Pidana Tambahan PENGATURAN SANKSI TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

91 Pasal 121 1 Pembinaan anak dalam LPKA dilaksanakan berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan yang diawali dengan asesmen risiko dan asesmen kebutuhan. 2 Pembinaan sebagaiman dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3 Pembimbing kemasyarakatan melakukan : a. Penentuan program pendidikan dan pembinaan; dan b. Evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan dan Pembinaan Anak 4 Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat 3 133

B. Pidana Tambahan

Pidana tambahan merupakan pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 71 ayat 2 UU SPPA. Pidana tambahan ini dapat berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat. Dari perspektif hukum pidana, substansi pidana tambahan adalah merupakan pidana yang bersifat accesoris, dalam artian melekat pada pidana pokok dan tidak dapat dijatuhkan secara parsial, dalam artian terlepas dan tersendiri dari pidana pokok 134 1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. , yang selanjutnya akan dijabarkan sebagai berikut : Dari aspek teknis yuridis terminilogi perampasan merupakan terjemahan dari istilah Belanda “verbeurd verklaring” sebagai pidana tambahan yang dapat dijatuhkan hakim disamping pidana pokok. 135 Pengertian perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana adalah mencabut dari orang yang memgang keuntungan dari tindak pidana yang dioeroleh demi kepentingan negara. Sebagai 133 Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Op.Cit, hal 178 134 Ibid hal 179 135 Lilik Mulyadi, Pengadilan Pidana di Indonesia, Mandar Maju, 2015 hlm. 139 92 contohnya seorang anak mencuri sebuah hanphone, handphone tersebut kemudian dijual dan uang hasil penjualan digunakan untuk modal jual-beli saham. Dalam jual-beli saham tersebut juga diperoleh laba. Dalam kasus tersebut, barang yang dapat dirampas adalah saham yang dibeli oleh pelaku tindak pidana dan laba yang diperoleh pada saat jual-beli saham. 136 1 Selain Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan kepada Anak berupa : Dalam hukum positif Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 10 huruf b angka 2 KUHP dipergunakan terminologi perampasan barang-barang tertentu, yang apalagi di analisis lebih mendalam tujuan dan bentuknya hampir identik dengan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Akan tetapi dalam hukum positif ius contitutumius operatum terutama terhadap tindak pidana khusus yang lain dipergunakan terminologi perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Pada ketentuan Pasal 119 huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 164 huruf b UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dipergunakan terminologi, “perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.” Akan tetapi, hampir Identik dengan konteks diatas ketentuan Pasal 7 ayat 1 huruf e UU Nomor 7drt1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf d UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempergunakan terminologi,”penghapusan seluruh atau sebagai keuntungan tertentu”. Kemudian mengenai pidana tambahan dalam ketentuan Pasal 71 ayat 2 huruf a UU SPPA ini tentang perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, ketentuan Pasal 122 RPP UU SPPA menetukan lebih lanjut bahwa : c. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau d. Pemenuhan kewajiban adat. 136 Angger Sigit Pramukti,S.H. Fuady Primaharsya,S.H., Sistem Peradilan Pidana Anak, Op.Cit, hal 91 93 2 Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dapat digunakan untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya. Pada hakikatnya, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana merupakan bentuk perampasan aset pelaku tindak pidana. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 United Nations Convention Againts Corruption 2003 yang diratifikasi pemerintah Republik Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 mewajibkan kepada negara-negara peserta mengambil langkah-langkah dalam sistem peraturan perundang-undangan mengatur pembekuan freezing, perampasan seizure dan penyitaan confiscation sebagaimana ketentuan Pasal 31 ayat 8 KAA 2003 yang selengkapnya berbunyi, bahwa : “ satates parties may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged procced of crime og other property liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with fundamental principles of their domestic law and with the nature of judicial and other proceedings. Perkembangan pembekuan freezing, perampasan seizure dan penyitaan confiscation sebagaimana ketentuan Pasal 31 ayat 8 KAA 2003 bukan saja diatur dalam hukum Indonesia, akan tetapi pada Negara Australian, Selandia Baru, Amerika Serikat, Belgia maupun Belanda juga mengatur kewenangan negara dalam hukum nasional melakukan freezing, seizure dan confiscation. 137 2. Pemenuhan Kewajiban Adat Yang dimaksud dengan kewajiban adat adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat martabat anak serta tidak membahayakan fisik dan mental. 138 137 Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Op.Cit, hal 181 138 Angger Sigit Pramukti,S.H. Fuady Primaharsya,S.H., Sistem Peradilan Pidana Anak, Op.Cit, hal 91 Berdasarkan penjelasan Pasal 71 ayat 2 huruf b UU SPPA, bahwa pemenuhan kewajiban adat yaitu denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat 94 setempat yang tetap ,menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental. Lebih lanjut mengenai pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat diatur dalam Pasal 123 dan 124 RPP UU SPPA selengkapnya berbunyi sebagai berikut : Pasal 123 1 Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dapat dijatuhkan oleh hakim dengan memperhatikan hukum adat yang hidup dalam masyarakat tempat anak berdomisili. 2 Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memang merupakan tindak pidana menurut hukum adat setempat. 3 Kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat diganti dengan pidana pelatihan kerja atau pidana ganti kerugian, jika kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh anak. Pasal 124 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana tambahan diatur lebih lanjut dengan peraturan mentri. 139

C. Tindakan