Tipologi kemiskinan dan kerentanan berbasis agroekosistem dan implikasinya pada kebijakan pengurangan kemiskinan

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemiskinan telah menjadi isu dunia karena seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank (2004). Kemiskinan di Indonesia berdasarkan standar hidup minimum dengan pengeluaran per kapita per hari di bawah US$ 1 berjumlah sekitar 35 juta orang. Jika dihitung dengan standar US$ 2, maka penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sekitar 80 persen atau lebih dari 175 juta orang; jumlah ini sama dengan jumlah total penduduk miskin di negara-negara Asia Timur tanpa Cina (The World Bank, 2006).

Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Millenium Summit tahun 2000 menyepakati Millenium Development Goals (MDGs) sebagai target sekaligus indikator perbaikan dunia; yakni mengurangi kemiskinan hingga menjadi 50 persen pada tahun 2015. MDGs memuat delapan butir tujuan, salah satu di antaranya adalah Eradicate Extreme Poverty and Hunger. Kemiskinan menjadi penting mendapat perhatian karena kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat, mengakibatkan antara lain tingginya beban sosial-ekonomi masyarakat, rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia, serta menurunnya ketertiban umum (Yudhoyono dan Harniati, 2004).

Di negara-negara berkembang, kemiskinan umumnya merupakan fenomena perdesaan dan pertanian. Demikian juga di Indonesia, sekitar 75.7 persen insiden kemiskinan terdapat di perdesaan. Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemen, Universitas Indonesia (2001) melaporkan bahwa sekitar 67 persen dari penduduk miskin menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian,


(2)

dengan indeks kedalaman kemiskinan (squared poverty gap) di sektor pertanian dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan sektor non-pertanian. Intensitas kemiskinan atau keparahan kemiskinan di sektor pertanian 2.21 lebih tinggi dibandingkan dengan sektor non-pertanian.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (Kompas, 2007), jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2006 mencapai sekitar 39.05 juta atau sekitar 17.75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Secara geografis, penduduk yang tinggal di bagian timur Indonesia yakni Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara menunjukkan persentase penduduk miskin lebih tinggi daripada penduduk di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan di daerah tersebut juga lebih tinggi daripada daerah lain di Indonesia.

Selanjutnya, sebagian penduduk Indonesia yang tidak tergolong miskin, berada di atas garis kemiskinan, namun merupakan penduduk yang rentan jatuh pada golongan miskin. Peningkatan insiden kemiskinan menunjukkan angka yang tinggi pada masa krisis yakni dari 11.3 persen pada tahun 1996 menjadi 24.2 persen pada tahun 1998 sebagaimana dilaporkan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (2007). Hal ini menggambarkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia sangat rentan terhadap gejolak perekonomian.

Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan pemerintah, namun tingkat kemiskinan masih tinggi. Bermacam program aksi penanggulangan kemiskinan telah dirancang dan diimplementasikan oleh berbagai instansi pemerintah dengan berbagai pendekatan. Namun, kondisi kemiskinan belum banyak berubah. Kebijakan-kebijakan yang diluncurkan pemerintah selama ini belum cukup efektif untuk mengurangi kemiskinan. Upaya


(3)

bertumpu pada pertumbuhan ekonomi makro, (2) lebih banyak bersifat menyembuhkan (curative) bahkan lebih banyak yang bersifat karitatif (charity), (3) kebijakan yang tidak memperhitungkan indikator dan karakteristik kemiskinan, (4) kurang berkesinambungan dalam implementasinya, dan (5) kebijakan yang terpusat dan cenderung seragam. Sementara itu, Dartanto (2007) menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah selalu bersifat reaktif, parsial, dan tidak konsisten dalam mengimplementasikan kebijakan pengentasan kemiskinan serta kurangnya sinergi dan koordinasi antar berbagai instansi pemerintah.

Selanjutnya, Center for Economic and Social Studies (CESS, 2004). melaporkan bahwa semenjak krisis ekonomi, terdapat setidaknya 28 program aksi dalam rangka pengurangan kemiskinan; yang terdiri dari 16 program aksi yang dilakukan oleh instansi pemerintah, empat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan delapan oleh organisasi internasional. Sementara itu, Daly dan Fane (2002) memaparkan bahwa program pemerintah yang spesifik menyentuh penduduk miskin terdiri dari tiga kelompok yaitu skema bantuan langsung tunai (cash transfer schemes), subsidi dan bantuan (benefits in kind), serta penciptaan lapangan kerja (job creation). Pengeluaran pemerintah untuk program-program tersebut antara tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2000 rata-rata sekitar 12.84 triliun per tahun.

Fenomena kemiskinan perdesaan dan pertanian menunjukkan adanya kaitan antara faktor spasial dan kemiskinan sebagaimana dilaporkan oleh beberapa studi. International Fund for Agricultural Development (2002) menemukan bahwa kemiskinan di Asia terkonsentrasi pada dua dimensi yaitu faktor geografis dan faktor sosial. Secara agregat di wilayah Asia, kemiskinan terjadi pada penduduk dengan matapencarian petani; terbanyak adalah kemiskinan pada pertanian tadah hujan dan pertanian di lahan kering.


(4)

Sementara itu, Overseas for Development Institute (ODI) dan Multistakeholder Forestry Program (2005) melaporkan bahwa di desa dalam dan tepi hutan terdapat lebih tinggi angka kemiskinan dibandingkan dengan desa di luar hutan. Rata-rata kemiskinan di desa dalam dan di tepi hutan adalah sekitar 37-50 persen dari kemiskinan di masing-masing wilayah; tertinggi di wilayah Papua yakni sekitar 70 persen dari jumlah penduduk miskin di wilayah tersebut. Setelah itu menyusul Nusa Tenggara yakni sebesar 66 persen dari jumlah penduduk miskin. Sedangkan di Sumatera, Jawa dan Bali serta Kalimantan, rumahtangga miskin yang tinggal pada zona agroekosistem hutan lebih rendah daripada rata-rata kemiskinan nasional.

Lebih jauh, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (1995) melaporkan bahwa pada agroekosistem lahan kering dan pantai, kemiskinan dicirikan oleh mutu sumberdaya manusianya yang rendah, daya adopsi terhadap teknologi baru dan ketrampilan lebih rendah yang mengakibatkan produktivitas rendah serta aksesibilitas terhadap pasar tenaga kerja rendah. Disebutkan juga bahwa pada agroekosistem lahan kering di Lampung menunjukkan ciri desa antara lain tidak memadainya prasarana ekonomi seperti transportasi dan infrastruktur lainnya mencakup sarana komunikasi, informasi, listrik dan lain-lain sehingga berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi.

Selanjutnya, kerentanan penduduk terhadap kemiskinan juga menunjukkan keterkaitan dengan ekosistem. Mukherjee (2002) melaporkan bahwa dalam suatu ekosistem pertanian padi pada keluarga pertanian dan kehutanan di Kalimantan Barat memperlihatkan konfigurasi kerentanan yang berbeda. Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, konteks kerentanan kemiskinan belum merupakan fenomena yang disadari secara luas dalam


(5)

konteks kerentanan (vulnerability) mulai dijadikan tema riset dalam menganalisis fenomena kemiskinan dan penanggulangannya. Namun, riset mengenai kerentanan terhadap kemiskinan tersebut khususnya di Indonesia jumlahnya masih terbatas.

Kondisi kemiskinan sebagaimana tersebut di atas menyiratkan bahwa kemiskinan di Indonesia menunjukkan keragaman keragaan berdasarkan agroekosistem. Disamping itu, kemiskinan di Indonesia mempunyai fenomena yang khas pada tiap agroekosistem. Pada disertasi ini, agroekosistem didefinisikan sebagai sistem interaksi antara manusia dan lingkungan biofisik sumberdaya perdesaan dan pertanian guna memungkinkan kelangsungan hidup penduduknya.

Oleh karena itu, kebijakan pengurangan kemiskinan di Indonesia tidak sepenuhnya dapat mengacu pada resep-resep pengentasan kemiskinan negara lain, hasil kajian negara lain ataupun pendekatan spasial dengan skala agregat seperti Asia-Pasifik dan lain-lain. Upaya pengurangan kemiskinan dan kerentanan di Indonesia juga tidak dapat menggunakan satu resep tertentu. Hal ini berkaitan dengan kekhasan fenomena sekaligus keragaman keragaan kemiskinan dan kerentanan khususnya berdasarkan agroekosistem.

Mengingat keterbatasan sumberdaya pemerintah ataupun pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya dalam upaya pengurangan kemiskinan, maka alokasi sumberdaya haruslah tepat sasaran dan tepat jenis intervensinya. Untuk lebih mengoptimalkan daya agroekosistem dalam kelangsungan hidup dan kesejahteraan penduduknya, pengetahuan tentang tipologi kemiskinan pada agroekosistem menjadi sangat penting. Upaya-upaya pengurangan kemiskinan dapat lebih fokus dan penanganannya lebih terarah bila tipologi kemiskinan tersebut dapat diketahui. Tipologi kemiskinan pada disertasi ini didefinisikan


(6)

sebagai keragaan yang mempresentasikan karakter dan magnitut kemiskinan dan kerentanan.

Dengan menganalisis tipologi kemiskinan, dapat diketahui: (1) kebijakan yang sesuai untuk sasaran tertentu, (2) ”titik masuk” pengurangan kemiskinan, (3) prioritas berdasarkan urgensi dan keterbatasan sumberdaya, dan (4) rentang waktu intervensi. Karena itu, analisis mengenai tipologi kemiskinan serta faktor-faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin sangat diperlukan. Kecenderungan mengabaikan tipologi kemiskinan khususnya berdasarkan agroekosistem dengan spesifik Indonesia haruslah dikoreksi dalam kebijakan pengurangan kemiskinan pada masa yang akan datang.

Selain tipologi, didapati juga bahwa adanya perbedaan daya dukung dan peluang ekonomi tiap agroekosistem untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan karakteristik atau faktor-faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin. Dengan kata lain, faktor penciri yang melekat pada kemiskinan tersebut adalah suatu archetype kemiskinan; household that is consider to be the poor because they have all their most important characteristics.

Dengan demikian, maka kebijakan dalam pengurangan kemiskinan tidak dapat seragam tetapi hendaklah memperhitungkan tipologi dan faktor penciri kemiskinan terkait dengan keragaman agroekosistem di Indonesia. Jadi, kebijakan pengurangan kemiskinan tidak dapat dengan solusi one fits for all. Hal ini didasari pemikiran bahwa keragaman kemiskinan mencerminkan perbedaan peluang-peluang ekonomi; peluang usaha dan peluang kerja serta harga sumberdaya yang berbeda antara agroekosistem satu dengan yang lainnya.


(7)

yang pro poor merupakan prasyarat penting (necessary condition), tetapi belum cukup (insufficient). Untuk itu, diperlukan perspektif mikro yang selama ini terabaikan dalam upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. Perspektif mikro dalam dimensi kemiskinan antara lain peningkatan kapabilitas individu dan rumahtangga, pengurangan kerentanan, perbaikan kelembagaan dan lingkungan. Dengan kata lain, pembangunan sosial dan ekonomi dapat dilakukan mulai dari tingkat bawah.

Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, maka pendekatan agroekosistem layak dipilih sebagai alternatif acuan untuk pengurangan kemiskinan. Disertasi ini menghipotesiskan bahwa kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola sistematis (systematic patterns) yang secara struktural berkorelasi kuat dengan agroekosistem. Sebagian rumahtangga miskin pada agroekosistem tertentu terperangkap dalam kemiskinan (spatial poverty trap) yang begitu dalam, dan sulit melewati ambang batas miskin tanpa intervensi pemerintah.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan kemiskinan sangat kompleks; baik ditinjau dari sisi sebab dan akibat terjadinya kemiskinan, ragam dimensi pengukuran kemiskinan, dan juga dalam metoda pengukurannya. Kemiskinan bukanlah persoalan ekonomi semata, tetapi terkait erat dengan masalah sosial bahkan politik. Kebijakan makroekonomi berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap dinamika insiden kemiskinan. Kebijakan makroekonomi tersebut antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat pengangguran, distribusi pendapatan dan tingkat upah. Kemiskinan berkait dengan aspek sosial antara lain tingkat dan jenis pendidikan, tingkat kesehatan, akses terhadap sumber-sumber produksi, faktor demografi, gender dan kultural. Dimensi spasial dan


(8)

infrastruktur merupakan faktor-faktor penting yang berasosiasi dengan insiden kemiskinan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pun beragam, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu waktu ke waktu yang lain. Karena itu, kebijakan pengurangan kemiskinan yang bersifat seragam dan karitas tidaklah tepat. Kebijakan pengurangan kemiskinan hendaknya tidak membuat ketergantungan penduduk miskin.

Menurut Sharp, Register, dan Grimes (1998), para ahli ekonomi pembangunan menyatakan bahwa;

Problems with the old welfare system: It was argued that most programs placed an emphasis on financial support and did not encourage recipients to remedy the causes of their poverty. Many argued that the programs were structured in ways that created a ‘welfare dependency” that resulted in a permanent culture of poverty”.

Kritik Sharp dan kawan-kawan tersebut membawa perubahan terhadap penanganan kesejahteraan (welfare reform) sejak pertengahan dekade 1990-an.

Dalam rangka memberikan kontribusi untuk menjawab permasalahan dan keterbatasan-keterbatasan penelitian tentang kemiskinan dengan pendekatan agroekosistem, disertasi ini dirumuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tipologi kemiskinan di Indonesia? Adakah keragaman antar agroekosistem dalam hal tipologi kemiskinan?

2. Faktor-faktor apakah yang dapat menjelaskan kemiskinan pada tiap-tiap agroekosistem?

3. Bagaimanakah kebijakan pemerintah dalam penanggulangan dan pencegahan kemiskinan berdasarkan agroekosistem tersebut?


(9)

sasarannya dan sesuai dengan faktor-faktor yang berasosiasi dengan kemiskinan.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tipologi dan variabel penciri kemiskinan Indonesia dan agroekosistem serta memberikan rekomendasi pengurangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis agroekosistem. Secara lebih spesifik, tujuan penelitian adalah:

1. Mengalisis insiden kemiskinan, indeks kedalaman, dan indeks keparahan kemiskinan tiap agroekosistem.

2. Menganalisis kerentanan kemiskinan pada tiap agroekosistem. 3. Menganalisis karakteristik kemiskinan pada tiap agroekosistem.

4. Merumuskan opsi kebijakan (policy option) pengurangan kemiskinan dan kerentanan terhadap kemiskinan berdasarkan agroekosistem dan prioritas program dikaitkan dengan pencapaian MDGs khususnya tujuan pertama (eradicate extreme poverty and hunger).

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Analisis kemiskinan dibatasi dengan pendekatan pengeluaran penduduk miskin dibandingkan dengan garis kemiskinan, dihitung dengan menggunakan standar BPS. Indikator yang digunakan yaitu headcount index, poverty gap index dan severity index. Tingkat kemiskinan dihitung melalui pengeluaran konsumsi penduduk. Analisis multidimensi kemiskinan menggunakan variabel human capital atau indikator kapabilitas (tingkat pendidikan, kondisi kesehatan, jumlah dependen anggota keluarga, dan jenis kelamin), physical capital (akses fisik, kepemilikan aset produktif), dimensi spasial dan infrastruktur.


(10)

Kerentanan insiden kemiskinan tiap agroekosistem terhadap garis kemiskinan diukur dengan elastisitas insiden kemiskinan, kedalaman dan keparahan kemiskinan terhadap garis kemiskinan. Sifat kemiskinan yang mengindikasikan kemiskinan kronis (chronic poverty) dan tidak kronis (transient poverty) dianalisis dengan menghitung peluang penduduk keluar dari kemiskinan Sedangkan faktor penciri kemiskinan atau faktor-faktor yang berasosiasi dengan kemiskinan di estimasi dengan probabilitas rumahtangga jatuh ke bawah garis kemiskinan yang dicerminkan oleh parameter variabel bebas.

Penelitian ini mempunyai keterbatasan antara lain; jumlah agroekosistem yang diteliti dibatasi di enam (6) agroekosistem yaitu pantai pesisir, dataran tinggi, hutan, lahan basah, lahan kering, lahan campuran sesuai dengan ketersediaan data yang menggunakan gabungan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes) dari Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, tiap agroekosistem tidak eksklusif kecuali lahan basah, lahan kering dan lahan campuran. Karena itu, untuk melihat keragaman antara agroekosistem, maka analisis uji proporsi insiden kemiskinan hanya dilakukan terhadap lahan basah, lahan kering dan lahan campuran.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tipologi kemiskinan dan kerentanan serta karakteristik rumahtangga miskin di Indonesia berdasarkan agroekosistem Sehingga, dengan hasil penelitian ini diharapkan kebijakan-kebijakan pengurangan kemiskinan dapat lebih terarah, efisien dan efektif. Dengan mengetahui tipologi kemiskinan Indonesia, diharapkan insiden kemiskinan dapat dicegah (bersifat preventif) dan penanggulangan kemiskinan


(11)

Dengan menganalisis variabel-variabel kemiskinan dan kerentanan serta mengestimasi kerentanan, diharapkan resiko penduduk menjadi miskin dapat diketahui dan dicegah. Dengan mengaggregasi kemiskinan dan kerentanan, diperoleh gambaran yang lebih komprehensif dan rinci tentang kemiskinan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan opsi kebijakan yang lebih tepat bagi tiap daerah baik dalam mengurangi resiko penduduk jatuh ke bawah garis kemiskinan maupun penanggulangan kemiskinan yang sudah terjadi. Hasil penelitian ini diyakini lebih bermanfaat dalam upaya pengurangan kemiskinan berdasarkan tipologi kemiskinan yang dibangun Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian lanjutan dalam konteks pengurangan kemiskinan dan pencegahan bertambahnya jumlah rumahtangga miskin.


(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Ekonomi Kemiskinan

Aspek-aspek ekonomi kemiskinan (the economic aspects of poverty) dapat ditinjau dari tiga pendekatan yaitu tingkat pendapatan absolut, distribusi pendapatan, dan problem ekonomi yang berkorelasi dengan kemiskinan. Ketiga hal tersebut dianalisis melalui konsep ekonomi antara lain pertumbuhan ekonomi, kesenjangan pendapatan (income inequality), distribusi pendapatan (determinants of income distribution), permintaan terhadap tenaga kerja, penawaran tenaga kerja, kepemilikan sumberdaya (ownership pattern of resources), intervensi pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan seperti dalam penetapan harga (price floors and price ceilings) dan upah (wage rate determination) serta pelayanan umum (Sharp et al, 1998)

Pada kondisi terjadi kemiskinan, dikatakan bahwa timbul problem ekonomi yang fundamental yakni keterbatasan sumberdaya (resources) dibandingkan dengan kebutuhan manusia. Kemiskinan dalam konteks ekonomi dapat dilihat dalam kaitannya dengan tingkat pendapatan absolut, distribusi pendapatan dan korelasi antara problem ekonomi dengan kemiskinan.

Fenomena kemiskinan tidak terlepas dari hubungan berbagai variabel ekonomi; yaitu: (1) nilai atau harga sumberdaya keluarga yang dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu tenaga kerja (labor) dan modal (capital), dimana sumberdaya tenaga kerja meliputi upaya fisik dan mental manusia untuk berperan dalam aktivitas ekonomi, sedangkan capital resources meliputi sumberdaya alam dan sumberdaya lain buatan manusia termasuk


(13)

ini tergantung pada distribusi kepemilikan sumberdaya dan perbedaan harga sumberdaya (Sharp et al 1998 dan Todaro, 2000).

Perbedaan ekonomi yang berkontribusi terhadap pendapatan keluarga atau individu merupakan perbedaan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan. Variabel yang menentukan nilai tenaga kerja antara lain tingkat pendidikan, keahlian dan keterampilan. Upaya-upaya penurunan kemiskinan dapat diperoleh dengan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan distribusi pendapatan. Kebijakan-kebijakan yang mengarah untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dapat memperkecil kemiskinan dalam jangka pendek maupun menengah. Jika pun terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan kemerataan, sepanjang peningkatan pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada peningkatan kesenjangan dan tingkat kesenjangan tersebut masih bertahan, maka penurunan kemiskinan masih dapat diharapkan (Todaro, 2000 dan Tambunan, 2001)

Dengan pertumbuhan ekonomi akan terjadi perubahan struktur ekonomi; konsumsi terhadap barang dan jasa meningkat, produksi meningkat, investasi untuk physical capital and human capital meningkat. Selanjutnya, akan meningkatkan output per tenaga kerja dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan tenaga kerja. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh kenaikan Produk Domestik Bruto per kapita, tidak hanya merupakan peningkatan penyediaan barang dan jasa, tetapi juga meningkatkan kesempatan dan akses penduduk untuk memperoleh pilihan-pilihan yang lebih baik terhadap kesehatan, kebebasan ekonomi, kemandirian dan pendidikan. (Hayami, 2001)

Dalam teori ekonomi pembangunan, dikatakan bahwa bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi melalui perbaikan produktivitas sumberdaya manusia. Hayami (2001) mengatakan


(14)

bahwa sebenarnya untuk pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan kesehatan mempunyai efek yang sama dengan tangible capital dan seharusnya dipandang sebagai investasi dalam human capital. Namun dalam ekonomi, pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan diperhitungkan sebagai bagian dari konsumsi. Sebagai bagian dari konsumsi barang dan jasa, pendidikan dan kesehatan mempunyai elastisitas pendapatan yang cukup tinggi.

Pendidikan dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas tenaga kerja, stimulasi inovasi dan riset serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Kapabilitas individu dalam menetapkan pilihannya merupakan hal yang penting untuk kesejahteraan manusia. Terdapat korelasi positif yang tinggi antara faktor pendidikan dan kesehatan dengan output per kapita atau GNP per kapita. Pada waktu bersamaan, hubungan sebab akibatnya adalah pendapatan per kapita yang tinggi mendorong penduduk membelanjakan lebih banyak pendapatannya untuk pendidikan dan kesehatan (Hayami, 2001).

Pada tahun 1980-an, Robert Lucas dalam Romer (1996) membuat endogeneous growth model yang menspesifikasikan pendidikan sebagai critical force that generates technological progress in an economy. Pendidikan dan human capital dapat dilihat sebagai faktor produktif langsung dalam produksi pada Solow growth model (dalam Romer 1996). Karena itu, pendidikan disebut sebagai faktor utama pertumbuhan ekonomi.

Faktor kesehatan dan pertumbuhan ekonomi berkaitan erat melalui kemampuan ekonomi untuk menyediakan fasilitas kesehatan bagi penduduk; dan dengan penduduk atau tenaga kerja yang sehat akan menghasilkan barang dan jasa yang lebih baik dalam proses produksi. Pendapatan riil per kapita dan


(15)

tingkat kesehatan bergerak bersama-sama ke arah yang sama dan saling mempengaruhi.

Dalam ekonomi kesejahteraan, pengukuran tingkat kesejahteraan didasarkan pada fungsi utilitas (utility function); yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsumsi barang dan jasa (goods and services), semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Hal ini mencerminkan tingkat pendapatan atau tingkat pengeluaran terhadap barang dan jasa tertentu.

Meskipun definisi kesejahteraan dapat diterima dan dipahami, secara operasional hal ini sulit dan hampir tidak mungkin dapat untuk membandingkan tingkat kesejahteraan satu individu dengan individu lainnya (Deaton,1980). Hal ini disebabkan oleh: (1) sulit menggambarkan bentuk kurva utility, karena sulit membuat model untuk kurva utilitas dengan banyak dimensi sesuai dengan dunia nyata dan (2) individu dengan pendapatan yang sama bisa saja memilih tingkat konsumsi dengan kombinasi yang berbeda; sehingga tidak dapat diperbandingkan tingkat kesejahteraannya. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam ekonomi kesejahteraan dibuat asumsi-asumsi, yaitu: (1) kurva utilitas yang dihadapi adalah sama (identical); jadi individu memiliki kesamaan preferensi terhadap barang dan jasa dan (2) semakin tinggi pendapatan atau pengeluaran terhadap konsumsi, maka semakin tinggi kepuasannya. Dengan demikian, dapat dibuat ranking kesejahteraan di antara individu.

Pengukuran tingkat kesejahteraan berdasarkan pengeluaran atas bundel konsumsi (consumption expenditure) lebih sering digunakan dibandingkan dengan tingkat pendapatan karena alasan kepraktisan operasional bukan secara konseptual. Alasan tersebut dikemukakan oleh Ravallion dan Dasgupta (1992) antara lain: (1) umumnya fungsi utilitas diturunkan dari konsumsi barang dan jasa, sehingga lebih mencerminkan standar hidup, (2) pendapatan individu atau


(16)

rumah tangga dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk disimpan (saving) dalam rangka memelihara standar hidup, dan (3) dalam konteks statistik kemiskinan, utamanya di negara-negara berkembang, data konsumsi cenderung lebih akurat (more accurate and less severe) daripada data pendapatan (Deaton,1980).

Secara menyeluruh untuk suatu negara, kesejahteraan sering diukur dengan besaran Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun hal ini belum dapat dikatakan dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk yang bersangkutan di suatu negara, namun dapat sebagai data awal untuk melihat aktivitas ekonomi suatu negara. Agar dapat mendekati keadaan nyata kesejahteraan suatu negara, PDB haruslah ada penghitungan dan penyesuaian dengan (1) tingkat inflasi yang menghasilkan PDB riil, (2) populasi yang menghasilkan PDB riil per kapita dan (3) distribusi; bagaimana kesejahteraan terdistribusikan di antara penduduk. PDB harus tumbuh dengan laju yang lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk.

Selanjutnya, dikatakan bahwa khususnya di negara-negara berkembang, pendidikan merupakan faktor kunci untuk memperbaiki kualitas tenaga kerja. Pendidikan dasar dan menengah merupakan prasayarat peningkatan keberaksaraan untuk memperbaiki keterampilan tenaga kerja, dan seterusnya memperbaiki produksi dalam aktivitas ekonomi. Tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan karena kurangnya mengikuti pelatihan-pelatihan (training) maka produktivitasnya rendah dan akan mendapatkan upah yang rendah di pasar tenaga kerja. Pendidikan tinggi dapat memperbaiki kualitas tenaga kerja utamanya untuk pemecahan masalah dan inovasi. Pengembangan sistem pendidikan dapat dicapai bila penduduk tidak


(17)

Selain faktor tenaga kerja, produksi dipengaruhi oleh rasio sumberdaya kapital dengan tenaga kerja yang selanjutnya mempengaruhi produktivitas dan kemiskinan. Negara dengan keterbatasan sumberdaya, teknologi yang belum baik, jaringan komunikasi dan transportasi yang buruk akan memiliki PDB per kapita yang rendah.

2.1.2 Perkembangan Konsep dan Pengukuran

Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi pengertian yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif yaitu ukuran kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, berkaitan dengan tingkat rata-rata dari distribusi, atau proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata. Sedangkan kemiskinan absolut didefinisikan sebagai derajat kemiskinan ketika kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi.

Suatu individu atau rumahtangga didefinisikan miskin bila individu atau rumahtangga tidak dapat memenuhi kebutuhannya dan berada di bawah standar minimal tingkat kebutuhan, yang diukur dengan garis kemiskinan. Banyak metoda yang dikembangkan para ahli dalam penentuan garis kemiskinan ini, yang secara rinci dibahas tersendiri pada bab ini.

Dalam kaitan dengan kemiskinan absolut, diperlukan pemahaman tentang garis kemiskinan; yang diukur berdasarkan bundel kebutuhan minimum terhadap barang dan jasa. Kemiskinan absolut terkait dengan kemampuan yang dimiliki rumahtangga ataupun individu dengan berbagai karakteristiknya untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi guna memenuhi kebutuhannya.

Sejak pertengahan dekade 1980-an, kemiskinan tidak lagi dipersepsikan sebagai hanya persoalan ekonomi, tetapi menyangkut kualitas hidup (The Quality of Life). Amartya Sen dalam Saragih (2003) menyatakan bahwa


(18)

manusia tidak boleh dipandang dari hanya sekedar tingkat pendapatan, namun juga dari kualitas hidup yang dimilikinya. Alternatif pengukuran the Quality of Life diulas oleh Berg (2001) yang mengatakan bahwa kualitas hidup itu terdiri dari komponen Gross Domestic Product (GDP) riil per kapita, life expectancy, rata-rata lama pendidikan, tingkat kematian bayi dan anak-anak.

Mulai dekade 1990-an, tolok ukur kemiskinan memasukkan dimensi sosial kemiskinan. Pada Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Social Development) di Kopenhagen,1995, kemiskinan didefinisikan sebagai berikut:

”Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses pada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi dan keterasingan sosial; dan dicirikan juga oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya”.

Kemiskinan merupakan sesuatu yang kompleks; bisa dipandang sebagai akibat sesuatu keadaan, namun secara bersamaan juga merupakan sebab dari suatu keadaan. Kemiskinan merupakan kombinasi ketidakcukupan daya-beli, kurangnya kapabilitas, rentan terhadap kemiskinan dan kehilangan kekuatan untuk berjuang mencari nafkah. Dalam keseharian, kemiskinan dipersepsikan


(19)

dalam dimensi ekonomi (Yudhoyono dan Harniati, 2004). Seseorang dinyatakan miskin ialah bila berpendapatan di bawah garis kemiskinan (poverty line). Berapa besaran garis kemiskinan dan bagaimana metoda pengukuran atau penghitungannya sering dijadikan bahan analisis atau studi dan banyak diperdebatkan.

Dalam perkembangannya, kriteria tingkat kesejahteraan masyarakat ataupun kemiskinan mengalami perkembangan. Hingga dekade 1970-an, GDP dipakai sebagai patokan kesejahteraan. Namun berbagai studi menunjukkan bahwa banyak dijumpai kasus dimana GDP tinggi, namun banyak penduduk miskin.

Pada tahun 1995 ilmuwan dari United Naton Development Programme, diprakarsai Mahbub Ul Haq mengembangkan Human Development Index (HDI) atau Index Pembangunan Manusia sebagai indikator perkembangan kesejahteraan. Pada HDI ini selain dimensi ekonomi, juga dimasukkan dimensi selain ekonomi. Variabel HDI merupakan besaran agregat GNP, tingkat harapan hidup, dan tingkat pendidikan. Peringkat HDI menunjukkan komparasi kesejahteraan antarnegara.

UNDP kemudian juga memperkenalkan pengukuran kemiskinan yang dikenal dengan Human Poverty Index (HPI) atau indeks kemiskinan manusia. Pada HPI, variabel-variabel kemiskinan antara lain persentase penduduk dengan usia harapan hidup di bawah 40 tahun, persentase keberaksaraan penduduk usia dewasa, rata-rata persentase penduduk tanpa akses kepada sumber air aman diminum, dan akses terhadap pelayanan kesehatan.

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yakni kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara. Kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang terjadi terus menerus. Sedangkan kemiskinan


(20)

sementara (transient poverty) ialah kemiskinan yang ditandai dengan menurunnya pendapatan sebagai akibat dari perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi kondisi krisis.

Berbagai literatur mendefinisikan kemiskinan tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek kehidupan sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya sebagaimana digambarkan oleh The World Bank (2000):

Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness bring about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom.

Analisis kebijakan ataupun studi tentang kemiskinan pada masa lalu menggunakan pendekatan statistik klasik terhadap kemiskinan. Indikator kemiskinan yang digunakan yaitu pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Besaran pendapatan untuk penetapan kategori miskin atau batas miskin (poverty line) diturunkan dari survei tradisional terhadap pendapatan penduduk atau pengeluaran konsumsi rumahtangga. Menurut Robb (2003) pengukuran atau indikator tersebut gagal menangkap multidimensi kemiskinan. Untuk mengerti tentang kemiskinan, haruslah melihat bagaimana kehidupan orang miskin dengan menggunakan pendekatan multidisiplin.

Dalam dimensi ekonomi, indikator kemiskinan menggunakan tingkat pendapatan, yang secara internasional besarnya pendapatan per hari per kapita US$ 1.00 bagi negara yang tergolong negara berpendapatan sangat rendah (very low-income countries). Kemiskinan diukur dengan standar pendapatan US$ 2.00 untuk negara-negara tergolong negara dengan pendapatan sedang


(21)

seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari.

Di Indonesia, sejak tahun 1976, BPS menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Untuk kebutuhan makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari, sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Komponen non-makanan ini juga dibedakan antara perkotaan dengan perdesaan. Sayogyo dalam CESS dan ODI (2003) menentukan garis kemiskinan dengan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita; yakni 320 kg beras untuk perdesaan dan 480 kg untuk perkotaan (per kapita per tahun).

Indikator kemiskinan yang digunakan dalam studi-studi empiris yaitu: 1. the incidence of poverty (the poverty headcount index), yang menggambarkan

persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan,

2. the depth of poverty (the poverty gap index), yang menggambarkan dalamnya kemiskinan; yakni jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan,

3. the severity of poverty, yang menunjukkan keparahan kemiskinan; yang memperlihatkan ketimpangan diantara orang miskin.

Indikator insiden kemiskinan dapat memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun tidak dapat mengindikasikan seberapa miskin penduduk tersebut. Besaran insiden kemiskinan ini tidak berubah andai seorang miskin menjadi lebih miskin lagi. Indeks kedalaman kemiskinan tidak sensitif terhadap distribusi pendapatan di


(22)

antara penduduk miskin, karena itu perlu diukur dengan indeks keparahan kemiskinan.

Indeks kedalaman dan keparahan diturunkan dari apa yang disebut “a class of additively decomposable measures”. seperti yang diformulasikan oleh Foster, Greer dan Thorbecke dalam BPS (2005), yang dikenal dengan FGT Index. Formula FGT meliputi insiden kemiskinan, indeks kedalaman dan indeks keparahan, dirumuskan sebagai:

− =

=

z yi z n

q

i

P

α

α

1

1

dimana:

α = 0,1,2; adalah parameter yang menyatakan ukuran sensitivitas kedalaman dan keparahan kemiskinan. Semakin besar α semakin besar pula timbangan yang diterapkan untuk mengukur keparahan dari insiden kemiskinan

yi = nilai rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita/bulan dari penduduk

yang berada di bawah garis kemiskinan; dimana i = (1,2,....q) untuk semua yi<z

z = garis kemiskinan n = total jumlah penduduk q = jumlah penduduk miskin

z-yi merupakan kedalaman kemiskinan untuk penduduk ke –i secara

berurutan menurut besarnya pendapatan dengan ketentuan:

α= 0 adalah head-count index; yang mengindikasikan proporsi penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, maka Po = q/n. Jadi, bila 20 persen penduduk dari total penduduk diklasifikasikan miskin, maka


(23)

α=1 adalah rata-rata kedalaman kemiskinan (yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan). Jika α=1 maka P1= (1/n)Σ

(z-yi/z)1. Misalkan P1=0,15; ini berarti bahwa gap (kesenjangan) antara

total penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, jika dirata-ratakan terhadap seluruh penduduk (baik miskin maupun tidak miskin), adalah 15 pesen. P1/Po = 1/q Σ(z-yi/z) adalah rata-rata kedalaman

kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan.

α=2 adalah suatu ukuran yang dalam beberapa hal sensitif terhadap perubahan distribusi pengeluaran diantara penduduk miskin.

Disagregasi kemiskinan dilakukan oleh Ikhsan (1999) berdasarkan kondisi kemiskinan terhadap masyarakat miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Penelitian tersebut membangun garis kemiskinan yang baru dengan mengacu pada standar kemiskinan versi The World Bank dan berbeda dengan garis kemiskinan versi BPS. Disagregasi yang dilakukan yaitu karakteristik kemiskinan yang bersifat nasional (Indonesia).

Studi tentang kerentanan yang dilakukan oleh Sumarto dan Suryahadi (2001) mengkuantifikasi kerentanan dan menghasilkan pemilahan antara kemiskinan kronik dan kemiskinan sementara pada masa sebelum dan sesudah krisis ekonomi di Indonesia. Kerentanan terhadap kemiskinan (vulnerability to poverty) didefinisikan sebagai probabilitas atau resiko rumahtangga mengalami kemiskinan setidaknya pada suatu masa dalam siklus hidupnya di masa yang akan datang. Perbedaan kerentanan terhadap kemiskinan dan insiden kemiskinan menurut Chaudhuri (2001) ialah;

Vulnerability is a forward-looking ex-ante measure of a household’s well-being; poverty is an ex-post measure of a household’s well-being (or lack thereof).


(24)

Suatu rumahtangga dianggap rentan (vulnerable) terhadap kemiskinan bila probabilitasnya jatuh pada kondisi kemiskinan sama atau lebih besar dari 50 persen. Kerentanan terhadap kemiskinan ini bisa dikuantifikasi, yakni dengan menghitung atau mengkuantifikasi kemungkinan atau resiko jatuh miskin atau berada dalam kondisi di bawah garis kemiskinan. Kerentanan berdasarkan Headcount Poverty Rate tersebut juga kerentanan garis kemiskinan (Vulnerability to Poverty Line).

Kondisi rentan dapat menjadi jatuh di bawah garis kemiskinan bila ada faktor yang mendorong atau memicu. Menurut Islam (2001), faktor-faktor tersebut dapat berupa goncangan tingkat mikro/household seperti pencari nafkah jatuh sakit atau meninggal, pada tingkat meso/community seperti gagal panen, fluktuasi harga produk dan degradasi lingkungan; dan pada tingkat makro/economy-wide level seperti krisis finansial tahun 1997.

Penelitian yang dilakukan Ikhsan (1999) dan Pritchett et al (2000) menunjukkan bahwa jumlah rumahtangga miskin berubah signifikan dengan adanya krisis ekonomi. Selanjutnya, penelitian Sumaryadi (2001) menunjukkan bahwa 38-50 persen dari rumahtangga Indonesia sangat riskan terhadap gejolak perekonomian, dan sekitar 18 persen dari mereka tergolong pada kemiskinan absolut. Studi oleh The World Bank (2003) juga memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin akan naik dua kali lipat (200 persen) jika garis kemiskinan naik dari US$ 1 ke US$ 2 per kapita per hari.

Teknik ekonometri dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi resiko terhadap pendapatan atau pengeluaran pada masa yang akan datang. Persyaratan penggunaan teknik ini adalah bila tersedia dua observasi dari cross-section survey, maka dimungkinkan untuk menggunakan


(25)

rumahtangga. Hasil regresi juga memungkinkan untuk analisis perbedaan tingkat kerentanan. Estimasi variabilitas pendapatan menggunakan koefisien variasi pendapatan. Namun, hal ini bisa bias karena tidak mudah mencari variabilitas pendapatan dengan kemiskinan, utamanya pada yang selalu dalam kategori miskin. Dalam konteks kerentanan, penelitian bersama IPB, UGM, UI (2004) merekomendasikan agar sasaran kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan tetapi juga yang nyaris atau rentan terhadap garis kemiskinan.

2.2. Beberapa Temuan Empirik tentang Karakteristik dan Perkembangan Kemiskinan di Indonesia

Potret kemiskinan Indonesia berdasarkan data BPS 2005 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di perdesaan sebanyak 22.7 juta jiwa; sementara jumlah total penduduk miskin sebesar 35.1 juta jiwa atau 15.7 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan data tahun 2003, mengalami penurunan dimana jumlah penduduk miskin di Indonesia 38.4 juta jiwa. Sekitar 65.4 persen dari penduduk miskin tersebut berada di perdesaan dan 82.1 pesen di antaranya menggantungkan hidup dari sektor pertanian.

Perkembangan kondisi kemiskinan menurut BPS (2002) adalah sebesar 37.7 juta jiwa (17.9 persen), yang terdistribusi sebanyak 14.3 persen di perkotaan dan 20.5 persen di perdesaan. Penyebaran penduduk miskin tersebut sebanyak 58.1 persen di Jawa dan Bali, 20.5 persen di Sumatera dan 21.4 persen di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya.

Berdasarkan data BPS, indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan meningkat dari 2.55 pada tahun 1996 (sebelum krisis) menjadi 4.35 pada tahun 1998 (saat krisis), dan di perdesaan meningkat dari 0.71 menjadi 1.27.


(26)

Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan di perkotaan meningkat dari 3.53 menjadi 5.01 dan di perdesaan dari 0.96 menjadi 1.48.

Peningkatan kedua indeks tersebut mengindikasikan bahwa krisis ekonomi yang terjadi telah memperdalam dan memperparah kemiskinan di Indonesia. Pada tahun 2002, indeks kedalaman kemiskinan mengalami perbaikan menjadi 3.01 dan indeks keparahan kemiskinan menjadi 0.79.

Menurut data The World Bank (2001), pada awal tahun 1999 jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanyak 36.7 juta jiwa dan di perkotaan 19.1 juta jiwa. Kemiskinan perkotaan sering dikatakan sebagai efek dan tumpahan kemiskinan di perdesaan. Selanjutnya, IFAD (2001) melaporkan bahwa 75.7 persen penduduk miskin berada di perdesaan dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sebelumnya, pada tahun 2001, penduduk miskin yang tinggal di perdesaan sekitar 75.7 persen, sehingga dapat dikatakan bahwa pada umumnya kemiskinan merupakan fenomena perdesaan.

Secara lebih spesifik, Pasaribu dalam Rusastra et al (2006) menyebutkan bahwa karakteristik penduduk miskin dicirikan oleh beberapa hal antara lain; (a) masyarakat miskin sebagian besar tinggal di perdesaan dengan mata pencarian dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60 persen); (b) penduduk miskin dengan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, umumnya tinggal di wilayah dengan karakteristik marjinal, dukungan infrastruktur terbatas dan tingkat adopsi teknologi yang rendah.

Berdasarkansumber penghasilannya, sebesar 63.0 persen rumahtangga miskin menggantungkan hidupnya dari kegiatan pertanian, 6.4 persen dari kegiatan industri, 27.7 persen dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan, pengangkutan, dan selebihnya merupakan penerima pendapatan.


(27)

Pada tahun 1998 dan 1999 proporsi sumber penghasilan utama tidak mengalami pergeseran (BPS, 2001).

Tinjauan spasial menunjukkan bahwa 75.7 persen rumahtangga miskin berada di perdesaan dengan basis sektor pertanian dalam arti luas, mencakup pertanian pangan, perkebunan dan peternakan sebagai penghasilan utama. Sementara di perkotaan, sebanyak 75 persen rumahtangga miskin memperoleh penghasilan utama di luar sektor pertanian dan 24 persen yang mengandalkan sektor pertanian.

Jumlah anggota keluarga memberikan perbedaan tingkat kemiskinan. Menurut data BPS (1999), rata-rata jumlah anggota keluarga rumahtangga miskin di Indonesia adalah 4.9 jiwa, sementara keluarga tidak miskin menanggung beban rata-rata 3.9 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa beban tanggungan keluarga miskin lebih besar daripada beban tanggungan keluarga tidak miskin.

Bila dilihat tingkat pendidikan keluarga miskin, 72.1 persen rumahtangga miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala keluarga yang tidak tamat pendidikan dasar (SD), dan 24.3 persen dipimpin oleh kepala rumahtangga berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumahtangga miskin di perkotaan. Sekitar 57.0 persen rumahtangga miskin di perkotaan dipimpin oleh kepala keluarga tidak tamat SD, dan 31.4 persen berpendidikan SD.

Menurut laporan riset dari The World Bank 2003, pada akhir tahun 2002 dengan menggunakan kriteria pendapatan per kapita US$ 1.00 per hari untuk negara berpendapatan sangat rendah, maka sebanyak 50 persen penduduk Indonesia tergolong miskin. Angka ini 20 persen lebih tinggi daripada kemiskinan dengan menggunakan standar BPS. Bila diukur dengan US$ 2.00 per hari yakni standar untuk negara berpendapatan sedang, maka 60 persen penduduk


(28)

Indonesia atau sekitar 126 juta orang penduduk Indonesia tergolong orang miskin. Sekitar 87 persen dari penduduk miskin ini berada pada 20 persen pendapatan paling rendah (the bottom quintile).

Ketika krisis ekonomi melanda negeri ini, pada medio 1997 jumlah penduduk miskin meningkat tajam. Pada akhir 1998 menjadi 49.5 juta jiwa (24.23 persen) dari total penduduk; terdiri dari 17.6 juta (21.92 persen) di perkotaan dan 31.9 juta (24.23 persen) di perdesaan. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin (tidak termasuk Nanggroe Aceh Darussalam dan Maluku) sebesar 37.3 juta jiwa terdiri dari 9.1 juta di perkotaan dan 25.1 juta di perdesaan.

Analisis-analisis mengenai karakteristik kemiskinan sering dibahas dengan berbagai pendekatan menggunakan terminologi tipologi kemiskinan sebagaimana yang dilakukan oleh dua organisasi internasional yakni Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD). Pendekatan yang digunakan SIDA untuk membangun tipologi kemiskinan yaitu:

1. Kemiskinan berdasarkan pekerjaan: buruh tani, petani gurem, nelayan tradisional, dan lain-lain.

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan ketidakberuntungan sosial: masyarakat dengan kasta rendah, masyarakat terasing, suku dalam atau penduduk asli. 3. Kemiskinan karena adanya diskriminasi.

4. Kemiskinan berdasarkan letak geografis.

Sedangkan IFAD menggunakan lima pendekatan untuk membangun tipologi kemiskinan khususnya kemiskinan perdesaan (rural poverty) yaitu: 1. Kemiskinan karena pencabutan hak dan tersisihkan.


(29)

3. Kemiskinan traumatis/sporadis karena adanya guncangan eksternal seperti kekeringan, banjir dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

4 Kemiskinan endemik yang dicirikan oleh ketidakmandirian, terisolasi, kurangnya aksesibilitas, dan tidak memadainya teknologi.

5. Kemiskinan karena kepadatan penduduk atau keterbatasan sumberdaya. Sedangkan tren penduduk miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan periode 1981-2006 dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: BPS (2003, 2005 dan PSEK (2007). Data diolah

Gambar 1. Tren Kemiskinan di Perdesaan dan Perkotaan Tahun 1981- 2006

2.3 Agroekosistem dan Faktor-Faktor yang Berkorelasi dengan Kemiskinan

Tiap agroekosistem mempunyai karakteristik, nilai kemanfaatan ekonomi dan lingkungan serta nilai sosial budaya. Berbagai metoda pengelompokan agroekosistem; misalnya terdiri dari hutan, pesisir laut dan pulau-pulau kecil,

0 10 20 30 40 50 60

1981 1984 1987 1990 1993 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun Juta Orang


(30)

lahan basah, lahan kering dan karst (Bappenas, 2003). Sementara Ikhsan (1999) menyebutkan agroekosistem sebagai sistem sosio-ekonomi dan kondisi geografis yang sering dijumpai di Indonesia; yakni pesisir/pantai, lahan basah, lahan campuran, lahan kering dan dataran tinggi. Di dalam Potensi Desa (Podes) yang diterbitkan oleh BPS (2003) klasifikasi desa dibuat dengan empat pendekatan ekosistem yaitu hutan (di dalam dan tepi hutan), pesisir/pantai, lahan basah, lahan kering, lahan campuran dan berdasarkan topografi yakni dataran tinggi dan dataran rendah.

Penduduk yang tinggal dan mencari nafkah pada tiap agroekosistem, memberikan gambaran profil kemiskinan yang berbeda. Kemiskinan perdesaan banyak ditemukan pada agroekosistem pesisir atau pantai, pertanian khususnya lahan kering dan di dalam serta di tepi hutan;

Penelitian Mukherjee (2002) melaporkan bahwa konfigurasi faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah berbeda antara pada komunitas petani padi beririgasi di Jawa Barat, komunitas sektor informal di daerah urban di Surabaya, komunitas nelayan pesisir di Lombok dan komunitas pertanian-kehutanan di Kalimantan Barat. Keluarga yang paling miskin di perdesaan adalah mereka yang tidak memiliki tanah.

Penyebab kemiskinan dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi dalam Yustika (2003) berpangkal pada antara lain struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa dan fluktuasi musim penangkapan serta relasi tidak berimbang antara pelaku ekonomi. Kemiskinan masyarakat pada zona agroekosistem hutan dicirikan oleh kurangnya akses pada pelayanan publik, rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Faktor geografis dan kondisi topografi yang terpencil menyebabkan peluang-peluang ekonomi lainnya sulit diraih.


(31)

Kemiskinan di Indonesia tidak hanya memperlihatkan dikotomi desa dan kota, tetapi antarprovinsi dan regional dapat dicermati perbedaan yang signifikan. Ciri khas daerah yang terperangkap dalam kemiskinan (poverty trap) adalah daerah yang memiliki sumberdaya alam terbatas dan jauh dari pusat perdagangan utama.

BPS juga membuat penetapan garis kemiskinan berdasarkan tingkat pengeluaran yang disesuaikan dengan harga di provinsi yang bersangkutan. Dilihat dari persentase jumlah penduduk miskin, provinsi Nusa Tenggara Barat mencatat rekor tertinggi yakni sekitar 22 persen dari total penduduknya dikategorikan miskin. Sedangkan angka kemiskinan terendah adalah Provinsi DKI yakni sekitar tiga persen.

International Fund for Agricultural Development (IFAD, 2001) melaporkan bahwa karakteristik penduduk miskin di perdesaan adalah buruh atau buruh tani, tidak memiliki lahan/faktor produksi, petani gurem, petani tadah hujan, nelayan, peternak-penggembala, masyarakat di sekitar hutan dan lahan kritis, masyarakat di daerah terpencil (perbukitan, pergunungan, lembah) dan penduduk suku asli, masyarakat yang direlokasikan karena suatu keadaan misalnya bencana alam, konflik, serta kepala rumahtangga wanita. Penduduk miskin di perkotaan, menurut Supriatna (2000) adalah para pedagang kecil, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, gelandangan, pengemis, pengangguran dan buruh angkutan.

CESS dan ODI (2005) melaporkan bahwa sebagian masyarakat termiskin dari masyarakat miskin perdesaan tinggal di lokasi hutan terpencil, jauh dari pasar. Masyarakat miskin di hutan terpencil ini seringkali merupakan masyarakat miskin kronis, terisolasi secara geografis, tidak memiliki jaminan ketahanan pangan. Masyarakat miskin di dalam dan tepi hutan pada umumnya


(32)

tinggal di lahan yang lebih tinggi, curam dan kurang subur, seringkali jauh dari pasar dan pelayanan pokok. Masyarakat miskin di hutan seringkali tidak terjangkau oleh manfaat pembangunan. Pada wilayah hutan yang sangat terisolasi, sumberdaya alam adalah tulang punggung utama penyangga kehidupan masyarakat miskin. Matapencarian penduduk di hutan, selain pertanian hampir tidak ada peluang untuk diversifikasi matapencarian dan sebagian besar kehidupannya bersifat subsisten. Sedangkan Brown dalam CESS dan ODI (2005) menyimpulkan bahwa penduduk yang menempati lahan hutan negara sebanyak 27.1 persen diantaranya 5.5 juta adalah penduduk miskin.

Selanjutnya, Wollenberg et al (2004) melaporkan bahwa masyarakat yang tinggal di hutan cenderung miskin secara menahun. Masyarakat miskin di hutan sulit keluar dari kemiskinannya karena terbatasnya pilihan terhadap sumber penghidupan yang berkaitan dengan tidak adanya prasarana, sulitnya berkomunikasi dan jaraknya yang jauh dari pasar, serta minimnya sarana pendidikan dan kesehatan. Disamping itu, biaya penyediaan pelayanan pemerintah menjadi sangat tinggi.

Keterbatasan peluang-peluang kerja atau usaha di perdesaan pesisir karena faktor agroekosistem khususnya perdesaan pesisir juga diungkapkan Kusnadi (2002). Struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa atau karakteristik agroekosistemnya sangat menentukan peluang-peluang kerja dan usaha. Di desa-desa dengan struktur sumberdaya ekonomi yang sepenuhnya bergantung pada produksi perikanan laut, peluang kerja dan usaha sangat terbatas.

Sudaryanto dan Rusastra (2006) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat sembilan dimensi kemiskinan yaitu: (a) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan


(33)

terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih dan transportasi), (c) lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital, (d) rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat individual maupun massal, (e) rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan sumberdaya alam, (f) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, (h) terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan, (i) ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik maupun mental, dan (j) mengalami ketidakmampuan atau ketidakberuntungan sosial.

2.4. Kebijakan dan Program Pengurangan Kemiskinan di Indonesia

Secara garis besar, penanggulangan kemiskinan di Indonesia sampai dengan tahun 2005 dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pengembangan masyarakat dan (2) jaringan pengaman sosial dengan pendekatan berdasarkan masyarakat, pemerintah mengimplementasikan program Pengembangan Prasarana Perdesaan dan Program Kemiskinan Perkotaan. Sedangkan dalam Jaringan Pengaman Sosial terdapat program-program yaitu Keamanan Pangan, Perlindungan Sosial melalui pendidikan dan kesehatan, ketenagakerjaan dan peningkatan pendapatan serta pemberdayaan masyarakat.

Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) dimulai pada tahun anggaran 1994/1995 meliputi konstruksi dan rehabilitasi prasarana jalan di perdesaan, jembatan, air minum dan sanitasi. Program ini menjangkau 17 persen dari jumlah desa di Indonesia atau 40 persen dari desa yang kurang berkembang.

Program Pengembangan Kecamatan menyediakan dana pengembangan aktivitas ekonomi dan prasarana umum senilai 750 juta sampai 1 milyar rupiah per kecamatan. Program ini meliputi 727 kecamatan yang tergolong miskin, atau 5.100 desa dengan total penduduk 11 juta.


(34)

Urban Poverty Program atau program penanggulangan kemiskinan di perkotaan yang meliputi sebagian besar kota-kota di pulau Jawa, dengan target populasi 24 juta jiwa. Proyek ini menyediakan dana untuk peningkatan pendapatan penduduk miskin secara kolektif (grup) dan sebagian prasarana umum.

Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan atau Integrated Movement merupakan kegiatan yang dikenal dengan Gerdu Taskin. Proyek ini menyediakan makanan gratis, perbaikan gizi, subsidi kontrasepsi, skema kredit seperti Takesra dan kredit Taskin.

Social Safety Net (Jaring Pengaman Sosial) dimulai pada tahun anggaran 1998/1999 untuk menanggulangi dampak krisis ekonomi dengan budget 9.4 trilyun. Cakupan kegiatannya yaitu: (1) ketahanan pangan, operasi pasar khusus, pengembangan peternakan ayam, rehabilitasi prasarana pemijahan udang, (2) perlindungan sosial melalui pendidikan, beasiswa dan bantuan operasional sekolah, (3) perlindungan sosial melalui kesehatan kesejahteraan sosial, makanan tambahan untuk siswa SD, (4) ketenagakerjaan dan peningkatan pendapatan, dan (5) pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi.

Pada tahun 2002, pemerintah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) melalui Keppres No 124 tahun 2002, yang diketuai oleh Menko Kesra dan dengan wakilnya Menko Ekonomi. KPK bertugas mengkoordinasikan penyusunan dan kebijakan program penanggulangan kemiskinan. Sasaran pemerintah dalam lima tahun (2000-2004) jumlah penduduk miskin absolut berkurang 40% dari tingkat kemiskinan 1999, atau menjadi 28,86 juta jiwa pada tahun 2004. Upaya penurunan kemiskinan 2003-2004


(35)

masyarakat miskin, sehingga masyarakat miskin memperoleh peluang, kemampuan pengelolaan, dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial budaya, politik, hukum, dan keamanan dan (2) pengurangan pengeluaran masyarakat miskin dalam mengakses kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi. Namun, hingga saat ini program KPK tersebut belum terlihat implementasinya di lapangan.


(36)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Aspek-Aspek Kemiskinan Berbasis Agroekosistem

Kemiskinan bersifat multikompleks; dapat dipandang sebagai akibat dari suatu keadaan, tetapi secara bersamaan juga bisa dipandang sebagai sebab dari suatu keadaan. Di Indonesia, kemiskinan bersifat multifacets; yang keragaannya dapat dijelaskan dengan berbagai pendekatan. Untuk mengerti tentang kemiskinan, haruslah dilihat bagaimana kehidupan orang miskin dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Penanggulangan kemiskinan dapat dicapai juga dengan berbagai pendekatan; tidak ada satu ’resep’ yang berlaku untuk semua keadaan.

Kemiskinan dan berbagai upaya penanggulangannya khususnya di Indonesia memperlihatkan kompleksitas permasalahan kemiskinan. Dalam tinjauan makro, pengurangan kemiskinan dengan memacu pertumbuhan ekonomi merupakan prioritas utama. Dalam upaya pengurangan kemiskinan, perbaikan dimensi ekonomi saja tidaklah cukup; diperlukan dimensi selain ekonomi. Pertumbuhan ekonomi (growth) yang berkelanjutan (sustainable) merupakan keharusan (necessary) tetapi belumlah cukup (insufficient); diperlukan upaya distribusi pendapatan yang berkeadilan. Dimensi ekonomi yang menjadi prasyarat harus dilakukan bersamaan dengan dimensi non ekonomi yang meliputi bidang sosial, politik dan hukum.

Disertasi ini tidak meneliti hal tersebut, namun mengadopsi pemikiran bahwa dimensi ekonomi dan non ekonomi sebagaimana disebutkan di atas menjadi prasyarat setiap kebijakan. Opsi kebijakan pengurangan kemiskinan yang ditawarkan pada disertasi ini dapat berjalan bersamaan dengan upaya


(37)

Kemiskinan dengan menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs) pada penelitian ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan yang bersifat mendasar baik pangan maupun non pangan antara lain sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Strategi kebutuhan dasar ini merupakan pendekatan langsung, bukan melalui pendekatan tidak langsung seperti melalui efek menetes ke bawah dan menyebar (trickle-down and spread effect) dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut dapat ditinjau dari dua aspek yakni aspek pendapatan dan aspek pengeluaran penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar yang timbul oleh adanya aktivitas ekonomi. Aspek pendapatan berhubungan erat dengan matapencarian atau peluang kerja dan peluang usaha. Di perdesaan, matapencarian utama pada umumnya bertumpu pada ketersediaan sumberdaya alam (resource based economy) yang erat kaitannya dengan agroekosistem. Sedangkan aspek pengeluaran berkaitan dengan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan minimum; yang pola konsumsinya dipengaruhi oleh dipengaruhi pula oleh agroekosistem.

Persoalan-persoalan kemiskinan dapat dianalisis bersifat spesifik berdasarkan tipologi dan karakteristik rumahtangga miskin. Pemecahan masalah kemiskinan seharusnya dikaitkan dengan tipologi kemiskinan dan kerentanan serta faktor-faktor penciri kemiskinan. Tipologi tersebut diperlukan untuk pengoptimuman pencapaian tujuan, khususnya dalam penentuan sasaran kebijakan program dan penentuan jenis intervensi yang tepat. Selain itu, dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan, perbandingan tingkat kemiskinan antarruang dan waktu. Ketepatan sasaran merupakan hal penting karena bila sasaran tidak tepat, maka manfaat program penanggulangan


(38)

kemiskinan dinikmati oleh penduduk yang bukan menjadi target, sehingga dapat memperparah ketimpangan ekonomi.

Berdasarkan tinjauan pustaka terdahulu, kemiskinan di Indonesia menunjukkan berbagai keragaan dan karakteristik serta memperlihatkan kekhasan fenomena berdasarkan spasial, khususnya berdasarkan agroekosistem. Pada disertasi ini, agroekosistem didefinisikan sebagai sistem interaksi antara manusia dan lingkungan biofisik sumberdaya perdesaan dan pertanian guna memungkinkan kelangsungan hidup penduduknya. Tipe agroekosistem yang digunakan pada penelitian ini yaitu Lahan Basah, Lahan Kering, Lahan Campuran, Dataran Tinggi, Hutan, Pasir/Pantai. Keenam agroekosistem ini menjadi locus penelitian pada disertasi ini, sehubungan dengan kaitan, kekhasan, juga keragaman keragaannya dengan fenomena kemiskinan dan kerentanan di Indonesia.

Tipologi kemiskinan pada disertasi ini didefinisikan sebagai keragaan yang mempresentasikan karakter dan magnitut kemiskinan serta kerentanan. Tipologi kemiskinan tidak hanya menjelaskan besaran jumlah ataupun persentase rumahtangga miskin, tetapi juga seberapa dalam dan parah kemiskinan tersebut. Selanjutnya, tipologi ini juga menjelaskan seberapa rentan rumahtangga miskin terhadap gejolak perekonomian dan bagaimana sifat kemiskinannya; apakah bersifat kronis ataukah tidak kronis.

Tipologi kemiskinan akan menunjukkan keragaman karena interaksi faktor manusia dengan lingkungan sumberdayanya beragam, dan harga atau nilai sumberdaya yang berbeda berdasarkan pendekatan agroekosistem. Hal ini disebabkan agroekosistem di Indonesia menunjukkan karakter dan magnitut yang beragam dimana tiap agroekosistem memiliki kekhasan fenomena


(39)

Selain dengan menganalisis tipologi kemiskinan, untuk mengetahui bagaimana kehidupan orang miskin, perlu dipelajari faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin. Faktor penciri ini merupakan suatu archetype kemiskinan yakni household that is consider to be the poor because they have all their most important characteristics.

Faktor penciri kemiskinan pada tiap agroekosistem tersebut dalam disertasi ini terdiri dari faktor penciri yang melekat pada rumahtangga yakni human and social capital, dan faktor penciri yang melekat pada faktor spasial dan infrastruktur meliputi infrastruktur fisik dan sosial. Faktor penciri kemiskinan dianalisis melalui pengeluaran rumahtangga yang pada gilirannya mempengaruhi kemiskinan. Tiap agroekosistem menunjukkan model yang direpresentasikan oleh parameter pengeluaran tumahtangga yang konfigurasi dan besarannya berbeda; meskipun ada beberapa faktor diprediksi sama pada semua agroekosistem.

Kondisi agroekosistem mempengaruhi kemiskinan penduduk dengan masing-masing karakteristik sosial-ekonominya melalui aktivitas ekonomi. Interaksi manusia dengan biofisik yang beragam kondisinya ini memberikan bentuk aktivitas sosial, ekonomi bahkan budaya yang beragam pula. Interaksi tersebut menjadi penting karena sebagian besar penduduk menggantungkan sumber penghidupannya pada ketersediaan lingkungan biofisiknya. Selanjutnya, keragaman agroekosistem juga menunjukkan keragaman ekonomi penduduknya yang oleh Ikhsan (1999) disebut sebagai zona agroekonomi.

Kemiskinan pada umumnya terkonsentrasi pada rumahtangga yang tinggal pada agroekosistem khususnya pada kawasan hutan, pesisir/pantai dan lahan pertanian yang terdiri dari lahan kering dan lahan campuran. Kondisi agroekosistem mempengaruhi kemiskinan penduduk dengan masing-masing


(40)

karakteristik sosial-ekonominya melalui aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada suatu agroekosistem dipengaruhi oleh antara lain faktor biofisik sumberdaya alam sebagai sumberdaya utama kehidupan penduduk, faktor sumberdaya manusia (human and social capital), modal produktif (physical productive capital), infrastruktur fisik dan sosial. Keragaman aktivitas ekonomi pada tiap agroekosistem berkaitan dengan perbedaan harga atau nilai sumberdaya yang merupakan determinan untuk meraih peluang-peluang ekonomi (economic opportunities). Aktivitas ekonomi ini pada akhirnya menentukan pendapatan dan pengeluaran rumahtangga.

Faktor biofisik atau spasial menentukan harga sumberdaya dan peluang ekonominya. Agroekosistem yang memiliki biofisik dataran tinggi dengan kemiringan tinggi atau curam, kondisi lahan berbatuan, tidak subur, tandus sehingga rawan erosi atau longsor akan rendah harga atau nilainya sebagai sumberdaya kehidupan. Investasi akan enggan masuk pada lingkungan dengan biofisik seperti ini karena dinilai tidak menghasilkan return yang tinggi. Peluang-peluang ekonomi untuk matapencarian berkelanjutan akan sangat terbatas.

Agroekosistem hutan ditandai oleh biofisik yang berhutan lebat, berbukitan, pergunungan ataupun lembah, terpencil di dalam hutan, akses terhadap pelayanan pokok seperti kesehatan dan pendidikan sangat rendah, kehidupan relatif subsisten, aksesibilitas terhadap informasi rendah. Kondisi ini akan mempengaruhi kesempatan berusaha dan bekerja yang seterusnya mempengaruhi kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh terhambat ataupun terlambatnya penyesuaian-penyesuaian dalam proses pasar tenaga kerja dan keputusan untuk migrasi atau berpindah dan mencari nafkah di tempat lain.


(41)

kehidupannya. Penduduk hampir tidak mempunyai alternatif matapencarian selain menjadi buruh perkayuan ataupun menggantungkan nafkah pada ladang berpindah. Selain itu, biaya penyediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta infrastruktur fisik lainnya menjadi tinggi.

Pada lahan basah dengan berpengairan relatif baik, dicirikan dengan lahan yang relatif datar, relatif subur, aksesibilitas penduduk yang relatif baik terhadap infrastruktur fisik, kondisi memadai terhadap pelayanan pokok, pasar, dan trasportasi. Dengan kondisi biofisik seperti ini, pada dasarnya dapat mendorong resource base economy. Namun, lahan dengan nilai dan harga sumberdaya yang relatif baik ini justru rawan terhadap konversi lahan.

Pada agroekosistem pesisir/pantai kondisi biofisik yang khas mempengaruhi kehidupan rumahtangga khususnya nelayan ialah faktor musim melaut. Pola kerja nelayan menyebabkan terbatasnya pilihan-pilihan terhadap sumber penghidupan lainnya. Selain itu, dengan sistem open access atau common property right terhadap kekayaan laut, menciptakan peluang ekonomi yang lebih tinggi bagi pemilik modal dan sumberdaya manusia yang menguasai teknologi dan pasar. Kondisi ini akan mendorong relasi yang timpang antar pelaku ekonomi.

Faktor sumberdaya manusia dan modal sosialnya (human and social capital) mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran. Kepala keluarga atau pencari nafkah usia produktif dengan pendidikan yang relatif tinggi atau memiliki keahlian/ketrampilan dan dengan kondisi kesehatan yang baik, diasumsikan mempunyai peluang kerja ataupun peluang usaha yang lebih baik. Kepala keluarga atau pencari nafkah berjenis kelamin laki-laki ditengarai mempunyai peluang kerja lebih tinggi dibanding perempuan. Keluarga dengan rasio bergantung (dependency ratio) lebih tinggi, akan lebih tinggi pula peluang


(42)

menjadi katagori miskin. Paguyuban atau kegotongroyongan yang relatif baik antar rumahtangga ditengarai lebih dapat mengatasi schock terhadap pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Selain itu, modal sosial yang tinggi dapat meningkatkan coping ability rumah tangga.

Ketersediaan infrastruktur fisik dan sosial juga menentukan harga atau nilai sumbedaya. Infrastruktur fisik seperti listrik, jaringan air bersih, sistem transportasi, pasar, sanitasi/pengelolaan sampah menentukan nilai atau harga sumberdaya (GTZ dalam Rustiadi, 2007). Selanjutnya, harga atau nilai sumberdaya ini menjadi determinan aktivitas ekonomi yang lebih luas. Infrastruktur sosial seperti kelompok-kelompok informal, layanan kesehatan, dan layanan pendidikan juga mempengaruhi aktivitas ekonomi. Selain itu, adanya kelembagaan dapat menentukan nilai atau harga sumberdaya yang selanjutnya mempengaruhi kesempatan untuk meraih peluang-peluang ekonomi. Kelembagaan didefinisikan sebagai the rules of society or of organization that facilitate coordination among people by helping them from expectations which each person can reasonably hold in dealing with others (Ruttan dan Hayami dalam Harianto, 2007).

Kepemilikan physical productive capital: seperti aset produksi misalnya lahan, perahu motor, kandang, alat dan mesin pengolahan, merupakan aset pendukung dalam meraih peluang ekonomi. Selain itu, aset fisik ini juga dapat dijadikan agunan bila memerlukan pinjaman uang, ataupun dapat dijual jika memerlukan uang.

Jika dianalisis kondisinya, tiap agroekosistem memiliki kekhasan meliputi biofisik, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, infrastruktur fisik dan sosial termasuk kelembagaan. Tiap agroekosistem mempunyai nilai kemanfaatan


(43)

Karakteristik Agroekosistem Pantai/Pesisir

Biofisik/faktor spasial: Relatif datar, tidak berbukit/lereng, Infrastruktur : relatif baik aksesibilitas wilayah: baik, akses pd sumber daya alam

’terbuka’

Akses pada pelayanan umum: relatif baik

Sosek: Gini Indeks : 0.67 Pemilikan Lahan : 0.07- 8.3 Ha Sumber penghasilan: kurang variatif

Hutan Biofisik/faktor spasial: wilayah relatif terisolasi berbukit/datar/lereng Infrastruktur : relatif kurang baik Akses terhadap sumber daya alam ‘tertutup’

Akses terhadap pelayanan umum : kurang

Sosek:

Gini Indeks: relatif tinggi Pemilikan Lahan :relatif tidak ada Sumber penghasilan: relatif tidak

Lahan Campuran Biofisik/faktor spasial: Topografi : bervariasi berpengairan 25 - 75 %

aksesibilitas wilayah kurang baik Infrastruktur : beririgasi, jalan pertanian

Akses pada pelayanan umum : relatif tersedia

Sosek:

Gini Indeks : tidak ada data Pemilikan Lahan : 0.02-0.5 Ha Sumber penghasilan: relatif variatif

Lahan Kering Biofisik/faktor spasial: Topografi berbukit/lereng, berpengairan < 25 % Infrastruktur : beririgasi terbatas aksesibilitas wilayah kurang baik Akses terhadap pelayanan umum : relatif kurang

tersedia Sosek:

Gini Indeks : 0.27 -0.37 Pemilikan Lahan : 0.01-0.45 Ha Sumber penghasilan:kurang variatif Lahan Basah

Biofisik/faktor spasial: Relatif datar, tidak berbukit/lereng, Infrastruktur : beririgasi, jalan pertanian,

berpengairan > 75 % aksesibilitas wilayah relatif baik Akses terhadap pelayanan umum : relatif tersedia

Sosek:

Gini Indeks : 0.22 – 0.38 Pemilikan Lahan : 0.01-0.36 atau tidak berlahan

Sumber penghasilan: relatif variatif

Dataran Tinggi Biofisik/faktor spasial: Altitude: > 500 dpl Topografi berbukit/lereng, Infrastruktur : kurang memadai aksesibilitas wilayah kurang baik Akses pada pelayanan umum : relatif tersedia

Sosek:

Gini Indeks : tidak ada data Pemilikan Lahan : sekitar 0.25 Ha Sumber penghasilan: relatif variatif

Gambar 2. Karakteristik Agroekosistem

kemanfaatan ini mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumahtangga yang ada pada tiap agroekosistem.

Secara menyeluruh, karakteristik setiap agroekosistem secara visual disajikan pada Gambar 2.

Selanjutnya, interrelasi antar faktor tersebut diatas akan merefleksikan perbedaan peluang ekonomi (economic opportunities) pada tiap agroekosistem yang ada kaitannya dengan sumber matapencarian dan pola konsumsi. Kedua aspek ini pada gilirannya diduga akan berpengaruh terhadap kemiskinan dan kerentanan.


(44)

Kemiskinan dan kerentanan dibentuk oleh dua aspek yaitu aspek pendapatan dan aspek pengeluaran. Aktivitas ekonomi ditimbulkan oleh pendapatan dan pengeluaran rumahtangga (RT). Dengan asumsi matapencarian utama penduduk berbasis ketersediaan sumberdaya alam, maka aktivitas ekonomi dipengaruhi oleh kondisi agroekosistem melalui konsumsi dan aktivitas matapencarian. Dengan pendapatannya, rumahtangga dapat mengakses pelayanan pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya dapat memperkuat Human Capital (HC). Di samping memenuhi kebutuhan minimum, RT dapat memperkuat aset-aset produktif (Physical Capital) dalam rangka mendukung matapencariannya. Selanjutnya, pendapatan rumahtangga akan mempengaruhi permintaan dan penawaran barang dan jasa.

Di sisi lain, agroekosistem mempengaruhi pola konsumsi RT yang secara agregat menentukan aktivitas ekonomi pada suatu agroekosistem terutama menentukan peluang usaha dan peluang kerja yang menggerakkan aktivitas ekonomi RT pada agroekosistem. Aktivitas tersebut menimbulkan pengeluaran RT misalnya pengeluaran untuk transportasi, komunikasi dan sebagainya. Secara agregat, pengeluaran RT tersebut akan menimbulkan permintaan terhadap barang dan jasa, yang di respon oleh produsen. Penawaran barang-barang dan jasa akan mempengaruhi pola konsumsi RT.

Kondisi kemiskinan menyebabkan suatu rumahtangga atau individu sulit mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan. Hal ini mempengaruhi kualitas tenaga kerja suatu individu. Dengan kualitas yang rendah, maka produktivitas tenaga kerja rendah; artinya modal manusia (human capital) rendah, maka, pendapatan juga rendah. Dengan pendapatan rumahtangga yang rendah (demand) rendah, perusahaan akan menyesuaikan sehingga penawarannya


(45)

Impli kasi Kebi jakan Pengeluaran Pendapatan Indikator Kemiskinan •P0

•P1

P2 Kerentanan Elastisitas Faktor penciri Kemiskinan Tinjauan Kebijakan Mata Pencarian Pola Konsumsi Karakteristik

Biofisik SDA SDM Infrastruktur Fisik dan Sosial/ Kelembagaan Sifat Kemiskinan Kronis dan Tidak Kronis Peluang ekonomi Aktivitas ekonomi Lahan Basah Lahan kering Lahan Campuran Dataran Tinggi Hutan Pantai/Pesisir Agroekosistem Nilai/Harga Sumberdaya - Human &

Social Capital

- Physical Capital

- Infrastruktur Fisik dan Sosial - Spasial/SDA

besarnya peluang-peluang ekonomi dan investasi serta penyediaan fasilitas pendidikan maupun kesehatan. Dengan aktivitas ekonomi yang rendah dan dengan kualitas sumber daya manusia /tenaga kerja yang rendah maka peluang kerja dan peluang usaha tidak dapat dijangkau atau diciptakan; yang pada gilirannya tidak memberikan pendapatan yang cukup bagi rumahtangga. Kondisi ini mengantarkan suatu individu atau penduduk pada kondisi dengan katagori miskin. Kerangka pemikiran penelitian ini, secara skematis disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Keterangan: SDA = Sumber Daya Alam

SDM= Sumber Daya Manusia P0 =insiden kemiskinan P1 = kedalaman kemiskinan P2 = keparahan kemiskinan


(46)

Menguraikan mana sebab dan mana akibat dari kemiskinan pada hakikatnya adalah sulit. Kadangkala sebab-sebab kemiskinan dapat dilihat sebagai akibat-akibat dari kemiskinan. Karena itu, analisis-analisis pada kemiskinan pada umumnya mencari faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan atau hubungan-hubungan, bukan sebagai hubungan sebab-akibat.

Dengan pemahaman terhadap faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan, maka dapat dirancang alternatif kebijakan penanggulangannya. Penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan menggerakkan aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi di lingkungan perdesaan dan pertanian dapat dilakukan melalui penumbuhan sentra-sentra ekonomi untuk menggerakkan matapencarian dengan meningkatkan peluang usaha dan peluang kerja yang berkelanjutan (sustainable livelihood). Hal ini penting, mengingat lebih dari tiga per empat penduduk pertanian dan perdesaan di Indonesia menggantungkan matapencarian utamanya pada ketersediaan sumberdaya alam.

Selain itu, masih terbuka peluang-peluang untuk menggerakkan aktivitas ekonomi pertanian dan perdesaan dengan meningkatkan daya dukung agroekosistem melalui perbaikan modal sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik serta infrastruktur dengan memperhatikan faktor lokasinya. Perbaikan-perbaikan tersebut akan efektif bila penanganannya sesuai dengan tipologi kemiskinan dan kerentanannya. Hal tersebut dapat dicapai dengan intervensi yang tepat antara lain berdasarkan analisis tipologi kemiskinan dan kerentanan berbasis agroekosistem.

3.2. Analisis Tipologi Kemiskinan


(1)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Variabel Rumahtangga...

65

2. Variabel Infrastruktur Fisik dan Sosial...

68

3. Jumlah Rumahtangga Berdasarkan Agroekosistem Tahun 2005...

74

4. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Nasional Tahun 2005 ...

78

5. Sifat Kemiskinan Nasional...

82

6. Perubahan Sifat Kemiskinan Nasional ...

84

7. Beda Relatif Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita

Nasional Terhadap Garis Kemiskinan...

84

8. Insiden Kemiskinan Nasional per Agroekosistem Tahun 2005...

86

9. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Basah

Tahun 2005 ...

89

10. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah ...

93

11. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah...

96

12. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita

Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Basah...

96

13. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Kering...

100

14. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Kering...

104

15. Perubahan Kerentanan Kemiskinan Pada Lahan Kering...

106

16. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita

Terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Kering ... ...

107

17. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Campuran...

110

18. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran ...

114

19. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Campuran ...

116


(2)

21. Indikator dan Elastisitas Indikator Kemiskinan di Dataran Tinggi ...

120

22. Sifat Kemiskinan pada Dataran Tinggi ...

123

23. Perubahan Sifat Kemiskinan di Dataran Tinggi ...

125

24. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita

Terhadap Garis Kemiskinan (GK) Pada Dataran Tinggi ...

126

25. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan di Hutan...

129

26. Sifat Kemiskinan di Hutan ...

133

27. Perubahan Sifat Kemiskinan di Hutan...

134

28. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita

Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Hutan ...

135

29. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan...

138

30. Sifat Kemiskinan Agroekosistem Pantai/Pesisir...

141

31. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Agroekosistem Pantai/Pesisir...

143

32. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita

Terhadap Garis Kemiskinan Pada Agroekosistem Pantai/Pesisir...

144

33. Hasil Regresi Logit Dengan Nilai Exponent (B) < 1...

147

34. Pengaruh Beta Untuk Variabel dengan Beta lebih dari 0.10 ...

148

35. Variabel Penciri Kemiskinan Nasional...

149

36. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 ...

152

37. Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Basah...

154

38. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 ...

155

39. Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Kering...

157

40. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 di Lahan

Campuran ...

160

41. Variabel Penciri Kemiskinan di Lahan Campuran...

161

42. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 di

Dataran Tinggi...

163


(3)

43. Variabel Penciri Kemiskinan di Dataran Tinggi...

163

44. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 di

Hutan...

164

45. Variabel Penciri Kemiskinan di Hutan...

166

46. Pengaruh Beta Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 di

Pantai/Pesisir...

169

47. Variabel Penciri Kemiskinan di Pantai/Pesisir...

171

48. Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan...

173

49. Pengaruh Beta (%) Untuk Variabel Dengan Beta lebih dari 0.10 pada

Tiap Agroekosistem ...

185

50. Daftar Kebijakan/Program Penanggulangan Kemiskinan

di Indonesia ...

187

51. Kinerja Kebijakan/Program Penanggulangan Kemiskinan...

193

52. Faktor Penciri Kemiskinan dan Implikasi Kebijakan...

198


(4)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tren Kemiskinan di Perdesaan dan Perkotaan Tahun 1981-2006 ...

29

2. Karakteristik Agroekosistem...

43

3. Kerangka Pemikiran...

45

4. Kerangka Kerja Penelitian...

62

5. Distribusi Pengeluaran Rumahtangga Secara Nasional...

81

6. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan

Basah...

90

7. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan

Kering... ...

100

8. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan

Campuran... ...

111

9. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Dataran

Tinggi...

121

10. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Hutan...

130

11. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Pantai/

Pesisir...

140


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Estimasi Faktor Penentu Kemiskinan Dengan Menggunakan

Metoda Logit Regression...

215

2. Keterangan Variabel Bebas...

219

3. Variabel Dummy dan Deskripsinya...

221

4. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis

Kemiskinan Biasa...

225

5. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis

Kemiskinan Biasa...

227

6. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan

Garis Kemiskinan Biasa...

229

7. Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis

Kemiskinan Biasa...

231

8. Variabel yang Nyata Untuk Model Dataran Tinggi Dengan Garis

Kemiskinan Biasa...

233

9. Variabel yang Nyata Untuk Model Daerah Aliran Sungai Dengan

Garis Kemiskinan Biasa ...

235

10. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis

Kemiskinan Biasa...

237

11. Variabel yang Nyata Untuk Model Nasional Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen...

239

12. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ...

241

13. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ...

242

14. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan

Garis Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ...

244

15. Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis


(6)

17. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen...

250

18. Variabel yang Nyata Untuk Model Nasional Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 10 Persen ...

252

19. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Basah Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ...

254

20. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Kering Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ...

255

21. Variabel yang Nyata Untuk Model Lahan Campuran Dengan

Garis Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ...

257

22. Variabel yang Nyata Untuk Model Pantai Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ...

259

23. Variabel yang Nyata Untuk Model Dataran Tinggi Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen...

260

24. Variabel yang Nyata Untuk Model Hutan Dengan Garis

Kemiskinan Ditingkatkan 20 Persen ...

262

25. Statistik Deskriptif Pengeluaran Per Kapita Menurut

Agroekosistem dan Tipe Kemiskinan...

264

26. Statistik Deskriptif Pengeluaran Per Kapita Menurut

Agroekosistem dan Tipe Kemiskinan ...

265

27. Statistik Deskriptif Pengeluaran Per Kapita Menurut