Latar Belakang MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Against Transnational Organized Crime Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi. Kejahatan transnasional yang diatur dalam UNTOC yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi, kejahatan terhadap benda seni budaya cultural property, perdagangan manusia, penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap senjata api. 4 Mutual Legal Assistance disingkat dengan MLA atau bantuan timbal balik dalam masalah pidana merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan negara diminta. MLA merupakan suatu bentuk kerjasama memerangi kejahatan yang dikenal dari mekanisme yang berasal dari hukum yang timbul dalam pergaulan masyarakat internasional. Sejarah pembentukan MLA yang berawal dari kerjasama antar negara dalam suatu proses saling membantu dalam penyidikan masalah pidana yang bermula dari kerjasama antar kepolisian maupun “letters rogatory” yang merupakan suatu sistem permintaan bantuan yang didasarkan pada sikap saling menghargai dalam rangka mendapatkan alat bukti, yang selanjutnya berkembang menjadi suatu bentuk perjanjian dan berbagai bentuk bantuan lainnya. 5 Letters rogatory merupakan suatu surat yang diterbitkan oleh pengadilan suatu negara untuk memperoleh bantuan dari pengadilan negara lain. Adanya letters rogatory dikarenakan berdasarkan prinsip kedaulatan, pengadilan suatu negara dilarang untuk melaksanakan kekuasaan diluar wilayah yurisdiksinya termasuk juga untuk 4 Ibid. 5 Mosgan Situmorang et.al, 2012, “Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum”, Efektivitas Perjanjian Kerjasama Timbal Balik Dalam Rangka Kepentingan Nasional, hlm.17. mendapatkan alat bukti yang terdapat di luar negeri untuk kepentingan persidangan, sehingga suatu negara harus mengajukan permintaan terlebih dahulu kepada negara yang diminta apabila ingin mendapatkan alat bukti tersebut. 6 MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan timbal balik resiprositas dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA bilateral dengan Australia, China, Korea, dan AS. Sementara itu, MLA multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. 7 Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang sebagai payung hukum” umbrella act untuk ekstradisi dengan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan untuk kerjasama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan aset, dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana mutual legal assistance in criminal matters 8 yang selanjutnya disebut Undang-Undang MLA yang mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request MAR dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu. 9 sebagai dasar pelaksanaan kerjasama MLA dengan negara lain. Kerjasama MLA meliputi bantuan untuk mengidentifikasi dan mencari orang; mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya; 6 Ibid. 7 Ibid. 8 Siswanto Sunarso, 2009, Ekstradisi dan Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.146. 9 Dimuat dalam harian Seputar Indonesia, Senin 8 Mei 2006. mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan; menyampaikan surat; melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan; perampasan hasil tindak pidana; memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana; melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; danatau bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang Bantuan Timbal Balik. Adapun ketentuan di dalam UU tersebut mengecualikan wewenang untuk mengadakan: ekstradisi atau penyerahan orang; penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang; pengalihan narapidana; atau pengalihan perkara. 10 Undang-Undang MLA menyatakan bahwa status MLA, termasuk MLA yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, dapat dikabulkan tanpa suatu treaty berdasarkan asas resiprositas dan hubungan bilateral yang baik dengan negara peminta bantuan requesting state. Dalam prakteknya, Indonesia telah melakukan sejumlah kerjasama MLA dengan sejumlah negara tanpa dilandasi perjanjian bilateral mengenai MLA. 11 10 Svetlana Anggita Prasasthi, Upaya Pemerintah Republik Indonesia Dalam Bantuan Hukum Timbal Balik Untuk Masalah Pidana Mutual Legal Assistance – Mla Terhadap Pengembalian Aset Di Luar Negeri Hasil Tindakpidana Korupsi Stolen Asset Recovery, Dimuat dalam Jurnal Hukum Volume 2 Mei 2011 11 Ibid. Kerjasama dapat dilakukan berdasarkan legislasi nasional negara yang bersangkutan. Sejumlah negara juga memiliki regulasi yang mengatur MLA danatau ekstradisi dengan negara-negara yang tidak menjadi pihak dalam perjanjian multilateral. Di bawah kerjasama tersebut, legislasi negara diminta biasanya memformulasikan prosedur untuk mengirimkan, menerima, mempertimbangkan dan melaksanakan permintaan. Prosedur ini biasanya sama dengan skema yang diatur di dalam perjanjian multilateral, walaupun biasanya terdapat beberapa persyaratan tambahan. Sebuah negara dapat mengatakan bahwa sebuah negara asing berhak untuk menerima bantuan, atau mereka dapat mempertimbangkan setiap permintaan yang datang berdasarkan case-by-case basis. 12 MLA telah mengkategorikan empat perbuatan sebagai tindak pidana serius apabila bersifat transnasional dan melibatkan organisasi kriminal. Empat perbuatan tersebut adalah kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan pencucian uang money loundering, berdimensi internasional, dan kejahatan yang memenuhi asas kejahatan ganda double criminality, sedangkan UNTOC telah mengkategorikan enam perbuatan yang masuk lingkup kejahatan, yaitu korupsi, pencucian uang, perdagangan perempuan dan anak, penyelundupan orang, penyelundupan senjata, dan menghalangi proses peradilan. United Nations Convention against Transnational Organized Crime UNTOC dilengkapi dengan tiga protokol, yaitu: protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak; protokol menentang penyelundupan migran melalui darat, laut dan udara; dan protokol terhadap 12 Ibid. manufaktur ilegal dan perdagangan senjata api, suku cadang dan komponen dan amunisi. Negara harus menjadi peserta konvensi itu sendiri sebelum mereka dapat menjadi pihak dalam salah satu protokol. 13 Indonesia sebagai salah satu negara peserta konvensi telah meratifikasi perjanjian timbal balik itu kedalam UU NO. 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir. Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional yang sering menghadapi kasus-kasus kejahatan transnasional terorganisasi yang terus berkembang dengan segala akibatnya telah meratifikasi dan turut serta dalam perjanjian MLA maupun UNTOC yang tentu merupakan suatu keuntunganan dikarenakan UNTOC secara yuridis formal yang kini sudah menjadi bagian dari dan berlaku sebagai hukum positif nasional Indonesia, secara yuridis formal sejajar kedudukannya dengan undang-undang nasional Indonesia yang lain pada umumnya, undang-undang pidana pada khususnya. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk membahas dan menganalisis secara dalam mengenai Mekanisme MLA terhadap penyelesaian kejahatan yang diatur dalam United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir di Indonesia, untuk itu penulis ingin menyusun skripsi yang berjudul: 13 http:www.unodc.orgunodctreatiesCTOC,loc.Cit, Mekanisme Mutual Legal Assistance MLA Terhadap Penyelesaian Kejahatan yang Diatur dalam United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime UNTOC dan Implementasinya di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah mekanisme MLA terhadap penyelesaian kejahatan-kejahatan yang diatur dalam UNTOC? 2. Bagaimana implementasi MLA terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur dalam UNTOC di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan skripsi ini sebagai berikut: a. Menjelaskan dan menganalisis pengaturan terhadap mekanisme Mutual Legal Assistance atau perjanjian timbal balik dalam masalah pidana terhadap penyelesaian kejahatan-kejahatan transnasional yang diatur dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes UNTOC. b. Menjelaskan implementasi Mutual Legal Assistance terhadap kejahatan- kejahatan yang diatur dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime UNTOC di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis Bermanfaat untuk pengembangan kemampuan berkarya ilmiah dan daya nalar sesuai dengan disiplin ilmu yang telah dipelajari yaitu hukum pada umumnya dan hukum internasional pada khususnya. b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi praktisi dalam penegakan perjanjian timbal balik guna menekan dan mengurangi terjadinya kejahatan terorganisir lintas batas negara.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini membahas mekanisme bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau Mutual Legal Assistance in Criminal Matters selanjutnya disingkat MLA terhadap penyelesaian kejahatan yang diatur dalam United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime selanjutnya disingkat UNTOC atau Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir dan implementasinya di Indonesia.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan terhadap substansi penelitian ini maka diperlukan kerangka penulisan yang sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 bab yang diorganisasikan ke dalam bab demi bab sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah yang menjelaskan secara singkat tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana, selanjutnya terdapat rumusan masalah yang didasarkan atas latar belakang yang dikaji, selanjutnya ada tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup, dan bagian terakhir berisi sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi menguraikan secara singkat mengenai teori-teori hukum sebagai latar belakang dari pembuktian masalah dan hipotesa, umumnya dan kaitannya dengan masalah yang akan dibahas yang terdiri dari: definisi serta pengertian yang relevan, prinsip-prinsip bantuan timbal balik dalam masalah pidana, konsep dasar terbentuknya UNTOC, proses berlakunya UNTOC, serta ketentuan- ketentuan yang diatur dalam UNTOC.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini menguraikan jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi selain itu juga digambarkan secara singkat tentang pendekatan masalah dalam penulisan skripsi ini. Bagian berikutnya diuraikan mengenai sumber data serta metode