mengajukan agar orang tersebut diekstradisi karena kejahatan korupsi, bukan karena penipuan.
Larinya pelaku pencucian uang tersebut sudah sangat menyulitkan dan menjadi hambatan dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
pencucian uang. Belum lagi apabila pelaku tindak pidana tersebut menjadi warganegara bagi negara diminta tentu akan lebih menyulitkan dalam
memulangkannya ke negara asal. Masalah ini bisa timbul apabila si pelaku berkewarganegaran rangkap, karena salah satu dari prinsip ekstradisi yaitu asas
tidak menyerahkan warga negara sendiri sangat menyulitkan bagi tanah air untuk memintanya pada negara diminta. Misalnya Hendra Raharja menjadi warganegara
Australia, tentu pemerintah Australia tidak akan mau menyerahkan warganegaranya pada Indonesia.
B. Perjanjian Ekstradisi sebagai Upaya Kerjasama dengan Negara Lain
dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang yang Melarikan Diri ke Luar Negeri
Ekstradisi sebagai pranata hukum yang sudah cukup tua umurnya, kini tidak perlu diragukan lagi keberadaannya baik sebagai bagian dari hukum
internasional pada umumnya ataupun sebagai bagian dari hukum pidana internasional pada khususnya, bahkan juga sebagai bagian dari hukum nasional
negara-negara. Sebagai bagian dari hukum internasional, ekstradisi tampak dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral ataupun multilateral-regional
Universitas Sumatera Utara
sedangkan sebagai bagian dari hukum nasional ekstradisi tampak dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional negara-negara tentang ekstradisi.
63
Memang tidak semua kaidah hukum tentang ekstradisi itu sudah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional, terutama kaidah-kaidah hukumnya yang
baru pada tahap pertumbuhan dan perkembangan yang tergolong ke dalam kaidah-kaidah hukum internasional yang berkembang secara progresif
progressive development of international law. Namun demikian, mungkin saja kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi yang kini masih dipandang belum atau
bukan sebagai hukum kebiasaan internasional, pada suatu waktu akan diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional. Hal ini adalah suatu yang
wajar saja dalam proses perkembangan hukum pada umumnya, hukum internasional pada khususnya.
Sudah tentu pula substansi antara pranata hukum ekstradisi yang terdapat di dalam perjanjian-perjanjian internasional antara pranata hukum ekstradisi yang
terdapat di dalam perjanjian-perjanjian internasional antara satu dengan lainnya pada satu pihak dan demikian juga antara substansi pranata hukum ekstradisi
dalam hukum nasional negara-negara pada lain pihak, mengandung kesamaan- kesamaan. Kesamaan-kesamaan substansi tersebutlah yang menjadikan pranata
hukum ekstradisi berlaku umum dan oleh karena itu diakui sebagai hukum kebiasaan internasional.
64
Pranata hukum ekstradisi ini cukup ideal karena dipengaruhi oleh nilai- nilai hak asasi manusia, namun pada lain pihak justru menjadi sangat ketat dalam
63
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern, Op.cit, hal. 19.
64
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pengimplementasiannya, mengingat banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu kasus ekstradisi. Oleh karena itu, dalam
beberapa kasus, negara-negara justru mencari terobosan lain di luar pranata hukum ekstradisi dalam usahanya untuk mengadili atau menghukum seorang
pelaku kejahatan yang berada di wilayah negara lain, baik yang legal maupun ilegal. Meskipun demikian, hal ini tidaklah menggeser kedudukan dan peranan
ekstradisi sebagai pranata hukum yang sudah mapan. Sebagai buktinya, negara-negara sejak dahulu hingga kini, dan tampaknya
demikian juga pada masa-masa yang akan datang, masih tetap bersemangat dalam membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi baik bilateral maupun multilateral
regional. Kini di seluruh kawasan di dunia ini terdapat banyak sekali perjanjian- perjanjian ekstradisi. Tentu saja pada masa yang akan datang akan lebih banyak
lagi. Berpedoman pada defenisi tentang ekstradisi seperti telah dikemukakan di
atas, sangat jelas tampak bahwa ekstradisi pertama-tama berkenaan dengan persoalan antar negara, khususnya antara dua negara, yakni negara peminta dan
negara diminta. Dalam beberapa hal, ekstradisi kemungkinan juga menyangkut lebih dari dua negara, misalnya, jika ada dua negara atau lebih yang mengajukan
permintaan kepada negara diminta atas orang yang diminta. Walaupun melibatkan lebih dari dua negara, masalahnya tetap terpola dalam posisi antara dua pihak
Universitas Sumatera Utara
yang saling berhadapan, tegasnya antara negara atau negara-negara peminta pada satu pihak berhadapan dengan negara diminta pada lain pihak.
65
Negara peminta tentu saja tidak boleh secara langsung menangkap dan membawa kembali secara langsung orang yang diminta yang sedang berada di
wilayah negara diminta sebab penangkapan secara langsung tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan negara diminta, kecuali negara diminta sebelumnya
sudah mengijinkannya. Cara yang legal adalah melalui pranata hukum ekstradisi, dengan meminta kepada negara diminta supaya negara diminta menyerahkan
orang yang diminta kepadanya. Kepentingan negara peminta terhadap orang yang diminta adalah dalam
rangka mengadili dan menghukumnya jika dia terbukti bersalah disebabkan karena dia diduga telah melakukan kejahatan atau tindak pidana yang tunduk pada
yurisdiksi kriminalnya. Di samping itu jika orang yang diminta sudah berstatus sebagai terhukum, kepentingan negara peminta adalah untuk melaksanakan
hukuman ataupun melanjutkan hukuman ataupun melanjutkan pelaksanaan sisa hukumannya.
Sedangkan kepentingan dari negara diminta terhadap orang yang diminta adalah tentang keberadaannya di wilayahnya. Masuknya orang yang diminta ke
dan selanjutnya berada di wilayah negara diminta, boleh jadi melalui prosedur yang legal maupun ilegal. Sebagai orang yang masuk dan berada di wilayahnya
baik dengan cara legal ataupun ilegal, negara diminta tentu saja memiliki yurisdiksi teritorial atas dirinya, antara lain memberlakukan hukum nasionalnya.
65
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Op.cit
, hal. 64.
Universitas Sumatera Utara
Terkait dengan kejahatan yang telah dilakukannya dan yang dijadikan sebagai dasar oleh negara peminta untuk memintanya kepada negara diminta,
boleh jadi kejahatan itu juga mengandung dimensi internasional, meskipun tidak selalu. Misalnya, kejahatan dilakukan di wilayah negara peminta dan
menimbulkan akibat atau korban tidak saja di wilayah negara peminta melainkan juga di wilayah negara diminta ataupun di wilayah negara ketiga sehingga
masing-masing negara memiliki yurisdiksi kriminal atas kejahatan dan atau si pelakunya.
66
Apabila atas kejahatannya itu sudah ada satu negara yang mengadili orang yang bersangkutan berdasarkan hukum pidana nasionalnya, maka negara lainnya
haruslah menghormati proses peradilan dan putusan pengadilan dari negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, negara-negara tersebut tidak boleh lagi mengadili
untuk kedua kalinya atas kejahatannya itu. Ini sesuai dengan asas nenon bis in idem
yang merupakan salah satu asas hukum pidana yang sudah diakui secara universal.
Masalah inilah yang kemudian menimbulkan konflik atau pertautan yurisdiksi kriminal. Konflik yurisdiksi kriminal dalam hukum pidana
internasional relatif lebih mudah penyelesaiannya, yakni jika dua atau lebih negara memiliki yurisdiksi kriminal atas satu atau lebih jenis kejahatan.
67
Kerjasama internasional yang lain adalah tentang prosedur pengajuan permintaan untuk pengekstradisian orang yang diminta oleh negara peminta
kepada negara diminta dan prosedur pemberitahuan atas dikabulkan ataupun
66
Ibid, hal. 65.
67
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
ditolaknya permintaan negara peminta oleh negara diminta yang semua itu harus dilakukan melalui saluran diplomatik sebagai pertanda bahwa masalah ekstradisi
adalah masalah antar negara. Jika permintaan dikabulkan, maka dilanjutkan dengan proses penyerahannya oleh negara diminta kepada negara peminta, setelah
lebih dahulu ditentukan tentang tempat dan waktu penyerahannya maupun persyaratan-persyaratan lainnya, demikian pula mengenai pejabat negara peminta
yang akan menerima dan pejabat negara diminta yang akan menyerahkannya serta sarana transportasi yang digunakan.
Kerjasama dengan negara lainnya lagi adalah tentang alat-alat bukti yang terkait dengan kejahatan yang dilakukan dan yang dijadikan sebagai dasar untuk
meminta ataupun menyerahkannya, yang boleh jadi alat-alat bukti tersebut ada atau berada di wilayah negara diminta, tetapi sangat dibutuhkan sebagai alat bukti
oleh negara peminta. Demikian juga dengan harta benda milik pribadinya, seperti pakaian, perhiasan, uang tunai, dan lain-lain yang harus tetap diperlakukan sesuai
dengan hukum nasional dari kedua pihak. Dalam prakteknya, keduanya itu dapat disertakan dalam proses penyerahan orang yang diminta walaupun tidak selalu,
sehingga negara diminta disamping menyerahkan orangnya dapat pula disertai dengan menyerahkan alat-alat bukti itu berupa benda-benda bergerak yang tidak
terlarang untuk di bawa ke luar wilayah negara diminta dan yang secara teknis dan konkrit dapat diserahkan serta harta benda milik pribadinya kepada negara
peminta.
68
68
Ibid, hal. 66.
Setelah orang yang diminta berada di wilayah negara peminta, persoalannya sepenuhnya berada pada negara peminta untuk selanjutnya diproses
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan hukum nasionalnya. Sedangkan negara diminta sudah tidak lagi memikul tanggung jawab.
Ekstradisi adalah suatu pranata hukum yang dilakukan berdasarkan perjanjian. Perjanijan yang dimaksud adalah perjanjian Treaty yang diadakan
oleh satu negara dengan negara lain. Dalam hal belum terdapat perjanjian maka dapat dilakukan atas dasar hubungan baik. Masalah ekstradisi sebenarnya
bukanlah merupakan suatu masalah yang sederhana, karena terdapat syarat dan prosedur yang rumit dalam pelaksanaan ekstradisi yang harus dipatuhi oleh
negara-negara yang terikat pada perjanjian ekstradisi tersebut. Dalam ekstradisi terdapat azas-azas yang menjadi landasan bagi peraturan dan penerapan ekstradisi,
yang harus dihormati tiap negara, oleh karena itu pemahaman tentang azas-azas ekstradisi ini merupakan suatu keharusan bagi penerapan ekstradisi.
69
69
Azas-azas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi juga tidak jauh berbeda dari azas-azas ekstradisi pada
umumnya. Ekstradisi pertama-tama merupakan masalah antar negara dan oleh karena itu pengaturannya terdapat dalam hukum internasional, khususnya dalam
bentuk perjanjian internasional. Disamping itu, dalam batas-batas tertentu ekstradisi juga merupakan masalah domestik negara-negara dan oleh karenanya
diatur di dalam hukum nasional, khususnya dalam bentuk peraturan perundang- undangan tentang ekstradisi.
http:www.researchgate.netpublication42353561-Lembaga-Ekstradisi-SebagaiSarana- Pencegahan-Dan-Pemberantasan-Kejahatan-Ditinjau-Dari-Hukum-Internasional, oleh Margareth
RS Silitonga, diakses tanggal 3-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
Adanya perjanjian-perjanjian dan perundang-undangan tentang ekstradisi serta terlibatnya dua negara atau lebih dalam suatu kasus ekstradisi, menunjukkan
bahwa ekstradisi dapat dipandang sebagai bagian hukum internasional dan juga sebagai bagian hukum nasional. Oleh karena itu ekstradisi sebagai suatu pranata
hukum secara resmi telah diakui dan diatur dalam hukum internasional dan hukum nasional. Selain itu didalam suatu perjanjian ekstradisi juga perlu dibuat suatu
daftar kejahatan yang dapat mencantumkan kejahatan-kejahatan apa saja yang dapat diekstradisi, yang pada umumnya adalah kejahatan-kejahatan berat.
Sedangkan praktek pelaksanaan ekstradisi di masing-masing negara berbeda sesuai dengan hukum nasional masing-masing, ada negara yang bersedia
mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan tanpa ada perjanjian ekstradisi sebelumnya, namun ada juga yang menolak dengan alasan tidak terdapatnya
perjanjian ekstradisi.
70
70
Ibid.
Mengenai dampak ekstradisi sebenarnya tidaklah besar karena para pihak melakukannya berdasarkan perjanjian. Terlepas dari hal tersebut, ekstradisi
merupakan suatu pranata hukum yang mampu mencegah dan memberantas kejahatan karena dengan adanya perjanjian ekstradisi maka ruang gerak bagi para
pelaku kejahatan pun menjadi semakin sempit karena alih-alih dapat melepaskan diri dari tanggungjawab atas perbuatannya, ia akan tetap dikejar oleh para
penegak hukum kemanapun ia melarikan diri. Untuk itu hubungan baik antara setiap negara di dunia harus dijaga agar pelaksanaan ekstradisi ini dapat
maksimal.
Universitas Sumatera Utara
Setelah menanti 28 tahun, perjanjian ekstradisi RI dan Singapura ditandatangani Jumat 2742007. Selain perjanjian ekstradisi, juga akan
ditandatangani perjanjian kerja sama pertahanan antardua negara. Penandatanganan kedua perjanjian itu akan dilakukan di Istana Tampaksiring,
Bali, oleh Menlu RI dan Menlu Singapura, disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Perjanjian ekstradisi tersebut memberikan harapan kepada Indonesia untuk dapat memulangkan para penjahat ekonomi seperti koruptor, pencuci uang, dsb.
Perjanjian ini membuka babak baru dalam hubungan RI-Singapura.
71
Penandatanganan perjanjian ekstradisi telah lama dinanti-nantikan, terutama oleh Indonesia yang merasa dirugikan oleh Singapura yang bersikap
mengulur-ulur waktu saat Indonesia mengajukan usul pengembalian para kriminal ekonomi. Indonesia pertama menggagas perjanjian itu pada 1979, namun baru 28
tahun kemudian hal tersebut benar-benar terwujud. Penolakan Singapura itu menjadi salah satu kerikil yang mewarnai hubungan baik keduanya. Adalah hal
yang sangat menarik, setelah 28 tahun Singapura bersikeras menolak perjanjian ekstradisi, apakah hal yang membuat negara itu tiba-tiba berubah pikiran?
72
Apalagi bila mengingat baru-baru ini terjadi ketegangan hubungan antara kedua negara. Ketegangan hubungan RI-Singapura itu muncul saat Indonesia
melarang ekspor pasir ke Singapura. Keputusan Indonesia menghentikan penjualan pasir ke Singapura tersebut merupakan salah satu cara menekan
71
http:www.hiunair.comnewsurgensi-perjanjian-ekstradisi-ri-singapura, oleh Baiq Wardhani, diakses tanggal 3-8-2010.
72
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Singapura agar negara itu bersedia menandatangani perjanjian ekstradisi yang selama ini diabaikan negara kota tersebut.
Selama ini Singapura selalu menolak menandatangani perjanjian ekstradisi yang sangat diperlukan Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi dan
pencucian uang. Faktor pasir itu jelas menyumbang peranan penting sebagai penekan terhadap Singapura untuk menandatangani perjanjian tersebut. Singapura
merupakan tempat pelarian para penjahat ekonomi Indonesia karena berbagai kemudahan dan keamanan yang ditawarkan negara itu atas aset pihak asing.
73
Menghadapi tuntutan tersebut, Singapura menyatakan adalah tanggung jawab Indonesia untuk menyelesaikan sendiri urusannya dengan para koruptor itu.
Indonesia menuduh Singapura melindungi mereka karena Singapura diuntungkan dengan simpanan uang para koruptor di berbagai lembaga keuangan Singapura.
Negara itu memetik keuntungan besar dengan masuknya uang haram yang dilarikan para penjahat ekonomi tersebut. Memang benar pencucian uang adalah
masalah internal Indonesia. Namun, Indonesia berharap kerja sama Singapura karena sistem hukum Indonesia tidak mampu menjangkau para penjahat tersebut
karena mereka berada di luar batas yurisdiksi hukum negara kita.
74
Ketidaksediaan Singapura bekerja sama dengan Indonesia merupakan ganjalan yang berpotensi mengganggu dalam hubungan diplomatik kedua negara.
Kesediaan Singapura tidak lepas dari beberapa faktor yang menguntungkan kedua belah pihak, terutama Singapura. Perjanjian ekstradisi itu menyangkut 42 butir
tindak pidana.
73
Ibid.
74
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa tindak pidana yang akan masuk dalam perjanjian ekstradisi, antara lain, korupsi, pencucian uang, dan sejumlah kejahatan transnasional yang
diperjuangkan selama ini. Dengan keengganan Singapura bekerja sama dengan negara-negara tetangganya yang merasa menjadi korban kejahatan yang dilakukan
para kriminalnya yang berlindung di Singapura, maka predikat good governance Singapura yang bersih dan tidak korup dipertaruhkan. Tidak ada pilihan lain bagi
Singapura untuk menerima tawaran penandatanganan perjanjian ekstradisi.
75
Ada hal-hal krusial yang harus dipertimbangkan Indonesia dalam perjanjian tersebut. Apakah sistem hukum Singapura dalam hal ekstradisi dapat
secara efektif mengembalikan para kriminal ekonomi Indonesia? Jangan sampai Indonesia terjebak dalam permainan mengejar materi namun kehilangan substansi
dari perjanjian yang sudah lama kita perjuangkan itu. Materinya adalah penerimaan Singapura untuk menandatangani perjanjian itu, substansinya adalah
efektivitas implementasi perjanjian tersebut yang berdampak pada pengembalian Namun ada hal yang perlu diingat, sekalipun perjanjian tersebut sudah
ditandatangani masing-masing menteri luar negeri, kesepakatan tersebut tidak serta merta dapat langsung dilaksanakan. Perjanjian ekstradisi itu harus
diratifikasi oleh parlemen masing-masing negara, dalam hal ini oleh DPR RI. Proses ratifikasi dari parlemen membutuhkan waktu lama. Perlu kesabaran dari
pihak RI yang lebih membutuhkan perjanjian itu dibandingkan dengan pihak Singapura.
75
http:www.depdagri.go.idnews20070425perjanjian-ekstradisipositifditandatangani- di-bali-27-april, diakses tanggal 3-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
para penjahat ekonomi itu dan penciptaan clean government di tanah air. Artinya, karena sistem hukum yang berbeda antara RI dan Singapura, perjanjian ekstradisi
itu tidak efektif untuk mengembalikan para penjahat ekonomi tersebut ke Indonesia. Kita juga berharap bahwa Indonesia tidak memberikan konsesi terlalu
besar kepada Singapura yang berdampak negatif pada kepentingan nasional dan terancamnya kedaulatan negara.
Perjanjian ekstradisi itu diharapkan bisa menjaring para koruptor dan para pelaku pencucian uang. Kembalinya mereka ke Indonesia diharapkan dapat
mengembalikan aset nasional yang saat ini mengendap di Singapura. Dalam kaitan ini, masalah korupsi dan segala hal yang bersangkut paut dengan pelarian
uang haram tersebut adalah masalah internal Indonesia.
76
Ratifikasi Perjanjian maritim Indonesia RI – Singapura oleh DPR RI perlu menunggu ratifikasi yang sama terhadap Perjanjian Ekstradisi Indonesia –
Singapura. Nampaknya, batas laut ini bagi Singapura sangat penting. Sementara bagi kita perbatasan laut itu penting, tapi ekstradisi dengan Singapura jauh lebih
penting lagi, karena terkait dengan penyelamatan aset dana Indonesia yang dibawa lari ke Singapura oleh para koruptor dan pelaku pencucian uang.
77
Dalam hal ini terkait langsung juga dengan amanat Reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme KKN, kita perlu perjuangan hal
tersebut. Itu pun sejalan dengan semangat zero corruption yang sudah diterapkan
76
Ibid.
77
http:www.jakartapress.comwww.phpnewsid13637Ekstradisi-RI-Singapura-Lebih- Penting-Dari-Perbatasan.jp, oleh Almuzzammil Yusuf, diakses tanggal 3-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
oleh Singapura. Sehingga seharusnya tidak ada alasan yang mendasar bagi Singapura untuk menolak perjanjian ekstradisi tersebut.
78
78
Ibid.
Kalau kita mengkaitkan dua ratifikasi tersebut, hal itu pun pernah dilakukan Singapura pada saat DCA Defence Cooperatif Agreement antara RI
dengan Singapura yang ditolak DPR periode lalu. Maka Singapura pun membalas untuk tidak bersedia meratifikasi perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura jika
tidak disahkan bersama-sama dengan pengesahan DCA. Saya khawatir jika tidak diratifikasi bersamaan, maka Indonesia akan kehilangan “bargaining” dengan
Singapura untuk meratifikasi perjanjian Ekstradisi tersebut. Upaya perundingan perjanjian ekstradisi RI-Singapura telah dimulai sejak
lebih kurang 30 tahun lalu. Perjanjian bercukup alot karena masing-masing pihak ingin mendapatkan perjanjian yang tidak merugikan kedua belah pihak dan
sejalan dengan kerangka hukum nasional. Ekstradisi ini pada hakekatnya merupakan salah satu implementasi dari konvensi internasional anti korupsi dan
pencucian uang dimana Indonesia telah meratifikasi, sementara Singapura baru menandatangani tetapi belum meratifikasi.
Perjanjian ekstradisi ini akan memperkuat instrumen penegakan di Indonesia saat ini dan di masa depan, terutama untuk mengejar pelaku kejahatan
pencucian uang yang melarikan diri atau berpindah kewarganegaraan. Perjanjian ekstradisi ini akan makin mempersempit ruang gerak pelaku yang mencoba-coba
melarikan diri dan membuktikan komitmen pemerintahan RI untuk memberantas korupsi dan pencucian uang.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian ekstradisi RI-Singapura pada hakekatnya adalah perjanjian dimana setiap pihak sepakat untuk mengekstradisi kepada pihak lainnya, dimana
setiap orang yang ditemukan berada di wilayah pihak diminta dan dicari oleh pihak peminta untuk tujuan penuntutan diartikan termasuk penyidikan atau
penerapan pelaksanaan hukuman atas suatu kejahatan yang dapat diekstradisikan yang dilakukan dalam yurisdiksi pihak peminta.
Poin-poin yang sangat penting dalam perjanjian ini adalah:
79
1 Jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan adalah kejahatan yang ancaman pidananya sekurang-kurangnya 2 tahun dan memenuhi kriteria “double
criminality ” kejahatan yang diakui oleh hukum kedua negara. Terdapat
30 jenis kejahatan yang memenuhi kriteria ini. 2 Dari sejumlah tindak pidana yang diekstradisikan diantaranya termasuk
tindak pidana ekonomi yaitu korupsi, penyuapan, pemalsuan uang, kejahatan perbankan perolehan kredit atau property melalui penipuan
terhadap bank, pelanggaran hukum perusahaan, kepailitan dan pencucian uang hasil korupsi.
3 Selain 30 jenis kejahatan perjanjian ini juga menganut “open system” yang terbatas. Artinya ketigapuluh satu daftar tersebut tidak bersifat tertutup dan
memungkinkan adanya penambahan daftar tindak pidana baru, khususnya jenis-jenis kejahatan baru.
79
http:www.antikorupsi.orgpoin-poin-penting-perjanjian-ektradisi-RI-Singapura,diakses tanggal 3-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
4 Kedua belah pihak sepakat untuk tidak mempermasalahkan perbedaan kualifikasi kejahatan ataupun unsur-unsur kejahatan sepanjang hakekat
keseluruhan kejahatan tersebut diakui oleh hukum kedua negara. 5 Perjanjian ini diberlakukan surut retroaktif dan dapat mencakup tindak
kejahatan-kejahatan yang dapat diekstradisikan 15 tahun sebelum perjanjian ini berlaku setelah proses ratifikasi dilakukan parlemen kedua
negara. 6 Perjanjian ini dapat menjangkau pelaku tindak kejahatan kedua negara
yang melarikan diri dari wilayah jurisdiksi kedua negara tersebut. Dalam kaitan ini, disepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak
pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.
Perjanjian menentukan bahwa negara diminta dapat menolak permintaan, apabila buronan tersebut adalah warga negaranya. Namun hal ini tidak berlaku
untuk kejahatan terorisme dan penyuapan serta kejahatan lain terkait korupsi. Dalam keadaan tertentu urgen cases, penangkapan sementara dapat dilakukan
atas permintaan negara peminta sejauh terdapat bukti-bukti yang memadai untuk melakukan penangkapan buronan yang dicari.
Landasan untuk melakukan ekstradisi bagi tersangka atau terdakwa adalah:
80
1 Untuk Singapura apabila perkara tersebut telah memenuhi unsur “prima facie
” suatu perkara memenuhi syarat untuk limpahkan ke pengadilan
80
http:repository.usu.ac.idbitstream123456789175013Chapter20II.pdf, diakses tanggal 3-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
2 Untuk Indonesia apabila telah dipenuhi bukti yang cukup 3 Sedang untuk terpidana, ekstradisi dapat dilakukan apabila telah ada
putusan pengadilan di negara peminta 4 Untuk “in absentia”, perjanjian ini mengakui putusan yang dijatuhkan
sepanjang memenuhi persyaratan dimana terdakwa sebelumnya memiliki kesempatan untuk hadir dalam persidangan dan apabila diserahkan ia
memiliki hak untuk diadili kembali dengan kehadirannya menunjuk pada hak untuk mengajukan PK.
Permintaan ekstradisi diajukan oleh Menkumham Indonesia dan oleh Menteri Hukum Singapura. Permintaan ekstradisi juga harus melampirkan
konfirmasi tertulis dari Jaksa Agung pihak peminta yang menyatakan bahwa dokumen yang diserahkan menunjukkan adanya bukti yang cukup berdasarkan
hukum pihak peminta untuk membenarkan adanya penuntutan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN