128
yang mendukung dan menjamin keterlibatan masyarakat dalam usaha pemanfaatan sumberdaya hutan.
5.6.1.2. Kedalaman Kemiskinan
Selanjutnya, Poverty Gap Index P
1
sebesar 3.4 lebih besar daripada Poverty Gap Index P
1
nasional 2.3. Ini berarti rata-rata pendapatan rumahtangga miskin pada agroekosistem hutan memiliki kedalaman kemiskinan
yang lebih besar daripada nasional jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan di hutan lebih jauh jaraknya dari garis kemiskinan dibanding P
1
nasional. Kedalaman ini terkait dengan tingkat jumlah rumahtangga yang jatuh dalam kemiskinan kronis.
5.6.1.3. Keparahan Kemiskinan
Distributionally Sensitive Index atau disebut juga Poverty Severity Gap Index P
2
sebesar 1.0 di kawasan hutan lebih besar dari nasional 0.7. Ini berarti indeks keparahan kemiskinan yang memperhitungkan tidak hanya jarak
yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan tetapi juga kesenjangan diantara orang miskin perbedaan diantara rumahtangga miskin lebih besar
dibanding di tingkat nasional. Dengan indikasi terjadinya keparahan di ekosistem ini, maka dimensi sosial terkait dengan equity menjadi fokus penting dalam
pengentasan kemiskinan pada agroekosistem ini.
5.6.2. Kerentanan Kemiskinan 5.6.2.1. Elastisitas
Dengan menggunakan garis kemiskinan BPS, ternyata 18.3 masyarakat pada hutan termasuk kedalam kelompok miskin. Selanjutnya, untuk
mengetahui bagaimana insiden kemiskinan sekitar garis kemiskinan yang
129
diasumsikan rentan terhadap garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dari simulasi tersebut diperoleh hasil
perubahan indikator-indikator
kemiskinan, persentase
perubahan dan
elastisitasnya disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan di Hutan
Indikator GK
GK110 GK120
Nilai Nilai
Elastisitas Nilai
Elastisitas HTN Nas HTN
Nas HTN
Nas HTN
Nas HTN
Nas P
18,3 13.1 25,5 18.8
3.93 4.35
33,2 25.0
4.07 4.54
P
1
3,4 2.3
5,1 3.6
5.00 5.65
7,1 5.1
5.44 6.09
P
2
1,0 0.7
1,5 1.1
5.00 5.71
2,3 1.6
6.50 6.43
Sumber : Hasil Perhitungan
Keterangan : HTN = Hutan;GK= garis kemiskinan
Nas = Nasional
Dengan skenario GK naik 10 persen GK110 persen, yang terjadi pada Headcount Index P
pada hutan adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 18.3 persen menjadi 25.5 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa
terjadinya gejolak peningkatan insiden kemiskinan bila garis kemiskinan naik. Secara grafik, distribusi pengeluaran rumahtangga di Hutan dapat dilihat
pada Gambar 10. Lebih lanjut, dengan skenario GK110 persen, yang terjadi pada Poverty Gap Index P
1
meningkat dari 3.4 menjadi 5.1. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kesenjangan, misalnya bila terjadi
bencanagoncangan, kecenderungan, dan pengaruh musim yang menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa yang termasuk di dalam bundel garis
kemiskinan sehingga mendorong GK naik 10 persen. Artinya, selain makin banyak yang jatuh miskin, kondisi mereka pun makin menjauh dari garis
kemiskinan dan semakin mengecil peluang mereka untuk melampaui garis kemiskinan.
130
Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index P
2
yang meningkat dari 1.0 menjadi sebesar 1.5 pada GK110 persen. Artinya, pada
hutan ini, mempunyai peluang terjadinya gejolak peningkatan keparahan di kawasan hutan bila terjadi bencanagoncangan, kecenderungan, dan pengaruh
musim yang menyebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang mendorong GK naik sebesar 10 persen. Walaupun dibanding dengan nasional,
presentase perubahan P
2
Hutan 50 persen lebih kecil dari pada persentase P
2
Nasional 57.1 persen. Dengan skenario GK naik 20 persen GK120 persen, yang terjadi pada Headcount Index P
adalah peningkatan proporsi insiden kemiskinan dari 18.3 persen menjadi 33.2 persen. Walaupun dibanding dengan
nasional, presentase perubahan P Hutan 81.4 persen lebih kecil dari pada
persentase perubahan P Nasional 90.8 persen.
100000 200000
300000 400000
Pengeluaran Rp
30000 60000
90000 120000
150000
F reku
en si
R u
mah T
an g
g a
Mean = 161261.37 Std. Dev. = 71762.222
N = 7,222,145
Gambar 10. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Hutan
GK = Rp 89.100 GK 10 = Rp 98.800
GK 20 = Rp 122.800
Kurva Normal
Sumber : Susenas 2004 Keterangan: GK= Garis Kemiskinan
P Distribusi Frekuensi
Rumahtangga
Pengeluaran Rp
131
Kemudian, yang terjadi pada Poverty Gap Index P
1
meningkat dari 3.4 menjadi 7.1 yang menunjukkan bahwa dengan ekosistem ini mempunyai peluang
terjadinya gejolak peningkatan kedalaman di kawasan hutan bila terjadi bencanagoncangan, kecenderungan dan pengaruh musim yang mendorong
batas kebutuhan minimum sebesar 20 persen. Artinya, rumahtangga makin jauh dari garis kemiskinan. Laju perubahan peningkatan persentase P
1
juga meningkat dua kali laju perubahan P
1
pada GK110 persen. Dibanding dengan nasional, persentase perubahan P
1
Hutan 108.8 persen lebih kecil dari pada persentase P
1
nasional 121.7 persen. Pola yang sama terjadi pada Poverty Severity Gap Index P
2
yang meningkat dari 1.0 menjadi sebesar 2.3 pada GK120 persen. Jadi, terjadi
ketimpangan yang makin parah. Laju perubahan peningkatan persentase P
2
meningkat 2.5 kali laju perubahan P
2
pada GK110 persen. Persentase perubahan P
2
Hutan 130 persen sedikit lebih besar dari pada persentase P
2
nasional 128.5 persen. Jika dicermati lebih jauh dengan menggunakan dua skenario ini, dimana
diasumsikan akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen, maka pada GK110 persen
diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 3.93 untuk P
0;
dan 5.00 untuk P
1
, serta 5.00 untuk P
2.
Kemudian pada GK120 persen, diperoleh elastisitas terhadap perubahan garis kemiskinan ini sebesar 4.07 untuk
P
0,
5.44 untuk P
1
, dan 6.50 untuk P
2.
Dengan elastisitas lebih besar dari satu, maka pada agroekosistem hutan dapat dikatakan memiliki sensitivitas
peningkatan proposi kemiskinan, kedalaman dan keparahan yang elastis. Tetapi dibanding dengan nasional, elastisitas untuk P
0,
P
1
, dan P
2,
baik pada GK 110 persen maupun GK120 persen menunjukkan sensitivitas yang lebih kecil.
132
Pernyataan tersebut diperkuat oleh The World Bank 2006: “the poor and near poor in Indonesia are particulary vulnerable to price and other shock given
the income distribution profile in Indonesia. Orang miskin dan yang mendekati miskin rentan biasanya sensitif terhadap harga dan gejolak lainnya. Sesuai
dengan pernyataan The World Bank 2006 bahwa “although income proverty is relatively low, vulnerability to income poverty is high”. Hal ini mengisyaratkan
mengapa pemahaman tentang kerentanan menjadi penting untuk mengurangi kemiskinan. Fakta memperlihatkan bahwa meskipun kemiskinan adalah rendah,
tetapi kerentanan terhadap kemiskinan adalah tinggi. Kerentanan juga disebut sebagai ancaman baru yang menciptakan
peningkatan kemiskinan, didukung oleh Hebel 2002 yang menyatakan bahwa, ”how dynamic are livelihood strategy; how do they adapt permanent shock, what
temporary coping strategies do different actors develop and how do these become more permanent adaptive strategies”. Hebel lebih menekankan antara
lain untuk melihat seberapa jauh mereka menyusun strategi perikehidupannya, dan bagaimana mereka beradaptasi terhadap gejolak yang permanen.
5.6.2.2. Sifat Kemiskinan
Model regresi pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dirancang untuk mengetahui sifat kemiskinan. Hasil regresi untuk daerah kawasan hutan,
menghasilkan model yang nyata secara statistik Lampiran 10. Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini memperoleh gambaran
kemiskinan bahwa 3.81 persen tergolong miskin kronis dan 14.51 persen miskin tidak kronis. Dibanding model nasional, persentase proporsi rumahtangga
miskin dan miskin kronis di agroekosistem hutan lebih besar daripada model nasional.
133
Tabel 26. Sifat Kemiskinan di Hutan
Garis Kemiskinan GK
GK110 GK120
Aspek Penelitian
Sifat Hutan
Nas Hutan
Nas Hutan
Nas Miskin
14.5 10.9
17.9 14.1
19.8 16.3
Miskin kronis 3.8
2.2 7.7
4.8 13.4
8.7 perubahan
Akibat GK Total miskin
18.3 13.1
25.5 18.8
33.2 25.0
Sumber: Hasil Perhitungan Kerangan : Nas = nasional
Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan meningkat sebesar 10 persen.
Hasil regresi untuk daerah kawasan hutan dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, adalah nyata secara statistik sebagaimana pada Lampiran 17.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase rumahtangga miskin menjadi sebesar 25.5 persen rumahtangga miskin 7.7
persen miskin kronis dan 17.9 persen miskin tidak kronis. Ini berari 17.9 persen rumahtangga
ini dapat
didorong meningkatkan
pendapatan dengan
meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat.
Selanjutnya, 7.7 persen rumahtangga terjebak dalam kemiskinan Poverty Trap atau dikenal dengan kemiskinan struktural. Untuk mengentaskan katagori
kemiskinan ini diperlukan effort yang besar, bertahap dan berkelanjutan. Dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase
rumahtangga miskin ini masih lebih besar, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 18.8 persen rumahtangga miskin 4.8 persen
miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis, jadi proporsi persentase rumahtangga miskin relatif sensitive terhadap perubahan garis kemiskinan
dengan meningkatkan sebesar 10 persen.
134
Hasil regresi untuk kawasan hutan dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti
pada Lampiran 24. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat peningkatan persentase menjadi sebesar 33.2 persen rumahtangga miskin 13.4
persen miskin kronis dan 19.8 persen miskin tidak kronis. Artinya 19.8 persen rumahtangga ini dapat ditingkatkan pendapatannya dengan meningkatkan
beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Selanjutnya, 13.4 persen rumahtangga yang miskin merupakan
kemiskinan kronis. Dibanding dengan model nasional, peningkatan proporsi persentase
rumah tangga miskin ini masih lebih besar, dimana model nasional menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 25 persen rumahtangga miskin 8.7 persen miskin
kronis dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen
terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada agroekosistem hutan Tabel 27. Tabel 27. Perubahan Sifat Kemiskinan di Hutan
Garis Kemiskinan110
Garis Kemiskinan120
Aspek Penelitian
Sifat Hutan
Nasional Hutan
Nasional Miskin
23,4 29.0
36,5 49.1
Miskin kronis 102,1
116.2 251,7
291.9 perubahan
akibat Garis Kemiskinan
Total miskin 39,3
116.2 81,3
90.3
Sumber: Hasil Perhitungan
Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya relatif besar terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin itu sendiri,
meskipun lebih kecil dari pada kondisi nasional. Tabel 27 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen, dimana
dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah
135
keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat dari angka sebelumnya. sementara jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat
peningkatan keluarga miskin kronis melebihi 250 persen. Selanjutnya, perbedaan pengeluaran per kapita dengan kondisi garis
kemiskinan biasa ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis berdasarkan rataan,
secara umum diperoleh diatas 40 persen Tabel 28. Sedangkan untuk golongan tidak miskin berdasarkan median, untuk seluruh Indonesia, perbedaan
golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Agroekosistem hutan memiliki beda dibawah 70 persen dimana yang terdapat
jarak relatif kecil dibanding dengan Nasional. Tabel 28
. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita
Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Hutan
GK GK110
GK120 Berdasarkan
Sifat beda
Ratio beda
Ratio beda
ratio Hutan
Miskin Kronis 40.4
0.596 38.2
0.618 36.7
0.633 Miskin
12.5 0.875
12.0 0.880
11.3 0.887
Rataan Tidak Miskin
100.1 2.000
92.1 1.921 88.0
1.880 Miskin Kronis
38.1 0.619
35.9 0.641
34.2 0.658
Miskin 11.5
0.885 11.6
0.884 11.2
0.888 Median
Tidak Miskin 64.0 1.640
57.5 1.575
54.2 1.542
Nasional Miskin Kronis
42.2 0.578 39.6
0.604 38.3
0.617 Miskin
13.2 0.868 12.6
0.874 12.2
0.878 Rataan
Tidak Miskin 138.6 2.386
126.4 2.264 118.0 2.180
Miskin Kronis 40.0 0.600
37.3 0.627 35.8 0.642
Miskin 12.1 0.879
12.0 0.880 11.9 0.881
Median Tidak Miskin
85.8 1.858 76.6 1.766
70.4 1.704
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= garis kemiskinan
136
Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada
golongan miskin kronis berdasarkan rataan di bawah 40 persen untuk hutan. Sedangkan untuk golongan tidak miskin berdasarkan median, pada tingkat
nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garasi kemiskinan sebesar 126.4 persen. Sementara hutan dibawah 60 persen yang artinya jarak yang
relatif kecil dibanding tingkat nasional. Jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, pada agroekosistem hutan
ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis berdasarkan rataan di bawah 40
persen. Sementara itu untuk golongan tidak miskin berdasarkan median, pada tingkat nasional, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan
sebesar 70.4 persen lebih tinggi dibanding agroekosistem hutan 60 persen.
5.7. PantaiPesisir 5.7.1. Indikator Kemiskinan