Tinjauan Umum MLA MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

e. Prinsip non rasisme Pasal 6 huruf c, negara diminta dapat menolak permohonan bantuan apabila menyangkut kejahatan yang didasarkan atas ras, suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan, atau pandangan politik; f. Prinsip kedaulatan Pasal 6 huruf e, negara diminta dapat menolak apabila persetujuan pemberian bantuan atas permintaan bantuan tersebut akan merugikan kedaulatan, keamanan, kepentingan, dan hukum nasional; g. Prinsip tidak menerapkan hukuman mati negara diminta dapat menolak pemberian bantuan apabila ancaman terhadap tindak pidana yang dilakukan adalah hukuman mati; h. Prinsip diplomatik termasuk kekebalan hukum yang terbatas Pasal 17, artinya perjanjian ini selain berdasarkan prinsip resiprositas akan tetapi pelaksanaannya melalui hubungan diplomatik di mana melekat pula hak-hak yang ada pada diplomatik. Termasuk pemberitahuan tentang penolakan pemberian bantuan; i. Serta beberapa alasan penolakan pemberian bantuan dikarenakan tindak pidana yang dilakukan berdasarkan: tindak pidana politik, kecuali pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negarakepala pemerintahan, terorisme; atau tindak pidana berdasarkan hukum militer. Dari penggolongan prinsip yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006 di atas dapat pula diklasifikasikan menurut prinsip yang menerima suatu permintaan bantuan dan hal-hal yang dapat menolak permintaan bantuan. 31 a. Prinsip Yang Menerima Permintaan Bantuan 1 Prinsip resiprositas, adalah prinsip yang diakui internasional sebagai solusi dalam menjalin kerja sama antar negara-negara baik masalah perdata maupun pidana, terutama bagi negara-negara yang belum mempunyai perjanjian kerjasama. Esensinya prinsip ini hanya berlatar belakang hubungan baik antar kedua negara. 2 Prinsip double Piminaliry atau kejahatan ganda. Sebelum adanya perjanjian kerjasama kedua negara harus sudah mengkriminalisasi kejahatan terutama yang akan dimasukkan ke dalam perjanjian yang nantinya dapat dimintakan bantuannya, maksudnya adalah tindak pidana tersebut termasuk dalam tindak pidana yang diatur oleh hukum di kedua negara. b. Prinsip Yang Menolak Permintaan Bantuan, yang termasuk prinsip yang menolak adalah: 1 Prinsip ne bis in idem, sebagai prinsip umum hukum pidana yang diakui secara internasional maksudnya adalah perlindungan bagi seorang pelaku untuk tidak diadili untuk yang kedua kalinya. 31 Nobuala Halawa, “Makalah paper program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung”, Analisis dan Evaluasi Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 Tentang Hubungan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, hlm.6, 2007. 2 Prinsip tentang ancaman hukuman mati, sebagai perwujudan dari konvenan terhadap hak sipil dan politik yang menentang adanya hukuman mati. Walaupun Indonesia masih mengenal hukuman mati dalam produk perundang-undangannya akan tetapi pelaksanaannya sangat jarang, ketentuan seperti inilah juga yang membuat Indonesia dapat bekerjasama dengan negara lain karena pada prinsipnya, prinsip ini memang menolak kalau ancaman hukuman dari tindak pidana itu adalah hukuman mati, akan tetapi apabila ada pernyataan.

2. Ketentuan-Ketentuan yang diatur dalam MLA

Mutual Legal Assistance MLA pada dasarnya merupakan suatu bentuk perjanjian timbal balik dalam masalah pidana. Pembentukan MLA dilatarbelakangi adanya kondisi faktual bahwa sebagai akibat adanya perbedaan sistem hukum pidana di antara beberapa negara mengakibatkan timbulnya kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. MLA muncul sebagai salah satu upaya untuk mengatasi dan memberantas berbagai kejahatan yang sifatnya lintas batas transnasional, karena MLA memiliki cakupanruang lingkup yang sangat luas. MLA memegang peranan yang sangat penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional terorganisasi, khususnya berkaitan dengan kejahatan yang memenuhi asas double criminality. 32 32 Marulak Pardede et.al, “Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum”, Efektivitas Perjanjian Kerjasama Timbal Balik Dalam Rangka Kepentingan Nasional, hlm.15.

3. Ketentuan Nasional

Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana Mutual Legal Assistance, sebagai realisasi persyaratan negara yang telah keluar dari daftar hitam negara pencuci uang, perlu mempunyai undang-undang yang mengatur tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Undang-undang ini mengatur secara rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan Pemerintah Republik Indonesia kepada negara di minta antara lain menyangkut pengajuan permintaan bantuan, persyaratan permintaan bantuan untuk mencari atau mengidentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang. 33 Perjanjian MLA dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Dalam hal perjanjian MLA dibuat secara bilateral, maka negosiasi terhadap isi perjanjian ini biasanya dilakukan oleh tim terpadu yang terdiri dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian dan Kejaksaan Agung RI. Perjanjian yang dibuat oleh kedua negara atas dasar peraturan MLA mengikat kedua belah pihak sehingga wajib dipatuhi dan dilaksanakan prinsip pacta sunt servanda. Sampai saat ini Pemerintah Indonesia telah memiliki 5 lima perjanjian bilateral dibidang MLA, yaitu: 34 1. Perjanjian Indonesia – Australia yang ditandatangani di Jakarta tanggal 27 Oktober 1995 dan diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan 33 Ibid, hlm .6. 34 Ibid. Australia mengenai Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Treaty Between The Republic of Indonesia and Australia on Mutual Legal Assistance in criminal Matters. 2. Perjanjian Indonesia – RRC yang ditandatangani di Jakarta tanggal 24 Juli 2000 dan diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China mengenai Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Treaty Between The Republic of Indonesia and The People’s Republic of China on Mutual Legal Assistance in criminal Matters. 3. Persetujuan Indonesia – Hong Kong, ditandatangani oleh Jaksa Agung RI pada tanggal 3 April tahun 2008 dan disahkan dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik dan Pemerintah Daerah Administrasi Khusus Hong Kong Republik Rakyat China tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Agreement Between The Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Hong Kong Special Administrative Region of the People’s Republic of China concerning Mutual Legal Assistance in Criminal Matters. 4. Perjanjian Indonesia – India yang ditandatangani di India pada tanggal 25 Januari 2011 dan sampai saat ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. 5. Perjanjian Indonesia- Korea Selatan, dimana sudah dilakukan proses penandatanganan namun belum diratifikasi. Disamping perjanjian MLA yang bilateral, maka saat ini Pemerintah Indonesia juga telah memiliki 4 empat perjanjian multilateral dibidang MLA, yaitu: 35 1. ASEAN Declaration on Transnational Crimes pada tanggal 20 Desember 1997, yang meliputi kerjasama penanganan kerjasama regional terhadap kejahatan transnasional, antara lain seperti terorisme, perdagangan narkotika, perdagangan dan penyelundupan senjata, pencucian uang, perdagangan orang, kejahatan lingkungan, migrasi ilegal, dan lain-lain. 2. Perjanjian kerjasama antar negara ASEAN ASEAN MLA Treaty, ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 29 November 2004, dan telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters. 3. Konvensi PBB Menentang Korupsi United Nations Convention Against CorruptionUNCAC tahun 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006. 4. Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi United Nations Convention Against Transnastional Organized CrimeUNTOC tahun 2000 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009. 35 Ibid.

C. Tinjauan Umum UNTOC

1. Konsep Dasar Terbentuknya UNTOC

Dengan perkembangannya yang demikian pesat, kejahatan lintas negara transnational crimes dewasa ini telah menjadi salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Pada lingkup multilateral, konsep yang dipakai adalah Transnational Organized Crimes TOC yang disesuaikan dengan instrumen hukum internasional yang telah disepakati tahun 2000 yaitu Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir United Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC. 36 UNTOC menyebutkan bahwa transnational organized crime TOC atau kejahatan lintas negara terorganisir adalah kejahatan lintas negara yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas tiga orang atau lebih, dalam kurun waktu tertentu dan dilakukan secara terorganisir dengan tujuan untuk melakukan satu atau lebih kejahatan serius sebagaimana yang dimaksud di dalam konvensi dalam rangka memperoleh, secara langsung maupun tak langsung, keuntungan finansial atau material lainnya. 37 Kejahatan lintas negara memiliki karakteristik yang sangat kompleks. Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat. 36 http:www.kemlu.go.id, Diakses secara online pada 17 Januari 2015, pukul 19.17 WIB. 37 Ibid. Keadaan ekonomi dan politik global yang tidak stabil juga berperan menambah kompleksitas tersebut. 38

2. Proses Berlakunya UNTOC

Untuk dapat berlaku atau mengikat sebagai hukum internasional positif, berdasarkan Pasal 36 ayat 3 UNTOC, negara-negara diberi kesempatan untuk menyatakan persetujuannya untuk terikat pada consent to be bound by konvensi dengan cara melakukan peratifikasian ratification, penerimaan acceptance, persetujuan approval atau aksesi accession. Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat 1, Konvensi ini akan mulai berlaku entry into force pada hari kesembilan puluh setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi ratification, penerimaan acceptance, persetujuan approval atau aksesi accession yang keempat puluh. 39 Dengan telah dipenuhinya ketentuan Pasal 38 ayat 1 maka kini UNTOC sudah berlaku sebagai hukum internasional positif. Akan tetapi, sesuai dengan salah satu prinsip hukum perjanjian internasional, yakni pacta tertiis nec nosent nec prosunt, 40 UNTOC hanya berlaku dan mengikat terhadap negara-negara yang sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat, baik hal itu dilakukan dengan peratifikasian, penerimaan, persetujuan, ataupun pengaksesian. 41 Berkenaan 38 Ibid. 39 I Wayan Parthiana,et.al, Kajian Tentang Kesenjangan Antara United Nations Convention against Transnational Organized Crime dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Op.cit, hlm.3. 40 http:www.oxfordreference.com, “a treaty binds the parties and only the parties; it does not create obligations for a third state”, yang berarti suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangungjawaban. Diakses secara online pada 2 Februari 2015, Pukul 23.08 WIB. 41 Op.cit, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-Undangan. dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana mutual legal assistance in criminal matters, Indonesia telah memiliki undang-undang tersendiri, yakni, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006. 42 Sedangkan dalam konteks ASEAN, delapan negara anggota ASEAN yakni, Brunei Darrussalam, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Philipina, Singapura, dan Vietnam, juga telah menandatangani Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Maters di Kuala Lumpur pada tanggal 29 November 2004 yang diratifikasi dengan UU Nomor 15 Tahun 2008. 43 Selanjutnya, Myanmar sudah resmi menjadi pihak ASEAN Treaty on MLA pada bulan Desember 2009. Dengan demikian hanya 1 satu negara yaitu Thailand yang belum menjadi pihak pada Treaty tersebut. Jika ditelaah dengan seksama ketentuan tentang Bantuan Timbal Balik dalam UNTOC, yakni, Pasal 18 yang terdiri dari 30 ayat ayat 1-30 tampak bahwa Pasal 18 ini merupakan pemadatanpemampatan dari ketentuan-ketentuan dalam perjanjian-perjanjian tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Jika diperbandingkan antara Pasal 18 UNTOC dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, memang ada beberapa ketentuan yang sama tetapi juga ada kekosongan di pihak yang satu ataupun di pihak yang lain. Artinya, di dalam UNTOC ada pengaturannya sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tidak ada ataupun sebaliknya. Beberapa materi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 yang tidak ada atau tidak diatur di dalam UNTOC, antara lain: 44 42 Ibid. 43 Ibid. 44 Ibid.