Aturan Pemidanaan Kebijakan Kriminalisasi Kejahatan Mayantara Cyber Crime

menjadi maksimum 8 delapan bulan apabila ada pemberatan recidive atau concursus. Apabila mengacu kepada Pasal 30 KUHP maka adanya ancaman pidana denda yang sangat besar dalam UU ITE yaitu antara Rp.600.000.000,00- enam ratus juta rupiah hingga Rp.12.000.000.000,00- dua belas miliar rupiah, tidak akan efektif, karena kalau tidak dibayar hanya terkena pidana kurungan maksimal 8 delapan bulan. Bagi terdakwa, ancaman pidana kurungan pengganti denda itu mungkin tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena apabila denda itu dibayar, ia pun akan tetap terkena pidana penjara karena diancamkan secara kumulatif. Oleh karena itu, kemungkinan besar ia tidak akan membayar dendanya.

6. Aturan Pemidanaan

Aturan pemidanaan terhadap penyertaan, percobaan, permufakatan jahat, perbarengan con-cursus, pengulangan residive dan alasan peringanan tidak diatur dalam UU ITE, sebagai perbandingan Convention on Cybercrime mengatur terhadap penyertaan dan percobaan dalam Article 11 Paragraph 2: “Each Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences under its domestic law, when committed intentionally, an attempt to commit any of the offences established in accordance with Articles 3 through 5, 7, 8, and 9.1.a and c. of this Convention”. 108 Karena tidak diaturnya penyertaan, percobaan dan peringanan tindak pidana berarti dalam hal ini berlaku ketentuan umum yakni Bab.I sampai dengan 108 Article 11 Paragraph 2 Coun cil of Europe, European Treaty Series No.185,Budapest 23.IX.2001. Universitas Sumatera Utara Bab.VIII dalam KUHP. Sebagaimana dimaklumi, aturan pemidanaan dalam KUHP WvS tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan dalam bentuk “percobaan”, “permufakatan jahat”, “penyertaan”, “perbarengan” con-cursus, dan “pengulangan” recidive. Hanya saja di dalam KUHP, “permufakatan jahat” dan “recidive” tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, tetapi di dalam Aturan Khusus Buku II atau Buku III. Pasal 52 UU ITE membuat aturan dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri , yaitu: Pasal 52 1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok. 2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer danatau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik milik Pemerintah danatau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga. 3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer danatau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik milik Pemerintah danatau badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan Universitas Sumatera Utara diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masing masing Pasal ditambah dua pertiga. 4. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga. Perumusan Pasal 52 UU ITE hanya mengatur pemberatan pidana yang khusus terhadap delik-delik tertentu dalam UU ITE tersebut, tetapi tidak mengatur pemberatan apabila terjadi pengulangan residive. Mengacu kepada KUHP Bab.II Pasal 12 ayat 3 dalam aturan umum menyatakan: Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52. Aturan umum terhadap pemberatan pidana terhadap pengulangan sebagaimana Pasal 12 ayat 3 KUHP tersebut hendaknya dirumusan juga di dalam pasal UU ITE untuk menghindari terjadinya rasa ketidakadilan terhadap perbuatan cybercrime yang berulang tetapi pemidaannya sama dengan tindak pidana yang tidak dilakukan secara pengulangan. Adanya pemberatan terhadap beberapa perbuatan dalam Pasal 52; ayat 1 menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak, ayat 2 milik Pemerintah danatau yang digunakan untuk layanan publik, ayat 3 milik Pemerintah danatau badan Universitas Sumatera Utara strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan, dan ayat 4 terhadap korporasi Pemberatan-pemberatan tersebut tidak diatur dalam KUHP, maka seharusnya UU khusus di luar KUHP membuat aturan khusustersendiri berupa aturan atau pedoman pemidanaan untuk pemberatan tersebut. Ini merupakan konsekuensi dari adanya Pasal 103 KUHP, karena KUHP sendiri belum mengatur masalah ini. B. KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM OLEH APARAT PENEGAK HUKUM KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN MAYANTARA CYBER CRIME Penanggulangan kejahatan mayantara tidak terlepas dari upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kebijakan penegakan hukum ini meliputi proses apa yang dinamakan sebagai kebijakan kriminal atau criminal policy. Konsepsi dari kebijakan penegakan hukum inilah yang nantinya akan diaplikasikan melalui tataran institusional melalui suatu sistem yang dinamakan Criminal Justice System Sistem Peradilan Pidana. Karenanya ada suatu keterkaitan antara Kebijakan Penegakan Hukum dengan Sistem Peradilan Pidana, yaitu sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana inilah yang nantinya akan melaksanakan kebijakan penegakan hukum berupa pencegahan dan penanggulangan terjadinya suatu kejahatan dimana peran-peran Universitas Sumatera Utara dari sub-sistem ini akan menjadi lebih dapat diterima bersama-sama dengan peran masyarakatnya. Tanpa peran masyarakat, kebijakan penegakan hukum akan menjadi tidak optimalistis sifatnya. 109 1. Faktor hukumnya sendiri undang-undang; Perkembangan teknologi informasi di era globalisasi yang semakin berkembang, dibarengi dengan pembentukan hukum teknologi informasi dewasa ini hendaknya diikuti dengan langkah-langkah antisipatif oleh aparat penegak hukum untuk mencapai keseimbangan dan tata pergaulan di tengah-tengah kehidupan kelompok, golongan, ras dan suku, serta masyarakat, di dalam suatu negara maupaun dalam hubungan dengan pergaulan di kawasan regional dan internasioanal. Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor- faktor tersebut, adalah: 2. Faktor penegak hukum yakni pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan 109 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Sistematik dan Kendala Penegak Hukum, Jurnal Studi Kepolisian Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Badung: CV.Restu Agung, 2005,hal.9 Universitas Sumatera Utara 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. 110 Berdasarkan ke 5 lima faktor di atas, menurut Sutarman dalam menjamin keamanan, keadilan dan kepastian hukum dalam penegakan hukum law enforcement di dunia cyber dapat terlaksana dengan baik maka harus dipenuhi 4 empat syarat yaitu: 1. Adanya aturan perundang-undangan khusus yang mengatur dunia cyber; 2. Adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan yaitu polisi, jaksa dan hakim khusus menangani cybercrime 3. Adanya fasilitas atau sarana untuk mendukung pelaksanaan peraturan itu. 4. Kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena peraturan 111 Selain ke 4 empat syarat tersebut penegakan hukum di dunia maya juga sangat tergantung dari pembuktian dan yuridiksi yang ditentukan oleh undang- undang. Uraian selanjutnya akan diuraikan tentang kebijakan penegakan hukum kebijakan aplikatif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi . Saat ini Indonesia telah memiliki cyber law untuk mengatur dunia maya berikut sanksi bila terjadi cyber crime baik di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia yang akibatnya dirasakan di Indonesia. Cybercrime terus berkembang seiring dengan revolusi teknologi informasi yang membalikkan 110 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Op.Cit., hal.8. 111 Sutarman, Cyber crime: Modus Operandi dan Penanggulangannya, Jogjakarta; Laksbang Pressindo, 2007, hal.108-109. Universitas Sumatera Utara paradigma lama terhadap kejahatan konvensional kearah kejahatan virtual dengan memanfaatkan instrumen elektronik tetapi akibatnya dapat dirasakan secara nyata. Penanggulangan cyber crime oleh aparat penegak hukum sangat dipengaruhi oleh adanya peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah diuraikan dalam Bab III di atas terdapat beberapa perundang-undangan yang berkaitan dengan teknologi informasi khususnya kejahatan yang berkaitan dengan internet sebelum disahkannya UU ITE.

1. Aspek Aparatur Penegak Hukum