Latar Belakang Masalah DISPARITAS PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA ANAK (Studi Kasus Putusan No. 412Pid.Sus2014PN.TK dan No. 432Pid.B2014PN.TK)

3 guidelines. Amerika Serikat, Finlandia, Swedia dan Selandia Baru termasuk negara yang sudah mengadopsi dan menerapkan pedoman pemidanaan tersebut. Hakim-hakim Indonesia pun sebenarnya sudah menyadari persoalan disparitas itu. Meskipun berat ringannya pidana menjadi wewenang hakim tingkat pertama dan banding, tetapi dalam beberapa putusan, hakim agung mengoreksi vonis itu dengan alasan pemidanaan yang tidak proporsional. Penjatuhan pidana yang proporsional adalah penjatuhan pidana yang „sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Pada intinya, proporsionalitas mensyaratkan skala nilai untuk menimbang dan menilai berat ringannya pidana dikaitkan dengan tindak pidananya. Nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat serta budaya cenderung menjadi determinan dalam menentukan peringkat sanksi yang dipandang patut dan tepat dalam konteks historis tertentu Harkrisnowo 3 . Penelusuran Harkristuti Harkrisnowo menemukan fakta bahwa asas proporsionalitas sudah dirumuskan pada kitab-kitab hukum zaman Indonesia kuno. Menurut Eva Achjani Zulfa 4 , ide tentang penjatuhan pidana yang proporsional berkembang menjadi gagasan untuk membuat suatu pedoman pemidanaan yang mampu mereduksi subjektivitas hakim dalam memutus perkara. Diskresi hakim sangat mungkin disalahgunakan Sehingga pedoman pemidanaan dianggap sebagai jalan terbaik membatasi kebebasan hakim. Pedoman pemidanaan itu, kata Asworth 5 , harus „a strong and restrictive guideline‟. 3 Harkrisnowo, Demi Keadilan, 2003, hlm. 12 4 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, 2011, hlm. 37-38 4 KUHP sebenarnya sudah memuat sejumlah pedoman, seperti Pasal 14a, Pasal 63- Pasal 71, dan Pasal 30. Selain itu, RUU KUHP sudah guidelines yang wajib dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan, yaitu: kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat tindak pidana, apakah tindak pidana dilakukan berencana, cara melakukan tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan korban atau keluarga korban, maaf dari korbankeluarga, dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbedadisparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana. Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan 5 Asworth, A strong and Restrictive Guideline, 2005, hlm. 101. 5 lebih memenuhi rasa keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan. Keadaan ini tentu menimbulkan inkonsistensi putusan peradilan dan juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh Negara kita, dimana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum, apa jadinya jika masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia. Tidak sampai disitu saja, konsep equality before the law yang menjadi salah satu ciri Negara hukum pun masih perlu dipertanyakan terkait dengan realita yang ada, dimana disparitas pidana tampak begitu nyata dalam penegakan hukum. Fakta tersebut merupakan bentuk dari perlakuan peradilan yang tidak sama terhadap sesama pelaku tindak pidana sejenis yang kemudian diberikan pidana yang berbeda. Kenakalan anak setiap tahunnya selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran yang dilakukan anak tersebut dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu dilakukan. 6 6 Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu,Yogyakarta, 2010, hlm. 103 6 Batasan umur anak menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 delapan belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Sementara itu hukum Perdata meletakkan batas usia anak berdasarkan Pasal 330 ayat 1 KUHPerdata yaitu a batas antara usia belum dewasa dengan telah dewasa, yaitu 21 dua puluh satu tahun; dan b seorang anak yang berada dalam usia dibawah 21 dua puluh satu tahun yang telah menikah dianggap telah dewasa. Disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak apabila seseorang yang belum mencapai usia 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile Delinquency. Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda. 7 Sedangkan Juvenile Delinquency menurut Romli Atmasasmita merupakan perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 7 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama Bandung, 2007, hlm.11 7 delapan belas tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan. 8 Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Berdasarkan tata kehidupan, anak masih berada dalam masa perkembangan atau pertumbuhan fisik dan mental yang belum stabilmatang. Pada umumnya anak mengalami krisis identitas pada tahap kehidupannya. Krisis identitas anak tergantung pada lingkungan yang ikut menentukan pembentukan identitas atau pribadinya bila lingkungan yang menentukan akan memungkinkan dia menjadi seorang yang matang pribadinya sedang lingkungan buruk biasanya mendorong 8 Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, Bandung, 2003, hlm. 40. 8 ke hal-hal yang negatif. Oleh sebab itu dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas tersebut. Secara psikologis, kejahatan anak berangkat dari terputusnya harapan anak dalam mencari identitas diri. Anak-anak demikian sering terjebak dalam pergaulan yang melanggar hukum, seperti minum-minuman keras, narkotika dan tindak pidana serta perbuatan kriminal lainnya. Sikap dan perilaku anak yang melanggar ketertiban, melanggar hukum disertai tindak kriminal, selalu berakhir berurusan dengan aparat penegak hukum. Anak kurang memahami bahwa hukum ada dalam kehidupan masyarakat, dan dijunjung tinggi sebagai bagian kehidupan dalam masyarakat. Umumnya anak kurang memahami bahwa tujuan pokok diadakan hukum, termasuk hukum pidana adalah untuk melindungi individu atau warga negara Indonesia dari kemungkinan tindak kejahatan. Jika ditindak karena anak melanggar hukum berarti berusaha memberi perlindungan kepada warga masyarakat dari gangguan pelanggaran hukum seperti : pencurian, pemerasan, ancaman dan tindak pidana lainnya yang terjadi dalam masyarakat. Tindakan anak melakukan pencurian termasuk tindakan yang melanggar hukum, dan menimbulkan kerugian pada masyarakat lingkungannya serta keluarga. 9 Menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan dan pengembangan perilaku anak tersebut. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap pelaku kejahatan di bawah umur diupayakan agar anak yang dimaksud jangan sampai dipisahkan dari orang tuanya, seperti yang dikatakan Soeaidy Sholeh : “Bilamana hubungan antara orang tua dan anak kurang harmonis atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tadi adalah semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri secara sehat dan wajar ”. 9 Perbedaan perlakuan dan ancaman pidana tersebut dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depan yang masih panjang dengan baik. Perbedaan itu dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya guna menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi keluarga dan masyarakat. Arus globalisasi mempengaruhi kehidupan seseorang, pengaruh negatif bisa saja masuk melalui pergaulan baik secara tradisional off line ataupun secara moderen on line melalui situs jejaring sosial facebook ataupun twitter. Salah satu pengaruh negatif dari pergaulan global tersebut adalah perkenalan anak 9 Soeaidy Sholeh, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001, hlm. 24 10 dengan narkotika dan obat-obatan terlarang. Ditambah dengan maraknya peredaran narkotika yang semakin bebas di tengah masyarakat, maka tidak aneh lagi bila ada sebagaian anak yang terjerumus kedalam perbuatan penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan masalah yang mulai timbul sejak ± 26 tahun yang lalu. Masalah ini makin besar dan meluas sehingga pada akhirnya dinyatakan sebagai masalah nasional yang dalam penanggulangannya perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Berdasarkan penelitan dan pengamatan berbagai pihak didapatkan data bahwa mereka yang menyalahgunakan narkotika kebanyakan tergolong dalam usia muda anak-anak. Survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional terdapat 8 delapan persen anak usia 12-19 tahun pernah mencoba narkotika. Satu dari empat anak yang pernah mencoba narkotika menyatakan terus memakai atau menjadi pecandu. 10 Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa penyalah guna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pengertian penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. 10 Sadar BNN Maret 2011Maulani KSG IV, “Terapi dan Rehabilitasi Korban Narkoba, ”http:www.ham.go.idartikel.htm, Diakses pada tanggal 30 Maret 2013, 17:47 WIB 11 Seorang anak yang melakukan atau diduga melakukan suatu tindak pidana seperti halnya penyalahgunaan narkotika, sangat membutuhkan adanya perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku. Perlindungan ini perlu, karena anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan, perawatan dan penanganan khusus. Upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait, antara lain Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Perspektif peradilan pidana anak, dalam sistim peradilan anak mempunyai kekhususan, dimana terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan aparat-aparat yang secara khusus diberi wewenang untuk menyelenggarakan proses peradilan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Pidana perampasan kemerdekaan yang berupa pidana penjara ini dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama adalah 12 satu perdua dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Jika tindak pidana yang dilakukan anak 12 nakal tersebut diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah paling lama 10 tahun. Apabila usia anak pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup belum mencapai usia 12 dua belas tahun maka terhadap anak nakal tersebut dikenakan tindakan untuk diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Namun terhadap perbuatan yang tidak diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, anak yang belum berusia 12 dua belas tahun maka terhadapnya dapat dikenakan salah satu tindakan yang tersebut dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Penjatuhan pidana pada anak-anak menurut Jonkers, bahwa titik beratnya bukan pada pembalasan atau kehendak penguasa untuk memberi nestapa, tetapi adanya keinginan untuk memberikan kesempatan yang baik pada anak yang berbakat sebagai penjahat, untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna, apabila ditempatkan diluar lingkungan yang jahat atau tidak mengenal tata tertib. 11 Pemilihan alternatif sanksi pidana di atas, nampaknya belum diakomodasi oleh Pengadilan Negeri Klas I-A Tanjung Karang, untuk dua putusan pidana anak di bawah ini : a. Petikan Putusan Nomor 412Pid.Sus2014PN.TK dengan terdakwa NUR MUHAMMAD RIZKI als. KITING Bin SYAHRIZAL 16 Tahun telah terbukti secara sah d an mneyatakan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak memiliki, menyimpan Narkotika Golongan I” dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2dua tahun dan denda sebesar Rp. 400.000.000,- empat juta rupiah dengan ketentuan apabila denda 11 Jonkers, Buku Pedoman Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 2007, hlm. 330 13 tersebut tidak dibayar maka harus diganti dengan 30tiga puluh hari latihan kerja; b. Petikan Putusan 432Pid.B2014PN.TK dengan terdakwa Derry Moh. Arifin als Ncek bin Nur 16 Tahun dan Bahtiar Yusuf Habibie bin Muhammad Gusril 16 Tahun menyatakan terdakwa Derry Moh. Arifin als Ncek bin Nur Muhammad dan Terdakwa Bahtiar Yusuf Habibie bin Muhammad Gusril tersebut diatas, terbukti sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyalahgunakan narkotika Golongan I bagi diri sendiri sebagaimana dalam” dakwaan Pasal 127 Ayat 1 UU No.35 Tahun 2009, dan menjatuhkan pidana kepada Para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing- masing selama 3tiga bulan dan 15 lima belas hari; Berdasarkan kedua putusan tersebut, terlihat adanya perbedaan lamanya putusan pidana penjara bagi penyalahgunaan narkotika oleh anak. Dalam dunia hukum terjadinya perbedaan mencolok dalam proses penjatuhan putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara yang sama atau berkarakter sama, biasa disebut Disparitas Pidana. Adanya disparitas pidana penjatuhan putusan hakim pada tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak ini menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih dalam. Terkait dengan putusan hakim terhadap kasus-kasus kenakalan anak penyalahguna narkotika di Lampung,Studi Kasus Putusan No. 412Pid.Sus2014PN.TK dan No.432Pid.B2014PN.TK yang telah diselesaikan dan mendapat putusan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”DISPARITAS SANKSI PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA STUDI KASUS PUTUSAN No. 412Pid.Sus2014PN.TK dan No. 432Pid.B2014PN.TK” 14

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dalam suatu pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Mengapa terjadi disparitas pidana terhadap penyalahguna narkotika anak ? 2. Apakah akibat disparitas terhadap terpidana anak ?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menganalisis terjadinya diparitas pidana terhadap penyalahguna narkotika b. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat disparitas terhadap terpidana anak

2. Kegunaan Penelitian

a. Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut: 1. Memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan terhadap tindak pidana narkoba anak. 2. Memberi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya 15 hukum pidana anak terhadap penyalahgunaan narkoba. 3. Memberikan informasi mengenai pengertian dari disparitas pidana hukum. 4. Memberikan informasi mengenai sanksi pidana terhadap penyalahguna narkotika b. Praktis Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak hakim dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan hukum.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam UUD Tahun 1945 mempunyai konsekuensi untuk menegakkan hukum, yang artinya setiap tindakan yang dilaksanakan oleh siapapun di negara ini serta akibat yang harus ditanggungnya harus didasarkan kepada hukum dan diselesaikan menurut hukum juga. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti, Teori sebab-sebab kejahatan. Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang 16 erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data. Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi acuan, landasan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan. 12

a. Teori Pemidanaan

Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumannya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Negara dalam menjatuhkan sanksi pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. 13 Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu: a. Absolute atau vergeldings theorieen vergeldenimbalan Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan velgelding terhadap orang yang 12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 73 13 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. hlm. 48

Dokumen yang terkait

Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Narkotika Al Kamal Sibolangit Centre)

4 97 127

Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur Dan Penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan No:770/Pid.Su

1 85 157

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

DISPARITAS PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (Studi Putusan No.2/Pid.Sus-Anak/2015/PN.KBU dengan Putusan No.6/Pid.Sus-Anak/2014/PN.KBU)

0 3 64

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK SEBAGAI PENYALAHGUNA NARKOTIKA DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

0 3 120

SKRIPSI DISPARITAS PIDANA DALAM PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA Disparitas Pidana Dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Pencurian Di Pengadilan Negeri Klaten (Studi Kasus Putusan No.97/Pid.B/2013/Pn.Klt Dan Putusan No.53/Pid.B/2013/PN.Klt).

0 1 11

DISPARITAS PIDANA DALAM PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DI PENGADILAN NEGERI KLATEN Disparitas Pidana Dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Pencurian Di Pengadilan Negeri Klaten (Studi Kasus Putusan No.97/Pid.B/2013/Pn.Klt Dan Putusan No.53/Pid.B/

0 2 20

ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI KASUS WISMA ATLET (STUDI PUTUSAN No. 1616 KPid.Sus2013 No. 2223 KPid.Sus2012) (Jurnal)

0 0 11

DISPARITAS PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA ANAK (Studi Putusan No. 412/Pid.Sus/2014/PN.TK dan No. 432/Pid.B/2014/PN.TK)

0 0 12

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM TESIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA

0 0 14