2.2.5 Hukum Pembuktian
Yang dimaksud dengan hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari
pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta tersebut dapat terdiri dari fakta berikut:
3. Fakta hukum, yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang
eksistensinya keberadaanya tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan.
4. Fakta biasa, yaitu kejadian-kejadian atau kaedah-kaedah yang juga ikut
menentukan adanya fakta hukum tertentu.
Pasal 100 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa kejadian yang telah diketahui umum, tidak perlu dibuktikan. Dari ketentuan
tersebut dapat diketahui bahwa fakta yang telah diketahui oleh umum, jika dijadikan dasar pertimbangan dari Hakim dalam menjatuhkan putusannya, fakta
yang dimaksud tidak perlu dibuktikan. Di samping fakta yang telah diketahui umum, oleh Indroharto disebutkan adanya
fakta yang juga dapat menjadi dasar pertimbangan dari Hakim dalam menjadtuhkan putusannya yang tidak perlu dibuktikan, yaitu:
a. Hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi,
b. Fakta-fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan, dan
c. Eksistensi hukum.
DalampenjelasanumumUndang-Undang No.
5 Tahun
1986 disebutkanbahwaajaranpembuktian yang digunakandalamPeradilan Tata Usaha
Negara adalahajaranpembuktianbebas: “. . . hukumacara yang digunakanpadaPeradilan Tata Usaha Negara
mempunyaipersamaandenganhukumacara yang
digunakanpadaPeradilanUmumuntukperkaraperdata, denganbeberapaperbedaan, antara lain:
a. PadaPeradilan Tata Usaha Negara, hakim berperanlebihaktifdalam proses
persidangangunamemperolehkebenaranmateriildanuntukituundang- undanginimengarahpadaajaranpembuktianbebas;
b. Suatugugatan
Tata Usaha
padadasarnyatidakbersifatmenundapelaksanaanKeputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan”.
Ajaranpembuktianbebasatauteoripembuktianbebasadalahajaranatauteori yang
tidakmenghendakiadanyaketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim,
sehinggasejauhmanapembuktiandilakukandiserahkankepada hakim.Berdasarkanajaranpembuktianbebas, maka Hakim Peradilan Tata Usaha
Negara dapatmenentukansendiri:
38
1. Apa
yang harusdibuktikan,
dalamhalini hakim
dapatmengesampingkanfaktadanhal yang diajukanolehpenggugatatautergugat, demikian pula hakim dapatmemeriksalebihlanjuttentangfaktadanhal yang
tidakdisangkalatautidakcukupdibantah, apabilafaktadanhaltersebutmemilikiarti yang relevanuntukdijadikandasarpertimbangandari hakim.
3. Siapa yang harusdibebanipembuktian, halapa yang harusdibuktikanolehpihak
yang berperkaradanhalapasaja yang harusdibuktikanoleh hakim sendiri. Dalamhalini,
penggugatdantergugatadalahparapihak yang
dibebanipembuktian. Bebanpembuktianadalahkewajiban
yang
38
http:santrikeblinger.blogspot.co.id201005pembuktian-di-peradilan-tata-usaha.htmldiakses pada tanggal 17 September 2015 Pukul 10.00 WIB.
dibebankankepadasuatupihakuntukmembuktikanfakta yang
menjadidasarpertimbangandari hakim dalammenjatuhkanputusannya. 4.
Alatbuktimanasaja yang diutamakandalampembuktian, dalamhalinialat- alatbuktidiaturolehundang-undang.
Hakim mempunyaiwewenanguntukmemilihalatbuktitertentu di antaraalat-alatbukti
yang telahditentukanundang-
undangdanmemberikanpenilaiantentangkekuatanpembuktiandarialatbuktiterse but.
5. Kekuatanpembuktianalatbukti
yang telahdiajukan,
Hakim mempunyaiwewenanguntukmemberikanpenilaianterhadaphasilpembuktiandal
ammemeriksa, memutus, danmenyelesaikanSengketa Tata Usaha Negara denganmemperhatikanpembatasansebagaimana yang diaturdalampasal 107
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986.
Dalam Pasal 100 UU PTUN menyebutkan alat bukti:
39
1 Alat bukti, yaitu:
a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan ahli;
c. Keterangan saksi;
d. Pengakuan para pihak;
e. Pengetahuan hakim.
2 Keadaan yang telah diketahui umum tidak perlu pembuktian.
39
Mahkamah Agung RI, 2011, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara Dan Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara Dilihat Dari Beberapa Sudut Pandang, Jakarta:Perpustakaan Dan
Layanan Informasi Biro Hukum Dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia