2. Pengertian Kejahatan Transnasional
Kejahatan transnasional adalah semua hukum yang mengatur semua tindakan atau kejadian yang melampaui batas teritorial.
21
Kejahatan ini telah terjadi di luar batas territorial antar negara. Oleh sebab itu, dalam penegakan hukumnya harus
dipertimbangkan apakah peristiwa itu dianggap suatu tindak pidana. Tindak pidana transnasional merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mengancam
kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan dan perdamaian dunia. Perkembangan tindak pidana transnasional ini tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disamping dapat memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, dari satu
negara ke negara lain, ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam dan maraknya tindak pidana. Pada
saat ini tindak pidana transnasional telah berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter, modus operandi, dan
pelakunya.
22
Tindak Pidana Transnasional adalah tindak pidana yang terjadi di dalam wilayah suatu negara atau negara-negara lain, tetapi akibat yang ditimbulkannya terjadi di
negara atau negara-negara lain, atau tindak pidana yang pelaku-pelakunya berada terpencar di wilayah dua negara atau lebih, dan melakukan satu atau lebih tindak
pidana serta baik pelaku maupun tindak pidananya itu sendiri saling berhubungan,
21
Romli Atmasasmita, “Disertasi”, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, hlm. 38, 1996.
22
Penjelasan Umum Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana
Transnational yang Terorganisasi.
yang menimbulkan akibat pada satu negara atau lebih.
23
Selain memberikan definisi, Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan telah menyusun suatu Model
Perjanjian di bidang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana ini yang dikenal dengan United Nations Model Treaty UN Model Treaty.
24
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi United Nation Convention Against Transnasional Organized
Crime, yang selanjutnya disingkat UNTOC mengemukakan tindak pidana transnasional yang terorganisasi itu dikualifikasi antara lain: a Tindak Pidana
atas Kesertaan partisipasi dalam Kelompok Pelaku Tindak Pidana Terorganisasi,
25
b Tindak Pidana atas Pencucian Hasil Tindak Pidana termasuk, tidak terbatas pencucian uang,
26
c Tindak Pidana Korupsi,
27
d Tindak Pidana yang berkaitan dengan gangguan proses peradilan.
28
B. Tinjauan Umum MLA
1. Prinsip-Prinsip dalam MLA
MLA harus mengatur hak negara-negara para pihak, terutama negara yang diminta untuk menolak permintaan bantuan. Hak negara diminta untuk
memberikan bantuan dapat bersifat mutlak dalam arti harus menolak atau tidak mutlak dalam arti dapat menolak. Hak negara untuk menolak yang bersifat mutlak
dilandaskan kepada prinsip-prinsip umum hukum internasional yang dalam suatu
23
I Wayan Parthiana, 2003, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung; Yrama Widya, hlm. 41.
24
,http:www.unodc.orgpdfmodel_treaty_extradition_revised_manual.pdf, diakses
pada 16
September 2015.
25
Pasal 5 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime.
26
Pasal 6 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime.
27
Pasal 8 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime.
28
Pasal 23 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime.
perjanjian berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana yang berlatar belakang politik, tindak pidana militer, suku, ras, agama dan nebis in
idem, serta yang berhubungan dengan kedaulatan negara.
29
Hak negara diminta untuk menolak permintaan bantuan yang bersifat tidak mutlak didasarkan pada
prinsip resiprositas. Prinsip ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi tindak pidana yang disebut tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah negara
peminta extra territorial crime dan tidak diatur menurut negara diminta atau terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati.
30
Dalam UU No. 1 Tahun 2006 menganut beberapa prinsip di antaranya: a.
Prinsip kekhususan, artinya yang diberikan dalam bentuk bantuan adalah menurut yang telah dimintakan bantuannya dan selain bantuan penyerahan
seorang pelaku tindak pidana, Pasal 3 dan 4; b.
Prinsip resiprositas atau berdasarkan hubungan baik antara kedua negara Pasal 5 ayat 2;
c. Prinsip ne bis in idem Pasal 6 huruf b, prinsip ini sangat umum dalam
hukum pidana di mana pelaku tidak dapat dituntutdihukum untuk yang kedua kalinya pada kejahatan yang sama;
d. Prinsip double criminality atau kejahatan ganda Pasal 6 huruf c, maksudnya
perbuatan yang dilakukan pelaku haruslah merupakan tindak pidana bagi kedua negara;
29
Mosgan Situmorang et.al, “Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum”, Efektivitas Perjanjian Kerjasama Timbal Balik Dalam Rangka Kepentingan Nasional, hlm.36, 2012.
30
Ibid.
e. Prinsip non rasisme Pasal 6 huruf c, negara diminta dapat menolak
permohonan bantuan apabila menyangkut kejahatan yang didasarkan atas ras, suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan, atau pandangan politik;
f. Prinsip kedaulatan Pasal 6 huruf e, negara diminta dapat menolak apabila
persetujuan pemberian bantuan atas permintaan bantuan tersebut akan merugikan kedaulatan, keamanan, kepentingan, dan hukum nasional;
g. Prinsip tidak menerapkan hukuman mati negara diminta dapat menolak
pemberian bantuan apabila ancaman terhadap tindak pidana yang dilakukan adalah hukuman mati;
h. Prinsip diplomatik termasuk kekebalan hukum yang terbatas Pasal 17,
artinya perjanjian ini selain berdasarkan prinsip resiprositas akan tetapi pelaksanaannya melalui hubungan diplomatik di mana melekat pula hak-hak
yang ada pada diplomatik. Termasuk pemberitahuan tentang penolakan pemberian bantuan;
i. Serta beberapa alasan penolakan pemberian bantuan dikarenakan tindak
pidana yang dilakukan berdasarkan: tindak pidana politik, kecuali pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negarakepala
pemerintahan, terorisme; atau tindak pidana berdasarkan hukum militer.