaimana disebutkan diatas, namun terdapat ketentuan internasional yang dapat digunakan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dalam e-commerce

internasional. Ketentuan tersebut terdapat dalam Konvensi Roma 1980 Pasal 5 ayat 2 yang menegaskan bahwa:

Dengan demikian konsumen yang berasal dari negara manapun yang melakukan transaksi dengan amazon.com tunduk pada hukum negara bagian Washington. Hal ini tentu memberatkan konsumen karena apabila ia dirugikan oleh pelaku usaha, maka ia harus mengajukan gugatannya ke negara bagian Washington dan hal ini tentu memakan biaya yang tidak sedikit. Seharusnya UU ITE sebagai dasar hukum transaksi e-commerce yang telah menjangkau transaksi e-commerce internasional mencantumkan mengenai perihal pilihan hukum ini, karena ketentuan pasal 18 ayat 2 UU ITE ini tidak memberikan perlindungan kepada konsumen.

45


(27)

dalam kontrak bisnis-konsumen, pilihan hukum yang dibuat di dalam kontrak tidak dapat menghilangkan hak-hak konsumen atas perlindungan konsumen dari Negara tempat ia memiliki kediaman tetap”.

Sejalan dengan ketentuan yang terkandung dalam konvensi roma 1980 tersebut, berlaku asas bahwa hukum yang dipilih para pihak dalam kontrak tidak dapat mengesampingkan kaidah-kaidah memaksa (mandatory laws) dari Negara yang meiliki closest connection dengan kontrak.46

b. Pembagian resiko yang tidak berimbang

Dengan adanya ketentuan ini, walaupun pihak konsumen menggugat pelaku usaha di Negara lain, konsumen tersebut tetap mendapatkan hak-haknya sebagai konsumen sebagaimana diberikan oleh UUPK.

Pembagian resiko yang tidak berimbang banyak terjadi dalam e-commerce, khususnya dalam transaksi pembayaran. Biasanya konsumen harus terlebih dahulu membayar secara penuh (menggunakan kartu kredit atau transfer antar bank) atas barang yang dibeli, barulah pesanannya akan diproses oleh pelaku usaha atau penjual. Hal ini tentu berisiko tinggi karena membuka peluang terlambatnya pengiriman barang yang dipesan, isi dan mutu barang tidak sesuai dengan pesanan atau bahkan barang sama sekali tidak sampai di tangan konsumen. Klausula baku mengenai pembagian resiko ini banyak digunakan dengan alas an melindungi pelaku usaha dari konsumen yang tidak bertanggung jawab, namun di sisi lain klausula ini dapat merugikan kepentingan konsumen karena jaminan bahwa pesanan akan diproses setelah pembayaran hanya berasal

46


(28)

dari pelaku usaha saja. Dalam Pasal 16 UUPK, terdapat pengaturan mengenai kewajiban pelaku usaha untuk memenuhi janji dalam hal menawarkan barang atau jasa melalui pesanan, dimana disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk: 1) Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan

yang dijanjikan.

2) Tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi.

Dengan adanya Pasal 16 ini, maka pelaksanaan janji yang diberikan oleh pelaku usaha dapat lebih terjamin. Selain jaminan yang diberikan oleh Pasal 16, faktor kepercayaan juga berlaku disini karena kepercayaan merupakan dasar dari

e-commerce.

3. Otensitas Subjek Hukum

Otensitas sama artinya dengan autentik, autentik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia artinya dapat dipercaya, asli atau sah.47

a. Kecakapan para pihak

Masalah otensitas para subyek hukum dalam e-commerce menjadi isu yang penting untuk dibahas karena menyangkut keabsahan perjanjian yang dibuat melalui e-commerce. Isu yang menyangkut otensitas adalah :

Dasar hukum bagi perjanjian di Indonesia diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal 1320 ini terdapat 4 syarat untuk sahnya suatu perjanjian yakni :

1) Kesepakatan para pihak,

47

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai pustaka, Jakarta, 1976, h. 65.


(29)

2) Kecakapan, 3) Suatu hal tertentu 4) Suatu sebab yang halal

Syarat 1 dan 2 disebut syarat subyektif karena menyangkut individu yang membuat perjanjian, sedangkan syarat 3 dan 4 merupakan syarat obyektif. Tidak terpenuhinya salah satu syarat diatas dalam suatu perjanjian akan menimbulkan dampak hukum yang berbeda tergantung syarat mana yang tidak dipenuhi. Apabila syarat 1 dan 2 tidak dipenuhi maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan apabila syarat 3 dan 4 yang tidak dipenuhi maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum.

Pada asasnya semua orang cakap untuk membuat perikatan/perjanjian, kecuali jika ia oleh undang dinyatakan tidak cakap. Menurut undang-undang, orang yang tak cakap adalah mereka yang belum dewasa (genap berusia 21 tahun atau mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah) dan mereka yang di bawah pengampuan (gila, dungu, mata gelap, lemah akal dan pemboros).48

48

Abdulkadir Muhammad, op . cit , h. 250.

Namun dalam e-commerce sangat sulit untuk menentukan seseorang yang melakukan transaksi telah dewasa atau tidak berada di bawah pengampuan karena proses penawaran dan penerimaan tidak dilakukan secara fisik melainkan melalui suatu media elektronik yang rawan penipuan. Dalam e-commerce, sering terjadi dimana konsumen yang belum dewasa melakukan pembelian dan pesanan tersebut diproses oleh penjualnya walaupun penjual mengetahui bahwa konsumen tersebut belum dewasa, ini terlihat dalam forum jual beli classyfield.chip.co.id


(30)

dimana 30 % dari pembeli dalam forum tersebut adalah anak-anak usia 15-20 tahun.49

b. Dilakukan oleh subyek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakilinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Informasi dan Transaksi Elektronik (RPP ITE), hal ini telah mendapat pengaturan. Dalam Pasal 2 RPP ITE diatur mengenai syarat sahnya suatu transaksi elektronik, syarat tersebut adalah :

c. Obyek transaksi tidak boleh bertentangan dengan UU d. Dilakukan dengan kontrak elektronik

e. Dilaksanakan dengan sistem elektronik yang disepakati.

Berdasarkan persyaratan diatas maka jelas bahwa apabila syarat kecakapan tidak dipenuhi maka transaksi elektronik tersebut tidak sah/ tidak memiliki kekuatan hukum sehingga berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Kemudian dalam Pasal 3 RPP ITE disebutkan mengenai kewajiban penyelenggara transaksi elektronik untuk melakukan langkah-langkah yang memadai untuk menguji keaslian identitas dan kewenangan konsumen yang melakukan transaksi elektronik dengan berbagai metode yang dimungkinkan.

Dengan adanya pengaturan sebagaimana disebutkan diatas, maka jelas bahwa untuk melakukan transaksi elektronik harus memenuhi syarat kecakapan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

html#post2063158, bahan diakses tanggal 1 Mei 2010.


(31)

4. Validitas subyek hukum

Validitas dalam e-commerce adalah hal yang sangat penting, pengertian validitas ini adalah sejauh mana kebenaran akan keberadaan suatu subyek hukum.50

a. Dengan pencantuman alamat

Konsep validitas dalam e-commerce menjadi penting karena dapat mencegah terjadinya penipuan, untuk mengetahui kemana ganti rugi harus diajukan dan menambah kepercayaan konsumen untuk berbelanja. Dalam e-commerce banyak cara yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk menunjukkan validitasnya misalnya :

Biasanya website e-commerce mencantumkan alamatnya di website

mereka dengan tujuan untuk memberitahu kepada calon konsumen mereka bahwa mereka betul-betul ada, sehingga konsumen merasa aman untuk berbelanja di

website tersebut. Selain itu, dengan dicantumkannya alamat penjual maka pembeli mengetahui kemana harus mengajukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan terhadap barang yang dibeli atau apabila barang tidak sampai ke tangan konsumen.

b. Mencantumkan logo perusahaan

Pencantuman logo perusahaan dalam suatu website, menandakan bahwa

website tersebut benar-benar ada, karena sudah diotorisasi oleh CA (Certification Authority).

c. Feed back dari pelanggan.

50

http://violetatniyamani.blogspot.com/2007/09/teori-validitas.html, bahan diakses tanggal 5 Mei 2010.


(32)

Ini adalah salah satu bentuk validitas yang paling sederhana namun tingkat validitasnya hampir sempurna. Feed back ini diberikan oleh pelanggan yang merasa puas dengan pelayanan, kecepatan pengiriman barang yang dipesan dan kualitas barang yang dibeli dari suatu website, feed back yang menyatakan kepuasaan pelanggan terhadap suatu website dalam dunia internet dikenal dengan istilah positive feed back. Semakin banyak konsumen yang puas terhadap suatu

website e-commerce, semakin tinggi reputasi dan validitas website tersebut, sehingga calon pelanggan akan semakin yakin akan pelayanan website tersebut. Sistem ini sangat bagus, karena pelaku usaha dituntut untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Dalam e-commerce, apabila suatu website

menerima feed back yang buruk/negatif dari pelanggannya maka dapat dipastikan bahwa website tersebut akan sepi oleh pembeli.

Validitas erat kaitannya dengan CA (Certification Authority), namun dalam UU ITE tidak menggunakan istilah CA tapi menggunakan istilah “lembaga sertifikasi keandalan”, dimana dalam Pasal 1 angka 11 diartikan sebagai lembaga independent yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan dan diawasi oleh pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam e-commerce. Salah satu tugas CA adalah melakukan verifikasi, pemeriksaan dan pembuktian identitas pengguna dan pelanggan atau dengan kata lain CA bertugas untuk memastikan dan menjamin kebenaran keberadaan pengguna dan pelanggan sehingga terjamin otentisitasnya. Yang dimaksud dengan pengguna dan pelanggan adalah para pihak yang terlibat dalam transaksi e-commerce.


(33)

Peranan CA untuk menjamin otentisitas para pihak yang terlibat dalam e-commerce adalah untuk mencegah penipuan-penipuan yang sering terjadi dalam transaksi e-commerce seperti ”phising”. Phising sering diartikan sebagai suatu cara untuk memancing seseorang ke halaman tertentu. phising tidak jarang digunakan oleh para pelaku kriminal untuk memancing seseorang agar mendatangi alamat web melalui e-mail, salah satu tujuannya adalah untuk menjebol informasi yang sangat pribadi dari sang penerima email, seperti password, nomor kartu kredit, dan lain-lain dengan cara mengirimkan informasi yang seakan-akan dari penerima e-mail mendapatkan pesan dari sebuah situs, lalu mengundangnya untuk mendatangi sebuah situs palsu. Situs palsu dibuat sedemikian rupa yang penampilannya mirip dengan situs aslinya, lalu ketika korban mengisikan password maka pada saat itulah penjahat ini mengetahui password korban. Penggunaan situs palsu ini disebut juga dengan istilah pharming.51

Selain mengatur tentang CA, UU ITE secara implisit mengatur kejahatan mengenai phising yakni tercantum dalam Pasal 35, dimana disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik tersebut dianggap seolah-olah otentik”, dimana pelanggaran terhadap Bila suatu situs e-commerce menggunakan jasa CA, maka otentisitas dari situs tersebut akan terjamin, sehingga konsumen dapat bertransaksi dengan lebih aman.

51


(34)

Pasal 35 ini dikenakan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak 12 miliar rupiah (Pasal 51 ayat 1).

Namun UU ITE tidak mewajibkan suatu situs e-commerce untuk menggunakan jasa CA, ini terlihat dalam Pasal 10 ayat 1 dimana disebutkan “Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi keandalan” (garis bawah dari penulis). Dari rumusan pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pelaku usaha tidak diwajibkan untuk menggunakan jasa CA, sehingga tidak semua situs e-commerce dijamin otentisitasnya oleh CA. Seharusnya UU ITE mewajibkan sertifikasi setiap situs e-commerce untuk memberikan perlindungan bagi konsumen dari penipuan.

5. Obyek E-Commerce

Yang menjadi obyek e-commerce adalah barang atau jasa yang diperjual belikan oleh pelaku usaha kepada setiap orang yang membeli barang dan jasa melalui e-commerce. Namun tidak semua barang atau jasa dapat diperjualbelikan dalam e-commerce. UU ITE dan UUPK tidak mengatur mengenai syarat-syarat barang atau jasa yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan dalam e-commerce, namun dengan melihat ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata terdapat ketentuan yang mengatur mengenai barang-barang yang boleh untuk diperdagangkan yakni :52 1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan, baik yang ada sekarang

maupun yang akan ada.

52


(35)

2) Tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.

Apabila kedua hal tersebut diatas dilanggar, maka perjanjian jual beli dalam transaksi barang dinyatakan batal demi hukum.

UUPK tidak mengatur mengenai persyaratan tentang barang atau jasa yang boleh diperdagangkan, melainkan hanya mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan barang atau jasa (BAB IV UUPK Pasal 8-17). Namun dari ketentuan yang tercantum dalam bab IV tersebut, dapat dijadikan acuan mengenai barang atau jasa yang boleh untuk diperdagangkan. Dalam Pasal 8 ayat 1, disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk mengedarkan barang atau jasa yang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang diyatakan dalam label atau etiket barang.

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses, pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.


(36)

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label , etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang/jasa tersebut.

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut.

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan dalam ayat 2 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud. Dalam ayat 3 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan persediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Selain Pasal 8, terdapat juga Pasal lain yang dapat dijadikan acuan mengenai barang-barang yang diperbolehkan dalam transaksi e-commerce yakni terdapat dalam :

a. Pasal 9 melarang melakukan manipulasi produk atau jasa.


(37)

c. Pasal 11 mengatur mengenai barang-barang yang dijual secara lelang atau obral.

d. Pasal 13 dan 14 mengatur mengenai perihal pemberian hadiah terhadap barang/jasa yang dibeli.

e. Pasal 16 mengatur tentang keharusan pelaku usaha untuk menepati janji dalam hal pembelian barang dibeli melalui pesanan. Hal ini banyak terjadi dalam transaksi e-commerce dimana pembeli membeli barang dengan cara memesan. f. Pasal 17 mengatur secara khusus tentang periklanan

Walaupun UU ITE tidak mengatur mengenai kriteria barang yang boleh diperdagangkan dalam transaksi e-commerce, namun UU ITE mewajibkan pelaku usaha untuk menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan produk yang ditawarkan (Pasal 9) dan melarang penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik (Pasal 28 ayat 1).

6. Tanggung Jawab Para Pihak

Transaksi e-commerce dilakukan oleh pihak yang terkait, walaupun pihakpihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain melainkan berhubungan melalui media internet. Dalam e-commerce, pihak-pihak yang terkait tersebut antara lain :53

a. Penjual atau merchant yang menawarkan sebuah produk melalui Internet\ sebagai pelaku usaha.

53


(38)

b. Pembeli yaitu setiap orang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual.

c. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada penjual atau pelaku usaha/merchant, karena transaksi jual beli dilakukan secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat dilakukan melalui perantara dalam hal ini yaitu Bank.

d. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses Internet.

Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik tersebut di atas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban, penjual/pelaku usaha/merchant

merupakan pihak yang menawarkan produk melalui Internet, oleh karena itu penjual bertanggung jawab memberikan informasi secara benar dan jujur atas produk yang ditawarkan kepada pembeli atau konsumen (UU ITE Pasal 9). Di samping itu, penjual juga harus menawarkan produk yang diperkenankan oleh undang-undang maksudnya barang yang ditawarkan tersebut bukan barang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak rusak atau mengandung cacat tersembunyi, sehingga barang yang ditawarkan adalah barang yang layak untuk diperjualbelikan (UUPK Pasal 8). Penjual juga bertanggung jawab atas pengiriman produk atau jasa yang telah dibeli oleh seorang konsumen. Dengan demikian, transaksi jual beli termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi siapa pun yang membelinya. Di sisi lain, seorang penjual atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga


(39)

barang yang dijualnya dan juga berhak untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli/konsumen yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual beli elektronik ini. Jadi, pembeli berkewajiban untuk membayar sejumlah harga atas produk atau jasa yang telah dipesannya pada penjual tersebut.

Seorang pembeli memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang telah dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan harga yang telah disampaikan antara penjual dan pembeli tersebut, selain itu mengisi data identitas diri yang sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan. Di sisi lain, pembeli/konsumen berhak mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya itu. Pembeli juga berhak mendapat perlindungan hukum atas perbuatan penjual/pelaku usaha yang ber’itikad tidak baik.

Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik, berkewajiban dan bertanggung jawab sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu produk dari pembeli kepada penjual produk itu karena mungkin saja pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli produk dari penjual melalui Internet yang letaknya berada saling berjauhan sehingga pembeli termaksud harus mengunakan fasilitas Bank untuk melakukan pembayaran atas harga produk yang telah dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pentransferan dari rekening pembeli kepada rekening penjual (acount to acount).

Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik, dalam hal ini provider memiliki kewajiban atau tanggung jawab untuk menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat melakukan transaksi jual beli secara elektronik melalui media Internet dengan penjualan yang


(40)

menawarkan produk lewat Internet tersebut, dalam hal ini terdapat kerja sama antara penjual/pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui Internet ini.

Transaksi jual beli secara elektronik merupakan hubungan hukum yang dilakukan dengan memadukan jaringan (network) dari sistem yang informasi berbasis computer dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa tekomunikasi. Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik tidak hanya terjadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga terjadi pada pihak-pihak dibawah ini:54

a. Business to business, merupakan transaksi yang terjadi antar perusahaan dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan bukan perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut dilakukan untuk menjalin kerja sama antara perusahaan itu.

b. Costumer to costumer, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar individu dengan individu yang akan saling menjual barang.

c. Custumer to business, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai pembelinya.

d. Costumer to goverment, merupakan transaksi jual beli yang dilakukan antar individu dengan pemerintah, misalnya, dalam pembayaran pajak.

Dengan demikian, pihak-pihak yang dapat terlibat dalam satu transaksi jual beli secara elektronik, tidak hanya antara individu dengan individu tetapi juga

54


(41)

dengan sebuah perusahaan, perusahaan dengan perusahaan atau bahkan antara individu dengan pemerintah, dengan syarat bahwa para pihak termasuk secara perdata telah memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum dalam hal ini hubungan hukum jual beli.55

Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda dengan jual beli biasa, sebagai berikut:56

a. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website

pada Internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan strorefront yang berisi catalog produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang memasuki website pelaku usaha tersebut dapat melihat barang yang ditawarkan oleh penjual. Salah satu keuntungan jual beli melalui took online

ini adalah bahwa pembeli dapat berbelanja kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu.

b. Penawaran dalam sebuah website biasanya menampikan barang-barang yang ditawarkan, harga, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang diisi oleh pembeli sebelumnya,spesifikasi barang termasuk menu produk lain yang berhubungan. Penawaran melalui Internet terjadi apabila pihak lain yang mengunakan media Internet memasuki situs milik penjual atau pelaku usaha yang melakukan penawaran, oleh karena itu apabila seseorang tidak menggunakan media Internet dan memasuki situs milik pelaku usaha yang menawarkan sebuah produk maka tidak dapat dikatakan ada penawaran. Dengan demikian, penawaran melalui media Internet hanya dapat terjadi

55

Edmon Makarim, loc . cit . 56


(42)

apabila seseorang membuka situs yang menampikan sebuah tawaran melalui internet tersebut.

c. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerima dilakukan melalui e-mail, karena penawaran hanya ditujukan sebuah e-mail tersebut yang ditujukan untuk seluruh rakyat yang membuka website yang berisikan penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha. Setiap orang yang berminat untuk membeli barang yang ditawarkan itu dapat membuat kesepakatan dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan barang tersebut. Pada transaksi jual beli secara elektronik khususnya melalui

website, biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha, dan jika calon pembeli atau konsumen itu tertarik untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka barang itu akan disimpan terlebih dahulu sampai calon pembeli/konsumen merasa yakin akan pilihannya, selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki tahap pembayaran.

d. Pembayaran dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui fasilitas Internet namun tetap bertumpu pada system keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi cara pembayaran adalah sebagai berikut:

1) Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan intitusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau deposit uangnya dari account masing-masing.


(43)

2) Pembayaran dua pihak tanpa perantara, yang dapat dilakukan langsung antar kedua pihak tanpa perantaraan mengunakan uang nasionalnya.

3) Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk. Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain: sistem pembayaran melalui kartu kredit online serta sistem pembayaran

check in line. Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka pembayaran dapat dilakukan melalui cash account to account

atau pengalihan dari rekening pembeli pada rekening penjual. berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan melalui kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual beli secara elektronik ini sulit untuk dilakukan secara langsung, karena adanya perbedaan lokasi antar penjual dengan pembeli, dimungkinkan untuk dilakukan.

e. Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang telah ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya barang yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antar penjual dan pembeli.


(44)

Berdasarkan proses transaksi jual beli secara elektronik yang telah diuraikan di atas yang telah menggambarkan bahwa ternyata jual beli tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli saling bertemu secara lansung, namun dapat juga hanya melalui media Internet, sehingga orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli.

Pasal 15 UU ITE menjelaskan bahwa sistem penyelenggaraan informasi dan transaksi elektronik harus dilakukan secara aman, andal dan dapat beroperasi sebagaimana mestinya. penyelenggaraan sistem elektronik bertanggung jawab atas sistem yang diselenggarakannya. Pasal 16 UUITE menjelaskan bahwa sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap penyelenggaraan system elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik secara minimum, yang harus dapat dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik adalah:

i. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem elektronik yang telah berlangsung;

ii. Dapat melindungi otentifikasi, integritas, rahasia, ketersediaan, dan akses dari informasi elektronik dalam penyelenggaraan system elektronik tersebut;

iii. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;


(45)

iv. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan

v. Memiliki fitur untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan pertanggungjawaban prosedur atau petunjuk tersebut secara berkelanjutan;

Dalam Pasal 9 UUITE dijelaskan bahwa “pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elekronik harus menyediakan informasi yang dilengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Dalam Pasal 10 ayat (1) UUITE dijelaskan bahwa “setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga Sertifikasi keandalan”. Dalam Pasal 10 ayat (2) UUITE menyebutkan “ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan pemerintah”.

Terkait dengan tanggung jawab seseorang mengenai tanda tangan elektronik maka dalam Pasal 12 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa “setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda tangan elektronik yang digunakannya”. Dalam Pasal 12 ayat (2) UU ITE dijelaskan bahwa “pengamanan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi ;


(46)

ii. Penanda tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan tanda tangan elektronik ;

iii. Penanda tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik jika ;

iv. Penanda tangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan elektronik telah di bobol; atau

v. Keadaan yang diketahui oleh penada tangan dapat menimbulkan resiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembentukan tanda tangan elektronik.

vi. Dalam hal sertifikasi digunakan untuk mendukung tanda tangan elektronik, penanda tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan sertifikasi elektronik tersebut.

Pasal 12 ayat (3) UUITE juga menjelaskan bahwa “setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul. Artinya setiap orang bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat pelanggaran yang dilakukan terhadap pemberian pengamanan atas tanda tangan elektronik tersebut.

B. Bentuk-Bentuk Kerugian Konsumen dalam E-Commerce

Transaksi melalui internet memberikan kemudahan, kenyamanan dan kecepatan dalam setiap transaksi yang dilakukan hal inilah yang mendorong


(47)

pesatnya pertumbuhan commerce di Indonesia. Namun terlepas dari kebaikan e-commerce, tidak menutup kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pihak konsumen. Kerugian yang diderita konsumen dapat berupa :

1. Wanprestasi

Transaksi e-commerce merupakan perjanjian jual beli sebagaimana yang dimaksud oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Karena merupakan suatu perjanjian maka melahirkan juga apa yang disebut sebagai prestasi, yaitu kewajiban suatu pihak untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam suatu perjanjian. Adanya prestasi memungkinkan terjadinya wanprestasi atau tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak kepada para pihak. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual merupakan kerugian bagi pihak konsumen. Bentuk-bentuk dari pada wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha ini antara lain :57

a. Tidak Melakukan Apa Yang Disanggupi Akan Dilakukan

Dalam transaksi e-commerce, penjual mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram dan menanggung cacat-cacat tersembunyi. Jika penjual tidak melaksanakan kedua kewajibannya tersebut, penjual dapat dikatakan wanprestasi. Contohnya saja toko online kakilima.com yang menawarkan cakes (kue ulang tahun). Kaki lima menjanjikan untuk mengantar pesanan pembeli dalam waktu satu minggu setelah pesanan diterima. Apabila pembeli memesan

57

M. Arsyad Sanusi, E- commerce: hukum dan solusinya, PT Mizan Grafika Sarana, Jakarta, 2007, h. 34.


(48)

kue ulang tahun tersebut tanggal 12 juni 2010, seharusnya cakes atau kue ulang tahun tersebut sampai di tempat pembeli pada tanggal 19 juni 2010. Akan tetapi, ternyata penjual tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut, ia tidak mengirimkan kue tersebut sehingga dengan demikian penjual telah melakukan wanprestasi.58

b. Melaksanakan Apa Yang Dijanjikan Tetapi Terlambat

Situs-situs e-commerce di Indonesia, jarang memberikan informasi mengenai perhitungan durasi waktu pengiriman, hal ini berbeda dengan Situs e-commerce besar seperti amazon.com dan playasia.com yang selalu mencantumkan perkiraan durasi waktu pengiriman barang.Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.

Contoh atau aplikasi dari wanprestasi ini adalah pembeli membeli sebuah hardware komputer pada forum jual beli kaskus.us Menurut gambar dan dekripsi barang yang terdapat di iklan tersebut menyatakan bahwa perlengkapan dari hardware tersebut sangat lengkap walaupun hardware tersebut adalah barang bekas. Perlengkapan yang ada menurut iklan tersebut adalah hardware, Cd driver, buku manual operasi, kabel power dan sebuah bonus cd game. Akan tetapi setelah sampai di tempat pembeli, bonus cd game tidak disertakan sebagaimana yang tertera dalam iklan. Dengan demikian, jelas sekali bahwa penjual telah melakukan wanprestasi karena melaksanakan prestasinya dengan tidak sebagai mana mestinya.

58


(49)

Bentuk kerugian model ini sebenarnya sama dengan bentuk kerugian pada nomor “a”. jika barang yang dipesan datang terlambat, tetapi tetap dapat dipergunakan, hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang terlambat. Sebaliknya jika prestasinya tidak dapat digunakan lagi, digolongkan sebagai tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.

c. Melakukan Sesuatu Yang Menurut Perjanjian Tidak Boleh Dilakukan

Contoh aplikasi kerugian jenis ini adalah penyebaran informasi pribadi konsumen yang dilakukan oleh penjual. Informasi yang disebarkan oleh penjual tersebut dapat berasal dari form registrasi yang diisi oleh konsumen sendiri dan cookies yang berasal dari situs penjual. Penyebaran terhadap informasi pribadi ini tentu akan akan merugikan konsumen, terlebih lagi terhadap informasi sensitif seperti nomor kartu kredit.

4. Kerugian yang timbul akibat cyber crimes

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia cyber terdapat berbagai jenis kejahatan yang dapat merugikan konsumen. Kegiatan transaksi e-commerce yang semakin meningkat pesat menarik minat para penjahat cyber. Kejahatan dalam dunia cyber sering disebut dengan cyber crimes. Jenis-jenis dari e-crime adalah sebagai berikut :59

a. Penipuan financial menggunakan media komputer atau media digital

59

Abdul Wahid dan Mohhamad Labib, Kejahatan Mayantara (cyber crime), Refika Aditama, Malang, 2005. hal. 80.


(50)

b. Sabotase terhadap perangkat-perangkat digital, data-data milik orang lain, dan jaringan komunikasi data.

c. Pencurian informasi pribadi seseorang maupun organisasi tertentu.

d. Penetrasi terhadap sistem komputer dan jaringan sehingga menyebabkan privasi terganggu atau gangguan pada fungsi komputer yang digunakan (denial of service).

e. Para pengguna internal sebuah organisasi melakukan akses-akses ke server tertentu atau ke internet yang tidak diijinkan oleh peraturan organisasi.

f. Menyebarkan virus, worm, backdoor, trojan pada perangkat komputer sebuah organisasi yang mengakibatkan terbukanya aksesakses bagi orang-orang yang tidak berhak.

Kesemua jenis cyber crime tersebut menimbulkan kerugian yang amat besar bagi korbannya, sebab data yang dicuri pada umumnya adalah data yang sensitif seperti nomor kartu kredit, nama korban, username atau password dan lain-lain.

C. Upaya Hukum Yang Dapat Ditempuh Oleh Konsumen Apabila Terjadi Kerugian Dalam E-Commerce

Upaya hukum adalah keseluruhan upaya-upaya guna menyelesaikan suatu masalah hukum. Dalam E-commerce terdapat dua macam upaya hukum yakni : 1. Upaya hukum preventif

Upaya hukum preventif dapat diartikan sebagai segala upaya yang dilakukan guna mencegah terjadinya suatu peristiwa atau keadaan yang tidak


(51)

diinginkan. Dalam transaksi e-commerce, keadaan yang tidak diinginkan ini adalah terjadinya kerugian, khususnya kerugian pada pihak konsumen. Upaya preventif perlu untuk diterapkan mengingat penyelesaian sengketa e-commerce relatif sulit, memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaiannya dan tidak jarang memerlukan biaya yang tinggi. Sebagai contoh dua orang Hongkong dan Austraia memerlukan waktu 5 bulan untuk mendapatkan refund (pembayaran kembali) atas barang yang dibeli. Maka dari itu, sengketa e-commerce sebisa mungkin harus dicegah. Dalam usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kerugian langkah-langkah yang dapat ditempuh, yakni :

a. Pembinaan Konsumen

Pembinaan konsumen terdapat dalam Pasal 29 ayat 1 UUPK dimana disebutkan bahwa:

Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraanperlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.

Kemudian dalam ayat 4 disebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen bertujuan untuk :

1) Terciptanya iklim usaha dan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen.

2) Berkembangnya lembaga konsumen swadaya masyarakat.

3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.


(52)

Pembinaan terhadap konsumen bertujuan agar konsumen mengetahui hak haknya sebagai konsumen dan mendorong pelaku usaha agar berusaha secara sehat. Dalam era Informasi Teknologi (IT) seperti saat ini, pembinaan konsumen harus ditingkatkan mengingat bahwa edukasi adalah pertahanan terbaik untuk mengatasi cybercrime, karena ancaman pelanggaran terhadap hak-hak konsumen tidak hanya berasal dari pelaku usaha saja tapi bisa juga datang dari pihak ketiga melalui kejahatan-kejahatan internet (cyber crimes). Hal-hal yang perlu diberikan dalam edukasi terhadap konsumen adalah :

1) hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak terkait. Baik konsumen, pelaku usaha, maupun bank (dalam hal transaksi menggunakan kartu kredit) 2) Pentingnya menjaga keamanan password seperti misalnya :

a) merahasiakan dan tidak memberitahukan PIN/Password kepada siapapun termasuk kepada petugas penyelenggara

b) Menggunakan Pin/Password yang tidak mudah ditebak c) melakukan perubahan PIN/Password secara berkala d) tidak mencatat PIN/Password dalam bentuk fisik

e) Pin untuk satu produk hendaknya berbeda dengan produk lainnya. 3) Edukasi mengenai berbagai modus cyber crime

Pembinaan konsumen oleh pemerintah dilakukan oleh menteri/menteri teknis terkait (UUPK Pasal 29 ayat 2). Namun dalam praktek, peranan pemerintah dalam melakukan edukasi/pembinaan terhadap konsumen belum begitu maksimal, hal ini dapat dilihat dari rendahnya kesadaran konsumen mengenai hak-hak yang


(53)

dimilikinya dan masih rendahnya keberanian konsumen untuk menuntut pelaku usaha.

b. Pengawasan dan Perlindungan Oleh Pemerintah Maupun Badan Yang Terkait. Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan dan perlindungan tercantum dalam UU ITE Pasal 40 ayat 2 dan UUPK Pasal 30 ayat 1, dimana dalam Pasal 40 ayat 2 UU ITE disebutkan bahwa “Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Perlindungan oleh pemerintah terlihat dalam ayat 3, 4, dan 5 dimana apabila disimpulkan bahwa Instansi yang memiliki data elektronik yang strategis wajib membuat cadangan (back up) terhadap data elektronik tersebut dengan tujuan untuk kepentingan perlindungan data apabila terjadi kerusakan, kehilangan atau serangan terhadap data elektronik tersebut. Pengawasan yang dilakukan pemerintah sudah terlaksana, hal ini terlihat dalam :

1) Dikeluarkannya kebijakan pemerintah yang memblokir konten-konten internet yang mengandung unsur pornografi dan konten yang berbau SARA (implementasi Pasal 40 ayat 2 UU ITE).60

60

Salah satu contoh implementasi Pasal 40 ayat 2 UU ITE yang sudah dilakukan oleh pemerintah adalah pemblokiran website-website porno dan menghapus/memblokir website-website yang menampilkan/menyediakan film fitna, dimana film tersebut mengandung muatan SARA.


(54)

2) Pengawasan terhadap bank yang memiliki data elektronik yang strategis dilakukan oleh Bank Indonesia (implementasi Pasal 40 ayat 3, 4, dan 5 UU ITE).

Kemudian dalam Pasal 30 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa

Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan Perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”.

Pelaksanaan terhadap ketentuan ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat misalnya oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Hal ini disebabkan karena rendahnya kinerja badan pemerintah yang bergerak dalam perlindungan konsumen, mulai dari kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada konsumen.

2. Upaya hukum represif

Upaya hukum represif adalah upaya hukum yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang sudah terjadi. Upaya hukum ini digunakan apabila telah terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen. Menurut UUPK salah satu hak konsumen adalah mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut (UUPK Pasal 4 huruf e). Selain itu, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (UUPK Pasal 7 butir f). Dalam transaksi e-commerce, banyak hal yang bias menimbulkan suatu sengketa


(55)

sebagaimana disebutkan diatas yang dapat menurunkan rasa kepercayaan konsumen terhadap sistem e-commerce, sehingga diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.

Transaksi e-commerce dapat bersifat internasional maupun bersifat nasional. Tranasksi e-commerce yang bersifat internasional artinya transaksi dapat dilakukan dengan melintasi batas suatu negara, hal ini sesuai dengan karakteristik e-commerce yang bersifat borderless. Oleh karena itu, pembahasan dalam sub bab ini dibagi menjadi dua yakni upaya hukum dalam hal transaksi terjadi secara internasional dan transaksi yang terjadi dalam wilayah Indonesia.

3. Upaya hukum dalam hal transaksi e-commerce bersifat Internasional Masalah yang muncul dalam hal terjadi sengketa pada transaksi e-commerce yang bersifat internasional adalah menentukan hukum/pengadilan mana yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa.61

61

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom, Cyber Law : aspek hukum teknologi informasi,Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal.167.

Dalam UU ITE, pengaturan mengenai transaksi e-commerce yang bersifat internasional terdapat dalam Pasal 18. Menurut pasal 18 ayat (2) UU ITE para pihak berwenang untuk menentukan hukum yang berlaku bagi transaksi e-commerce yang dilakukannya, maka dalam hal ini para pihak sebaiknya menentukan hukum mana yang berlaku apa bila terjadi sengketa di kemudian hari (choice of law). Dalam menentukan


(56)

pilihan hukum, ada batasanbatasan dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut :62

a. Partijautonomie

Menurut prinsip ini, para pihak merupakan pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang dibuat. Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh sebagian besar Negara, seperti eropa, eropa timur, Negara-negara asia afrika, termasuk Indonesia.

b. Bonafide

Menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik, yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi.

c. Real Connection

Beberapa sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih.

d. Larangan Penyelundupan Hukum

Pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenangwenangan demi keuntungan sendiri.

62

Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, hal.70-71.


(57)

e. Ketertiban Umum

Suatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum.

Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa kebebasan para pihak dalam melakukan pilihan hukum bukanlah tanpa batas tapi harus memperhatikan prinsip dan batasan sebagaimana diuraikan diatas. Namun ada kalanya para pihak tidak mencantumkan klausula pilihan hukum dalam kontrak elektronik yang dibuatnya maka berdasarkan Pasal 18 ayat (3) hukum yang berlaku bagi para pihak ditentukan berdasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional (HPI). Dalam HPI terdapat teori-teori untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu kontrak internasional, teori tersebut adalah :63

a. Teori Lex loci contractus, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana kontrak dibuat. Teori ini merupakan teori klasik yang tidak mudah diterapkan dalam praktek pembentukan kontrak internasional modern sebab pihak-pihak yang berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka membentuk kontrak di satu tempat (contract between absent person). Dapat saja mereka berkontrak melalui telepon atau sarana-sarana lainnya. Alternatif yang tersedia bagi kelemahan teori ini adalah pertama, teori post box dan kedua, teori penerimaan. Menurut teori post box, hukum yang berlaku adalah hukum tempat post box di mana pihak yang menerima penawaran (offer) itu 63

Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jilid III bagian 2 Buku ke-8), Alumni, Bandung, 1998,h. 8-16.


(58)

memasukkan surat pemberitahuan penerimaan atas tawaran itu. Sementara itu, menurut teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana pihak penawar menerima menerima surat pernyataan penerimaan penawaran dari pihak yang menerima tawaran.

b. Teori Lex loci solutionis, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana perjanjian dilaksanakan, bukan di mana tempat kontraknya ditandatangani. Kesulitan utama kontrak ini adalah, jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak di satu tempat, seperti kasus kontrak jual beli yang melibatkan pihak-pihak (penjual dan pembeli) yang berada di Negara berbeda, dan dengan system hukum yang berbeda pula.

c. Teori the proper law of contract, hukum yang berlaku adalah hukum Negara yang paling wajar berlaku bagi kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik berat (center of gravity) atau titik taut yang paling erat dengan kontrak itu. d. Teori the most characteristic connection, hukum yang berlaku adalah hukum

dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik. Kelebihan teori ini adalah bahwa dengan teori ini dapat dihindari beberapa kesulitan, seperti keharusan untuk mengadakan kualifikasi lex loci contractus atau lex loci solutionis, di samping itu juga dijanjikan kepastian hukum secara lebih awal oleh teori ini.

Selain para pihak dapat menentukan hukum yang berlaku, para pihak juga dapat secara langsung menunjuk forum pengadilan, arbitrase, dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka (Pasal 18 ayat 4). Untuk menyelesaikan sengketa e-commerce


(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI

ELEKTRONIK (E-COMMERCE)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan

Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

CUT DIAN PURNAMA NIM : 060200312

Departemen hukum Keperdataan Program Kekhususan BW

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP.1962042119988031004

Prof.Dr.H.Tan Kamello,SH.MS


(2)

ABSTRAK

Perkembangan dunia digital, khususnya internet saat ini sudah begitu mengglobal. Internet bukan lagi suatu hal yang baru dalam fase pertumbuhan dan perkembangan teknologi. Dalam bidang perdagangan, internet mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi yang disebut dengan electronic commerce (e-commerce) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Kehadiran e-commerce memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen. Hal ini menjadi tantangan yang positif dan sekaligus negatif bagi perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

Adapun permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah pelaksanaan perlindungan konsumen berdasarkan perundangan-undangan yang berlaku, hal-hal apa saja yang dapat merugikan konsumen dalam transaksi elektronik dan bagaimana upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen apabila dirugikan dalam transaksi elektronik.

Metode penelitian yang digunakan penulis untuk menjawab permasalahan adalah metode penelitian yuridis normatif, yakni dengan melakukan penelitian berdasarkan peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini dengan melakukan pengkajian terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan bahwa undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang informasi transaksi elektronik belum sepenuhnya menjamin perlindungan bagi keamanan konsumen dalam transaksi elektronik.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas anugerah dan karunianyalah masih diberikan kesehatan dan kemampuan untuk menjalani perkuliahan sampai pada menyelesaikan skripsi pada Program Kekhususan Perdata BW di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.

Skripsi ini berjudu l “PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE)”. Skripsi ini menganalisa bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap konsumen yang melakukan transaksi perdagangan melalui dunia maya.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello SH, MS selaku Ketua Bagian Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing I.


(4)

Dan terimakasih secara khusus saya ucapkan kepada :

Mama buat semua support, doa, kesabaran dan segala pemberian baik materi dan moril, (alm) Papa semoga aku bisa jadi anak yang mama dan papa banggakan.

To My Best Friends Makasih buat semua hari-hari dan kebahagiaan yang kita laluin. I will never forget all about this.

Semua anak-anak FH USU ‘06 Group B khususnya member of “K-Family”.

Penulis menyadari dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang penulis miliki, skripsi ini masih jauh dari sempurna. Harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang-orang yang membacanya.

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, maaf kalau tidak bisa disebutkan satu persatu.

Medan, 23 Juni 2010


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI... ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Tinjauan Kepustakaan ... 7

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN13 A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen ... 13

B. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen ... 14

C. Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen ... 20


(6)

D. Ruang Lingkup dan Dasar Hukum E-Commerce ... 37

BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE)... 41

A. Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan ... 41

B. Bentuk-Bentuk Kerugian Konsumen Dalam E-Commerce ... 69

C. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Konsumen Apabila Terjadi Kerugian Dalam E-Commerce ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. Kesimpulan... 88

B. Saran ... 90